“Jangan lupa nanti malam kamu harus datang!”
“Sudah berapa kali Nolan bilang pada kakek, kalau Nolan tidak mau.”
“Ini perintah! Bukan permintaan.”
Tanpa menjawab, Nolan langsung pergi menuju ke kamarnya begitu saja. Ia lagi tak ingin berdebat dengan kakeknya, Brama Geosfrey, pemilik perusahaan Geosfrey company, yang kini dikelola oleh Nolan. Beberapa hari ini Nolan dan kakeknya sering berdebat soal perjodohan yang direncanakan oleh kakeknya. Namun kali ini Nolan tak mau meladeninya, karena merasa sangat lelah setelah pulang bekerja. Lagipula seberapa kalipun mereka berdebat Nolan tetap akan pada pendiriannya.
Saat Nolan sedang duduk di tepi ranjang, sambil memainkan ponselnya, sang mama yang bernama Helen, memasuki kamar Nolan, dan duduk di sebelah Nolan.
“Mama jangan mencoba untuk membujukku. Itu tidak akan mempan,” ucap Nolan yang mengetahui niat kedatangan mamanya.
“Kenapa tidak kamu turuti saja perintah kakekmu? Lagian umurmu juga sudah tidak muda lagi.”
“Memangnya ada yang salah dengan umurku ma?”
“Diumur kamu yang sekarang ini, seharusnya kamu sudah memiliki pasangan hidup.”
“Memangnya siapa yang mengharuskan? Mama kan tahu sendiri aku tidak suka dengan pernikahan. Aku tidak mau terikat dengan siapapun. Menurutku pernikahan hanya akan membuat hidup kita terbebani. Terlalu banyak sandiwara dan kepalsuan dalam sebuah pernikahan. Lagian aku sudah bahagia dan nyaman dengan hidupku yang sekarang.”
“Tidak Nolan. Kamu salah. Kebahagian kamu saat ini hanya kebahagian semu. Suatu saat nanti kamu pasti akan merasa kesepian.”
“Aku memiliki mama dan kakek.”
“Mama dan kakek tidak bisa selamanya di sampingmu dan selalu bersamamu.”
“Apa mama juga merasa kesepian?”
“Dulu mama memang berpikir seperti dirimu. Meskipun papamu meninggalkan kita dan memilih wanita lain, mama tidak pernah mau menikah lagi. Selain trauma, karena mama sudah merasa bahagia memiliki kamu di dalam hidup mama. Tapi sekarang kamu sudah dewasa. Kamu sudah memiliki duniamu sendiri. Jadi sekarang terkadang mama merasa kesepian.”
“Maafkan Nolan ma. Jika mama ingin menikah lagi, Nolan boleh kok. Asalkan pria itu baik dan bisa membahagiakan mama.”
“Loh kok jadi mama yang disuruh menikah. Tidak Nolan. Mama sudah tua. Mama sudah tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tapi justru kamu yang harus menikah. Kasih mama cucu, agar mama tak merasa kesepian lagi.”
“Tidak bisa ma. Nolan masih tetap pada pendirian Nolan.”
“Dasar keras kepala kamu, sama saja seperti kakekmu. Ya sudah kalau kamu memang tidak mau menikah. Setidaknya kamu temui dulu wanita itu. Siapa tahu hatimu bisa terbuka setelah menemui wanita itu.”
“Itu tidak akan mungkin. Jadi lebih baik sama sekali tak menemuinya, daripada nanti akan melukainya.”
“Justru jika kamu sama sekali tidak mau menemuinya, kamu akan melukai perasaan dan juga harga dirinya. Kamu sudah berulang kali menolak untuk bertemu dengannya, tapi dia masih mau untuk menemuimu. Jadi mama mohon turuti sekali ini saja permintaan kakekmu. Mama pusing melihat kalian bertengkar terus dan saling keras kepala.”
“Sekali? Selama ini Nolan sudah menuruti semua perintah kakek ma. Bahkan selalu. Selama ini hidup Nolan selalu diatur oleh kakek. Tapi soal pernikahan, Nolan tidak bisa. Itu masalah kehidupan pribadi Nolan sendiri.”
“Mama tidak memaksa kamu untuk menerima perjodohan ini, dan menikah. Mama hanya mau kamu menemui wanita itu saja. Sekarang mama yang meminta padamu, bukan kakek. Apa kamu masih tidak mau memenuhinya?”
Nolan pun menghela nafas panjangnya. “Baiklah. Tapi hanya bertemu. Tidak untuk menikah.”
“Iya.”
“Ya sudah karena mama yang minta. Nolan bersedia menemuinya.”
“Terima kasih sayang. Ya sudah mama keluar dulu.”
“Iya ma.”
Setelah mamanya pergi, Nolan menghubungi Cakra.
“Ada apa bos?”
“Gue butuh bantuan lo.”
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
“Lo tahu soal perjodohan gue itu kan. Nah nanti malam mama maksa gue untuk menemui wanita itu. Gue minta tolong sama lo untuk menggantikan gue.”
“Maksudnya?”
“Ya lo temui wanita itu, dan berpura-pura jadi gue.”
“Jangan gila dong bos.”
“Sialan… Lo kali yang gila.”
“Ya si bos nyuruh nggak kira-kira sih.”
“Nggak kira-kira gimana? Itu kan pekerjaan mudah. Lo tinggal datang, duduk, makan enak, kalau ngomong, ya ngomong. Kalau nggak mau ya diem aja.”
“Kalau mudah, kenapa bukan boss aja yang datang sendiri?”
“Gue nyuruh lo. Kenapa malah gentian lo yang nyuruh gue?”
“Kelihatannya memang mudah, tapi tanggung jawabnya besar itu boss. Nggak ah, gue nggak mau. Gue nggak berani sama kakeknya boss.”
“Atasan lo itu gue, bukan kakek. Seharusnya lo takutnya ama gue.”
“Iya, tapi kan kakek Brama adalah atasannya boss. Jadi dia adalah atasan, atasan gue.”
“Ngomong apaan sih lo? Atasan atasan atas. Hahaha”
“Haish… Pokoknya gue nggak mau. Ya udah boss. Gue lagi sibuk ini. Bye Boss. Selamat menjalani kencan. Semoga sukses.”
Cakra langsung mematikan panggilannya sepihak.
“Dasar asisten laknat,” gerutu Nolan.
****
Dengan memakai kaos lengan pendek berwarna hitam dan celana panjang, Nolan hendak pergi menemui wanita yang dijodokan oleh dirinya.
“Tunggu!” Mama Helen menghentikan Langkah Nolan.
“Ada apa lagi ma?”
“Kamu berpakaian seperti itu untuk berkencan?”
“Memang ada salah apa lagi dengan pakaianku ma? Tunggu! Berkencan! Jangan katakan itu. Aku hanya menemuinya saja, bukan berkencan.”
“Ya sudah terserah kamulah. Tapi setidaknya berpakaian yang rapi sedikitlah, jangan seperti itu.”
“Tapi menurutku ini rapi kok. Jadi mama menginginkan aku berangkat atau tidak?”
“Ya sudah, ya sudah, terserah kamu aja kalau begitu.”
“Nah gitu. Nolan berangkat dulu.”
Setelah berpamitan, Nolan pun meluncur menuju ke sebuah restaurant tempat ia janjian dengan wanita itu. Hanya butuh waktu setengah jam, Nolan pun telah sampai di restaurant tersebut.
Nolan memasuki restaurant dan mencari seorang wanita yang memakai dress berwarna merah dengan syal berwarna coklat muda. Kedua mata Nolan menjelajahi seisi restaurant dan akhirnya menemukan seorang wanita yang sedang duduk sendiri dengan ciri yang ia cari. Nolan pun berjalan menghampiri wanita itu.
“Permisi… Sheila?” sapa Nolan.
“Iya benar. Nolan?”
Nolan hanya menjawab dengan senyum tipisnya. Mereka pun bersalaman, dan Nolan duduk berhadapan dengan Sheila.
“Maaf sudah menunggu lama,” ucap Nolan.
“Tidak kok. Aku juga baru saja datang. Jalanan macet ya?”
“Ya begitulah.”
“Oh ya kamu mau pesan apa?” tanya Sheila.
“Apa aja. Terserah.”
“Baiklah. Kamu nggak ada alergi makanankan?”
“Nggak kok.”
“Oke.”
Sheila pun mengatakan makanan dan minuman yang ia pesan untuk dirinya dan Nolan kepada seorang pelayan. Setelah itu suasana menjadi hening. Akhirnya Sheila pun memulai pembicaraan terlebih dahulu, karena melihat Nolan yang begitu cuek.
“Bagaimana kabar kakek Brama?”
“Dia baik-baik saja.”
“Syukurlah.”
“Oh ya bagaimana kamu bisa menegenal kakekku?”
“Kakekmu dan kakekku sering bermain golf bersama. Dan aku sering menemani kakekku saat dia bermain golf. Dari situlah aku mengenal kakekmu.”
“Ouhhh…”
“Nolan… Ahh aku boleh memanggilmu Nolan gitu aja kan?”
“Terserah.”
“Oh iya Nolan, kenapa akhirnya malam ini kamu menyetujui untuk makan malam denganku? Bukankah sudah beberapa kali kamu selalu menolaknya?”
“Mamaku yang memaksa.”
“Jadi karena paksaan tante Helen ya? Ternyata kamu anak yang berbakti juga ya.”
“Sepertinya kamu sangat akrab dengan keluargaku.”
“Tidak begitu akrab kok. Hanya beberapa kali bertemu saja. Tante Helen orangnya baik dan penyayang. Dia juga terlihat sangat menyayangimu.”
“Sebenarnya kali ini pun aku juga tidak ingin datang. Karena aku pikir percuma saja aku datang dan bertemu atau mengenal dirimu. Yang pada akhirnya aku tetap menolak tentang perjodohan ini. Ada satu hal yang harus kamu tahu, aku sangat membenci sebuah pernikahan.”
“Eeeemmm… memangnya kenapa? Apa kamu pernah disakiti oleh seorang wanita.”
“Bukan. Karena aku memang tidak mau terikat oleh siapapun. Jadi lebih baik kamu juga menyerah tentang perjodohan ini.”
“Aku pun sama. Aku juga tidak suka terikat dengan siapapun. Baiklah, kita lupakan tentang perjodohan ini. Tapi kita masih bisa berteman kan?”
“Bisa saja.”
“Kalau begitu mulai sekarang kita berteman?” Sheila mengulurkan tangannya pada Nolan.
Dengan ragu, Nolan tetap menerima uluran tangan Sheila, mereka pun berjabat tangan sebagai tanda pertemanan.
“Sebentar deh… Kok sepertinya aku pernah melihat wajahmu. Dimana ya? Apa kita pernah bertemu sebelumya?”
“Hah? Tidak. Jangan-jangan dia mengenaliku. Bisa bahaya nih.” Gumam Sheila dalam hati.
“Jadi benar kita pernah bertemu?” Nolan mengulangi pertanyaannya karena tak mendapat jawaban dari Sheila.
“Ti-tidak. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Ini adalah pertemuan pertama kita,” jawab Sheila gugup.
“Benarkah?”
“Iya benar. Mungkin wajahku saja yang pasaran. Jadi banyak yang mirip denganku.”
“Ouh…”
Sheila yang tadinya gugup dan was-was, kini akhirnya bisa bernafas lega. Untung saja Nolan tak mengingat apapun dan mengenali wajahnya.
TBC
*****