bc

That's My Girl

book_age18+
1.4K
IKUTI
9.3K
BACA
possessive
HE
dominant
dare to love and hate
drama
bxg
poor to rich
virgin
love at the first sight
passionate
like
intro-logo
Uraian

Adalah Arkan Setiawan, seorang lelaki cacat kakinya (pincang) karena kecelakaan waktu kecil. Masa lalunya merubahnya menjadi seorang laki-laki yang bertekad merubah hidupnya menjadi orang yang kaya raya.

Kehilangan istrinya yang memilih selingkuh dengan seorang pegawai Bank.

Kehilangan anak yang sakit dan tidak mendapatkan penanganan cepat dari rumah sakit karena dia miskin. Dia tidak mau lagi kehilangan karena ketidakmampuan dirinya. Seakan tujuan hidupnya hanyalah uang.

Namun, siapa sangka pertemuannya dengan seorang gadis kecil mampu menyadarkan dirinya bahwa tak hanya dirinya yang kesepian di dunia yang luas ini. Membawanya pada rasa menyenangkan dan inginnya untuk memiliki gadis itu. Ya, Dia akan kembali 'hidup' untuk gadis itu.

Obsesinya!!

"That's My Girl." _Arkan_

chap-preview
Pratinjau gratis
Prolog
"Panas sekali!" seru lelaki itu panik, sesaat setelah telapak tangannya menyentuh dahi putrinya. Guruh dan petir terdengar menggelegar di malam yang begitu dingin. Sunyi alam pun menajamkan bunyi petir yang memekakkan. Menciutkan nyali siapapun untuk pergi keluar rumah. Dengan susah payah lelaki itu keluar dari rumah menuju pekarangan tetangga. Jalannya yang timpang membuatnya kesulitan melangkah. Dengan berteriak dia meminta beberapa lembar daun cocor bebek, dan memetiknya setelah mendengar teriakan jawaban. Bergegas, Dia pulang dan menuju dapur. Meraih sebuah lumpang batu dan memasukkan lembaran daun cocor bebek ke dalam lumpang. Setelah itu dengan sebuah kayu yang berfungsi sebagai penumbuk, dia menumbuk daun dengan cepat. Ketika sudah lumat, Dia meraih sebuah mangkuk dan membawa lumatan daun cocok bebek yang ada di dalam mangkuk menuju dipan kayu tempat putrinya yang nampak berbaring menggigil berada dengan langkah timpang karena kedua kakinya yang tidak sama panjang. Tak ada kata saat dia dengan hati-hati meletakkan lumatan daun cocor bebek di dahi putrinya. Putrinya terdengar mengerang kecil ketika merasakan rasa dingin dari lumatan daun di dahinya. "Akik ... apak ... akik." Suara tidak jelas parau gadis kecil itu terasa menyayat hati. "Sakit? Mana yang sakit, Nak? Bapak di sini," jawab lelaki itu di sela isakannya. "Buk ... Pak, Buk ... ana?" Lelaki itu merutuki istrinya yang tidak ada di rumah sejak kemarin. Tentu saja dia tahu kemana istrinya. Kemana lagi dia kalau bukan ke tempat Toni. Selingkuhannya. Rumah Toni berada di desa tetangga. Cukup sulit jalan yang harus warga lalui untuk sampai ke desa sebelah. Toni adalah seorang lelaki yang mapan dengan pekerjaan sebagai seorang pegawai Bank di kota. Tentu saja penampilannya juga menawan. Ditambah mobil yang dia tunggangi, pasti banyak wanita mau menjadi kekasihnya. Tapi kenapa harus istrinya?! Arkan tak tahu apa yang ada di otak istrinya itu. Mengabaikan suami dan anaknya demi seorang lelaki. Ya ... mungkin memang salah Arkan karena dia hidup kekurangan. Istrinya mungkin menginginkan hidup enak tanpa harus bekerja. Sebagai seorang petani, Arkan sadar jika pekerjaannya berat. Pergi ke sawah hampir setiap hari dan setiap waktu, bahkan saat panas terik atau hujan. Jika musim panas, dia dan istrinya harus mengambil air dari sungai untuk menyirami tanaman entah itu jagung atau cabai. Jika musim penghujan tiba, dia harus berhujan-hujanan untuk memeriksa tanggul dan pematang, memastikan tidak ada yang jebol akibat hujan deras. Benar-benar bukan hidup yang nyaman. Baju lusuh, makan seadanya, rumah kecil tanpa kendaraan. Apa yang mau dibanggakan? Tapi apakah pantas seorang berselingkuh? Zaman memang sudah edan. Malam semakin larut namun panas anaknya belum juga reda. Gelisah Arkan sudah sampai batasnya. Dia tidak bisa lagi menunggu hujan mereda. Biarlah kali ini dia nekat demi anaknya. Darah dagingnya. Setelah menyiapkan payung satu-satunya yang dia punya, Arkan menggendong putri kecilnya yang belum genap berumur tiga tahun di punggungnya menggunakan kain panjang. Dengan hati-hati dia melangkah di antara becek jalanan akibat hujan yang masih mengguyur. Beberapa kali kakinya terpeleset meski dia masih bisa menjaga keseimbangan dan menjaga agar dirinya dan putri kecilnya tidak terjatuh. Rumah Bidan di desanya termasuk jauh. Apalagi dalam malam gelap yang dibarengi hujan. Perjuangannya akhirnya mendapatkan hasil. Dia sampai di rumah bu bidan untuk memeriksakan keadaan anaknya. "Maaf, Bu Bidan ada? Anak saya sakit, Pak," ucap Arkan saat pintu rumah terbuka dan sosok suami bidan itu menampakkan diri. "Waduh, istri saya belum pulang, Mas. Ada seminar di Jogja. Dua hari lagi baru pulang," ucap suami Bu Bidan ramah. Dengan wajah sendu dan kalut, Arkan pamit dan berjalan menuju Puskesmas. Dalam hati, dia berdo'a agar dia bisa membawa anaknya secepat mungkin ke Puskesmas. Dia sungguh tak tega melihat kondisi anaknya yang terus menggigil. Setengah jam lebih dia baru sampai di gedung puskesmas di kecamatan. Bersyukur, dia segera berjalan ke arah petugas. "Bu ... tolong anak saya. Tolong anak saya." Petugas jaga itu melirik ke arah Arkan sekilas dan berkata, "sebentar, Pak." Kemudian petugas itu melanjutkan bertelepon dengan orang di seberang sana yang Arkan tidak tahu apakah ada urusan penting atau tidak. Arkan semakin kalut dan khawatir setelah lebih dari seperempat jam kemudian perawat itu masih sibuk dengan teleponnya. "Bu ... anak saya sakit." Arkan mengiba. "Saya tahu. Puskesmas memang tempat orang sakit dirawat, Pak. Bapak bisa sabar tidak? Pekerjaan saya bukan cuma ngurusin anak Bapak," ujarnya ketus. Apalagi melihat cara berjalan Arkan yang pincang, pandangan perawat jaga itu semakin merendahkan. "Dasar. Pakai jamkesmas saja ngotot," gerutu perawat itu pelan, namun masih bisa didengar Arkan karena jarak. "Tidurkan di atas tempat itu." Perawat menunjuk sebuah brankar kosong yang ada di sisi ruang tanpa mau repot membantu. Cepat Arkan meletakkan tubuh pucat putrinya di atas brankar dan menyingkir saat si perawat hendak memeriksa. Si perawat awalnya santai santai saja, namun setelah melihat betapa pucatnya wajah batita itu, dia berubah panik dan memanggil temannya. Beberapa perawat nampak berdatangan dan menyuruh Arkan menyingkir. Arkan yang tidak tahu apa-apa hanya mengerti keadaan anaknya tidak baik-baik saja. Anaknya sedang kesakitan di dalam sana. Cukup lama Arkan menunggu sebelum perawat yang tadi memeriksa putrinya keluar dan menatap menyesal pada Arkan. Bingung akan arti tatapan perawat itu, Arkan menghampirinya dan bertanya. "Bagaimana keadaan anak saya, Pak?" "Anda terlambat. Anak anda sudah kritis saat anda bawa kemari. Coba anda membawa anak anda sepuluh menit lebih awal saja. Pasti anak anak masih bisa tertolong." Lima belas menit? Astaga!! "Saya sudah sampai di sini hampir setengah jam lalu, tapi perawatnya santai-santai saja!!! Apa maksud anda saya terlambat?!! Mana anak saya?! Mana?!!" Tatapan mata Arkan yang semula sayu berubah menajam dengan cepat. Dia meraih kerah kemeja batik perawat dan mencengkeramnya kuat. "Mana anakku?!!" "Pak ... sabar, Pak." Perawat itu nampak berusaha menenangkan Arkan. Arkan yang sedang di puncak kesakitannya menghempaskan tubuh sang perawat ke lantai. Dia memilih menendang kursi kayu yang ada di depan ruang hingga terjengkang. Arkan kembali menendang. Kali ini pintu ruangan tempat anaknya berbaring. Tak ayal lagi daun pintu terbuka dengan suara keras. Semua orang yang masih ada di dalam terkejut. "Mana anakku?!!!" Semua orang menyingkir hingga Arkan bisa melihat tubuh yang terbujur di atas ranjang. Anaknya. Putri kecilnya. Dengan tatapan nyalang dia menatap semua orang satu persatu dan berhenti pada wajah perawat yang menunda keselamatan putrinya. "Lima belas menit?!! PEMBUNUH!!!" Telunjuknya terulur dan mengacung pada wajah yang nampak ketakutan. "DASAR PEMBUNUH!! AKU TIDAK AKAN LUPA PADA WAJAHMU!! AKU BERSUMPAH AKAN MEMBALASNYA!!" Arkan kembali menatap putrinya dan pandangannya melunak. Dia tersenyum dan mendekati sosok yang nampak damai itu dengan langkah timpang. "Kita pulang ya, Nak. Tidur di rumah saja. Di sini banyak orang jahat. Hahaha." Arkan terkekeh namun matanya mengeluarkan butir tiara yang kemudian menuruni pipinya yang tirus dan kusam. "Kita pulang sayang. Cuma Bapak yang sayang Sinta. Cuma Bapak." Arkan membopong tubuh putrinya dan menggendongnya kembali di balik punggungnya. Dia berjalan melewati gerombolan perawat yang menatapnya iba. Sampai di teras puskesmas dia berjongkok dengan susah payah untuk mengambil payungnya kemudian mengembangkan payung itu seperti mengembangnya kepak sayap malaikat maut. Membawa sukma putri kecilnya menjauh. Langkah timpang di antara deras hujan itu tidak tampak berhenti. Terus berjalan menerobos hujan di malam itu. Melahirkan sosok seorang manusia baru yang kelak merajai manusia. Arkan yang berbeda.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.3K
bc

TERNODA

read
198.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.0K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
51.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook