"Namanya Hizam, di resto Kuto, jam tujuh. Lo telat juga nggak apa-apa. Nanti disana makan aja, besok gue ganti uangnya. Oke udah ya, gue serahin ke elo! Thanks beeps..."
Karam terdiam dengan mulut terbuka. Ia melihat lalu lalang beberapa orang dengan pakaian terbaik mereka. Karam mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu memainkan sepatu putih kusam yang melekat di kakinya. Karam berpikir sejenak, jika dia nekat makan di restoran itu bisa jadi uangnya tidak akan cukup.
"Mungkin masuk bentar kali ya," gumam Karam. Ia tidak mungkin tidak menepati janjinya pada Nissa. Nissa bahkan sudah mengirimkan uang ke rekeningnya. Pamali kalau dikirim balik.
Karam menarik napas dan berjalan dengan mencoba terlihat percaya diri. Orang berpakaian jelek akan terlihat jelek jika pemakainya merasa tidak nyaman. Benar, yang penting adalah percaya diri! Seru Karam dalam hatinya.
Karam kembali celingukan saat sudah memasuki restoran, sepertinya untuk makan di restoran itu harus melakukan reservasi. Ia lalu memutuskan untuk menghampiri resepsionis, mungkin ia hanya perlu bertanya apakah ada yang melakukan reservasi atas nama Nissa atau Hizam.
"Mbak, saya mau tanya. Ada yang reservasi atas nama Nissa atau Hizam?"
"Sebentar ya, akan saya periksa," ucap pegawai itu mencoba terlihat ramah, meskipun dari tatapan matanya Karam tahu bahwa wanita itu terlihat enggan, atau mungkin sedikit mencemooh penampilannya. "Ah iya ada, atas nama Hizam di lantai dua meja nomor 107," ujarnya.
"Aaah," Karam mengangguk paham. "Saya akan tunggu di atas," lanjutnya.
"Silahkan, pesanannya akan segera kami antar," balas pegawai tersebut. Karam ingin mengacungi jempol percobaan profesionalisme yang dilakukan pegawai itu.
"Makanannya sudah dipesan?" Karam bertanya setengah tidak percaya.
"Iya, Tuan Hizam sudah memesan beberapa makanan."
Karam mengangguk dengan senang. "Oke, saya tunggu di atas!" ucapnya dengan semangat. Karam tidak lagi mempedulikan pandangan orang-orang atas penampilannya. Ia sudah terbiasa, sangat terbiasa.
Karam menghela napas saat duduk di meja nomor 107. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan tersenyum saat menyadari bahwa tempat duduknya berada tepat di area terluar lantai dua tepat di samping pagar pembatas. Karam dapat melihat lalu jalanan kota Jakarta, kerlap-kerlip lampu kendaraan, dan kehidupan banyak orang. Mendadak Karam merasa dirinya seperti orang yang tersesat. Ia memang selalu tersesat. Sampai sebesar ini Karam masih tersesat dalam dunia yang menyeramkan ini.
Harusnya kini ia masih bergelung di sela-sela awan, memancing bintang, lalu melambai pada astronot yang tersesat. Barangkali bisa mengantarkannya pulang. Namun, alih-alih berada di antara langit. Karam didepak untuk turun ke bumi. Lahir dari rahim seorang ibu yang tak ia kenali bahkan dari namanya. Harusnya ia tidak dilahirkan jika pada akhirnya tak ada yang benar-benar menginginkannya. Ibu membuangnya dan Ayah tak menganggapnya ada. Hanya Nenek yang menjadi peri tanpa kekuatan super di wonderland-nya. Nenek yang bahkan tak tinggal bersamanya.
Karam dengan cepat menolehkan kepalanya saat terdenar suara derak kursi yang ditarik. Ia lalu menatap seorang lelaki dengan tampilan rapi yang kini menempati tempat duduk di depannya. Karam mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu memandang mejanya yang masih kosong. Kenapa pelayan ini malah duduk, mana makanannya?
"Mana makanannya?" tanya Karam spontan.
Lelaki yang duduk tak sampai lima detik itu memandang gadis di depannya dengan aneh. "Makanan?" ulangnya.
"Yaa, makanan. Lo pegawai sini bukan?" Tujuan kedatangan Karam adalah untuk makan. Maka tak aneh jika dipikirannya hanya ada makanan, makanan, dan makanan. Kita terlahir untuk makan.
Lelaki di depan Karam terdiam dalam beberapa saat. "Gue Badai," ucapnya mencoba memperkenalkan diri. Keningnya berkerut, sedikit tidak suka gadis itu menyebutnya pegawai.
"Badai?" Karam memiringkan kepalanya. Berpikir kapan dan dimana ia mendengar nama itu. Jelas sekali ia merasa pernah mendengarnya.
"Mungkin orang tua gue bilangnya Hizam," ujar Badai mengoreksi.
Karam langsung tersentak dan menatap lelaki di hadapannya dengan manik mata melotot. "Mampus, orangnya dateng!" paniknya bukan main.
Karam menepuk tangannya. "Oh, iya Hizam. Halo..." ucapnya canggung.
Kening Badai semakin berkerut. "Lo Nissa kan?" tanyanya. Menelusuri penampilan gadis yang duduk di depannya. Badai pikir, ia akan menemui gadis dengan penampilan anggun atau setidaknya penampilan khas orang kaya. Mengingat jika Nissa adalah anak dari salah satu anggota DPR. Tapi, yang ia lihat kini adalah gadis yang... yah memang terbilang cantik, namun penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia anak orang kaya. Malah terlihat seperti anak hilang. Atau mungkin perempuan di hadapannya ini memang salah satu anak orang kaya yang kabur dari rumah. Tapi, untuk apa dia repot-repot datang ke acara kencan paksa jika dia memang sudah kabur dari rumah? Pikiran Badai berkecamuk tentang dugaan-dugaan atas perempuan berpenampilan unik di depannya.
"Tadi katanya nama lo Badai kan?" tanya gadis itu membalik pertanyaan Badai. Lelaki itu mengangguk. Sebagian orang memang memanggilnya Badai, nama depannya. Namun terkadang orangtuanya mengenalkannya dengan nama Hizam pada rekan bisnis mereka. Ia sendiri juga seringkali mengenalkan diri sebagai Hizam pada rekan bisnisnya. Menurutnya nama Badai tidak cocok dalam bidang bisnis. Bisa-bisa rekan bisnisnya mengira Badai akan membawa bencana di bisnis mereka.
"Karena lo Badai, lo bisa panggil gue Karam," Karam berusaha untuk berada dalam garis aman. Ia tidak ingin berbohong dengan mengenalkan dirinya sebagai Nissa, namun juga tidak ingin ketahuan jika ia bukan Nissa.
"Nama lo Nissa apa Karam?"
"Nama lo Hizam apa Badai?" balas Karam yang membuat Badai menatapnya tajam. Kalau bukan karena janjinya pada sang ibu, ia pasti sudah hengkang dari sini.
"Terserah," ucap Badai pada akhirnya.
Karam mengulas senyum puas, berhasil! Inilah kekuatan dari pemenang lomba debat tingkat nasional! "By the way, lo yang bayar makanannya kan?" ucap Karam saat dari jauh melihat beberapa pegawai yang menuju kearah tempat duduknya.
"Ya," ucap Badai dengan malas. Perempuan di hadapannya ini benar-benar mengesalkan. Badai melihat bagaimana gadis di hadapannya mengulas senyum lebar dengan binar mata senang saat melihat para pegawai meletakkan menu dasar yang ia pesan saat reservasi. Ini adalah kali pertama ia melihat perempuan begitu senang hanya karena melihat makanan. Hal itu memunculkan pertanyaan besar di kepalanya, benarkah gadis di hadapannya ini adalah anak orang kaya?
"Selamat makan!" Karam berujar dengan semangat dan hal itu menarik perhatian Badai. Anak ini terlihat seperti tidak makan berhari-hari.
"Lo suka makanannya?" tanya Badai masih menelisik ekspresi perempuan di hadapannya.
"Suka," ucap Karam sembari mengambil potongan ayam besar untuk dibawa ke piringnya. Perempuan normal akan makan sedikit, apalagi di depan lelaki tampan, menawan, dan menantu idaman sepertinya.
Tak ada yang membuka mulut diantara keduanya. Badai makan dengan tenang, gaya khas seorang lelaki kaya yang menguasai table manner. Sedangkan Karam serampangan seperti anak hilang yang mendapatkan roti setelah tiga hari tidak makan.
Karam merasakan tatapan tajam Badai yang mengawainya seakan hendak melubangi dahinya. Karam hampir tersedak dan kemudian memutuskan untuk membuka obrolan untuk menghilangkan suasana mencekam diantara keduanya. "Jujur aja, lo lumayan. Kenapa orang tua lo sampai bikin acara perjodohan. Lo nggak bisa cari cewek sendiri?" Lidah jahilnya tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.
Badai mengangkat sebelah alisnya. "Jujur aja, lo juga lumayan. Kenapa orang tua lo bikin acara perjodohan, nggak laku ya?" balas Badai meniru gadis itu, setengahnya balas dendam.
Karam terdiam lalu terkekeh kecil. "Yaah, gitu deh..." ucapnya dengan nada jahil.
Badai mendengus, sepertinya gadis di hadapannya sama sekali tidak sakit hati dengan ucpannya. "Jujur aja, gue nggak suka acara perjodohan ini."
Karam menganggukkan kepalanya, paham. "Terus?"
"Bilang orang tua lo, kalau lo nggak suka gue."
"Kenapa bukan lo aja?"
"Gue nggak bisa."
"Kenapa?"
"Nyokap cerewet," ucap Badai pada akhirnya.
Karam menghentikan acara makannya. Ia lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil. "Bagus dong, daripada nggak ada yang nyerewetin?"
"Tapi gue nggak suka perjodohan ini!" kukuh Badai. Ia sudah seringkali menolak permintaan perjodohan ibunya. Dan sang ibu tetap kukuh pada usahanya untuk mencarikan jodoh untuk Badai. Satu-satunya cara terlepas dari perjodohan ini adalah dengan cara membuat lawan mainnya turut menolak acara menggelikan ini.
"Coba deh lo bilang, pelan-pelan, dengan penuh perasaan kalau lo nggak suka dijodohin."
Badai mendesah lelah. "Lo nggak bakalan ngerti."
Karam mengangguk. "Ya, gue memang nggak bakalan ngerti." Karam lalu menyenderkan tubuhnya pada kursi, menatap Badai dengan serius. "Kenapa lo nggak bawa pacar atau siapa gitu."
"Kenapa bukan lo yang gitu?" balas Badai cepat.
"Gue nggak punya pacar," sahut Karam dengan wajah polosnya.
Badai menghela napas berat. "Ya sama," gumamnya pelan namun mampu membuat Karam tertawa cukup keras.
"Sekarang gue tau, lo tipe cowok yang nggak bisa move on sampai-sampai ibu lo cemas kan?" cecar Karam menunjuk Badai puas.
"Sok tau!" sembur Badai kesal. Kenapa perempuan itu suka bener kalau ngomong.
"Gini aja deh, gimana kalau lo bilang ke ibu lo semua kejelekan gue, gue juga bakalan gitu. Intinya kita nggak cocok dan nggak bakalan cocok. Masalah selesai." Karam berucap enteng, mencoba meredam kekesalan Badai atas ucapannya beberapa saat yang lalu.
Tak mendapat sahutan dari Badai, Karam kembali melanjutkan acara makannya. Sesekali tersenyum melirik kearah Badai yang menatapnya dengan tajam.
Karam menyelesaikan acara makannya dengan hikmat. Gadis itu menepuk perutnya beberapa kali dan tersenyum senang. Ah, andaikan saja ia adalah ular piton yang bisa menyimpan makanan dalam lambung, pasti menyenangkan, pikirnya.
Karam berdehem saat melihat tatapan tajam dari lelaki di depannya. "Gue balik dulu ya, Badai...Terima kasih makanannya..." ucapnya manis. Sok manis bahkan.
Badai tidak menyahut, keningnya berkerut dalam. "Lo kesini cuma buat makan?" tanyanya sarkas.
Karam tertawa kering, lalu mengibaskan tangannya. "Gue kan kesini buat ketemu lo. Kebetulan aja mejanya penuh sama makanan. Kan sayang kalau nggak dimakan..." ujarnya beralasan.
Badai menyipitkan matanya. "Lo beneran anaknya Pak Wijaya bukan sih?"
"Kenapa emang?"
"Lo lebih mirip anak jalanan yang lama nggak makan daripada anak orang kaya," ketus Badai yang membuat Karam mengelus dadanya. Ya Tuhan, itu mulut nggak ada sensornya atau bagaimana sih...
"Gini aja deh, biar pertemuan kita lebih berfaedah. Gimana kalau lo curhat aja masalah perempuan yang bikin gagal move on itu. Sebagai sesama perempuan kali aja gue bisa kasih masukan?" tawar Karam yang membuat Badai berdecih tak suka. "Tenang aja, gue bisa dipercaya kok. Lagian kita nggak akan ketemu lagi kan?"
Nggak akan ketemu lagi...
Badai memutar kalimat itu dalam otaknya. Sepertinya gadis di depannya juga ingin menolak perjodohan ini, pikirnya. Badai kembali merenung saat pikirannya menemukan satu pertanyaan yang tak ia ketahui hingga saat ini. Ia lalu menatap gadis dengan tampilan berandalan di hadapannya. Dan dengan nekad bertanya. "Bagaimana cara yang benar dalam mencintai seseorang?" tanya Badai dengan sedikit keputusasaan di dalamnya.