"Tolong jaga baik-baik, Nek. Saya akan sering datang kesini untuk ke depannya."
Sudah hampir meninggalkan rumah gubuk itu, namun Lauda tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi manis yang saat ini berada di dalam gendongan si wanita tua.
Wanita tua itu bernama Sieana, menurut yang Lauda dengar sekilas dari Loiz bahwa wanita tua ini adalah seorang pemilik tempat perjudian yang ada di pusat kota. Hanya saja selama ini identitas nya sengaja dirahasiakan demi keselamatan hidupnya dan diganti dengan identitas cucu tertuanya yang dianggap paling kuat hingga tidak ada yang berani berbuat ulah.
"Tidak masalah. Lagipula anak ini sangat manis hingga aku sendiri ingin mengakuinya sebagai anakku," balas Sieana dengan kikikan pelan.
Lauda tersenyum kecil, kembali memperhatikan bagaimana mata kecil itu terkadang terbuka namu kemudian tertutup kembali.
Dia mengingat saat Arderl, anak pertamanya baru lahir. Arderl memiliki tangisan yang keras hingga membuat semua orang takjub. Namun bayi nya yang saat ini justru lebih banyak diam, tangisannya sangat lirih namun tubuhnya seakan tidak bisa diam.
"Saya mohon, lakukan juga upacara untuk nya saat dia menginjak tingkat satu. Aku akan memberikan uang sebanyak yang Nenek mau," pinta Lauda.
Dia hanya ingin anaknya tumbuh seperti anak yang lain, yang juga merayakan hari tingkat satu mereka. Dimana anak Naga akan mulai terlihat akan tumbuh sebagai Naga jenis apa di saat usia tingkat satu mereka.
Kembali, Sieana tertawa.
"Sudah aku bilang, aku tidak mengkhawatirkan tentang uang. Aku akan membuat dia tumbuh seperti anak pada umumnya. Dia akan menjadi anak yang bahagia."
Mendapatkan jawaban yang seperti itu membuat Lauda merasa lega. Dia menunduk, memberikan satu kecupan di kening anak bayinya.
"Tumbuhlah menjadi hebat, Nak."
Lalu tubuhnya berbalik dan menaiki kereta kuda yang di dalamnya sudah ada Loiz.
Lauda duduk tenang di dalam kereta, matanya mulai meninggalkan tubuh kecil anaknya yang kemudian dibawa masuk ke dalam gubuk itu kembali.
"Besar kemungkinan dia akan tumbuh sebagai perak, Yang Mulia," ujar Loiz.
Kepala Lauda mengangguk.
"Tidak masalah asalkan dia bisa tetap hidup tanpa diketahui siapapun bahwa dia adalah anakku. Karena kalau sampai dia ditemukan sebagai anakku, dia tidak akan selamat seperti ibunya."
Bunyi pijakan kuda yang berbenturan dengan tanah terasa teredam kala angin besar menerpa. Kereta yang ditumpangi oleh Lauda bergerak pelan, membuat Lauda menoleh ke depan namun langsung dicegah oleh Loiz.
"Tolong tetap di dalam kereta, Yang Mulia. Sepertinya ini adalah ulah para perompak yang sering saya dengar belakangan ini. Mereka memang menghadang kereta asing untuk mereka ambil hartanya dan mereka bunuh orangnya."
Mendengar ucapan Loiz, Lauda hanya bisa mengangguk pelan.
"Berhati-hatilah!"
Lalu sedetik kemudian Loiz terbang keluar.
Lauda hanya diam, tidak nampak penasaran sama sekali dengan apa yang dilakukan oleh pengawal setianya di luar kereta.
Dia percaya bahwa Loiz lebih dari mampu untuk mengatasi hal yang seperti itu. dan kepercayaannya itu terbukti saat beberapa menit kemudian, Loiz sudah kembali masuk ke dalam kereta tanpa terluka sedikit pun.
"Saya sudah mengikatnya dan sudah mengirimkan sinyal pada warga sekitar. Kemungkinan tidak lama lagi mereka akan menemukan para perompak itu dan melaporkannya ke pihak Istana."
Tersenyum, Lauda merasa puas dengan kinerja Loiz yang tidak pernah mengecewakan.
"Kerja bagus, Loiz. Kau selalu bisa melakukan yang terbaik tanpa menunggu perintahku."
*
Sesuai dengan yang dikatakan oleh Loiz, laporan tentang perompak itu sudah Lauda dapatkan di pagi harinya.
Di tengah acara temu dengan para pejabat istana, prajurit membawa mereka masuk dan melemparkannya di hadapan Lauda.
"Sebutkan kejahatannya," titah Lauda tenang dari singgasananya.
Seorang prajurit membuka gulungan kertas, membacakan tentang kejahatan apa saja yang sudah dilakukan oleh para perompak itu.
Yang membuat Lauda terkejut adalah bahwa mereka sudah beroperasi selama bertahun-tahun namun baru bisa tertangkap saat ini, saat tanpa sengaja bertemu dengan Lauda dan Loiz di jalan.
Lauda beranggapan bahwa ada seseorang yang memiliki jabatan tinggi di balik mereka. Karena menurut laporan, ini bukan pertama kalinya mereka tertangkap namun kemudian bisa berhasil keluar berulang kali.
"Masukkan ke penjara dan jangan lakukan apapun sebelum ada perintah diriku selanjutnya," kata Lauda menjatuhkan putusan.
Orang-orang itu dibawa kembali keluar dari ruang pertemuan.
Lalu Lauda bangun dari duduknya, mengibaskan jubah Kerajaan yang dia kenakan lalu berjalan keluar dari ruang pertemuan.
Di perjalanan menuju ke peristirahatan nya, langkah Lauda terhenti saat seorang anak kecil berusia lima tahun berlari dari arah berlawanan sambil merentangkan tangan.
Anak itu berteriak Ayah berulang kali, membuat Lauda tersenyum kecil dan bersiap mengangkat tubuh kecilnya itu.
"Dimana pengasuh mu?" tanya Lauda.
Bocah kecil itu hanya menyengir lebar sambil mengalungkan tangannya di leher Lauda.
"Dia sedang berlari mengejar ku, Ayah," balas bocah itu.
Bocah itu adalah Arderl, anak pertama dan satu-satunya yang Lauda miliki. Setidaknya itu lah yang diketahui oleh orang lain.
Istri Lauda, Axia mengalami keguguran setelah kehamilan pertamanya sehingga dia tidak bisa lagi mengandung atau melahirkan anak. Para pejabat meminta agar Lauda mengangkat beberapa selir atau bahkan permaisuri, namun Lauda menolak semua itu karena dia hanya mencintainya istrinya. Dan dia tidak ingin membuat Axia merasa kesulitan jika harus ada selir atau bahkan Permaisuri di istana ini.
"Jangan terbiasa berlarian sendiri seperti itu. Itu hal yang bahaya untukmu," tegur Lauda.
Arderl menunduk dengan wajah masam.
"Aku tahu. Aku minta maaf, Ayah."
"Beliau adalah seorang Kaisar Agung di Kerajaan ini. Bersikap lah dengan lebih pantas, Pangeran!"
Sebuah suara yang tenang namun terasa menakutkan itu membuat Lauda dan Arderl yang masih ada dalam gendongannya menoleh.
Buru-buru anak itu meminta untuk diturunkan. Wajahnya terlihat ketakutan, lalu kemudian lekas menunduk di hadapan sang Ayah.
"Hormat hamba, Yang Mulia Kaisar Agung!" ucap Arderl dengan logat yang masih berantakan dan beberapa kata terdengar kurang jelas.
Lauda hanya mengangguk, matanya menatap pada Sang Istri yang juga memberikan penghormatan yang sama seperti yang dilakukan oleh Arderl.
"Dia masih kecil, Ratu. Jangan terlalu keras padanya," kata Lauda lembut.
Namun tatapan tegas istrinya itu tidak berubah. Walaupun kepalanya menunduk, namun tatapannya masih tidak surut.
"Justru karena Pangeran masih kecil, saya harus memastikan dia tumbuh dengan baik dan patuh kepada orang yang seharusnya. Itu lah alasan dia dilahirkan, Yang Mulia."
Tidak ingin berdebat di depan para pengawalnya, Lauda akhirnya hanya menghela napas pelan.
Dia mengulurkan tangan pada anaknya, membuat Arderl dengan takut-takut lebih dulu menoleh pada sang Ibu sebelum menyambut tangan Ayahnya.
"Mari ikut Ayah, Pangeran," ajak Lauda.
Arderl kecil mengangguk, berjalan dengan memegangi tangan besar dan kokoh Ayahnya.
Sepanjang perjalanan, Lauda kerap kali melirik pada Axia. Dia yakin bahwa istrinya sudah mengetahui perihal pembunuh bayaran yang dikirimkannya sudah dalam keadaan tidak bernyawa bersama dengan mayat wanita itu dan juga Kakaknya.
Lauda menebak, itu lah alasan Axia menemui dirinya di pagi hari dimana seharusnya Axia sibuk dengan acara Perjamuan ataupun acara minum teh yang biasa diselenggarakan nya bersama dengan istri-istri pejabat Kerajaan.
"Apa ada yang mengganggu mu, Istriku?" tanya Lauda.
Kepala Axia menoleh padanya, senyum lembut itu terbit membuat Lauda tahu bahwa tebakannya adalah benar.
"Apakah kau menyelematkan anak itu?" tanya Axia begitu pintu tempat peristirahatan Lauda tertutup.
Lauda tidak langsung menjawab, dia meminta agar Arderl naik ke atas tempat tidur dan bermain di sana. Sedangkan dia dan juga istrinya, duduk di dekat jendela dengan saling berhadapan.
"Aku bahkan tidak sempat melakukan apapun saat aku dengar kau mengirimkan orang-orang mu untuk melenyapkannya," balas Lauda tenang. Dia menghela napas kian berat, menatap lurus pada istrinya. "Apakah pertanyaan mu itu berarti, anak itu selamat?" tanya dengan nada yang dibuat tinggi.
Axia membuang muka, menatap ke arah taman yang dapat terlihat dari dalam kamar Lauda.
"Tidak. Dia mati bersama dengan Ibunya. Aku hanya bertanya karena aku pikir, Yang Mulia sengaja mengirimkan seseorang untuk menyelamatkan mereka."
Mengulurkan tangan, Lauda hendak menyentuh tangan istrinya saat Axia dengan sengaja menarik tangannya sendiri.
"Kenapa kau masih begitu khawatir? Bukankah kau sudah melakukan apa yang ingin kau lakukan? Kau langsung mengirimkan seseorang untuk membuat wanita itu meminum racun. Kau juga bahkan langsung membunuh dia, lalu apa lagi yang membuat kau merasa khawatir?"
Tatapan Axia tertuju pada Arderl yang sedang asik menyantap cemilan di atas tempat tidur. Senyum miris itu terbit di wajah wanita cantik yang disegani sepenjuru istana.
"Tentu saja banyak yang aku khawatirkan, Yang Mulia. Bagaimana pun aku hanya lah seorang wanita yang tidak akan bisa lagi mengandung. Alangkah lebih baik jika Yang Mulia mengambil seseorang untuk menjadi selir dari kalangan bangsawan daripada menghamili seorang wanita dari rakyat jelata."
Mata Lauda melotot.
"Aku sudah bilang bahwa aku tidak sengaja! Kenapa kau masih terus membahas nya? Sedangkan Aku sudah menolak semua pernikahan yang disodorkan padaku karena aku tidak ingin menyakiti dirimu. Aku bahkan...membiarkan kau membunuh wanita itu tanpa mencoba menghentikannya. Apalagi yang salah dariku, Axia? Kenapa kau selalu saja menganggap semua yang aku lakukan salah?"
Tanpa disadari, nada bicara Lauda meninggi. Dia lekas menoleh ke arah anaknya, Arderl tampak terkejut seperti yang dia duga.
Tidak memperdulikan Axia yang masih duduk dengan tenang, Lauda berjalan mendekat ke arah anaknya.
"Apakah Ayah membuatmu terkejut?" tanya Lauda lembut.
Anak itu mengangguk dengan tatapan takut.
Lauda tersenyum, mengusap kepala anaknya dengan sayang kemudian.
"Tidak apa-apa. Ayah tidak sedang bertengkar dengan Ibu. Tolong jangan dipikirkan," kata Lauda menenangkan.
Dia lekas mengangkat tubuh kecil anak itu, membawanya ke arah pintu untuk meninggalkan ruangan itu.
Lauda membiarkan Axia tetap berada di kamarnya, menganggap bahwa wanita itu tidak ada. Karena jika dia kembali berhadapan dengan istrinya, dia hanya akan kehilangan kontrol atas dirinya dan membuat pertengkaran baru di antara mereka.
Suara pintu tertutup menjadi akhir dari pembicaraan mereka yang selalu berujung dengan pertengkaran setiap kali terjadi. Dan Lauda lebih memilih untuk menghindari situasi itu.
__