Najma

1465 Kata
Dalam hidup kadang ada hal yang tidak terencana, terjadi. Seperti segala hal yang Arkan alami. Di tengah ruang tamu rumah mungilnya yang sangat sederhana, gadis kecil berwajah pucat itu tertidur damai. Tidak terpengaruh suara tangis yang terdengar bersahutan di sudut-sudut ruang. Tidak tampak lagi raut kesakitan dan lirih suaranya yang membuat pilu hati. Tenang, sangat tenang. Hingga lelaki itu mengucap syukur, anaknya bisa tidur tanpa kesakitan lagi. Anaknya sudah sembuh. Namun semua yang ada di sana bisa melihat, senyum lelaki itu terlihat begitu menyayat jiwa. Sebuah senyuman hampa dengan pandang mata kosong. Lelaki itu masih berada di ruang hayalnya, belum menapak bumi. "Sabar, Nak Arkan," ucap seorang tetangga yang telah berumur lanjut. Tetangga baik yang sudah seperti ibunya, menyayangi Sinta seperti Sinta adalah cucunya. Arkan terdiam. Emosinya sudah habis sejak semalam. Dia tiba di persimpangan jalan desa dan bertemu beberapa warga. Saat akhirnya Arkan diam saja ketika disapa, warga merasa curiga dan menghentikan langkah Arkan. Suasana malam yang masih diguyur hujan nampak panik dan riuh oleh teriakan warga yang sadar putri Arkan telah tiada di gendongan bapaknya. Beramai-ramai mereka mengikuti langkah Arakan dan membimbing Arakan yang membisu. Membisu hingga pagi ini. "Sinta akan segera dimakamkan, Nak." Pak Junaidi, Ketua RT menepuk pundak Arkan. Menyadarkannya dari lamunan gelapnya. "Apa?" Serak suara Arkan bertanya pada Pak RT. Lelaki itu mendongak untuk bisa menatap wajah Pak RT. "Putrimu akan dimakamkan." "Apa maksud Bapak? Sinta sedang tidur. Jangan ganggu anakku. Nanti dia menangis. Kasihan baru semalam dia bisa tidur nyenyak," suara Arkan lagi. Orang-orang yang mendengar hanya bisa mengelus d**a agar tidak kembali menumpahkan air mata. Mereka bersedih tentu saja. Arkan adalah sosok yang baik hati dan suka menolong. Selepas Bapaknya meninggal satu tahun setelah Arkan menikah, Arkan sudah tidak punya siapa-siapa. Hanya keluarga jauh di kampung seberang yang jarang mau berkunjung ke rumah Arkan. "Nak, eling. Sinta sudah tenang. Jangan bebani lagi dengan ketidak ikhlasan kamu." Kini Pak Supri, salah satu tetangganya ikut bicara. "Tidak! Tidak ada yang boleh mengganggu anakku. Dia sedang tidur!" teriak Arkan keras kepala. Dia tak habis-habisnya memandang wajah mungil itu. Khawatir jika dia beranjak, wajah itu tak lagi bisa dia lihat. "Sinta sedang tidur." "Nak ...." "Diam! Jangan ganggu anakku." Perlahan tetes tiara menuruni pipi tirus itu dengan semakin deras. "Dia ... sedang tidur," lirihnya. Air mata itu terus membanjir, memberi tahu semua orang jika kewarasannya sudah mulai kembali. "Sinta sedang tidur." "Dewi mana, Nak?" tanya Pak RT lagi. "Dia sudah mati!!" "Astagfirulloh." Beberapa orang mengucapkan kalimat istighfar mendengar nada dingin di kalimat Arkan. "Nak jangan bicara seperti itu. Ndak baik." "Mana ada ibu yang lebih memilih selingkuhannya daripada anaknya yang sakit. Dia sudah mati." Warga yang sudah tahu kelakuan Dewi diam saja. Apalagi penduduk desa jika ada kabar perselingkuhan atau gosip akan segera menyebar kemana-mana. Tak heran juga jika banyak yang benci pada Dewi. "Sabar, Nak. Kita harus segera mengebumikan Sinta. Kasihan dia kalau kamu tahan lebih lama." Dengan beberapa kali dinasehati akhirnya Arkan mencoba mengikhlaskan kematian putrinya. Semua tak akan sama lagi. *** Gadis kecil itu tersenyum manis di depan gerbang sekolahnya. Dia masih terus tersenyum melihat bagaimana satu per satu teman-teman sekolahnya dijemput oleh orang tua atau kakak mereka. Hff. Dia lelah sekali memasang wajah ceria di depan semua orang terutama di depan kakeknya. Sejak satu bulan setelah meninggalnya orang tuanya, dia belajar bagaimana memasang wajah ceria. Dia paham jika kematian kedua orang tuanya bukan hanya melukainya, tapi juga melukai kakeknya. Sang kakek sering dia lihat melamun dan menangis diam-diam di kamar mamanya. Ayah mana yang tidak bersedih saat putri satu-satunya meninggalkan dunia ini? Dan kakek adalah seorang ayah yang paling menyayangi putrinya itu. Ibunya. Jadi karena sudah berpikir banyak hal, gadis kecil itu memilih terus tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Mungkin dengan senyumnya, bisa setidaknya meringankan kesedihan kakeknya. "Eh, Eneng belum dijemput?" Seorang satpam yang berjaga di dekat gerbang menyapanya. Langit yang tadi biru cerah sekarang berubah berawan dengan sedikit mendung hitam yang menggantung di sana. Sepertinya memang akan turun hujan. "Belum, Pak." "Tunggu jemputan di pos saja, daripada nanti kehujanan." Gadis kecil itu mundur dua langkah agar bisa berteduh di bawah atap pos satpam. "Papanya sibuk kerja ya?" Deg! "I-itu ...." "Neng Najma." Satpam tua yang tinggal dekat dengan rumahnya menyapanya setelah lebih dulu menempeleng kepala satpam muda. "Pak Narya belum datang?" "Belum." "Oh. Mungkin kena macet, Neng." Najma hanya mengangguk. "Kamu sinting ya? Ayah dan ibunya Neng Najma baru meninggal karena kecelakaan sebulan yang lalu," bisik si satpam tua meski Najma masih bisa mendengar. Satpam yang muda nampak terkejut dan merasa bersalah pada gadis kecil itu. Kasihan sekali. Satpam itu melihat bordir di lengan kiri Najma dan melihat angka 3 di sana. Kelas tiga ya? Masih sekecil itu dan sudah menjadi yatim piatu. Sesalnya. *** Setelah acara pemakaman, Arkan segera menyelesaikan urusannya dengan Dewi. Menceraikan Dewi yang nampak tidak merasa bersalah sedikitpun pada kematian Sinta. Menjual semua sawah dan rumah miliknya, Arkan bertekad memulai semua sendiri saja. Dia tidak membutuhkan orang-orang munafik. Berbekal uang hasil penjualan semua hartanya, Arkan berniat ke kota mengadu nasib. Dia tidak mau lagi direndahkan dan kehilangan karena tidak punya harta. Sekarang baginya harta adalah satu-satunya alat yang bisa dia jadikan tujuan utama. Tiba di ibukota Arkan masih bingung akan kemana. Tidak ada sanak saudara atau teman. Mungkin ada orang orang dari desanya yang bekerja mengadu nasib di ibukota. Tapi mana dia tahu mereka tersebar ke sudut ibukota yang mana. Rasa lelah menuntun Arkan terduduk di teras sebuah ruko yang tertutup. Lalu lalang kendaraan yang tiada habisnya membuat dia mual. Terbiasa hidup di desa yang tidak pernah ada kemacetan membuatnya tidak terbiasa dengan arus padat lalu lintas. Matanya beredar, mengamati sekitar. Ada dua, tiga orang yang duduk-duduk di teras ruko itu. Berpenampilan lusuh dan tampak tak terawat. Mungkin dia juga terlihat seperti mereka, hanya bedanya Arkan membawa bekal dari desa. Arkan tak perduli jika orang akan menganggapnya gelandangan. Yang dia pikirkan, bagaimana caranya mendapatkan tempat tinggal, bekerja dan bekerja. Ada banyak hal yang ingin dia gapai dengan harta. Oleh karena itu dia harus mencapai tujuan utama. Harta. Sinta. Ingatannya kembali pada sang putri yang tidak terselamatkan. Apakah dia harus kehilangan selalu? Memejamkan mata dia meresapi lelah dan penat yang melanda. Sebenarnya bukan lelah fisik, lebih kepada lelah batin yang dia rasakan saat ini. Menanggung sepi seorang diri tanpa seorang pun yang dia tuju. "Om, sakit?" Sepasang mata Arkan yang baru beberapa menit tertutup, kembali terbuka mendengar seorang yang bertanya sangat dekat dengannya. Di undakan samping kirinya seorang gadis kecil yang cantik menatapnya dengan penasaran. Arkan menyangka jika bukan dia yang diajak bicara. Namun tangan mungil itu tiba-tiba terulur dan menyentuh dahi Arkan lembut. "Kamu nggak takut sama saya?" tanya Arkan. Gadis kecil itu menggeleng. "Om kenapa sedih? Laki-laki kan kata Opa nggak boleh nangis." "Om nggak nangis." "Bohong itu dosa, Om." Tangan mungil itu terulur lagi. Namun kini menyeka setetes air mata yang ada di sudut mata Arkan. "Om cuma ingat kalau om sudah tidak punya siapa-siapa." Mata Arkan memperhatikan gadis di depannya dengan saksama. "Om jangan sedih. Najma juga nggak punya papa Mama. Najma cuma punya Opa. Papa dan Mama Najma sudah tenang di alam kubur." "Berapa umur kamu?" "Delapan tahun, Om." "Lalu kamu sedang apa disini?" "Najma baru pulang les matematika. Itu tempat les Najma," tunjuknya ke seberang jalan. Gadis itu memperhatikan Arkan sekali lagi kemudian kedua tangannya bergerak ke lehernya. Lalu tangannya menggenggam jemari Arakan dan membukanya lebar. "Ini buat Om." Ternyata gadis kecil bernama Najma itu melepas kalung yang melingkar di lehernya dan memberikannya pada Arkan. Arkan yang terkejut hanya melihat wajah gadis itu bergantian dengan kalung emas putih yang ada di genggamannya. Sebuah kalung dengan bandul cantik berbentuk bintang. "Kenapa kamu memberikannya pada Om?" "Karena kata Mama, kita disuruh mendahulukan orang yang membutuhkan. Dan sekarang, Om yang lebih membutuhkan. Najma ikhlas kalung peninggalan Mama buat Om ganteng." "Ganteng?" "He-emm." Gadis kecil itu mengangguk-angguk. Arkan hampir tidak mempercayai pendengarannya. Apa gadis kecil ini tidak melihat dirinya yang lusuh dan kakinya yang pincang? "Kamu nggak lihat kalau Om cacat?" "Yang sakit kan kaki Om. Wajah Om kan tampan." Tin ... Tin ... Tin!! "Om, Najma sudah dijemput Opa. Om jangan putus asa ya. Semangat." Cup! Gadis itu mencium pipi Arkan cepat. Dengan berlari gadis itu menghampiri sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat Arkan berada. Arkan sempat melihat gadis itu melambaikan tangan ke arah Arkan sebelum mobil itu melaju dan menjauh. Arkan tiba-tiba menyentuh dadanya yang terasa aneh. Berdebar kencang dan terasa sesak. Meresapi rasa yang hadir, Arkan memejamkan mata dan ketika sepasang matanya terbuka, sebuah tekat dia ambil. Gadis kecil itu harus menjadi miliknya. Dipandanginya liontin berbentuk bintang itu dengan senyum. Hati-hati dia memasangkan kalung itu ke lehernya sendiri. Panjang kalung itu ternyata bisa menyembunyikan bandul liontin itu dibalik baju yang Rekan kenakan. Pertama kali Arkan kini hidup untuk tujuan lain. Untuk gadis kecilnya yang cantik. Najma. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN