Malam itu Badai sengaja pulang ke rumah larut malam. Ia menghabiskan waktunya di café hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan ibunya tentang kencan bersama perempuan yang seharusnya bernama Nissa. Badai bukan orang bodoh. Jelas lelaki itu berpikir mengenai kemungkinan bahwa yang ia temui bukanlah Nissa yang sesungguhnya, terlebih perempuan urakan itu menamai dirinya Karam.
Perempuan dengan manik tajam itu mungkin pandai berkelit, namun Badai jelas tahu bagaimana seharusnya penampilan seorang anak anggota DPR yang terpandang. Alih-alih bersikap manis, Karam malah terlihat seperti orang yang tidak makan selama seminggu.
Badai memasuki rumah dengan setengah mengendap. Menguncinya dan segera masuk ke dalam kamar. Badai menghela napas pelan saat merasa tak akan ada gangguan. Terkadang Badai ingin membeli sebuah apartment untuk kemudian ia tinggali sendiri, tetapi ibunya tidak mengijinkan karena takut kesepian. Badai segera mengganti bajunya dan memilih kaos oblong untuk tidur. Pandangan matanya kemudian jatuh pada rak bukunya. Buku-buku di sana hampir tak pernah ia baca untuk kedua kalinya.
Badai terdiam, langkah kakinya mendekat kearah rak buku dan menelisik judul-judul yang ada. "Tadi terlalu jahat ya," gumam Badai saat teringat ucapannya pada Karam. "Dia orang miskin?" Badai bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
Logikanya menebak bahwa Karam termasuk orang yang kurang mampu. Jika dia memang anak anggota DPR, tidak mungkin dirinya sampai meminjam buku padanya kan.
"Kalau dia beneran butuh gimana?"
Ada hal asing yang mengusik Badai. Tidak biasanya ia menjadi terlalu peduli pada orang lain, namun Karam membuatnya sedikit merasa bersalah, entah karena apa. Badai berdecak sebal, merasa kesal pada dirinya sendiri. Terlebih ketika Badai mulai memilah buku bertema ekonomi dan memasukkannya kedalam ransel hitamnya.
***
Badai jarang menghabiskan waktu di café kampus dengan tema dalam dan luar ruangan ini. Ini bukan kali pertama tetapi jelas ini bukan tempat nongkrong Badai. Biasanya, lelaki itu akan menghabiskan waktu di cafenya sendiri dengan sebuah buku atau beberapa laporan lain. Alih-alih menjalani rutinitas biasa, Badai memilih menghabiskan waktu di café bertemakan baca. Ada banyak buku sastra yang dipajang dan dapat dipinjam oleh pengunjung. Café ini juga memiliki peraturan pengunjung yang merokok harus berada di bagian luar café dan bagian dalam khusus untuk pengunjung yang tidak merokok. Itulah mengapa Badai memilih berada di dalam ruangan.
Kini, dengan sebuah alasan yang dirinya sendiri tidak yakin, Badai berada di sini. Badai membutuhkan waktu beberapa jam untuk memutuskan apakah ia harus mencari perempuan kemarin malam atau tidak. Ada sesuatu yang mengganggunya dan entah mengapa Badai merasa ia belum selesai dengan perempuan yang menyebut dirinya Karam. Di café kampus tempat ia menghabiskan waktu dalam pikirannya, Badai mengerutkan keningnya. Merasa bodoh karena mendadak menjadi terlalu gegabah. Badai sudah siap dengan ransel hitam berisi buku ekonomi, namun ia tidak tahu harus ia apakan buku-buku bekas ini.
Badai tidak bisa mencari seseorang bernama Nissa, karena ia tidak ingin berhubungan dengan perempuan asli yang dijodohkan dengannya. Tadi pagi, Badai dengan alasan yang meyakinkan meminta ibunya mencari foto Nissa. Dan yang ia dapatkan adalah perempuan feminim dengan rok sebatas tumit berwajah baby face, bukan perempuan dengan jeans sobek dan peringai semacam berandal. Si perempuan Karam itu pasti dimintai Nissa untuk pura-pura menjadi dirinya.
Sejak kemarin malam, pikiran Badai dipenuhi oleh satu nama. Karam. Rasanya pasti akan sangat aneh jika perempuan itu benar bernama Karam. Orangtua mana yang tega menamai anaknya dengan arti tenggelam seakan tanpa masa depan.
"Karam! Cepet bantu gue bikin jus!"
Badai dengan refleks menoleh kearah bagian staff, lalu kembali menoleh kearah pintu masuk dan terkejut ketika ia mendapati perempuan Karam itu.
"Kata Boss gue suruh makan dulu tuh!"
Badai melihat bagaimana perempuan itu menjulurkan lidahnya dan mengejek. Penampilannya tak jauh berbeda dari kemarin. Sepatu putih yang nampak kusam, celana jeans yang sama, dan kini ia memakai kaos hitam dengan jaket denim kebesaran.
"Bantuin dulu napa, jangan gabut!"
"Tapi gue laper, belum sarapan. Pingsan berabe entar," Karam menjawab dengan lihai, dan Badai mendengus saat mendengar alasan perempuan itu.
"Yaudah cepetan sana!"
Perempuan itu tersenyum dengan kemenangan. Kemudian mengambil piring kemudian mengisi piring itu hingga benar-benar penuh. Di sudut meja samping jendela, Badai menunduk dan menatap ransel besarnya. Mendadak ia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Badai datang ke kampus dengan ransel penuh buku ekonomi. Badai merasa tidak mengenal dirinya sendiri.
Badai mendongak ketika melihat seseorang nampak berdiri di sampingnya. Jantungnya mengejut saat melihat Karam berdiri dengan piring dan jus jeruk di tangannya. "Ternyata gue salah, kita ketemu lagi," ujar Karam dengan senyum kecilnya.
Perempuan itu hanya berucap singkat kemudian berlalu. Badai kira Karam akan bertanya apakah ia boleh duduk bersama. Ternyata tidak, setelah mengucapkan kalimat yang entah sapaan atau bukan, Karam berlalu keluar dan duduk di salah satu kursi yang kosong, menikmati makan siangnya sendirian.
Badai menimbang-bimbang sembari melirik ranselnya. Lelaki itu berdesis kemudian berdiri dengan ransel yang beratnya minta ampun. Badai duduk di depan Karam dengan wajah datarnya. Kemudian mengeluarkan sembilan buku tebal dari dalam ranselnya. "Gue kasih ini biar tas nggak berat," ujarnya dengan wajah judes yang tak berubah sejak kemarin.
Karam bingung bukan main. Merasa aneh mengapa lelaki judes seperti Badai melakukan hal mengejutkan dan merepotkan seperti ini. "Jadi lo ke kampus buat nyariin gue? Serius?" ucap Karam tak percaya.
Badai membuang muka, merasa menyesal telah mencoba berbuat baik. "Daripada bukunya gue buang, mending gue kasih orang yang perlu kan?" cibirnya.
Karam tersenyum lebar, hingga sedikit nampak mengerikan di mata Badai. "Jadi gini, karena lo udah baik banget. Gue mau ngaku. Sebenarnya gue bukan Nissa. Lo kan juga nggak setuju sama perjodohan itu dan Nissa juga nggak setuju, jadi gue nggak perlu bohong kan?"
"Gue udah tau." Sorot mata Badai tajam dan dalam. "Gue bukan orang bodoh yang bakal percaya cewek urakan kayak lo anak dari anggota DPR. Setidaknya, untuk makan di restoran kemarin Nissa yang sebenarnya pasti pakai gaun."
"Kenapa harus pakai gaun, kan nggak enak. Nggak bisa loncat pagar kan."
Badai mengernyit, "buat apa loncat pagar?"
"Loncatin pagar hati lo, terus masuk deh!"
Jika Badai tengah makan atau minum, lelaki itu pasti kini tengah tersedak hebat. Sedangkan Karam di depannya tengah terpingkal melihat ekspresi horror yang ditampilkan oleh Badai. Seburuk itukah gombalannya?
"Nggak usah tersipu malu gitu deh!" goda Karam lagi.
"Sampah di mana? Mau muntah."
Karam tergelak, sejenak melupakan makanan di depannya. Melihat ekspresi serius Badai berubah menjadi agak pucat, agaknya lelaki itu benar-benar ingin muntah. Jahat sekali.
"By the way, thanks ya... Sesuai perjanjian, gue bakal ngasih tau cara mencintai dengan benar." Karam berpikir mungkin hidupnya tidak akan susah-susah amat jika ia bisa menggaet lelaki seperti Badai menjadi kekasih atau minimal teman. Berdasarkan riset yang ia lakukan, Badai adalah anak orang kaya yang juga merintis usahanya sendiri. Mengagumkan, Karam ingin bisa sukses seperti Badai. Mungkin Karam akan meminjam uang untuk modal usahanya nanti.
Sedangkan di mata Badai, senyum Karam yang kelewat lebar nampak asing baginya, namun Badai tak merasa terganggu. "Bagaimana caranya?"
"Tentu saja dengan praktek langsung," ujar Karam terdengar seperti candaan, namun Badai terlalu serius untuk menganggapnya begitu.
"Omong kosong, gue pergi." Badai tentu tak ingin berlama-lama di sana. Ia tidak ingin seseorang melihatnya bersama dengan Karam, terlebih lagi jika yang melihatnya adalah sang mantan kekasih.
"Badai, ngomong-ngomong, nama gue beneran Karam."
"Nama gue beneran Badai," ujar lelaki itu sebelum berlalu dengan ransel yang bergelantung di sebelah pundaknya.
Karam tersenyum kecil, ini adalah kali pertama ia tidak merasa malu atas namanya. Karena Badai juga merupakan nama yang cukup gila.