ch. 4

1520 Kata
"Apalagi yang sedang kau rencanakan?" Lauda tengah duduk dengan memangku buku, namun matanya sejak tadi tidak terpaku pada buku itu.  Kepalanya menoleh, tersenyum pada istrinya yang berdiri di kejauhan, menatap Lauda dengan tatapan tajam. "Padahal kau melihat sendiri jika tidak ada yang aku lakukan saat ini. Aku hanya sedang berpikir, akankah nyawaku sampai hingga Arderl menikah dan memiliki keturunan?" Istrinya berdecih pelan. "Benar! Menang seharusnya hanya Arderl yang kau pikirkan, Kaisar Agung. Dia adalah Satu-satunya anakmu. Tidak akan ada yang lain, anak yang terlahir selain daripada aku yang melahirkan nya." Tersenyum kecil, Lauda menutup buku di pangkuan nya. Tatapan yang lembut pada istri yang dia cintai itu, tampak sedikit redup. "Pada akhirnya, kau membunuhnya?" tanyanya pelan. Istrinya, Axia, tersenyum sinis. "Bukan kah nasib wanita itu memang sudah ditentukan sejak dia nekat mengandung anak dari seorang Kaisar yang sudah memiliki Ratu?" "Tapi sudah kubilang bahwa itu bukan salahnya. Aku yang bersalah dan bukan kah sudah cukup dengan dia yang tidak meminta apapun dari kita?" "Hahahaha!"  Axia tertawa keras, berjalan mendekat ke arah Lauda yang masih duduk di kursinya. "Apakah Kaisar Agung berpikir demikian? Tapi sayangnya, aku tidak. Dia mengandung anak yang merupakan darah daging mu, sedangkan kau adalah orang tertinggi dan terkuat di Kerajaan ini. Bukan tidak mungkin jika suatu hari dia akan datang dan meminta banyak hal dengan menggunakan anaknya. Kau pasti lebih tahu daripada aku!" Lauda terdiam, kepalanya menunduk. Sudah tidak ada yang bisa dia lakukan. Bahkan sepertinya, istrinya itu sudah berhasil membunuh wanita itu dan juga telur anaknya yang bahkan masih belum menetas, sia-sia saja dia mengirim Loiz pergi kesana. "Baiklah. Lakukan apapun yang kau mau, Istriku. Aku telah bersalah sudah menyakiti dirimu, biar lah kematian dirinya juga menjadi dosa bagiku," kata Lauda pelan. Axia hanya menatap dingin pada suaminya. Tidak ada senyum seperti yang biasanya dia berikan pada lelaki yang diyakini menjadi satu-satunya orang paling hebat di Kerajaan ini. Pria yang dipilihkan oleh Ayahnya, yang membuat Axia harus memupus cintanya pada orang lain demi menjadi Ratu dari Negeri ini. "Jangan bertindak macam-macam, Lauda. Kau yang membawaku ke dalam sangkar emas ini, maka kau juga yang harus memastikan jika semua ini layak menjadi milikku dan anakku. Bukan orang lain." Setelah mengatakan hal itu, Axia berbalik badan, keluar dari kamar Lauda dengan langkah yang tergesa. Lauda bangun dari duduknya, berjalan ke arah jendela kamar yang langsung menatap keluar. Ada daun yang jatuh dari pohon yang amat disayanginya, seakan itu adalah tanda bahwa wanita itu benar-benar sudah gugur. Dia menunduk, merasa bersalah karena tidak bisa melindungi dan menyelamatkan wanita itu beserta bayinya yang bahkan belum menetas. Dia yang seorang Raja tidak dapat melakukan apapun di bawah kuasa Axia yang merupakan wanita yang sudah dia cintai sejak dulu. Andai saja malam itu dia tidak melakukan kesalahan, maka tidak akan ada nyawa yang hilang pada hari ini akibat kekhawatiran istrinya yang tidak berdasar. Ketika Lauda hendak berbalik badan, sosok Loiz justru muncul dengan jubah hitam yang menutupi seluruh wajahnya. "Wanita itu dan kakaknya sudah tewas, Yang Mulai." Lauda menghela napas berat kemudian mengangguk. "Aku tahu," balasnya. "Namun bayi Yang Mulia masih bisa diselamatkan. Saya sudah membawanya ke tempat aman." * Tengah malam, meninggalkan istana yang harusnya memeluk tubuhnya erat di tengah malam yang dingin karena hujan turun dengan deras, Lauda dengan mengenakan jubah hitam lusuh, berpergian bersama dengan Loiz tanpa sepengetahuan siapapun. Dia meninggalkan 'jiwa' nya di atas tempat tidur, hingga jika seseorang dalam keadaan mendesak datang mencarinya, akan langsung mengira jika yang tertidur di atas tempat tidurnya adalah Lauda. Lauda sudah merencanakan semuanya sejak siang. Sejak dia mendengar kabar bahwa anaknya masih hidup, telur yang dilahirkan oleh wanita itu berhasil diselamatkan sebelum terlambat. Maka tanpa berpikir panjang, Lauda langsung meminta Loiz menemaninya melihat telur itu. "Apakah tadi siang tidak ada yang terjadi?" tanya Loiz. Lauda menoleh ke arah orang kepercayaan nya itu. "Hanya dia yang akhirnya mengaku bahwa sudah membunuh wanita itu," balas Lauda. Loiz menunduk. "Maafkan saya yang tidak bisa sampai tepat waktu dan membuat wanita itu kehilangan nyawanya, Yang Mulia." Memandang ke arah luar kereta kuda usang yang dia tumpangi, Lauda hanya bisa tersenyum tipis sembari memandang bulan yang bersinar terang dan bulat sempurna. "Ini memang sudah takdirnya. Aku bahkan merasa takjub karena telur itu tidak berhasil mereka lenyapkan." "Sepertinya, wanita itu dan juga kakaknya berusaha keras untuk menjaga telur itu hingga napas terakhir mereka. Karena keduanya ditemukan meninggal di dekat telur itu diletakkan." Memejamkan mata, Lauda semakin dilanda rasa bersalah. Harusnya sejak awal dia bisa menyembunyikan dengan sempurna kesalahan yang sudah dia perbuat, harusnya dia tidak membiarkan istrinya mengetahui hal itu. Bukan hanya kehilangan nyawa wanita itu saja, namun hubungannya dengan Axia juga menjadi kacau semenjak kejadian ini. "Sudah sepatutnya dia melindungi darah dagingnya sendiri, walaupun dia harus kehilangan nyawa karenanya," gumam Lauda. Hutan yang sejak tadi menjadi latar perjalanan mereka mulai habis, tergantikan dengan deretan rumah-rumah gubuk yang memenuhi seisi jalan. Lauda menoleh dengan kening berkerut. "Aku baru tahu jika ada desa seperti ini di wilayahku," katanya pada Loiz. Loiz mengangguk takzm. "Ini adalah desa tempat hamba di besarkan dulu sebelum kemudian di jual ke pasar gelap oleh seorang pria yang mengaku sebagai prajurit Istana. Tempat ini adalah tempat yang paling nyaman untuk ditinggali, dan saya sudah menitipkan Pangeran pada salah seorang yang saya kenal dengan baik disini." Terdiam, Lauda kemudian mengulas senyum tipis. "Pangeran," gumamnya. mendengar hal itu, Loiz langsung buru-buru menundukkan kepalanya dengan dalam. "Maafkan hamba jika hamba salah bicara, Yang Mulia." Tapi Lauda justru menggeleng, matanya mengamati bagaimana desa itu terasa begitu tenang. Bahkan angin hanya terasa sesekali saat Lauda membelah jalan dengan kudanya. "Kau tidak salah. Bagaimana pun dia adalah anakku dan itu berarti dia juga seorang Pangeran. Hanya saja...dia terlahir dari seorang Naga putih, mungkin dia akan tumbuh besar menjadi Naga perak." Beberapa saat setelahnya, kereta yang Lauda tumpangi benar-benar berhenti di rumah yang berada paling ujung. Letaknya cukup berjauhan dengan rumah-rumah yang lainnya, memuat gubuk itu terlihat menyeramkan jika hanya dilihat sekilas saja. "Kita sudah sampai, Yang Mulia!" Lauda dengan hati-hati turun dari kereta kuda. Tangannya merapatkan jubah yang dia kenakan, sebelum kemudian mengikuti Loiz yang lebih dulu berjalan ke arah pintu, mengetuknya dengan pelan. Seorang wanita tua keluar dari rumah, berjalan terbungkuk dan menyipitkan mata untuk melihat siapa tamu yang datang di tengah malam seperti ini. Segera Loiz menurunkan penutup kepalanya, membuat wanita itu langsung tersenyum lebar dan mempersilahkan Loiz beserta Lauda masuk ke dalam. "Dimana telur itu, Nek?" tanya Loiz langsung. Si wanita tua langsung berjalan lebih masuk ke dalam rumahnya, menuruni tangga dari kayu untuk kemudian sampai di bagian belakang rumah yang lapang. Telur itu diletakkan oleh si wanita tua di atas sebuah tempat tidur kecil. "Beberapa saat yang lalu telur ini bergerak, tapi setelah itu menjadi diam. Sejak kau mengatakan bahwa kemungkinan telur ini akan menetas lebih awal, aku selalu memeriksanya setiap saat untuk memastikan keadaannya. Sekarang dia cukup tenang." Loiz menoleh kepada Lauda yang berdiri di belakangnya. Membuat si wanita tua ikut memperhatikan sosok asing yang hingga saat ini tidak kunjung membuka penutup kepalanya. "Apakah dia adalah ayah dari telur ini?" tanya si wanita tua. Mata Loiz membulat. Dia memang tidak mengatakan kebenaran jika telur itu adalah keturunan dari Sang Kaisar, hanya saja dia jadi sangat terkejut mendengar ada seseorang yang berbicara tidak sopan di depan Kaisar selain anggota Kerajaan. Belum sempat Loiz menyanggah ucapan wanita tua itu, Lauda sudah lebih dulu melangkah maju. Lauda mengangguk tanpa melepaskan penutup kepala yang dikenakannya. "Saya adalah ayah dari telur ini. Namun ada satu dan beberapa hal sehingga saya tidak bisa membesarkannya sendiri. Maka dari itu, jika Nenek tidak keberatan, saya ingin meminta tolong agar Nenek mau membesarkan anak saya hingga dia dewasa dengan aman. Untuk masalah uang, saya akan--" Tiba-tiba saja Nenek itu tertawa, kepalanya menggeleng berulang kali. "Sepertinya Loiz belum menceritakan siapa aku sebenarnya," ujarnya yang membuat Lauda menatap ke arah Loiz yang menunduk. "Aku tidak keberatan untuk membesarkan berapa banyak telur pun, karena aku memang hidup sebatang kara. Dan aku juga tidak membutuhkan uang darimu hanya untuk membesarkan satu orang anak, karena harta yang aku punya bahkan mungkin mendekati kekayaan yang dimiliki oleh Sang Kaisar Agung." Mendengar hal itu, Loiz langsung terbatuk. Dia memelototi si wanita tua, namun wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Lauda tersenyum, menepuk pundak pengawal setianya itu sambil menggelengkan kepala. Dia baru saja hendak mengatakan jika semuanya baik-baik saja, saat kemudian mendengar pekikan dari si wanita tua di depannya. Dia segera menoleh ke depan, matanya membulat melihat telur itu mulai bergerak secara tidak beraturan. "Dia akan menetas!" seru si wanita tua. Jantung Lauda menjadi berdetak lebih kencang, bagaimana pun ini adalah anaknya. Yang entah akan tumbuh seperti apa. Perlahan bagian dari telur itu mulai retak hingga kemudian pecah. Lalu setelahnya muncul seorang bayi dari dalam telur. Bayi itu benar-benar mirip dengan bayi manusia karena memang seperti itu lah awal mula bayi Naga. Lauda mendekat, menunduk untuk dapat mengangkat tubuh kecil anaknya. Bahkan anak itu tidak menangis, tubuhnya hanya menggeliat kecil dengan mata yang terpejam. Senyum terbit di wajah Lauda, membuat Loiz ikut tersenyum karenanya. "Sidra," gumam Lauda.  Dia menoleh ke arah Loiz yang berjalan mendekat padanya. "Apa yang Yang Mulia katakan?" tanya Loiz berbisik. "Sidra. Nama anakku adalah Sidra." __
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN