Lelaki itu mengamati lalu lalang manusia di depan sebuah perusahaan. Dia bisa melihat bagaimana puluhan atau mungkin ratusan manusia memasuki tempat yang sama pagi ini.
Perusahaan makanan ringan ini adalah tempat kesekian yang dia datangi untuk mencari pekerjaan. Semoga saja dia bisa bekerja di sini. Dia nanti bisa mencari kamar kos atau kontrakan di daerah dekat sini. Dia mendongak menatap tingginya bangunan di depannya. Bisakah dia memiliki perusahaan seperti ini?
***
14 Tahun kemudian..
Mata tajam itu menghunuskan tatapannya dalam. Dua orang lelaki yang berlutut di lantai nampak gugup dan berkeringat dingin. Aura gelap seakan memenuhi ruang luas yang didominasi warna abu-abu.
"Kenapa kalian melakukannya?"
tanya pria itu dingin.
"Ma-maafkan kami, Pak. Kami khilaf, ka-kami sedang butuh uang," jawab salah satu dari orang yang berlutut dengan takut.
Pria yang berkedudukan sebagai bos itu hanya menatap keduanya dengan datar kemudian membalik badan, mengamati bangunan-bangunan dibalik kaca ruangannya. Berlomba-lomba untuk menjadi yang tertinggi. Seperti dirinya.
"Kalian tahu kan, akibat dari perbuatan kalian? Perusahaan ini akan dicap sebagai plagiat kalau produk mereka meluncur ke pasaran lebih dulu. Padahal proses produksi kita sudah hampir mencapai target pasar. Kalau dibatalkan saya yang rugi," terang lelaki itu.
"b******k!!"
Tak lama dia mengangkat gagang telepon di atas meja dan mulai menghubungi.
"Siapkan rapat dengan bagian produksi sekarang juga," titahnya sebelum menutup telepon kembali.
"Dan kalian, kalian silahkan mencari pekerjaan di tempat lain. Keluar!"
Kedua orang itu bergegas bangkit dan mengundurkan diri.
Arkan memikirkan tentang melaporkan polisi perbuatan kedua orang itu, tapi dia masih mempertimbangkan keluarga keduanya. Meskipun dia terkenal kejam dan keras, namun dia masih memikirkan kelangsungan hidup orang lain. Kecuali orang yang berani terang-terangan mengusik kehidupan pribadinya. Dia tidak akan segan menghancurkan orang itu.
Penghianat seperti mereka berdua sebenarnya adalah hal yang sangat dia benci. Berapa banyak kehancuran suatu peradaban dan perusahaan yang diakibatkan orang seorang penghianat.
Tapi sekali lagi, dia tahu jika keduanya melakukannya karena terpaksa.
"Boss, rapat akan segera dimulai. Para peserta rapat telah hadir." Suara sang sekertaris yang berada di sisi ruang terdengar.
"Oke. Aku akan segera ke ruang rapat.
Tangan itu menyambar jas di sandaran kursi kemudian dia melangkah seraya mengenakan jas hitam itu cepat. Sementara sang sekertaris berwajah kaku itu mengikuti langkah bossnya tanpa protes.
Selama perjalanan ke ruang rapat, jemari lelaki itu memainkan bandul liontin yang tergantung di lehernya. Ada perasaan rindu yang kini dia rasakan.
Bintangnya.
'Dimana kau berada?'
***
"Najmaaa!! Sialan lo!" Tergopoh-gopoh perempuan itu keluar rumah sambil berteriak nyaring. "Itu sepatu guee!!"
"Sorry, Dell. Gue pinjem dulu. Gue ada tes wawancara hari ini. Lo sahabat gue kan?"
"Bukan! Gue musuh lo."
"Lo orang baik, penuh kasih, dan tidak sombong kan?"
"Bukan!! Gue orang jahat, tidak pernah kasihan dan gue juga sombong."
"Yah ... kok lo pelit banget sih?"
"Itu lo udah tahu. Sepatu itu gue beli dari hasil nabung satu tahun You know?"
Gadis cantik bernama Najma itu menyeringai ketika dia melihat taksi pesanannya sudah datang. Cepat dia membuka pintu taksi seraya melambaikan tangan.
"Ta ... taaa. Gue pinjem sepatu lo dulu!!"
"NAJMAAA!! BALIKIN SEPATU GUE!!"
***
Langkah kaki itu nampak biasa jika orang tidak terlalu memperhatikan. Namun bagi yang perhatian, langkah itu nampak timpang meski tidak begitu kentara. Dibelakangnya nampak seorang lelaki mengikuti tanpa protes.
Lelaki yang diikuti pun nampak tidak perduli pada pandangan sekitar. Dia tahu banyak yang mencela cacat fisiknya. Namun dia tidak akan ambil tindakan jika itu mereka lakukan di belakang punggungnya. Lain hal jika itu terjadi di hadapannya. Lagipula langkahnya tidak terlihat timpang lagi jika tidak diperhatikan sungguh-sungguh . Terapi dan pelatihan bela diri yang dia jalani selama bertahun-tahun sepertinya membuahkan hasil.
"Nanti jika telah selesai. Kamu kirimkan rincian biaya produksinya," ujar lelaki itu saat dia tiba di lobi.
"Baik, Pak."
"Sekarang kamu ikut saya meninjau pabrik."
"Baik, Pak."
"Apa kamu tidak bisa mengucapkan kalimat lain?"
"Maaf, Pak."
"Terserah kamu."
"Iya, Pak."
Hff!!
Lelaki itu berhenti lalu menatap sekertarisnya dengan lelah. Saat berbalik dan akan kembali melangkah, seorang gadis muda dengan blazer biru muda tergesa menghampirinya.
"Maaf, Om. Tes wawancara di lantai berapa, ya?
Sejenak lelaki itu terdiam melihat lesung pipi gadis itu.
"Om!" panggilnya lagi.
Lelaki itu tersadar dan meneliti penampilan gadis di depannya. Kemudian dia beralih pada sang sekertaris untuk bertanya.
"Apakah bagian HRD membuka lowongan?"
"Iya, Pak."
"Untuk mengisi bagian apa?"
"Kalau tidak salah untuk mengisi divisi keuangan dan buruh produksi."
"Di lantai berapa wawancaranya?"
"Lantai lima."
Najma memandang aneh kedua lelaki itu. Apa jangan-jangan mereka pasangan gay sampai bisik-bisik di lobi tanpa malu.
"Ada di lantai Lima, Nona," kata Arkan membuyarkan lamunan Najma.
"Ah ... Makasih ya, Om. Najma pergi dulu."
Sekertaris itu nampak takjub saat bossnya tidak nampak marah saat dipanggil 'Om'.
Sementara Arkan mematung di tempat. Dia mencerna hasil pendengarannya lagi.
Najma?
"Oh ... s**t!! Derrian kau batalkan rencana meninjau pabrik. Kosongkan jadwalku sampai sore." Arkan berlalu tanpa mendengarkan jawaban dari sekertarisnya. Dia bergegas mengejar sosok cantik itu yang ternyata sudah menghilang di balik pintu lift.
Sial!
Dia merutuki pintu lift yang terlalu cepat menutup. Dengan cepat dia memasuki lift khusus petinggi perusahaan untuk mengejar gadis itu.
Ting! Di lantai lima lift yang dia tumpangi berhenti. Saat melangkah keluar, dia melihat banyak sekali laki-laki dan perempuan yang ada di lantai lima. Diam-diam dia memperhatikan sosok cantik itu yang kini duduk di luar ruangan yang telah disediakan.
"Pak, Arkan," sapa seorang yang Arkan tahu dia ada di bagian HRD perusahaan saat Arkan memasuki ruang yang digunakan untuk wawancara.
"Apa sudah dimulai?" tanya Arkan tenang.
"Sudah, Pak. Tapi baru beberapa calon yang sudah melakukan tes. Anda kenapa ada disini? Apakah ada yang bisa saya bantu? Atau mungkin ada yang anda rekomendasikan untuk perusahaan?"
"Saya akan ikut duduk di sini. Kalian lanjutkan dan abaikan saja saya." Arkan langsung duduk di kursi kosong yang ada di belakang meja bersama bagian HRD tadi yang bernama Given dan seorang lainnya yang bernama Sandra. Mereka mengangguk sopan dan melanjutkan sesi wawancara.
Arkan membolak-balik berkas-berkas pelamar dengan bosan saat gadis cantik itu tidak segera dipanggil.
"Apakah masih banyak?" tanyanya pada salah seorang pewawancara.
"Masih ada sekitar dua puluh lima orang, Pak."
"Hff." Hembusan nafasnya bisa menjelaskan jika dia sudah tak lagi sabar.
Dia melirik jam dipergelangan tangannya. Jam makan siang hampir tiba.
"Kalian percepat. Ini hampir jam makan siang. Kalian juga harus istirahat."
"Baik, Pak."
Beberapa saat kemudian, Given memanggil seorang lagi.
"Najma Annida."
"Najma Annida?" Ada berapa banyak nama itu di dunia? Apakah dia memang gadis kecil itu ? Apakah ini suatu kebetulan atau ... takdir?
***