bc

How to Love Someone

book_age0+
673
IKUTI
9.7K
BACA
friends to lovers
arrogant
goodgirl
badgirl
queen
sweet
bxg
like
intro-logo
Uraian

Ini adalah sebuah pesan. Untuk hati-hati yang terluka di penghujung malam. Untuk rindu-rindu yang tak tersampaikan. Dan untuk tangan-tangan yang tak mendapat balasan. Segala hal tentang cinta memang tidak selalu bahagia, namun tak harus terus patah untuk merasa cinta. Bahagia itu sederhana, milik kita, hak segala manusia.

Jangan menangis seorang diri, mari kukenalkan kepada perempuan yang seringkali mendapatkan kepedihan dari semesta. Karam namanya. Namun bukan tentang tangis pilu kisahnya. Semua ini tentang gadis paling manis setegar musim gugur yang dinamai Karam Anantavirya. Lelaki dingin berhati musim semi bernama Badai Athafariz Hizam. Dan pohon paling teduh di musim panas yang dipanggil Pian Mauza.

How to Love Someone, mengajarkan tentang bagaimana cara mencintai tanpa menghakimi cinta itu sendiri.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1: Teduh
Perihal mencintai selalu menjadi misteri. Terbalas atau terlupa, bersuara atau dalam keheningan. Setia dalam satu nama, mencintai diri sendiri, atau mendua. Disampaikan atau dipendam, singgah maupun berhenti. Cinta bisa sederhana, juga serumit hati yang tak terbaca. *** Sebenarnya untuk apa ia hidup di dunia ini? Pertanyaan itu masih sering keluar dari dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri, tetapi tidak dapat dijawab oleh dirinya sendiri. Dan karena hal itu, Karam belum merasa menjadi makhluk bumi seutuhnya. Setidaknya, Karam sudah memiliki tujuan hidup yang ia tentukan sendiri. Karam tidak ingin mati dengan cara bunuh diri, juga tak ingin mati konyol lalu ditertawakan makhluk bumi. Karam ingin mati dengan elegan dan nampak bahagia. Maka dari itu hal pertama yang harus Karam lakukan adalah keluar dari gang sempit yang menjadi tempat tinggalnya. Untuk bisa keluar dari sana, Karam harus memiliki banyak uang. Menjual diri mungkin terdengar sebagai jalan keluar yang cepat, namun Karam tahu bukan ia keluar, bisa-bisa Karam akan berakhir di gang itu selamanya. Bekerja banting tulang tanpa latar pendidikan terdengar masuk akal, namun Karam yakin baru bisa keluar dan membeli rumah pada usia lima puluh tahunan. Maka dari itu, Karam putuskan untuk menjadi orang pintar. Keputusan itu Karam ambil ketika ia berusia sepuluh tahun. Ketika ia masih dirawat oleh neneknya yang sehat. Ia berjanji akan membeli rumah di tempat yang lebih baik dan membawa neneknya pergi. Mungkin jika sang Ayah berubah menjadi orang yang baik, Karam akan membawanya juga, tapi ia akan mempertimbangkan opsi itu matang-matang. Sejak SMP Ayah tak mengeluarkan sepeser uang pun untuk menempuh pendidikan Karam. Karam tahu diri bahwa ia bukan anak yang diingini. Bukan anak yang akan dilimpahi kasih dan segala bentuk puji. Hidup tidak secerah mentari. Meskipun di siang hari masih dan akan selalu ada kegelapan yang menghampiri. Hal seperti ini, akan bisa dimengerti oleh orang yang sama-sama pernah mengalami luka serupa. Sisanya hanya sakadar simpati. "Karam Anantavirya?" Suara dosen lelaki berumur kepala lima membuat Karam tersentak dan lantas mengangkat tangannya. Ini adalah minggu kedua ia menjadi mahasiswa. Dalam hati, Karam berdoa agar dosen tersebut melewatkannya begitu saja dan tidak berkomentar apapun. Pak Arya menatap gadis yang duduk di barisan belakang itu dengan tatapan menelisik. "Nama yang bagus," pujinya, namun Karam tidak berpikir hal yang sama. Karam berarti tenggelam, dan ditambah dengan penampilannya yang sering disebut gelandangan cantik fakultas ekonomi membuatnya seperti perempuan yang tidak memiliki masa depan. "Terima kasih Pak," ujar Karam basa-basi. Setidaknya, dosen satu ini tidak menegur pakaiannya, seperti yang sudah-sudah. Pak Arya hendak menyebutkan nama berikutnya, namun urung dan kembali menatap Karam. "Pakaianmu, tidak ada yang lebih rapi?" Manik mata dewasa itu menelisik Oh, ternyata belum, ia tetap ditegur. Karam tersenyum dengan sedikit dipaksakan, tak menjawab. Namun semua orang tahu apa arti dari senyuman Karam. Pak Arya mengerutkan keningnya, "Kamu kenal Badai?" tanya Pak Arya tiba-tiba. Beberapa teman Karam berbisik-bisik. "Kenal Pak, angin kencang yang menyertai cuaca buruk kan, Pak?" jawab Karam dengan lugas. Seisi kelas langsung tertawa, begitupun dengan Pak Arya. Apa yang salah dengan jawabannya? "Bukan badai yang itu, tapi Badai yang manusia. Kalau nganggur, coba cari senior yang namanya Badai, dia kelihatan cocok sama kamu. Lihat nama kamu bikin saya ingat sama Badai," ucap Pak Arya yang diikuti suitan ramai dari teman-teman sekelasnya. Itu adalah kali pertama Karam mendengar nama Badai. Jadi, ada murid yang bernama Badai, pikir Karam dalam diam. Alih-alih ingin mencari, Karam malah tidak ingin mengenal sama sekali. Tanpa bertemu dengan Badai saja ia sudah tenggelam.  *** "PIAN BERANTEM LAGI DI KANTIN!" Suara teriakan salah satu mahasiswa yang berdiri di depan pintu kelas membuat seisi kelas langsung berhamburan keluar. Mereka nampak antusias dengan teriakan-teriakan yang menanyakan dengan siapa Pian bertengkar kali ini. Karam menatap kegaduhan itu dengan terganggu. Ia lapar dan sekarang ia tidak bisa makan di kantin. "Cowok bego nggak ada kapoknya," gerutu Karam. Ini sudah kali ketiga dalam kurun waktu dua minggu. "Karam nggak pengen ke kantin?" suara merdu dan lembut membuatnya menoleh. Ia melihat Nissa sudah berdiri seolah menunggunya. "Kantin pasti penuh banget Nis. Btw, lo jangan mau kalau di suruh ngobatin si Pian. Biar kapok dia." Karam mendumel kesal namun ia tetap berdiri dan berjalan keluar kelas. Di luar kelas ia bisa melihat mahasiswa berlarian seperti orang kesetanan. Perkelahian memang selalu terdengar menarik di mata orang-orang. "Kan kasian Kar, lagian gue nggak keberatan kok obatin Pian." Karam menoleh, menelisik wajah Nissa yang nampak malu-malu. "Nggak keberatan gegara dia ganteng?" tebak Karam. Nissa mengangguk dengan senang hati, lalu perempuan itu nampak berpikir. "Kali ini Pian berantem gara-gara apa ya?" "Woy! Cepetan! Entar Pian keburu selesai!" Sasa berteriak di belakang Karam dan Nissa hingga membuat kedua cewek itu terkejut. Tak pikir panjang, Sasa langsung menarik Karam dan Nissa agar berlari bersamanya. "Semangat banget sih lo, Sa!" teriak Karam. "Kali ini berantem sama senior!" Sasa menjawab dengan berteriak. Suasana di sana sangat ramai dan cukup kacau. Karam bisa melihat sekumpulan orang yang membentuk lingkaran besar khas seperti tengah menonton pertujukan. Karam mengernyit melihat padatnya tempat itu. Ada teriakan-teriakan yang menyebutkan nama Pian dan Bagus. "Nggak kelihatan!" Sasa berteriak di samping Karam. Perempuan yang merupakan teman sebangkunya itu nampak kesal karena tak bisa melihat perkelahian karena banyaknya penonton. Karam memutar orak liciknya. Ia lalu menarik lengan Sasa. "Sa, ayo teriakin nama Kajur, bareng-bareng!" serunya. (Kajur: Ketua Jurusan) Sasa menatap Karam bingung namun sedetik kemudian ia mengangguk. "PAK AGUNG! PAK AGUNG DATANG! BUBAR ADA PAK AGUNG!" Siapa yang tidak mengenal Pak Agung, dosen ekonomi yang punya julukan gorilla yang hobinya marah-marah. Orangnya galak bukan main dan suka membawa penggaris kayu untuk menggeplak mahasiswanya. Sakitnya dapat, malunya apalagi. Karam dan Sasa mundur saat kumpulan orang itu mulai berpencar ke segala arah. Teriakan Karam dan Sasa kini seakan memiliki gema yang berasal dari mulut anak lain. "Pak Agung datang!" "Sial, bubar-bubar! Entar kita kena juga!" "Yang nonton nanti kena juga!" "Kalian pintar," komentar Nissa yang sedari tadi diam. Penonton mulai membubarkan diri namun tetap menonton dari jarak yang aman. Kini Karam bisa melihat dua orang yang saling menarik kerah kemeja masing-masing. Meja dan kursi sudah tidak tertata dan Karam mengertnyit ngeri saat melihat kedua lelaki itu sama sekali tidak mengurangi kekuatan tinjunya. Mereka terlihat seimbang. "Pian!" Karam berteriak keras dan mendapatkan lirikan dari lelaki itu. "Jangan mau kalah!" teriaknya lagi dengan lantang. Karam memang tidak suka perkelahian seperti ini. Menurutnya orang yang membuat masalah di kampus seperti Pian adalah manusia kurang kerjaan yang bisanya merugikan diri sendiri. Namun melihat siapa lawan Pian membuat Karam memilih untuk mendukung temannya itu. Lawannya adalah Bagus, senior menyebalkan yang sering mengejeknya. Sepertinya Bagus punya dendam pribadi setelah ditolak Karam tempo hari. Di sebelahnya Sasa berucap, "Dasar gila," yang ditujukan kepada Karam. "Ayo Pian! Hancurkan sampai ke tulang-tulang—aduh!" Karam berteriak saat sebuah tangan menjewer telinganya. Ia menoleh dan mendapati Bu Rizka melotot sembari menarik telinganya. "Bukannya lapor ke ruang dosen malah ngedukung kamu ya?!" "Ampun Bu! Saya nggak ngapa-ngapain!" Karam berusaha membela diri. Ia menoleh dan ternyata Nissa dan Sasa sudah menghilang entah kemana. Kurang ajar sekali mereka. Pandangan Karam beralih kearah Pian dan Bagus yang kini tengah di gelandang menuju kantor Ketua Jurusan atau bahkan Wakil Dekan. Karam berhenti menebak saat mendengar suara Bu Rizka kembali menggema. "Sana balik ke kelas!" seru Bu Rizka. Memilih untuk melepaskan Karam dan fokus kepada dua orang yang tengah di tarik Pak Agung. Karam mengangguk patuh. "Bu, Pian sebenarnya anak baik loh," ucap Karam setengah tidak yakin. Ia berharap dosen wali kelasnya itu bisa membeli Pian nanti. Semenyebalkan apapun Pian, ia adalah cowok yang seringkali membantu Karam sejak masa orientasi dulu. Dan sepertinya sekarang pun Karam bisa menebak alasan Pian adu jotos dengan lelaki bernama Bagus itu. "Kamu jangan buat masalah, ingat beasiswa kamu," ucap Bu Rizka yang membuat Karam tersenyum kecut. Perempuan itu mengangguk dan meminta maaf. Ada sedikit sakit di hatinya namun ia tahu bahwa maksud dosen itu baik. Di kampus ini, Karam tidak boleh banyak bertingkah dan harus fokus pada prestasinya mengingat ia adalah murid beasiswa yang seharusnya bertittle murid teladan bukan gelandangan cantik dari fakultas ekonomi. *** Kau melihat namun hatimu terpejam. Ku berucap namun tak sampai terdengar. Ini sudah ketiga kalinya Karam mendapatkan pertanyaan yang serupa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Dosen muda itu bertanya pada Karam yang duduk di depan ruang Wakil Dekan II. Ruangan petinggi ekonomi berada berjajar dan berhadapan hingga menuisakan satu lorong yang biasanya diisi oleh mahasiswa akhir yang meminta bimbingan. Ada banyak orang berlalu lalang, dan harusnya Karam bisa dengan mudah berkamuflase menjadi mahasiswa akhir, menjadi mahasiswa tidak menonjol, atau menjadi tembok sekalian. Namun, sepertinya penampilannya terlalu mencolok hingga mengundang dosen untuk menegurnya. Celananya yang sobek selalu menjadi perhatian utama. Karam lebih terlihat seperti mahasiswa sastra yang tersesat di Fakultas Ekonomi. "Menunggu teman, Pak," ujar Karam dengan sopan. Gadis itu menurunkan tasnya hingga menutupi dengkulnya. "Teman kamu ngapain?" "Bimbingan Pak." Dosen itu memicing menatapnya curiga. "Nama kamu Karam kan?" Karam Anantavirya tidak pernah merasa setenar ini sebelumnya, terlebih di kalangan dosen. Karam jelas mengingat bahwa dosen di hadapannya ini bukanlah salah satu dari dosen yang mengajar kelasnya. Karam mengangguk dengan ragu untuk memberikan jawaban, ia menahan diri untuk menjawab kok tau? "Pian di skorsing selama seminggu, Bagus juga sama." Dosen muda yang Karam bahkan belum tahu namanya itu menjelaskan. Membuat Karam mendesah lega diam-diam. Setidaknya Pian tidak didepak dari universitas. "Terima kasih infonya, Pak." Karam berucap sopan yang dibalas senyuman dari dosen muda itu. Dosen muda memang terkenal bisa menjadi teman mahasiswa. Terlihat bagaimana dosen itu memberikan senyuman mencurigakan pada Karam. "Pacar Pian cantik ya," ucapnya dengan tawa khas yang sok akrab. "Kalian mahasiswa baru yang paling menarik perhatian. Sampai jumpa di mata kuliah pengantar akutansi," ujar dosen muda itu sebelum melenggang melewati Karam. "Ah, saya lupa bilang. Pian tidak ada di ruangan itu. Dia ada di ruang rapat lantai dua," ucapnya kembali berjalan, meninggalkan Karam yang mengumpat pelan sembari menatap penuh dendam kearah pintu hitam bertulis Wakil Dekan II. Jadi, untuk apa menyamar sebagai tembok sedari tadi? "Ah, gue lupa kasih tau kalau Pian bukan pacar," gumam Karam pada dirinya sendiri. *** "Lo bahkan nggak nengokin gue." Karam terdiam, ia dengan jelas mengenal suara bass berat yang biasanya sering menggaggunya dengan sapaan-sapaan aneh. Perempuan itu berbalik untuk mendapati seorang lelaki tinggi dengan wajah memar yang nampak telah selesai diobati dengan rapi. Gang itu cukup remang, bulan tak nampak dan lampu kuning remang hanya berada di ujung gang. Namun, Karam tahu dengan jelas siapa lelaki itu. "Lo masih hidup, nggak mati," ujar Karam dengan gesture cuek yang sudah dihafal luar kepala oleh lawan bicaranya. "Gue udah lelah bilang ke lo buat berhenti, Pian." Tentang Pian dan Karam, banyak orang yang bertanya-tanya tentang hubungan keduanya. Mereka terkadang terlihat seakrab saudara, namun terkadang bermusuhan seperti rentenir dan penghutang, tentu Pian yang jadi rentenir. "Perkelahian tadi siang, itu masalah gue. Nggak ada hubungannya sama lo, Karam." Pian bersandar pada tembok bata. Mengambil satu rokok dari sakunya dan menyalakan dengan api kecil. "Kalau nggak ada hubungannya sama gue, buat apa lo di sini?" Pian tercenung. Seharusnya ia menyiapkan catatan sebelum berdebat dengan Karam seperti ini. Ia jelas tidak bisa berdebat dengan pemenang kompetisi debat tingkat nasional, Karam Anantavirya. "Gue cuma ngasih tau." "Buat apa lo ngasih tau, kan nggak ada hubungannya sama gue." "Ya biar lo tau aja." "Gue nggak pengen tau tuh. Dan lo harusnya punya alasan yang ku—" "Gue kangen sama lo." Ucapan Karam terpotong oleh Pian. Lelaki itu menyesap rokoknya dalam hisapan dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. "Bercanda," lanjut Pian yang membuat Karam mendengus. Kesal. "Pulang sana!" "Lo beneran nggak cemas sama gue? Ini muka gue bonyok loh." Pian mengikuti langkah pendek Karam yang berjalan hendak meninggalkannya. Gang ini sepi, dan Pian selalu cemas jika Karam harus pulang sendiri seperti ini. "Salah lo sendiri, nggak ada hubungannya sama gue," tutur Karam cuek. "Nissa aja nungguin gue di depan ruang rapat, terus ngobatin gue. Lo kemana?" Karam tak langsung menjawab. Perempuan itu terdiam beberapa saat lalu menghentikan langkahnya dan berbalik tiba-tiba. Pian kini berjarak tak sampai tiga puluh senti dari tubuhnya, mereka begitu dekat, namun ada jarak yang lebih jauh dari sekadar jarak yang terjangkau. "Gue nggak mungkin buang-buang waktu kayak gitu," jawab Karam yang membuat rasa sakit asing merajai hati lawan bicaranya. "Jangan ikutin gue, gue capek." Karam berbalik dan berlajan dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya. Pian berdiam diri dan membuat jarak semakin nyata, namun kemudian lelaki itu berjalan dengan perlahan menjaga perempuan dalam pangangan. Memastikan Karam sampai di rumahnya dengan selamat. Pian pikir Karam akan langsung memasuki rumah, namun tidak, Karam berdiam diri di rumahnya sembari bersedekap. Memasang wajah tidak bersahabat dan berucap dengan cukup keras agar bisa didengar oleh Pian yang berada dalam jarak beberapa meter darinya. "Cepet sembuh, biar gue bisa mukulin elo!" ucapnya sebelum membanting pintu, menyisakan sebuah senyum kecil di bibir lelaki tampan itu. Karam adalah perempuan paling sadis, dan Pian terlalu bodoh hingga rela menjadi masokis.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
484.1K
bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

T E A R S

read
317.7K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Stuck With You

read
75.7K
bc

Symphony

read
184.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook