4. Pertanda Apa?

1338 Kata
“Cakra!!!” panggil Vega saat melihat Cakra berjalan melintasi meja kerjanya. “Ada apa?” Merasa dipanggil Cakra pun menghentikan langkahnya. “Gue boleh minta tolong nggak?” “Minta tolong apa?” “Ini ada berkas yang harus ditanda tangani pak Nolan. Gue minta tolong mintain tanda tangannya.” “Kenapa nggak minta sendiri? Pak Nolan ada di ruangannya kok.” “Eeemmm… Anu… Tiba-tiba perut aku mules nih.” Cakra menatap tajam Vega, yang menurutnya seperti ada yang aneh. “Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” “Gue curiga.” “Curiga apaan?” “Lo suka sama pak Nolan ya?” Uhukk… uhukkk… “Ngomong apaan sih lo. Ngaco. Ya udah gue mau ke toilet dulu. Udah nggak betah nih. Jangan lupa maintain tanda tangannya.” Vega pun segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju toilet, meninggalkan Cakra yang masih merasa kebingungan sendiri. Saat melangkah menuju ke ruangan Nolan pun, Cakra masih berpikir keras. Dia merasa kalau akhir-akhir ini temannya itu bersikap aneh, dan seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi saat ditanya, ia tak pernah menjawab semua rasa penasaran Cakra. “Vega minta tanda tangan boss.” Cakra menyerahkan berkasnya kepada Nolan. “Kenapa lo yang bawa kesini?” “Nggak tahu tuh. Tadi katanya perutnya mules.” “Ouhhh…” “Apa ada sesuatu yang terjadi antara Vega dan boss yang tidak gue ketahui?” “Maksud lo?” “Gue lihat akhir-akhir ini sikap Vega aneh. Dia seperti enggan bertemu sama lo.” “Ya mana gue tahu. Kalau gue nggak punya masalah apa-apa sama dia. Kenapa nggak lo tanya sendiri aja sama orangnya.” “Apa jangan-jangan emang bener dugaan due?” “Dugaan apaan?” “Kalau Vega suka sama boss.” “Wanita mana sih yang nggak suka sama gue. Secara gue luar biasa tampan. Tak kalah sama para pria dari negeri gingseng. Banyak uang pula.” Cakra menghembuskan nafas malas mendengar Nolan yang mulai menyombongkan dirinya. Beberapa hari ini, semenjak kejadian malam itu, Vega berusaha sebisa mungkin untuk menghindari bertatap muka langsung dengan Nolan. Jika tidak hal yang benar-benar penting. Saat tak sengaja berpapasan pun, Vega hanya menundukkan kepalanya. Entah kenapa, saat menatap Nolan, Vega akan kembali teringat akan kejadian malam itu. Saat ini Vega sedang berusaha untuk melupakannya. Oleh sebab itu, Vega berusaha untuk mengupayakan sekecil mungkin interaksi dengan Nolan. Berbeda dengan Nolan, dia bersikap seperti biasanya, dingin dan kaku. Dia juga tak mempedulikan sikap Vega. Bahkan ia pun juga tak menyadari perubahan sikap Vega terhadapnya. ***** Tepat pukul enam pagi Vega membuka matanya, tapi ia tak kuat beranjak dari tempat tidurnya. Tubuhnya menggigil. Badannya terasa lemas. Ia pun mengambil ponsel untuk menghubungi Cakra dan memberitahu bahwa hari ini ia tak bisa berangkat bekerja. “Apa perlu gue ke kosan lo?” “Nggak usah. Gue cuman butuh istirahat, minum obat, nanti juga sembuh.” “Ya udah kalau begitu. Kalau ada apa-apa segera hubungi gue.” “Iya. Terima kasih.” Setelah mematikan telponnya, Vega kembali berbaring dan menarik selimutnya untuk menutupi seluruh tubuhnya yang terasa kedinginan. Vega tertidur kembali, hingga suara ketukan pintu membangunkannya. Seorang ojek online mengantarkan pesanan bubur yang telah ia pesan melalui aplikasi online. Karena perutnya juga belum terisi oleh makanan apapun sejak kemarin sore. Dan sebelum meminum obat pun, harus makan terlebih dahulu. Namun baru beberapa suapan bubur ia telan, Vega merasa perutnya bergejolak tak karuan. Makanan yang telah ia telan, seperti ingin keluar lagi. Vega pun segera berlari menuju ke kamar mandi. Dan benar saja, bubur yang masuk ke dalam perutnya, kini telah keluar semua. Tubuh Vega semakin lemas. Akhirnya ia menghubungi adiknya, Lukas. “Ada apa kak?” “Lo lagi dimana?” tanya Vega dengan suara lemas. “Ini lagi di kelas. Ada kuliah,” jawab Lukas dengan suara bisik-bisik. “Ada kuliah kenapa malah ngangkat telpon?” “Gue pikir ada sesuatu yang penting.” “Ya sudah kalau begitu.” “Tunggu dulu! Kenapa dengan suara lo? Kenapa kedengeran lemes gitu? Lo baik-baik aja kan?” “Nggak papa. Nanti aja gue hubungin lagi. Lo sekarang kuliah yang bener dulu.” Vega pun mematikan telponnya. Lalu kembali berbaring ke tempat tidur. Sebenarnya ia menelpon adiknya untuk memintanya datang dan mengantarkannya pergi periksa. Karena ia merasa sudah tak tahan lagi. Vega terbangun dan kaget, saat merasakan ada yang menyentuh dahinya. “Lukas?” “Badan lo panas banget kak.” “Iya. Kayaknya gue sakit.” “Ini bukan kayaknya lagi. Tapi emang lo sakit.” “Kapan lo dateng?” “Barusan.” “Terus kuliah lo?” “Gue ijin. Gue kepikiran terus denger suara lo tadi.” “Kok lo bisa masuk?” “Pintu lo nggak di kunci. Sembrono banget. Untung gue yang masuk. Kalau ada orang jahat gimana? Udah minum obat belum?” “Belum. Tadi gue makan bubur, malah buburnya keluar lagi.” “Ya udah ayo kita periksa. Masih kuat jalan kan?” “Masih.” “Masih bisa naik motor kan? Apa perlu kita pesen taksi online.” “Nggak usah. Kita naik motor aja.” Akhirnya Lukas mengantarkan Vega untuk periksa di klinik terdekat. Setelah diperiksa dan mendapatkan obat, tak lupa Vega pun juga meminta surat dokter untuk ijin kerja, mereka pun pergi. Lukas membawa Vega pergi ke rumah makan. “Makan dulu, baru minum obat. Berarti dari pagi perut lo belum ke isi apa-apa kan?” “Iya.” Mereka telah memesan makanan dan minuman. Vega memesan sop daging, karena ia ingin makan yang berkuah. Namun baru beberapa sendok ia makan, perutnya kembali bergejolak dan mual. Dengan segera Vega pun berlari ke kamar mandi. Semua makanan yang ia telan pun, kembali keluar. Lukas yang merasa khawatir, segera menyusul Vega ke kamar mandi. Namun ia menunggu di luar. Lukas mendengar Vega yang muntah-muntah. “Lo nggak papa?” tanya Lukas saat Vega kelua dari kamar mandi. “Iya nggak papa.” “Apa mau rawat inap aja? Muka lo udah pucet banget gitu. Serem banget.” “Nggak usah. Kita pulang aja.” “Ya udah kalau gitu.” Lukas pun membawa Vega pulang. Selama perjalanan kepala Vega hanya bisa bersadar di punggung Lukas, saking lemasnya. Tiba-tiba Vega menyadari bahwa jalan yang mereka lalui bukanlah jalan menuju ke kosannya. “Kita mau kemana?” “Katanya pulang.” “Maksudku pulang ke kos. Bukan ke rumah.” “Kita pulang ke rumah aja. Di kos, nanti nggak ngerawat lo. Kalau di rumah kan ada mama.” “Tapi gue nggak mau buat mama khawatir.” “Justru kalau lo sakit dan di kos sendirian malah bikin khawatir kita semua.” “Hem…” Akhirnya Vega dan Lukas pun telah sampai di rumah orang tua mereka. Betapa terkejutnya dan khawatirnya mama Mira saat melihat anak perempuannya sangat pucat. “Apa yang terjadi?” “Kak Vega sakit ma. Tadi udah periksa. Tapi belum diminum obatnya. Karena setiap makan ia muntah,” jawab Lukas. “Ya sudah mama buatin teh hangat dan roti buat kamu minum obat ya.” “Iya ma terima kasih.” **** Sore harinya, Vega terbangun dan merasa lebih enakan setelah tidur dan minum obat. Tubuhnya sudah tak mengigil dan suhu badannya sudah tak panas lagi. Namun anehnya,ia masih merasakan mual di perutnya. Vega pun membuka kalender menstruasinya di ponsel. Vega baru menyadari bahwa bulan ini ia sama sekali belum datang bulan. Vega keluar kamar dan menyapa kedua orang tuanya, dan juga adiknya yang sedang duduk bersantai sambil menonton TV. “Gimana keadaanmu Ve?” tanya mama Mira. “Udah mendiangan ma. Lukas, gue pinjem kunci motor lo sebentar.” “Mau kemana?” “Mau beli sesuatu.” “Ya udah gue anterin. Lo kan lagi sakit.” “Nggak usah. Cuman deket sini. Bentar doang kok.” “Iya. Kamu kan masih sakit. Mau kemana? Biar dianterin sama Lukas,” sahut papa Andri. “Vega sudah mendingan kok pa. Cuman sebentar doang kok.” “Tuh kunci motornya ngegantung di gantungan deket pintu kamar gue.” “Oke.” “Hati-hati.” TBC *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN