Chapter 5
“Ibu sudah berapa kali ngobrol sama dia?” tanya Mega curiga. sepertinya ibunya cukup akrab dengan Kostav.
“Emmm, ada kali empat kali,” tambah Rukmi saat melihat sorot mata Mega yang tampak tak biasa.
“Ibu tahu nomornya dari mana?” cecar Mega.
“Dia dong yang kasih. Kamu ingat, waktu Ibu yang angkat teleponmu ketika kamu baru saja sampai dan tidur. Saat itu, dia kasih nomor ke Ibu. Dia ramah, Ibu suka.”
Mega memutar kedua bola mata malas dan menepuk dahinya. Gawat kalau sudah begini. Ibunya pasti tidak akan membuat hidupnya tenang dan akan menyuruhnya segera melepas masa lajang. Jiwa Mega memang bisa dikatakan pengecut. Dia rasanya ingin pergi menghindar dari dua orang pria itu. Ia merasa tidak sanggup menghadapi keduanya. Mega tidak tahu apa yang hendak ia katakan lagi. Semua orang juga tahu, kelas sosial mereka sangat berbeda. Ia tidak mau menjadi pergunjingan tetangga, walaupun sekarang juga tidak jauh berbeda. Perawan tua adalah salah satu label yang mereka berikan kepadanya.
“Di mana-mana cowok kalau ada maunya ya begitu, Bu.”
Rukmi menghentikan kegiatannya merascik adonan dan melotot tidak setuju seraya menggelengkan kepala ke arah Mega. “Kamu ini, kenapa sih? Nggak boleh begitu, emang kamu pernah dikecewakan laki-laki? Enggak, kan? Nggak semua laki-laki begitu, contohnya bapakmu itu.”
“Bapak itu jenis yang langka, Bu,” balas Mega tak mau kalah.
“Berarti bapakmu ini harus dilindungi,” celetuk Akhmad dari belakang Mega seraya terkikik geli.
Rukmi mendengkus dan ikut tertawa. “Kamu pikir bapakmu, satwa langka apa? perlu dilindungi?”
“Oh ya, perlu dong kadang-kadang. Kamu nggak tahu 'kan, Ibu sekarang ganas kalau lagi gemes sama Bapak,” kata Akhmad seraya mencolek lengan atas Mega.
“Hush. Bapak jangan sembarangan, itu tanda cinta dari Ibu, bukan ganas. Malu ih ... ngomong begituan di depan anak,” tegur Rukmi.
“Biar saja, anakmu ini belajar. Toh, dia sudah cukup umur,” balas Akhmad kepada Rukmi dan kemudian beralih berbicara kepada Mega yang mengulum senyum menanggapi kedua orang tuanya itu. “Kamu jangan lupa menikah. Bapak nggak nyuruh cepat-cepat sih, asal tepat ya, Nak. Jangan terlalu memilih karena nantinya kamu akan kecewa jika terlalu berharap dengan manusia.”
“Iya, Pak. Mega paham.”
“Pak, bujuk Mega tuh biar mau terima lamaran Kostav!” seru Rukmi yang sudah tenggelam di dalam dapur dan menggoreng tempe.
“Apa sih, Bu. Biarkan anaknya memilih. Bapak nggak mau menjodoh-jodohkan. Anak Bapak cuma satu ini aja. Biarkan dia memilih pasangan hidupnya,” balas Akhmad.
“Satu lagi, Mega. Ikuti kata hatimu dan jangan hiraukan omongan orang. Hanya kamu yang bisa membuat dirimu bahagia, bukan tergantung pada orang lain.”
Mega baru saja membuatkan teh hangat untuk orang tuanya saat mendengar suara Kostav yang sedang berhubungan via telepon dengan ibunya.
“Iya, Nak, kalau Ibu sih setuju saja. Tapi bapaknya tadi bilang, tidak mau menjodohkan. Biarkan anaknya yang menentukan pilihan.”
“Mega tidak mau mengangkat telepon dari saya, Bu,” adu Kostav.
Mega meletakkan teh hangat tepat di depan ibunya yang sedang sibuk membuka kuwaci dan ponselnya tergeletak di atas meja dengan pengeras suara yang menyala nyaring. Mega yakin, para tetangganya bisa mendengar pembicaraan ibunya itu yang sangat bangga akan mendapatkan menantu bule yang usianya bahkan hanya selisih lima tahun dari ibunya tersebut.
“Sebetulnya itu deritamu sih kalau dicuekin Mega,” kata Rukmi santai tanpa basa-basi. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik nan sederhana itu bahkan terkikik geli dengan jawabannya sendiri.
“Ibu, jangan begitu!” protes Kostav.
Mega mengerutkan dahi menyimak pembicaraan antara Kostav dan ibunya tersebut. Mereka tampak akrab tanpa sekat berarti.
“Saya akan segera membawa kedua orang tua saya ke sana dalam waktu dekat untuk melamar Mega. Saya tidak mau tahu ya, Bu. Saya pegang omongan Ibu yang sudah setuju saya bersanding dengan Mega.”
Lantas sambungan telepon diputus begitu saja oleh Kostav.
“Weh ... halo? Kostav ... eh! Jangan maksa dong. Kamu kira kita, aku dan kamu yang nikah. Ini anaknya belum setuju. Jiah dimatikan!” protes Rukmi yang kemudian menaruh bungkus kuwaci sembarangan di meja dan mengomel seraya mencoba kembali menghubungi Kostav tetapi ponsel pria itu bernada sibuk.
“Bagaimana ini?!” kata Rukmi sarat kepanikan begitu tidak berhasil menghubungi Kostav setelah beberapa kali percobaan.
“Ibu sih, pakai bilang setuju segala,” gerutu Mega dengan wajah cemberut. Ia berusaha menata hatinya yang mulai terserang panik, karena melihat tingkah ibunya saat ini. Bahkan teh hangat di meja langsung tandas dengan sekali tegukan panjang yang dilakukan oleh Rukmi.
“Ya kan, Ibu cuma ngomong apa adanya. Toh, biar kelihatan tua, tapi dia ganteng. Lalu lebih penting lagi, dia belum pernah menikah.”
Mega menatap dalam ke arah ibunya. Pikirannya, menanggapi ucapan kalimat terakhir ibunya yang malah berimbas sosok pria lain muncul dalam benaknya, siapa lagi jika bukan Athaya. Tanpa bisa dicegah tentu saja Mega jadi membandingkan kedua pria tersebut yang sangat jelas bertolak belakang. Athaya yang lebih muda darinya, tetapi telah menyandang status duda dan Kostav yang lebih tua darinya. Namun, sama sekali belum pernah menikah.
“Bapak sih, soal status asal dia bukan suami orang setuju saja. Toh, kehidupan pernikahan adalah kamu nantinya yang menjalani asal kamu bahagia dan tulus, kami ikhlas,” kata Akhmad yang akhirnya angkat bicara, setelah sejak tadi diam menikmati ketela goreng dan teh hangat buatan anak tercinta.
Ketakutan mulai merasuki dalam diri Mega. Bagaimana jika Kostav bersungguh-sungguh dan kemudian datang ke sini? Sementara jelas sekali Mega tidak mau menikahi pria tersebut.
“Pak, Bu. Mega mau merantau saja, ya? Mega belum siap menikah dengan Kostav. Nanti Mega hubungi Kostav agar membatalkan rencananya kemari.”
“Yah, kok mau merantau lagi? Sudahlah, kamu diam saja di rumah, baru juga kembali,” protes Rukmi.
“Mega akan mencari pekerjaan di kota saja.”
“Apa kamu sudah yakin akan mendapatkan pekerjaan? Bapak tidak mau kamu terkatung-katung tanpa pekerjaan di sana nanti.”
“Mega mau hubungi Ayunda dulu. Bu Zaenab bilang, Ayunda ada di kota sekarang.”
“Semoga berhasil kalau begitu, jangan lupa hubungi Kostav.”
“Iya, Bu.”
Mega lantas pergi menuju bilik kamarnya dan menghubungi Ayunda. Untung saja dalam dering pertama gadis itu segera menyambut panggilannya.
“Ayu, apa kabar?” tanya Mega.
“Baik, Mbak. Ada apa? Tumben, nih? Mbak Mega sudah kembali?”
“Sudah, Yu. Mbak ingin minta tolong, siapa tahu Ayu punya info lowongan pekerjaan untuk Mbak?”
“Kalau di tempat Ayu kerja nggak ada Mbak, tapi kalau di kantor Pak Bos yang lain ada deh. Mbak kirim aja surat lamaran ke sini. Nanti Ayu coba titipkan ke Pak Bos.”
“Wah ... makasih banget ya, Ayu. Mbak terbantu banget dengan ini. Maaf merepotkan.”
“Nggak apa-apa. Ayu malah senang jadi ada temannya di sini.”
Setelah selesai melakukan panggilan dengan Ayu dan mencoba menghubungi Kostav, tetapi panggilannya tidak diterima oleh pria itu Mega lantas merapikan ranjangnya untuk bersiap-siap tidur. Namun, entah bagaimana dirinya bukan mencemaskan situasi jika sampai Kostav datang ke sini, tapi reaksi Athaya dengan kedatangan pria bule tersebut. Mega berharap jika sampai Kostav menginjakkan kaki di kampungnya ini, pria itu sudah kembali ke kota.