Hati ini milikku, jadi terserah mau kuapakan
Perihal rindupun, aku tak akan menyalahkanmu
***
"Lebih baik kita akhiri saja hubungan kita."
Badai masih ingat bagaimana perempuan itu melontarkan kalimat yang begitu mengejutkan. Niken, mantan kekasihnya begitu pandai memberikan kejutan pada seseorang. Waktu itu, Badai mencoba mengingat kesalahan apa yang telah ia perbuat. Dua tahun bersama, Badai tidak menyangka bahwa hubungan mereka akan berakhir dengan begitu mudahnya. Tanpa sebuah pertengkaran hebat, tanpa air mata, dan tanpa sebuah kesalahan. Setidaknya, itulah yang Badai pikirkan.
"Kenapa?" Satu kata itu yang mampu Badai lontarkan.
"Kamu nggak pernah mencintaiku." Niken, perempun lembut yang selalu mengerti dirinya. Untuk kali pernah tidak memahami dirinya. Badai bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca perasaannya sendiri. Dia tahu, dan dia mencintai Niken. Jika tidak, Badai tidak akan menyia-nyiakan dua tahunnya dengan orang yang tak ia cintai.
Lidah Badai kelu, hatinya sakit. Remasan-remasan itu terasa nyata bahkan saat Badai menarik napas. "Beri aku alasan kenapa kamu berpikir begitu?"
Niken diam, sunyi menjadi teman. Tak ada yang berucap diantara keduanya. Badai memilih untuk menunggu sedangkan Niken sibuk mencari jawaban. "Ini perihal perasaaan. Aku yang merasakannya, dan ini yang aku rasakan. Hubungan kita hambar. Dua tahun ini, aku masih merasa tidak dicintai olehmu. Aku masih merasa cintaku tak terbalas."
Lantas, bagaimana caranya Badai mengungkapkan perasaannya. Ketika dua tahun tak cukup untuknya mengungkapkan. Dua tahun tak cukup untuknya menunjukkan bahwa ia mencintai perempuan itu. "Baik, jika itu yang kamu inginkan." Dan perpisahan menjadi sebuah keputusan. Niken tidak percaya dan Badai menyerah. Hati keduanya sakit, Badai menyimpan rasa sakitnya dalam-dalam, dan Niken menangis diam-diam.
***
Pintu kamar dengan nuansa abu-abu itu terbuka sedikit, tanpa ketukan, menampilkan longokan sebuah kepala wanita paruh baya. Pemilik kamar itu tidak menoleh, telinganya tersumbat oleh earphone, dan perhatiannya terfokus pada layar laptop yang ada di depannya.
"Badai," panggil ibunda sang pemilik kamar. Badai menoleh, menatap ibunya dengan pandangan bertanya. "Boleh Mama masuk?" tanyanya meminta izin pada sang anak. Lelaki dengan kemeja abu-abu polos situ mengangguk, lantas melepas earphone yang ada di telinganya. Mama Badai duduk di pinggir ranjang besar sang anak, menatap Badai yang memutar kursinya untuk melihat ibunya.
Sesungguhnya, Badai tahu benar alasan mengapa ibunya datang ke kamarnya seperti ini. Akhir-akhir ini, ibunya sering merecoki Badai perihal perempuan mana yang akan ia gandeng ketika wisuda. Skripsinya sudah sampai bab lima, hampir selesai, namun ia memilih menjadi orang malas-malasan. Jika sang ibu tahu kalau skirpsinya sudah hampir selesai, bisa dipastikan wanita cerewet itu akan semakin mencecarnya.
"Kapan kamu mau move on dari Niken?" tanya sang ibu yang membuat Badai sedikit terkejut. Biasanya, ibunya akan membuka pembicaraan dengan kalimat, teman Mama punya anak perempuan, namanya bla bla bla.
"Aku udah move on, Ma," ucap Badai malas-malasan.
"Kalau sudah move on kenapa masih belum punya pacar juga. Ini udah bulan keempat kamu jomblo loh!"
Astaga, bahkan dirinya sendiri tidak menghitung berapa lama ia jomblo.
"Aku masih mau fokus sama skripsi, Ma," jawabnya mencari alasan.
"Ngerjain skripsi sama cari pacar juga dong! Pokoknya kamu wisuda harus ada pacar ya! Balikan sama Niken juga nggak apa-apa kok, sayang juga dua tahun pacaran tapi putus. Kok bisa putus sih?" cerocos sang Mama dengan gemas. Selama dua puluh satu tahun, pacar Badai hanya satu, Niken namanya. Niken gadis yang cantik, sopan, dan lemah lembut. Mama Badai sangat senang saat anaknya yang cuek itu mengenalkan seorang perempuan padanya.
Karena sangat jarang melihat Badai bersama perempuan, ia bahkan sempat ketar-ketir takut Badai menyukai teman lelakinya. Dan kabar putus antara Badai dan Niken sedikit banyak membuatnya kecewa.
"Kami berdua udah nggak cocok," jawab Badai dengan sabar.
"Kamu bikin salah apa sampai Niken putusin kamu?"
Badai menghela napas berat. "Kali ini Mama nggak ngenalin anak kenalan Mama ke aku?" tanya Badai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Jawab dulu apa yang bikin kalian putus?" cecar ibunya.
Badai diam sejenak. "Kalau Mama nggak nanya masalah putusnya aku sama Niken, nanti aku bakalan datang ke acara ngopi darat yang Mama siapin."
Mama Badai menatap anaknya tidak percaya. Biasa Badai selalu saja mangkir dan tak pernah mau datang meskipun sang perempuan sudah duduk manis menunggu Badai di restoran. "Kamu beneran mau datang?"
"Iya, hari ini juga aku mau datang," jawab Badai dengan yakin.
"Nanti sore bagaimana? Atau nanti malam?" tanya Mama-nya dengan antusias.
"Terserah Mama, nanti telepon aja. Aku mau cek café dulu." Badai berbalik dan menyimpan pekerjaannya. Menutup laptop dan memasukkannya dengan rapi kedalam ransel. Badai melihat dari ekor matanya sang ibu keluar dari kamar dengan ponsel di telinganya. Wanita itu terlihat begitu antusias.
Sepeninggal Mama-nya, Badai kembali duduk di kursi belajarnya. Ia merenung. Memikirkan seorang perempuan yang baru saja menjadi topik pembicaraan. Niken. Empat bulan lalu, perempuan yang mengisi hari-harinya selama dua tahun itu memilih untuk berpisah dengan dirinya. Bukan Niken tak memberikan alasan. Perempuan itu memberikan alasan yang jelas, namun belum bisa dimengerti olehnya.
***
Karam menatap Nissa yang nampak mengacak rambut ikalnya dengan gusar. Perempuan itu menatap ponselnya sambil menggerutu. Kelas telah berakhir beberapa menit yang lalu, mahasiswa mulai memisahkan diri.
"Lagi ngapain Nis?" tanya Karam penasaran. Biasanya, Nissa adalah orang pertama yang cabut dari kelas setelah sang dosen tentunya. Melihat Nissa tak kunjung mengangkat tubuhnya membuat Karam penasaran.
"Karam!" teriak Nissa dengan manik mata berbinar-binar. Gadis imut itu menatap Karam seolah baru saja menemukan jawaban atas masalah besar yang menimpanya. "Gue minta tolong dong..." rengeknya.
"Apaan? Gue mau kerja di café abis ini." Belum apa-apa, Karam sudah memberikan geture menolak. Bukan Karam tidak ingin membantu, hanya saja Karam sudah memiliki jadwal dan tidak ingin memberikan harapan palsu.
"Nanti malem kosong nggak? Karam, gue disuruh kencan buta sama Mama gue."
"Lah terus?"
"Gantiin gue!" Nissa mengatupkan kedua tangannya, memangang Karam dengan pandangan memohon. Saat itu Karam sadar bahwa temannya ini benar-benar imut. Seperti anak kecil yang manis dan lucu. Pantas saja Nissa sangat terkenal dikalangan mahasiswa lelaki. Semua orang pasti menyukai perempuan manis seperti ini. Tidak seperti dirinya yang bar-bar dan bahkan memiliki panggilan gelandangan cantik Fakultas Ekonomi. Yah, meskipun ada kata cantik-nya. Tetap saja egonya sedikit tersakiti mendapatkan julukan seperti itu.
"Jangan ngarang deh Nis. Bisa-bisa itu cowok kabur kalau ketemu gue." Karam berdecak sebal. Mengambil ponsel jadulnya untuk mengecek apakah ada panggilan dari rekan kerjanya di café.
"Nah, emang itu tujuan gue Karam." Ucapan Nissa yang terkesan lugu itu membuat Karam mengalihkan pandangannya dari ponsel. Ada sedikit rasa sakit hati atas keluguan Nissa. "Gue nggak suka acara jodoh-jodoh gitu. Lagian gue juga punya banyak gebetan, bisa cari sendiri. Ngapain juga Mama cariin gue pacar!"
Karam mengingatkan dirinya sendiri untuk bersikap sabar. Orang di hadapannya ini adalah anak kecil yang menjelma menjadi mahasiswa yang manis. Beberapa waktu bersama Nissa, Karam tahu bahwa temannya itu bisa dikategorikan sebagai perempuan baik, lugu, dan manja. Khas anak orang kaya yang belum mengetahui hitamnya dunia. Rasa-rasanya Karam ingin memberikan pelajaran tentang pahitnya kehidupan pada hidup Nissa yang selalu bahagia.
"Lo tuh polos, kalau menurut gue. Mungkin Mama lo nggak pengen lo salah ambil pasangan." Karam berusaha bijak.
"Tapi nggak dengan cara kayak gini dong. Lagian tuh cowok mau-mau aja dijodohin kayak gini. Dia pasti nggak laku makanya minta bantuan ibunya. Nggak gentle banget sih!"
Karam hanya mengangguk-angguk, malas berkomentar lebih lanjut. Informasi tambahan, Nissa adalah perempuan keras kepala yang jika diberi nasehat akan mengelak dengan segala cara. Sebenarnya Karam paling sebal dengan tipe orang seperti ini. Namun, bagaimanapun juga Karam tahu bahwa semua orang tidak ada yang sempurna.
"Karam mau ya gantiin gue? Nanti malem gue udah ada janji juga nih..." Nissa merengek lagi.
"Nggak bisa Nis, rencananya nanti mau ambil lembur." Karam mencoba berasalan. Ia tidak ingin terhubung dalam hal yang rumit.
"Nanti gue bayar tiga kali lipat duit lembur lo deh!"
Karam menelan ludah dengan berat. Munafik jika ia tidak tergoda. Motto hidup Karam adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
"Di sana lo cuma tinggal kenalan doang. Kata nyokap yang penting gue dateng sih, jadi meski entar gue nolak kayaknya nggak bakal marah banget. Beneran cuma kenalan ama makan Karam... Nggak sulit kan, ya? Mau ya?"
"Gimana ya Nis, bukannya ini acara penting buat lo ya. Mending lo lihat cowoknya dulu deh, kali aja lo demen."
Nissa menggeleng dengan tegas, ia menggoyangkan jari telunjuknya dan berkespresi bahwa pendapat Karam mustahil terjadi. "Nggak akan! Udah deh, gue kirim duit ke rekening lo ya. Bentar..." Nissa dengan gesit membuka mobile banking dan menuliskan rekening atm Karam yang sudah ia ketahui sebelumnya.
Karam melotot. "Nis jangan buru-buru. Ya ampun ini anak!" Gerutu Karam bingung sendiri. Mau nolak sayang, tapi kalau nggak ditolak kesannya ia matrealistis.
"Gue kirim sejuta nih!" Nissa memperlihatkan tulisan transaksi berhasil, dan hal itu sukses membuat Karam membuka mulutnya lebar.
"Gila lo Nis banyak banget!" Karam mengerjap beberapa kali untuk melihat nominal yang tertera di sana. Karam memang tahu bahwa Nissa adalah anak orang kaya. Perempuan manis itu juga mendapatkan penghasilan sendiri dari melakukan endorse di i********:, tapi Karam tidak menyangka jika Nissa bisa sebegitu mudahnya mengeluarkan uang untuk hal seperti ini.
"Pokoknya lo harus dateng ya, entar gue sms-in lokasi sama nama orangnya." Nissa berdiri dari posisi duduknya. Nissa nampak begitu senang, berbanding terbalik dengan Karam yang masih merasa tidak enak. Karam memang menyukai uang, namun entah mengapa Karam merasa ini sedikit tidak wajar.
"Udahlah Karam, lo santai aja. Nggak perlu di bikin pusing. Gue cabut dulu!" Nissa keluar dari ruang kuliah dengan penuh semangat. Berbanding terbaik dengan Karam yang merasa kalut. Oke, ia tidak mungkin bohong dengan mengatakan bahwa ia tidak senang ada uang satu juta nyasar ke rekeningnya. Nissa mungkin saja membuat hal ini terdengar mudah, namun Karam merasa tugas ini lebih berat dibanding lembur di café sampai suntuk.
"Oke Karam, santai aja. Lo tinggal datang dan bersikap cuek. Lihat penampilan lo aja, djamin dia bakal langsung ilfiel." Karam tersenyum miris, melihat sepatunya yang lupa dicuci dan celana jeans sobek yang seringkali mendapat teguran. Kemeja flannel kotak-kotak hijau matangnya nampak kusam, wajahnya kusut dan Karam lapar saat ini. "Bodoh amat lah, yang penting dompet gue aman bulan ini!" ujar Karam mencoba berpikir positif. Tanpa berpikir dua kali Karam melesat menuju café kampus tempatnya bekerja. Meminta makan lebih dulu lalu baru kemudan bekerja.