Istri vs Mantan

1114 Kata
Dewi menatap penampilannya di cermin salon dengan bangga. Ternyata dia masih cantik meski umurnya sudah melewati angka tiga puluh. Apalagi ditunjang dengan make-up dan barang branded yang dia kenakan. "Aku yakin Mas Arkan akan segera menikahiku lagi," gumamnya senang. Dewi melenggang di Mall dengan penuh percaya diri. Dia bangga saat matanya mendapati tatapan kagum kaum pria padanya. Sesekali dia mengerling genit pada lelaki yang terang-terangan menatapnya. Begitu sampai di depan Mall dia segera menaiki taksi yang sudah dia pesan. "Delta food, ya Pak," ucapnya genit sambil bergaya malu-malu tapi mau. Sang sopir taksi nampak menelan ludah melihat belahan d**a Dewi yang mengintip dari kerah gaun hitam yang dia kenakan. Ditambah pahanya terekspos karena selain memiliki belahan d**a rendah, gaun itu juga memiliki belahan tinggi di bagian paha. Dengan senyum, Dewi meraih ponsel barunya dan memeriksa lagi informasi yang ada di Google tentang Arkan. Kemarin dia membaca jika Arkan adalah lelaki singgel dan tidak pernah nampak memiliki hubungan dengan seorang wanita. "Pasti dia gagal move on deh," yakin Dewi. Dia bangga karena dia pikir mantan suaminya itu masih mengingatnya dan tidak bisa berpindah ke lain hati selepas bercerai darinya. Begitu taksi berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang megah, Dewi menahan nafasnya karena begitu takjub pada keindahan gedung perkantoran itu. Gedung tunggal dua puluh lima lantai milik Deltafood. Gedung yang akan menjadi miliknya. Setelah turun dan membayar ongkos taksi, Dewi berjalan dengan dagu terangkat dan raut sombong di wajahnya. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya ada yang berhenti untuk sekedar mengamati penampilan wanita itu. Tidakkah wanita itu salah kostum? Pikir mereka. Namun yang ditangkap Dewi adalah bahwa mereka berdecak kagum pada kecantikannya. Dengan mengibaskan rambutnya, Dewi kemudian melangkah mendekati resepsionis penuh percaya diri. "Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" tanya Resepsionis berusaha ramah. Dewi tersenyum angkuh dan bangga. "Mas Arkan ada?" "Maaf?" tanya Resepsionis bername-tag Yumna. "Mas Arkan ada kan?" "Maksud anda Pak Arkan Setiawan?" "Siapa lagi?!" "Apa anda sudah membuat janji dengan beliau?" "Apakah sebagai istrinya saya perlu membuat janji?" "Istri?" "Ya." "Tapi setahu kami, Pak Arkan tidak memiliki istri." "Kalian nggak percaya? Aku memang memilih hidup di desa. Tapi Mas Arkan tetap menafkahiku secara lahir dan batin. Ini lihat kalau kalian tidak percaya," jelas Dewi sambil menyodorkan beberapa lembar kertas foto. Dengan penasaran Yumna dan Anggi menerima kertas-kertas itu dan terkejut. Di sana ada gambar pak Arkan dan wanita ini sedang duduk di pelaminan. Ya ... meski wajah itu nampak masih muda, mereka masih bisa mengenali wajah Boss mereka. Lalu ada foto pak Arkan yang sedang menggendong bayi mungil, selanjutnya foto-foto gadis kecil yang cantik yang memiliki wajah mirip Pak Arkan. "Ma-maaf, Nyonya. Saya akan mengabari sekertaris Pak Arkan." Anggi segera menghubungi Derrian dan mendapati jika pak Arkan tidak berada di tempat. "Maaf Nyonya, Pak Arkan sedang ada rapat di luar dan sepertinya baru nanti siang beliau kembali ke kantor." "Huh, padahal aku mau buat kejutan lho, buat suamiku itu," pamer Dewi. Anggi dan Yumna hanya tersenyum canggung. Tidak mengira istri Pak Arkan wanita seperti ini. Padahal Pak Arkan terkenal tegas dan kejam. Tidak nampak wajah m***m boss mereka itu. Tapi ternyata istrinya berpakaian sangat sexy dan kurang sopan. "Saya akan mengantar anda ke ruang tamu." "Aku mau menunggu suamiku di ruangannya saja. Antar aku ke ruangnya." Yumna gelagapan. Mana ada yang berani memasuki ruangan Pak Arkan, kecuali Pak Derrian. Saat akan meminta tanda tangan saja, para karyawan akan menitipkannya pada Pak Derrian. "Maaf Nyonya. Kami tidak berani." "Aku istrinya!" Dewi mendelik marah. Anggi dan Yumna saling pandang dengan gelisah. "Kami tetap tidak berani." "Awas saja, aku akan meminta Mas Arkan untuk memecat kalian karena sudah berbuat tidak menyenangkan padaku." Kedua resepsionis itu ketakutan. Tapi mereka masih lebih takut pada pak Arkan, Boss mereka. "Maaf kami hanya menjalankan tugas, Nyonya." "Ya sudah!" Dia mengibaskan tangannya tak peduli. "Antar aku ke ruang tunggu." Anggi segera keluar dari balik meja resepsionis dan memandu Dewi ke arah ruang tunggu. Yumna melihat wajah lega Anggi setelah mengantar wanita itu. "Ah ... sial banget. Masa istri Pak Arkan nyebelin banget gitu, ya." *** Arkan baru saja tiba di lobi kantor selesai meeting di luar dan saat ini sedang berjalan beriringan dengan Derrian. Langkah Arkan terhenti saat melihat sosok perempuan yang sangat dia kenali. Amarahnya tiba-tiba naik mendapati perempuan itu tidak mematuhi perintahnya. "Ekhmm!!" Deheman keras itu menyadarkan kedua resepsionis yang berjaga di balik mejanya. Mereka langsung berdiri tegap. Dan tersenyum takut-takut ke arah Arkan karena mendapati mereka sedang mengobrol di jam kerja. Beberapa karyawan yang tampak di lobi juga terbirit-b***t, takut pada Arkan yang selama ini dikenal kejam dan tidak memiliki perasaan. Arkan mengernyit karena perempuan di depannya masih setia berdiri tanpa mau menoleh padanya. Apa dia takut padaku? Pikir Arkan. "Kembali bekerja!" ujar Arkan. Kemudian dia beralih pada perempuan di depannya. "Dan kamu, Najma." Sayang. Tambahnya dalam hati. "Segera ke ruangan saya. Bukannya sudah saya bilang kalau kamu tidak usah berangkat bekerja?" tanya Arkan yang berusaha bersikap seperti biasa. Tapi saat melihat Najma yang masih mematung tanpa bergerak sedikit pun, akhirnya meraih pundak Najma dan memutar tubuh itu. Arkan menegang melihat mata istrinya berkaca-kaca. Apakah dia terlalu keras? "Kamu kenapa?" Dia tetap diam. Malas menatap suaminya. "Najma, saya tanya sama kamu." "..." Perhatian Arkan berpindah pada kedua resepsionis di dekatnya. "Apa yang terjadi? Kenapa Najma mau menangis?" tanya Arkan marah. Kedua resepsionis itu tergagap dan kebingungan. Pasalnya tadi Najma baik-baik saja. "Em ... Kami tidak tahu, Pak. Tadi dia baik-baik saja sebelum ...," "Sebelum apa?" "Sebelum kami bercerita ada istri Bapak, yang menunggu Bapak di ruang tunggu." "Istri?!" "I-iya, pak. Seorang wanita seksi mengaku sebagai istri Bapak. Dia juga menunjukkan foto pernikahan Bapak dan wanita itu, juga foto anak Bapak," urai Anggi. Arkan menggeram marah. Siapa yang berani-beraninya mengaku-aku sebagai istrinya. Padahal dia tidak pernah dekat dengan wanita manapun semenjak ... bercerai? Cerai? Foto pernikahan? Apa mungkin ... Dewi? "Najma," panggil Arkan lembut. Belum pernah ada yang mendengar seorang Arkan berbicara selembut itu. Apalagi pada bawahannya. Anggi menyenggol lengan Yumna dan memberi isyarat. "Kamu kembali ke atas lebih dulu, Derrian. Dan tolong pesankan makan siang untuk kami," perintah Arkan. Derrian segera mengangguk patuh. "Baik, Pak. Saya akan kembali ke atas." Derrian segera pergi menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas. Sementara Arkan masih tertahan di lobi karena Najma yang sedang marah. "Najma," Sayang. Panggilnya namun tetap tak ada respon. "Ayo kita ke atas saja. Kamu belum makan siang kan? Ini sudah hampir masuk waktu makan siang." Ya. Najma tiba di Delta Food pukul sebelas siang. "Ayo." Arkan meraih jemari Najma dan mengaitkannya dengan jemarinya sendiri. Kemudian dia membawa Najma pergi menuju lift. Sementara dua orang yang tertinggal di sana saling melempar pandang tak mengerti. Ada apa dengan boss mereka dan si asisten pribadinya? Mencurigakan! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN