Aduh ... gimana nih? aduh gimana nih? Gadis itu terus bergerak gelisah di kursinya. Tenggorokannya terasa kering. Dan dia gugup. Demi Allah, dia sudah berusaha mati-matian untuk lolos tes pertama, tapi benar-benar tidak lucu dia mendapatkan serangan panik sekarang. Ya ... bukan serangan panik yang bisa buat orang pingsan atau kejang sih. Tapi kan ... ah, lupakan.
Gadis itu mengeluarkan sebuah permen rasa kopi dari tasnya dan mengupas bungkus kecilnya. Mulutnya mulai mengulum permen itu setelah dia berhasil mengupas permen tersebut. Siapa tahu dia akan mendapatkan kepercayaan dirinya lagi.
"Najma Annida."
Panggilan itu terdengar.
'Najma? Oh ... Kok mirip nama gue, ya? Eh?!! Emang gue! Mampus gue. Mati lo Na.' Najma berdiri dan berjalan menuju pintu. Setelah mengetuk pintu dan terdengar jawaban, Najma membuka pintu kayu di depannya dan memasuki ruang. He ... bukannya itu om tampan yang di lobi tadi, ya? Batin Najma ketika melihat sosok lelaki yang nampak familiar. Lebih gilanya, lelaki itu menatapnya sangat intens.
Apa penampilan gue sebegitu mengerikannya? Pikir Najma.
Najma duduk di kursi yang disediakan setelah mendapatkan isyarat tangan dari perempuan cantik di balik meja.
"Najma Annida? Coba ceritakan tentang diri anda."
Oke. Najma menghela nafas agar tidak gugup.
"Saya seorang pekerja keras," jawab Najma mantap lalu menjelaskan semua yang sudah dia persiapkan dalam wawancara ini.
Saat seorang lelaki yang berada di tengah akan bertanya lagi, lelaki yang dia temui di lobi menginterupsi.
"Apakah anda masih memiliki orang tua ?"
Najma tercekat. Kenapa orang tua dipertanyakan?
"Tidak, Sir. Mereka sudah meninggal sejak saya kecil."
"Lalu anda hidup sebatang kara?"
"Tidak. Kakek saya yang merawat dan membesarkan saya," jawab Najma yang merasa bingung akan pertanyaan lelaki itu.
"Berapa umur anda?"
"Dua puluh dua, Sir."
"Cukup," ucapnya Arkan. Kemudian dia berdiri dan menoleh pada dua HRDnya. "Dia saya bawa. Mulai hari ini dia akan menempati posisi asisten pribadi saya."
Given dan Sandra yang kebingungan hanya mengangguk. Tak berani membantah.
Arkan berdiri dan berjalan ke arah pintu. Saat tangannya baru menyentuh gagang handle pintu dia berbalik dan menatap Najma datar. "Mari Nona Najma. Ikuti saya." Kemudian berlalu keluar tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Najma kebingungan. Apakah dia harus mengikuti lelaki itu? Dua orang yang ikut mewawancarainya mengangguk, seakan menyuruh Najma menuruti keinginan lelaki itu.
Dengan ragu Najma berdiri dan menoleh pada pintu tempat Arkan keluar setelah itu menoleh kembali pada Given dan Sandra.
Selanjutnya Najma mengekori langkah lelaki yang mungkin akan menjadi bossnya mulai sekarang dengan langkah tergesa tak ingin tertinggal jauh.
"Pak, em ... saya benar langsung diterima?" tanya Najma ragu. Pasalnya yang dia tahu mencari kerja itu sulit. Apalagi dirinya baru lulus kuliah beberapa bulan lalu. Ditambah dia tidak mempunyai kenalan di perusahaan ini yang bisa dia tebengi kuasanya. Kan aneh?
"Iya. Apa kata-kata saya tadi kurang jelas?"
"Jelas, Pak. Tapi saya tidak menyangka. Dan ... maafkan saya tadi di lobi saya memanggil bapak dengan sebutan Om." Najma meringis tak enak. Kurang sopan sekali dirinya ini. Sudah tahu di perusahaan tapi memanggil orang dengan seenak jidatnya sendiri. Bagaimana kalau ternyata laki-laki ini tidak terima dipanggil Om lalu berniat balas dendam seperti yang di novel-novel itu. Kan dia bisa menderita di perusahaan ini.
"Lupakan. Yang saya butuhkan kemampuan kamu."
Najma bisa sedikit bernafas lega. Semoga saja laki-laki ini jujur.
"Siap. Saya akan berkerja dengan baik dan rajin, Pak," ujar Najma semangat bahkan sampai harus berhenti melangkah.
Arkan yang jengah dengan sikap gadis kecil itu pun ikut berhenti. "Sedang apa kau di situ? Ikuti saya."
"Baik, Pak."
Arkan mulai bertanya dalam hati, apakah gadis ini benar gadis yang menyapanya dulu? Gadis kecilnya? Tapi kenapa dia berubah kaku seperti ini? Oke. Nanti dia akan mencari tahu lebih detail tentang asisten barunya. Sekarang dia harus membawa gadis cantik itu ke ruangannya dan mengenalkan pekerjaannya.
***
"Demi apa lo langsung diterima kerja?!!" Histeris Dela menyambut kabar itu saat Najma baru pulang. Mereka tinggal bersama di rumah Najma dengan status Dela mengontrak kamar di rumah Najma. Kan lumayan uangnya. Daripada Dela bayar ke orang lain kan lebih baik dia mengontrak kamar kosong di rumahnya dan bayar padanya. Benar-benar sahabat yang baik. Tidak mau rugi.
"Serius. Gue juga nggak nyangka. Eh ... kakek mana?" tanya Najma setelah mengembalikan sepatu mahal milik Dela kemudian menghempaskan diri ke atas sofa dan duduk di samping sahabatnya yang sedang sibuk memindah-mindah chanel Televisi sambil mengemil.
"Belum pulang. Kasihan ya kakek, udah tua tapi cucu satu satunya keterlaluan nggak mau ngurusin toko elektroniknya. Malah ngelamar kerja ke Delta food lagi," nyinyir Dela.
"Lo nyindir gue?"
"Kagaaak."
"Nah itu apa?"
"Gue cuma kumur-kumur."
"Kan udah ada lo yang bantuin kakek. Gue mau mewujudkan mimpi gue dulu deh, baru gue bantu kakek."
"Elah, mimpi lo aneh gitu. Masak lo mau ngecengin para karyawan kece. Yang ada lo dapet om-om perut buncit."
"Eh jangan salah. Gue tadi ketemu sama cowok cakep. Kalau nggak salah namanya Given. Keren kan? Orangnya cakep. Ramah lagi. Gimana coba kalau gue jagain toko elektronik kakek, yang ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang gue temuin. Jauh ntar jodoh gue."
Dela mengernyit jijik. "Gue ingetin lagi kalau lo lupa. Tu toko yang udah ngehidupin lo dari kecil sampai sekarang. Yang bisa bikin lo jadi sarjana dan sekarang dapat kerjaan. Jangan ngeremehin toko itu meskipun nggak gede-gede amat." Della sok-sokan menasehati dengan gaya seperti seorang ibu menasehati anaknya.
"Gue juga tahu kali. Tapi entar deh. Gue mau cari suami dulu. Nanti kalau gue udah kawin, gue mau deh ngurusin tu toko. Lagian di kantor ada juga yang hot dan sexy, tapi kayaknya udah punya bini. Boss gue. Orangnya pendiem. Bikin merinding kalau ditatap sama dia." Najma bergidik mengingat tatapan tajam bossnya.
"Kan emang diam-diam menghanyutkan. Hati-hati aja lo terlibat skandal sama boss lo." Della meraih toples lain yang ada di hadapan Najma dan mulai melanjutkan ngemilnya versi kedua. Tak begitu peduli pada kata diet karena tubuhnya tercipta kurus sejak kecil yang selalu diolok-olok Najma, cacingan.
"Kagak mungkin lah. Lagian mana mau dia rakyat jelata kaya gue." Najma menerawang, membayangkan wajah bossnya.
"Kualat baru tahu."
"Lo kalau mau do'ain itu yang baik-baik aja kenapa sih? Kayak seneng banget gitu kalau gue kena sial," protes Najma tak terima.
"Ya abis lo kalau dibilangin nggak mau dengerin sih." Dela membalas santai yang dihadiahi pelototan mata Najma.
***