11.20 malam
Para reporter tadi sudah tak nampak batang hidung mereka satu pun, sepertinya sudah memasuki hotel. Entah apa yang mau mereka lakukan, aku cukup penasaran apa yang terjadi di hotel ini, tapi rasa penasaranku tetap kalah dengan pemikiran yang sudah lama tertanam di kepalaku, bahwa 'aku tidak peduli'.
Coklat panas tadi yang sudah lama jadi dingin tapi tetap aku sebut coklat panas sudah habis aku seruput beberapa menit yang lalu, sekarang aku hanya menikmati pemandangan luar ditemani oleh gelas bekas coklat tadi.
***
Saat awal masuk ke SMP, aku lulus dengan nila tertinggi, makanya aku dipilih wali kelas untuk menjadi ketua kelas. Nadia bisa duduk sebagai wakil ketua kelas karena dia mendapat ranking 2 di ujian masuk, setelah aku. Tapi anehnya, nilai ulangan harian Nadia selalu di bawah 50 tidak sampai 100 seperti nilai ujian masuk dulu. Aku pun tak ingin berpikir bahwa dia melakukan kecurangan, walau kakeknya kepala sekolah sekali pun, tapi hal ini menjadi topik hangat bagi murid-murid di sekolah.
Sedangkan Diana berada pada posisi kedelapan saat ujian masuk, dia pemilik nilai tertinggi ketiga di kelas kami, dan karena itu Diana menjadi sekretaris yang kini juga merangkap sebagai bendara kelas karena bendara yang lama baru saja pindah sekolah.
Sebenarnya ini bukanlah hal yang penting, tapi sebagai rasa sayangku pada dia, aku ingin mengingatnya, bahwa Dodi pemilik nilai tertinggi ke-48 di sekolah ini dari 200 murid yang diterima, semua itu berkat aku yang mengajarinya siang dan malam. Sekarang dia malah menjadi anak yang populer.
oOo
"Hana!" teriak Dodi yang berlari dengan cepat ke arahku, padahal aku baru saja keluar dari pintu rumah. "Ayo berangkat bareng!" ajak Dodi bersemangat. Aku pun mengangguk cepat, terbawa semangat pagi Dodi.
Aku memang setiap hari selalu berangkat ke sekolah bersama Dodi, belakangan kami jarang bermain, jarang belajar bersama setelah selesai ujian nasional dulu, bahkan jarang pulang sekolah bersama sejak Dodi menjadi anggota tetap tim basket, bahkan ada kabar Dodi akan menggantikan ketua tim basket yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 3. Aku takjub akan perkembangan Dodi, sahabatku ini.
"Hana, aku dengar kemaren ada sesuatu yang terjadi di kelas ya? Kamu terlihat?" tanya Dodi nampak khawatir.
"Tidak kok, semuanya sudah beres." Aku tersenyum tipis pada Dodi, aku yakin semuanya belum benar-benar beres, dan parahnya lagi aku memang terlibat, atau bisa dibilang aku yang memulai perdebatan itu dahulu?
Dodi nampak sibuk dengan ponselnya, sepertinya tidak mendengarkanku sama sekali. Aku jadi benar-benar cemburu pada ponsel Dodi, sejak Dodi punya ponsel, dia malah banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya daripada menikmati perjalanan ini denganku.
"Kayaknya ponsel itu lebih penting dari aku ya?" Aku bertanya dengan nada bercanda sambil tersenyum lebar. Faktanya aku benar-benar marah dan cemburu.
Dodi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, entah kenapa tiba-tiba wajahnya tersipu malu, "Hahaha. Gak mungkin lah ponsel ini lebih penting dari kamu," jawab Dodi yang entah kenapa membuat jantungku langsung berdegup cepat, untung saja aku tidak punya riwayat penyakit jantung.
"Jadi lagi apa saja itu ponsel?" tanyaku penasaran.
"Lagi jawab pesan grup saja kok," jawab Dodi nampak ragu-ragu.
"Owh yakin itu pesan grup? Dodi, walau aku tidak punya ponsel, bukan berarti aku kudet banget sama teknologi informasi sekarang loh." Aku menyikut lengan Dodi, menanjak sedikit agar bisa melihat apa yang ada di dalam ponsel Dodi.
"Hana..."
"Hmm ya? Kenapa?" tanyaku heran.
"Bagaimana pendapatmu jika aku pacaran dengan seorang gadis yang merupakan teman sekelas kita?" Dodi bertanya dengan wajah malu-malu.
Jantungku seakan terasa berhenti berdegup, hatiku terbakar, aku terdiam cukup lama. Aku langsung terperanjat kaget, dan kemudian tersenyum agar Dodi tidak merasa ada yang aneh denganku. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak membuat Dodi kecewa? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mengalah dalam kondisi apapun demi Dodi? Jadi, apa perlu hatiku sesakit ini karena cemburu? Lagian sejak awal Dodi hanya menggapku sahabat bukan? Jika lebih pun mungkin hanya saudara?
"Hmmm... pendapatku ya? Menurutku emang bagus sih kamu bisa punya pacar, jadi gak perlu lagi ada menerorku karena dekat denganmu--"
"Kamu diteror Hana!?" tanya Dodi kaget, dia memotong pembicaraanku.
"Karena fans kamu sangat banyak dan aku yang bukan siapa-siapa ini menjadi satu-satunya perempuan yang selalu dekat denganmu, jadi pastikan akan banyak cewek-cewek yang iri padaku?" Aku tersenyum geli menanggapi reaski cemas Dodi tadi.
"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Dodi dengan pandangan tertunduk.
"Ya gak apa-apa lah, karena semuanya tidaklah seberapa."
Dodi terdiam, menatapku sangat lama. Saat itu aku tidak menyadari ekspresi yang aku keluarkan, tapi dari sepanjang waktu yang telah aku jalani, mungkin aku mengatakan kalimat itu tanpa ekspresi, benar-benar datar.
"Hana..."
"Hmm?"
"Maaf ya..."
Aku menepuk keras bahu Dodi sambil tertawa lebar, "Hahaha kamu kenapa sih? Kamu gak salah apa-apa kok. Nah, jadi siapa gadis yang ingin kamu pacari? Memangnya kalian berhubungan sejak kapan sih?"
"Dia... mungkin sedikit sama denganmu?" tanya Dodi yang tidak menjawab jelas pertanyaanku.
"Mirip? Denganku?" Aku benar-benar heran dengan Dodi. Memang di kelas ada anak yang mirip denganku?
"Ya, itu hanya menurutku sih. Kami berhubungan juga belum lama kok, dia selalu men-chat aku, awalnya aku tidak menanggapi, tapi dia selalu men-chat tiap malam, aku jadi merasa tidak enak jadi aku membalas chat-annya, tapi entah kenapa aku sampai kebeblasan," jelas Dodi yang kembali menggaruk kepalanya yang pasti tidak gatal itu.
Aku tersenyum tipis mendengar penjelasan Dodi. "Jadi, siapa gadis itu?" tanyaku dengan mata berbinar-binar, bukan kagum, tapi sedih.
"Nadia." Mendengar jawaban Dodi aku benar-benar kaget, aku sangat bersyukur tidak memiliki riwayat penyakit jantung, jika iya mungkin aku sudah mati suri selama 2 kali dalam sehari ini, padahal masih pagi, aku gak ingin mati muda. Dari sekian banyak gadis di kelas, kenapa harus Nadia!?
"Kenapa?" tanyaku tanpa sadar.
"Eh, apa?" heran Dodi.
"Hmmm, kenapa bisa suka sama Nadia? Dan sejak kapan kamu sedikit itu sama dia?" tanyaku masih penasaran.
"Awalnya sih karena aku tidak sengaja membuat bajunya basah dengan teh panasku, jadi aku memberikan tisu padanya. Hanya itu saja kok awal kami berbicara, di kelas sama sekali tidak pernah, dan entah kenapa setelah itu Nadia selalu men-chat ku, bilang terima kasih dan segala macamnya, awalnya aku memang tidak ada niat untuk menanggapi, tapi mau bagaimana lagi, kasihan kan padahal dia meluangkan banyak waktunya dari pagi dan malam untuk men-chat ku tapi aku tak pernah membalas. Namun, perlahan-lahan entah kenapa aku keasikan tiap malam chat-an sama Nadia--"
"Jadi karena itu kamu suka sama dia?" tanyaku memotong pembicaraan Dodi, tak mau sama sekali mendengar sambungan penjelasannya lagi.
"Eh i... iya, kenapa? Kamu cemburu ya?" ledek Dodi.
"Apa sih! Aku cuman mau tau aja, emang salah aku mau tahu tentang sahabatku? Ah! Itu angkutannya sudah datang, ayo naik!" Aku langsung berjalan cepat di depan Dodi, memberhentikan angkot yang mau lewat.
Dodi tidak menjawab lagi, tapi sekilas aku melihat dia tersenyum tadi. Entah apa yang ada dipikiran anak satu ini.
Saat turun dari angkot, hujan mulai turun, aku dan Dodi sama sekali tidak membawa payung, kami terpaksa berlari secepat mungkin, tapi tetap saja pakaian kami basah, tak mungkin bisa menghindar dari air hujan yang berjuta rintikkannya turun dari langit dengan menderu deras.
Pakaian kami akan cepat kering, aku yakin itu. Karena tidak membasahi semua bagian pakaian kami, hanya punggung saja. Aku menghela nafas, sebab Diana sudah duduk di depanku dengan senyuman terlebarnya.
"Bukannya gak nyaman ya pakai baju tapi punggungnya basah gitu?" tanya Diana membalikkan kursinya ke belakang, ke arahku.
"Tidak, biasa saja." Aku menjawab seadanya, sama sekali tidak mau menanggapi basa-basi perempuan satu ini.
"Hei Hana, kenapa sih kamu masih cuek sama aku?" tanya Diana cemberut.
"Tidak apa-apa. Memangnya harus aku peduli padamu?" tanyaku judes, tidak peduli akan perasaan Diana sama sekali.
"Jika sikapmu begitu terus, entar gak ada teman loh, semua orang bakal memilih menjauhi kamu," sahut Diana masih tak ingin kalah.
Aku menghela nafas, tidak tau kenapa, tapi belakangan ini aku sering menghela nafas, sepertinya hidupku benar-benar terasa sangat berat. Mungkin. Karena kedatangan pengganggu ini, Diana. "Aku tidak peduli."