19. Menyakiti Diri Sendiri

1705 Kata
Aku menghela nafas kesal. Renata selama berada di dalam mobilku, dia benar-benar tak bisa diam. Sebenarnya sudah dari kemarin dia telah ribut sendiri. Sejak aku memberitahukannya bila hari ini aku akan membuat dia bertemu dengan Dennis. Karena itu Renata tak pernah berhenti berceloteh tentang betapa antusiasnya dia menunggu momentum ini. Bahkan sekarang, disaat kami sedang dalam perjalanan menuju mall, tempat dimana kami akan nonton dan makan bersama... Renata masih saja berisik. "Bon, gue udah cantik, kan?" "Hmmm..." Aku sudah menjawab pertanyaan itu sebanyak tiga kali hari ini. "Ih! Serius gue! Gue udah cantik belum?" Aku melirik kesal ke arah Renata. "Lo udah cantik Renata! Tanpa lo make up, lo udah cantik dari lahir." "Yah kan gue cuma mastiin doang. Gue harus tampil sempurna hari ini!" "Dennis bukan tipe orang yang ngeliat dari penampilan, Ren." "Gak mungkin! Semua cowok tuh tertarik berawal dari mata, Bon. Baru abis itu kepribadian." Aku hanya menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. Renata tak akan mendengarkan pendapatku. Dia pasti berdalih kalau dirinya pasti lebih paham tentang pria bila dibandingkan dengan diriku. Padahal Dennis memang berbeda dengan pria lainnya. Sepengetahuanku, Dennis tak pernah menilai seseorang dari fisiknya. "Bon... Dennis suka apa sih?" tanya Renata. "Maksudnya?" "Dia suka makanan apa?" "Ehm... gue gak pernah nanya begituan sih ke dia." "Kalo warna kesukaannya?" Aku kembali berpikir. "Gue juga gak tau." "Oh, berarti lo gak sedekat itu sama dia. Kalo deket, harusnya tuh tau." Aku hanya menghela nafas kesal. Rasanya ingin membalas omongan Renata itu, tapi aku hanya bisa diam. Aku memang tidak tau jawaban-jawaban pertanyaan itu. Namun aku juga tidak bisa dibilang tidak dekat dengan Dennis. Kami cukup dekat, setidaknya sebagai teman. "Kita udah nyampe nih. Lo udah ngabarin Dennis? Dia udah dimana?" tanya Renata lagi. Aku menggelengkan kepala. Aku belum mengirimkan pesan ke Dennis sejak pagi. Namun aku yakin dia ingat akan janji hari ini. Dennis bukan tipe orang yang ingkar janji. Aku segera menelepon Dennis, sementara Renata menatapku tanpa berkedip. "Hai, Den. Lo dimana?" "Gue udah nyampe. Kita ketemuan langsung di bioskop aja ya," jawab Dennis. "Oke." Renata langsung menarik lengan bajuku dengan raut wajah penuh antusias. "Dia jawab apa, Bon?" "Dia udah nyampe. Kita disuruh langsung ke bioskop aja. Ketemuan di sana." "Asik! Akhirnya nonton bareng Dennis!" Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap Renata. Dia sudah sering nonton film dengan banyak pria. Aku tak paham kenapa dia begitu senang bisa menonton bersama Dennis. Sesuka itukah Renata pada Dennis? "Ayo keluar, Ren. Nanti Dennis kelamaan nunggu kita." Aku langsung keluar dari mobil setelah melihat Renata mengangguk setuju. Kami lalu berjalan masuk ke dalam mall dan segera menuju lantai 4, tempat dimana bioskop berada. Setelah sampai ke sana, kami langsung menemukan Dennis sudah berdiri di dekat pintu masuk sambil memainkan ponselnya. "Den...," sapaku. Dennis langsung menoleh ke arahku dan memasukan ponselnya ke dalam kantong. "Mau nonton apa kita?" tanya Dennis tanpa basa-basi. "Kenalan dulu dong sama temen gue, Den." Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah acuh Dennis itu. Padahal Renata sudah menyapanya dengan senyuman manis. "Hai Dennis! Kamu tau gue kan?" sapa Renata. Dennis membalasnya dengan senyuman. Namun aku bisa melihat bila dia tak menyapa Renata dengan hangat. Senyumnya terasa datar dan auranya begitu dingin.  "Kita langsung beli tiket aja ya. Kalian mau nonton apa?" tanya Dennis. "Horor! Aku mau nonton horor!" Renata langsung menjawabnya dengan penuh antusias. "Bonita gak bisa nonton horor. Dia penakut. Romance aja gimana? Itu Dino Prakoso abis ngeluarin film terbaru dan kata orang-orang tuh bagus. Gimana, Bon?" Aku mengangguk setuju. "Iya, gue denger-denger film itu memang bagus." "Baiklah. Kita nonton film itu." Renata tampak lesu dengan raut wajah pasrah. "Yaudah. Gue beli tiketnya ya," ucap Dennis. "Ini uangnya." Aku memberikan selembar uang seratus ribu ke Dennis. Namun dia menolak uangku. "Gue aja yang bayar," ujar Dennis. "Makasih Dennis!" seru Renata sambil tersenyum manis. "Oke. Kalian tunggu di sana aja." Dennis menunjuk ke arah sofa yang ada di dekat pintu. Aku mengajak Renata untuk duduk di sofa yang ditunjukan oleh Dennis itu. Sebenarnya aku keberatan Dennis menanggung semua biaya nonton hari ini. Aku bisa membayarnya sendiri, tanpa perlu membebaninya. Namun respon Renata membuatku tak memiliki kesempatan untuk membantahnya. Beberapa menit kemudian Dennis tampak menghampiri kami dengan tiga lembar tiket yang ada di tangannya. "Tiketnya udah gue beli. Filmnya udah jalan lima menit yang lalu. Yuk buruan," ajak Dennis. Aku berjalan bersama Renata di belakang Dennis. Kami mengikuti langkahnya hingga masuk ke dalam ruangan bioskop. Namun ketika sudah sampai di barisan tempat duduk kami, tiba-tiba Renata langsung mendahului dan mengambil posisi duduk tepat di sebelah Dennis. Aku hanya menghela nafas kesal. Kemudian duduk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Duduk diam dan pasrah dengan situasi tidak menyenangkan ini. Sepanjang film aku hanya fokus menonton. Berusaha mengabaikan tingkah Renata yang sibuk mencari perhatian Dennis. Aku pura-pura tak mendengar setiap kali Renata mengajak bicara Dennis dengan manis. Berusaha seolah tak melihat gestur Renata yang terus mencoba mendekati Dennis. Walaupun sesungguhnya itu sulit. Hati ini sebenarnya sakit. Namun harus aku tahan.  "Bon.. filmnya udah abis. Kita makan yuk," ajak Renata. Aku mengangguk setuju. Bila bisa memilih, aku ingin segera pulang saja sekarang. Ini bukanlah situasi yang menyenangkan untuk diriku. Namun aku harus bisa menyelesaikan hal ini hingga akhir. Aku berjalan keluar bersama Renata dan Dennis. Kini keberadaanku benar-benar seperti nyamuk saja diantara mereka. Renata sama sekali tak melibatkanku di dalam percakapan bersama  Dennis. Aku terus berjalan menuju restoran sambil pura-pura memainkan ponsel. Langkah kami terhenti ketika telah sampai ke sebuah restoran Jepang yang Renata inginkan. Kami memesan beberapa menu sushi, lalu duduk dan menunggu hingga hidangan datang. Renata duduk berhadapan denganku dengan Dennis yang duduk di sebelahnya. Dia lagi-lagi begitu agresif mendekati Dennis. "Den, sushinya udah dateng. Lo mau nyobain yang salmon gak?" Renata menyodorkan piring yang berisi sushi salmon ke hadapan Dennis. "Thanks. Bon, lo mau pesen lagi gak?" tanya Dennis. Aku menggelengkan kepala. "Ini udah cukup, Den." Aku tersenyum datar sambil mengunyah sushi. "Lo tadi suka filmnya?" tanya Dennis lagi. "Suka kok." Renata langsung menimpali ucapanku. "Gue juga suka! Apalagi adegan pas cowoknya nungguin ceweknya di tengah hujan. Aktingnya bagus banget." "Iya bagus memang," balas Dennis. "Den, kapan-kapan kita jalan yuk ke pantai," usul Renata. "Gue gak begitu suka pantai." Dennis menjawab tanpa menatap mata Renata. "Terus sukanya kemana?" tanya Renata, pantang menyerahh. Dennis mengambil sepotong sushi, mengunyahnya, lalu menatap Renata. "Gue sukanya di rumah aja." Renata tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arah Dennis. Kemudian menatapnya dengan lekat dan tersenyum. "Yaudah kalo gitu ajak aku ke rumah kamu dong." "Gak mau." Dennis tersenyum sinis, lalu memalingkan wajahnya dan fokus menyantap sushi miliknya. Renata mendengus kesal melihat sikap Dennis yang tampak tertutup dan acuh. Namun bukan Renata namanya bila dia pantang menyerah. Dia mulai mengambil sepotong sushi dan menaruhnya ke atas piring Dennis. "Ini buat kamu." "Thanks. Cuma gue bisa ambil sendiri kok," balas Dennis. "Gak papa. Aku cuma lagi baik aja." "Udah... udah... makan yang bener. Jangan ngomong mulu. Nanti keselek," ucapku. Selain seperti seekor nyamuk diantara mereka, kini aku berperan seperti wasit. Berusaha melerai ketika mereka tampak mulai tak akur. Aku kembali fokus menghabiskan makanan. Sesekali meneguk teh ocha ketika dahaga terasa haus, lalu melanjutkan makan. Aku berusaha mengabaikan semua usaha Renata untuk mendekati Dennis. Aku membiarkan dia terus membangun interaksi kedekatan ke orang yang ku sukai itu. "Balik yuk," ajakku. Semua makananku telah habis. Aku juga melihat Dennis dan Renata sudah selesai menyantap sushi milik mereka. Karena itu, aku berani mengajak mereka segera cabut dari restoran ini. "Ah Bonita! Tunggu makanannya turun dulu dong. Gue baru aja kelar makan," protes Renata. "Udah balik aja. Ini udah malam," timpal Dennis. Renata tampak merengut. "Malam apaan sih. Ini masih jam 5 sore." "Udah mau malam maksudnya. Anak cewek gak boleh pulang malam-malam." "Yaudah anterin aku pulang!" seru Renata. Dennis mengerutkan keningnya. "Dih. Lo kan dateng bareng Bonita. Kenapa pulang bareng gue?" "Soalnya... kost-an aku kan lebih searah dari kamu dibandingin sama Bonita. Jadi mending pulangnya sama kamu, Den." "Dih. Emang lo tau rumah gue dimana?" tanya Dennis. "Enggak. Aku cuma yakin aja. Rumah kamu pasti deketan sama kost-an aku." Renata mengedipkan matanya sambil tersenyum manja. "Yeeee." Dennis geleng-geleng kepala melihat tingkah ajaib Renata itu. "Yaudah, Den. Lo anter dia pulang aja. Lagian abis ini gue ada janji sama Mama. Jadi mau mampir dulu, gak langsung pulang." Aku lagi-lagi berusaha menengahi mereka. "Lo mau kemana emang?" tanya Dennis. "Ehm... Gue disuruh nyamperin Mama ke kantornya. Abis itu disuruh makan malem bareng," jawabku. "Oh gitu," ucap Dennis. "Nah! Kalo gitu anterin aku pulang!" Renata lagi-lagi bersikeras. "Lo kan bisa pesen ojek atau taksi online. Kenapa harus gue?" tolak Dennis. "Kalo diculik gimana?! Cewek cantik pulang sendirian tuh gak aman tau." Aku menghela nafas. "Dennis... anterin Renata pulang! Udah ributnya! Gue mau cabut ya. Kapan kelarnya kalo gue terus tontonin kalian berantem." "Yaudahlah. Lo hati-hati di jalan, Bon," ujar Dennis. Aku mengangguk. Kemudian Renata langsung berteriak kegirangan. Raut wajahnya menunjukan kepuasan karena berhasil membuat Dennis mengantarnya pulang. "Yeay! Hati-hati di jalan Bonita. Muach!" seru Renata sambil mengedipkan matanya. Aku tersenyum datar. Kemudian mengambil tas dan bergegas pergi dari restoran itu. Aku ingin segera menghilang dari jangkauan mata mereka. Rasanya seperti sedang melarikan diri dari situasi yang menyakitkan dan menyesakan. Tentu saja alasanku pergi tadi hanyalah sebuah kebohongan. Aku tidak memiliki janji apapun dengan Mamaku. Aku tak memiliki rencana setelah ini. Aku hanya ingin pergi. Menghindar dari Dennis dan Renata. Aku ingin menumpahkan kesakitan dan kesesakan ini. Meluapkannya lewat tangisan yang tak tertahan. Dan itu pasti tidak di depan mereka. Diam-diam, seperti kebiasaanku. Menangis tanpa terlihat. CONTINUED ******************** Hai guys! ^^ Akhirnya update lagi cerita ini. Vote dan komen dari kalian bikin aku tambah semangat lagi buat nulis dan terusin cerita ini. Makasih ya :) Aku tuh suka bingung mau nulis apa di author note hahaha Karna kalo nulis yaudah nulis. Gak pernah kepikiran berapa jumlah views atau ada yang baca apa enggak. Jadi pas mau nulis author note suka bingung mau ngomong apa sama pembaca. Namun aku bersyukur kalian masih baca dan ngikutin cerita ini. Makasih ya :) Menulis cerita ini juga menghibur dan mengisi hari-hariku. Karena tiu aku bersyukur kalo kalian juga terhibur dan ditemani dengan cerita ini. Peluk hangat buat kalian-kalian yang ngerasa ada kemiripan dengan Bonita :) Sampai jumpa di bab berikutnya! Salam, Penulis amatir yang sakit pinggangnya sudah sangat berkurang hahaha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN