part 1
Kampus, siang hari
Lea baru saja keluar dari perpustakaan dengan setumpuk buku di pelukannya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai, wajahnya bersih tanpa make up berlebihan, namun tetap memancarkan pesona yang membuat beberapa mahasiswa melirik.
Di ujung koridor, suara tawa terdengar-geng Risa sudah menunggu. Risa, dengan dandanan modis dan tatapan meremehkan, melangkah maju.
"Eh, siapa nih... ratu kampus kita," ucapnya sinis sambil melirik buku-buku di tangan Lea. "Masih rajin banget ya. Pantesan cowok-cowok ngejar, biar kelihatan pinter gitu?"
Dua temannya ikut terkekeh.
Lea menarik napas panjang. Ia sudah terbiasa menghadapi sindiran seperti ini sejak SMA. Dulu, Risa selalu kalah populer di sekolah. Lea tak pernah bermaksud menyaingi siapa pun, tapi justru itulah yang membuat Risa makin kesal-karena Lea menang tanpa berusaha.
"Permisi, Risa. Aku nggak mau telat kelas," kata Lea datar, berusaha melangkah pergi.
Tapi Risa menghalangi jalannya.
"Kamu pikir bisa semudah itu? Dari SMA sampai kuliah, aku nggak akan kalah sama kamu." Matanya menyipit, menyimpan iri yang mendalam.
Lea menatapnya sejenak, lalu berkata pelan,
"Masalahnya, Ris... aku nggak pernah anggap ini perlombaan."
Kalimat itu seperti tamparan tak kasat mata. Risa terdiam sepersekian detik, lalu tersenyum miring penuh tantangan.
"Kita lihat saja nanti, Lea."
---Malam itu di rumah tua pinggir kota
Lampu ruang tamu remang. Bau alkohol menusuk hidung. Di kursi reyot, Paman Arman laki-laki paruh baya dengan wajah kasar dan mata merah, meneguk minuman dari botol. Wajahnya memerah, suaranya meninggi.
"Aku udah bilang, uang itu buat bayar hutang! Bukan belanja makanan!" teriaknya sambil membanting gelas ke lantai.
Bibi Ratih, wanita lembut dengan wajah lelah, menunduk, kedua tangannya gemetar. Lea yang baru pulang kuliah melihat pemandangan itu, darahnya mendidih.
"Sudah, Paman! Jangan teriak-teriak sama Bibi!" serunya.
Arman berdiri, tubuhnya besar dan langkahnya berat. "Kamu jangan ikut campur, bocah!" tangannya terangkat, lalu-plak!-tamparan mendarat di pipi Lea.
Lea terhuyung, tapi matanya tetap menatap tajam.
Namun sebelum Arman sempat mengangkat tangan lagi, Evan muncul dari pintu dapur.
"Cukup!" katanya tegas. Pemuda itu berdiri di depan Lea, melindungi sepupunya. "Kalau mau marah, marah sama aku. Jangan sentuh mereka!"
Arman menggeram, tapi tatapan Evan yang dingin membuatnya mundur sambil bergumam tak jelas. Ia kembali ke kursi dan menenggak botolnya.
Lea menyentuh pipinya yang perih. Evan menoleh, suaranya melembut.
"Kamu nggak apa-apa?"
Lea menggeleng, lalu memandang Bibi ratih yang juga ibu nya Evan "Aku cuma nggak mau paman menyakiti Bibi lagi..."
Evan mengerti ibunya memang sedari dulu selalu menjadi korban amarah ayahnya. Ratih hanya menunduk tidak berdaya.
Malam itu, di tengah rumah yang penuh bau alkohol dan amarah, mereka berdua tahu satu hal-mereka hanya punya satu sama lain untuk saling melindungi.
Lea mengenakan seragam pelayan, rambutnya diikat rapi. Ia baru saja menyajikan minuman kepada seorang pelanggan ketika Cika, teman kerjanya, menyodorkan gelas lain.
"Lea, ini pesanannya meja tujuh. Cepetan, dia udah nunggu."
Lea mengangguk,. Ia membawakan minuman itu kepada pelanggan yang duduk sendirian di sudut. Begitu minuman itu tersaji, lelaki itu tersenyum samar. Lea kembali bekerja seperti biasa
"Lea, pulang kerja nanti mau ikut aku gak?" Tanya Cika di sela sela mereka sedang istirahat.
"Ikut kemana ka?" Lea penasaran. Beberapa bulan terakhir Lea bekerja di restoran hanya Cika yang dekat dengan nya.
"Sepupu ku yang kerja kantoran lagi nyari karyawan baru, aku mau coba interview kali aja masuk.. kan lumayan gaji nya besar kerjanya juga enak" jelasnya..."gak kaya disini...capek" bisiknya lagi.
"Aku masih kuliah,, mana mungkin keterima kerja di kantor ka..aku kan cuma freelance sedangkan kantoran harus full time " jelas Lea,
"Oh iya ya.. baru ingat aku kalau kamu freelance,, tapi mau kan temenin aku,, please " Cika memohon dengan menempelkan kedua tangan nya di depan wajah. Lea sedikit menimbang.
"Hmmm.. ya udah aku temenin"