Prolog
BunyKalau lo pikir angka pertama adalah angka satu, lo keliru. Semua harus dimulai dari nol, karena di balik kesuksesan seorang satu pasti ada wanita kuat bernama nol.
~Quotes gaje Jeje~
***
Berdiri di atas bangku reyot. Kesepuluh jemari tangannya menggenggam erat tali Rafia yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai tali tambang, dengan simpul gantung menganga lebar. Siap untuk menelan kepalanya. Ujung tali diikatkan pada dahan kering pohon rambutan yang sudah tak lagi berbuah, karena memang bukan musimnya.
Kelopak mengerjap-ngerjap. Dadanya naik turun mengatur napas, berusaha menenangkan diri. Ketika tangannya bergerak untuk memasukkan simpul berbentuk bulat itu. Dua sosok makhluk, muncul di hadapannya, dalam bentuk imajiner.
Kedua sosok itu adalah dirinya sendiri dalam wujud yang berbeda. Salah satu mengenakan pakaian serba putih, dengan sepasang sayap di punggungnya. Sedangkan satunya lagi mengenakan kaus lekbong hitam, bertuliskan dua huruf 'GJ' di tengahnya. Kedua matanya merah menyala. Lengan dan lehernya yang terekspos, dipenuhi corak warna-warni lukisan tato.
"Jangan lakukan itu," ucap sosok putih lirih.
"Berisik Lu, Mimi Peri!" sahut sosok hitam menimpali. "Terusin aja! Bidadari udah nungguin Lo di sana!" lanjutnya lagi, sambil menunjukkan jarinya yang diselimuti api merah ke arah langit.
Mengepakkan sayap, sosok putih terbang sebelum kemudian mendarat di sebelah kanannya. Lalu mendekatkan bibir ke arah telinganya, dengan posisi tetap melayang sambil terus mengepakkan kedua sayap.
"Woi! Lo mau cium dia?" pekik sosok hitam.
Spontan tubuh itu bergeser ke arah kiri, menjauhkan wajahnya dari bibir yang mendekat. Membuat bangku reyot pijakannya sedikit bergoyang.
"Coba kamu pikirkan lagi. Pasti ada orang yang akan sedih dan merasa kehilangan, karena kamu mati dengan cara seperti ini." Sosok putih yang gagal berbisik, dengan ragu mengucapkan kalimat yang seharusnya tidak boleh didengar pihak lain.
"Hoax itu!" Sekejap mata. Sosok hitam-dengan penampilan mirip Young Lex-sudah bersila di sebelah kirinya, melayang tanpa sayap atau pun tali penyangga tubuh. "Jones mana ada yang peduli," lanjut si hitam, sambil memainkan bola-bola api yang melayang-layang di atas telapak tangan.
Gerakan mengenakan simpul gantung yang terjeda beberapa saat lalu, kini berlanjut. Kali ini tanpa ada keraguan. Tali yang melingkar bulat itu dimasukan melalui kepala dengan cepat, layaknya mengenakan baju baru saat lebaran.
Melihat usahanya hampir gagal. Sosok putih terbata-bata berkata, "Kamu memang Jones, dan tidak akan ada yang peduli saat kamu mati. Tapi, apa kamu mau, mayat kamu bergelantungan sampai habis dimakan belatung?"
"Sepandai-pandainya tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Selama-lamanya mayat elu gelantungan, pasti bakalan dikubur juga," tukas sosok hitam, asal-asalan mengartikan pribahasa.
"Si b**o! Mana ada pribahasa begitu." Sosok putih yang selalu bertutur sopan, akhirnya berkata kasar juga. "Pantes aja! Badan udah bagus-bagus malah di-tato-in. Emang b**o, Lo mah!"
"Serah gue aja kaleee!" sahut sosok hitam, "Gue tatoan! Tapi gue enggak pake n*****a, Men!" lanjutnya lagi sembari melemparkan bola-bola api ke arah si putih.
Sayap-sayap lembut itu berubah menjadi perisai untuk menahan serangan panas. Kemudian kedua sosok imaji saling menyerang, dan melupakan tubuh yang tinggal selangkah lagi menuju kematian.
"Ahsiyap!"
"Ahsiyap!"
"Ahsiyap!"
Tiga pesan masuk hampir tanpa jeda. Mengirimkan getaran ringan di saku celana bahannya.
"Enggak usah diliat! Palingan cuma operator." Di tengah-tengah pertempuran, sosok hitam mencegahnya membaca pesan. Menyebabkan bulu-bulu sayap tajam yang melesat, merobek dua huruf 'GJ' pada kaus lekbong, memperlihatkan bagian perut sixpack berbentuk kotak-kotak.
"Anyink!" umpat si hitam geram, matanya merah menyala, api di tangan membesar. Kemudian, dengan cepat melakukan serangan balik.
".... ibu-ibu bapak-bapak siapa yang punya anak bilang akuuu ...."
Tanpa pikir panjang. Diambilnya ponsel yang menyenandungkan lagu kebangsaan itu. Menghentikan lantunannya dengan menggeser icon hijau untuk menerima telepon.
"Halo! Kamu di mana? Udah pulang kerja? Kenapa chat mamah enggak kamu baca?" Berondong pertanyaan dari seberang sana menggempur gendang telinganya.
Belum sempat dijawab, lawan bicaranya kembali nyerocos, "Jangan lupa ya! Seblak pesenan mamah. Bilang ke abangnya, yang pedesss!"
"Iya, aku enggak bakalan lupa."
"Jangan ngebut-ngebut bawa motornya ya!" Pesan terakhir dari si penelepon, sebelum memutuskan panggilannya.
"Iya."
Dengan tali yang masih melingkari leher. Netranya menatap dua makhluk imajiner yang sudah tak lagi berkelahi. Tanpa perlu bertanya, kedua sosok itu seakan mengerti apa arti tatapannya.
"Kamu yang memutuskan!" tutur keduanya secara bersamaan.
Kedua sosok itu perlahan melebur. Kemudian kembali hadir, menjadi satu, membentuk perwujudan dirinya persis saat ini. Memakai jaket Parka hitam, dengan celana bahan yang juga berwarna hitam, serta sandal Swalow yang sudah beberapa hari tidak dicuci.
Tanpa ragu, kakinya melangkah maju, melompat dari atas bangku yang sudah rapuh itu. Dengan leher yang sudah tak lagi terikat. Kemudian berlari kecil ke arah motor matic-nya.
"Silhoutte-nya KANA-BOON lebih bagus buat dijadiin nada dering!" cetus sosok khayalan itu sebelum kembali menghilang.
Motor pun melaju. Menyisakan kembali sepi di tempat itu.
Dari satu pohon ke pohon lainnya, terlihat seekor tupai meloncat dengan lincah. Saat tubuh mungil itu mendarat di atas dahan kering pohon rambutan dengan tali yang masih terikat dan menggantung. Dahannya ... patah. Membuat makhluk berbulu itu ditarik gravitasi, jatuh. Dipaksa mencium bumi.
Sepandai-pandainya tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Iya,'kan!?
TAMAT
BOHONG DING, wkwkwk!
i petir sahut menyahut, mengalahkan kicauan penyiar radio di mobilku. Dedaunan rindang di kanan dan kiri jalan membuat suasana semakin mengerikan. Baru pukul 20.34 WIB, tapi karena hujan angin mengguyur Kota Malang sejak sore tadi. Aku pikir hal itu membuat orang-orang malas keluar rumah. Hanya ada satu-dua mobil yang tadi berpapasan denganku. Motor apalagi, sangat sedikit yang berlalu-lalang. Padahal biasanya banyak sekali ojol nge-time di depan restoran KDS Araya.
Aku sendiri baru pulang, setelah seharian menekuri pekerjaan memusingkan di kantor. Tak sekali, tapi seringkali start-up tempatku bekerja menuntut desainer untuk bekerja melebihi jam kerja. Apalagi jika sudah mendekati deadline, bisa dipastikan aku mungkin tidak akan tidur semalaman karena membawa lemburan pulang. Masalah ini sering terjadi bukan karena ketidakmampuanku sebagai seorang desainer grafis, namun karena client yang tidak disiplin dan tidak memiliki integritas. Mereka seenaknya saja mengubah data dan status approval. Konten yang dibuat pun masih bisa berubah atau bahkan dibatalkan sesuka mereka, padahal aku sudah berdarah-darah membuatnya.
Kekesalan atas tidak mulusnya pekerjaanku teralihkan ketika mobilku melintasi kawasan jembatan Kota Araya. Lampu temaram jembatan tak membuat pandanganku kabur sedikit pun. Aku bisa menangkap dengan jelas sosok gadis tengah memanjat lengan jembatan dengan betis kecilnya.
Gadis itu gila? Dia mau bunuh diri?
Kepalaku dengan panik mengitari seluruh arah. Mencari manusia lain yang kupikir bisa menghentikan gadis kumal itu. Namun tidak ada seorang pun di jalanan ini, ya Tuhan.
Tidak, tidak ... jangan aku.
Bahkan hanya dengan menatapnya di radius tiga meter, aku bisa mengidentifikasi berapa ratus kuman di tubuhnya. Rambut menggimbal tanda kalau ia tak keramas berhari-hari. Kuku tangannya hitam, hiiiii, ngeri sekali.
Sialan, kaki lancang. Kenapa kamu harus menginjak rem, apa peduliku sama cewek itu. Cepet injek gas, cepeeeeettttt!
Kakiku tak mematuhi perintahku. Kok bisa begini?
Oke, sepertinya aku harus turun menyelamatkan cewek kumuh penuh bakteri.
Tanganku gesit membuka dashboard, mencari masker, sanitizer, dan sarung tangan. Tetapi belum sempat aku menemukan benda-benda itu, gadis di lengan jembatan sudah bersiap akan loncat.
Tidaaakkkkkk!
Aku tidak tega.
Daripada loncat lari dan menolongnya, mengotori tanganku, mengontaminasi tubuhku dengan bakteri dari tubuhnya. Lebih baik aku memejamkan mata, pura-pura tidak tahu saja. Beberapa detik setelah memejamkan mata, bunyi petir menggelar benar-benar lantang. Telingaku sampai sakit dan berdengung akibat gelegar sang halilintar. Cahaya kuatnya sampai menyusup ke mataku yang nyata-nyata sedang terpejam kuat.
Aku membuka mata perlahan. Cahaya kuat mulai menyingsing dan sirna. Namun ada yang aneh. Kenapa aku berada di trotoar sisi jembatan, bukankah aku tadi masih berada di dalam mobil?
Telapak kakiku terasa dingin dan basah. Saat aku menatap ke bawah, astaga....
Ini apa?
Aku?
Kenapa aku berada dalam tubuh cewek jorok yang tadi mau bunuh diri?
Mataku menyisir jalan. Kutemukan mobilku masih berhenti di posisi semula, di sebelah pos satpam ujung timur jembatan. Aku berlari kecil tanpa alas kaki. Aku ketakutan sekaligus frustrasi, tubuh penuh kuman ini yang sekarang kumiliki.
Tiba di mobilku, kuintip tubuhku masih terpejam tak sadarkan diri di dalam. Tubuh paling higienis yang selalu aku jaga. Tolong, kembalikan aku ke dalam sana.
Aku mengetuk-ketuk kaca jendela, berusaha menyadarkan tubuhku. Mungkin aku hanya bermimpi buruk.
Ayo, cepat bangun. Agar aku bisa balik ke sana secepatnya....
Tubuhku terbangun. Yes!
Ia mengerjapkan mata tak percaya melihatku. Sesaat kemudian teriakan bass membahana membuat kami berdua ketakutan.
"Siapa lo?" kata tubuhku waspada.
"Justru aku yang harusnya bertanya, siapa kamu? Pemilik tubuh kotor ini?"
"Hah? Tubuh kotor kata lo?!" Dia keluar dari mobilku untuk menghajarku.
"No, Don't touch me. Jangan buat tubuhku menyentuh tubuhmu yang kotor ini."
"Hadehhh, s****n!" Cewek sinting itu malah memelukku.
Ia menggesek-gesekkan pipi bersihku ke pipi kotornya. Tangan bersihku ia gunakan untuk membelai rambut baunya.
Aku ingin menangis. Tubuhku ternoda.
"Ampun, ampun, lepaskan." Aku terus menghindar, sementara ia terus mengotori tubuhku yang dikuasainya.
Ya, Tuhan. Aku sudah salah memilih musuh. Tolong kembalikan posisi kami. Aku tidak kuat berurusan dengan bakteri berjalan ini.
***