Hari yang Hancur

1739 Kata
Aku memandangi wajahku cukup lama di depan kaca yang ada di kamar mandi, sambil terus mencuci tangan. Krieet... Aku melirik di balik kaca ke arah pintu toilet yang terdengar, aku langsung memutar kran, mematikannya. "Kau juga mendengarnya? Hana, orang yang juga dibicarakan tadi," ucap gadis yang keluar dari balik pintu toilet tadi, dia Diana. "Siapa sangka kau juga ada di toilet," ucapku tak berniat menjawab pertanyaan basa-basi dari Diana. "Aku pikir orang dengan karakter sepertimu akan melerai obrolan mereka," ucap Diana ikut berkaca di sebelahku sambil mencuci tangannya. "Tidak akan ada untungnya bagiku melerai obrolan mereka," jawabku. "Hah, tidak akan ada bagaimana? Yang pertama, kamu salah satu subjek yang dibicarakan, dan yang kedua kamu adalah ketua kelas kami. Jadi, semua itu hak dan tanggung jawabmu bukan?" tanya Diana dengan tatapan meledek. "Yang pertama, aku tidak peduli dibicarakan oleh orang lain, dan yang kedua, apa kalian pernah menganggap aku sebagai ketua kelas? Jangan jadikan alasan tadi sebagai pengakuan pertama kalian padaku sebagai ketua kelas. Bye!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan kasar, meninggalkan Diana sendiri. "Hana!" panggil Diana yang berlari kecil mengejarku. "Apa lagi?" Aku memberhentikan langkah kaki, tidak ada niatan untuk menjawab panggilannya, hanya saja aku cukup kasihan melihat dia sampai berlari mengejarku. "Maaf ya, yang tadi aku hanya mengetes kamu kok, jadi jangan terlalu dipikirkan apa yang aku katakan tadi," ucap Diana menyodorkan tangannya padaku dengan senyum tipis. "Hmm? Maksudnya?" Aku sama sekali tak paham dengan isi kepala gadis satu ini. "Hmmm intinya aku mau temanan sama kamu, karena aku percaya kamu gak kayak orang kebanyakan," jawab Diana dengan masih mempertahankan senyumannya itu. Aku akui wajahnya semakin cantik saat tersenyum. Aku melanjutkan langkahku, sama sekali tidak ada niat untuk meladeni obrolan dengan Diana, terlebih aku tidak ada niat berteman dengan siapa pun selain Dodi. Parahnya Diana terus mengejarku sampai ke kelas. Dia langsung duduk di depanku, tersenyum sempurna untuk saat ini. Aku hanya menghiraukan, menganggap keberadaannya tak ada. Seorang murid perempuan yang seharusnya duduk di depanku baru masuk ke kelas, mungkin karena saat ini jam kosong dia melalang buana entah kemana. "Syil, aku duduk di sini ya. Kita pindah bangku, boleh?" Diana mengajak gadis itu untuk pindah bangku, parahnya gadis itu malah menyetujui dengan cepat tanpa berpikir dua kali, membuatku semakin kesal saja. Pengganggu kedua dalam hidupku sudah datang, setelah Nadia yang menjabat sebagai pengganggu pertama dalam hidupku. Bel pergantian jam berbunyi, selisih beberapa menit akhirnya guru dengan mata pelajaran baru masuk ke kelas, tidak ada jam kosong lagi. "Siang anak-anak, karena masih ibuk masih ada rapat beberapa menit lagi, jadi kalian silahkan duduk berkelompok untuk membuat tugas ini." Guru itu mulai mengayunkan spidol yang diambilnya di dalam tas tadi ke papan tulis putih. Dengan cepat soal untuk tugas yang akan kami buat selesai. "Buk, pengaturan kelompoknya bagaimana?" tanya salah seorang teman sekelasku. "Hmmm, barisan pertama sama kedua di deretan pertama dan kedua silahkan mejanya di gabung, begitu pun seterusnya sampai barisan ketiga sama keempat di deretan ketiga sama keempat." Guru itu mulai mengunci tasnya, dan kembali menyandang tasnya lalu keluar dari kelas. "Buk!" panggil salah seorang murid lain lagi tepat saat guru itu baru saja berdiri di bawah bingkai pintu. "Ya ada apa?" tanya guru itu nampak terburu-buru. "Kalau jawabannya gak tau dan gak ada di buku gimana Buk?" sambung murid tadi bertanya. "Owh untuk hari ini ibuk izinkan kalian buka google, jangan buka yang lain-lain ya!" seru guru itu menegaskan. "BAIK BUUUK!" sorak anak-anak kelas sangat bersemangat. "Hana, kita ternyata berjodoh ya, bisa sekelompok gini," ucap Diana sambil tersenyum lebar. Aku menghela nafas dengan sangat-sangat berat. Sebenarnya ada apa dengan wanita satu ini? Sebegitu terobsesikah dia padaku? Tapi aku tetap tidak menghiraukannya. Diana menarik mejanya ke belakang, menyatukannya dengan mejaku, Diana pula yang menyuruh 2 orang gadis yang ada di seberangku untuk menyatukan meja dengan cepat, saatnya kita menyelesaikan tugas. Aku langsung mengeluarkan buku paketku yang berkaitan dengan pelajaran geografi saat ini, aku sudah membaca buku ini berulang kali, jadi aku sudah hapal luar dan dalam semua materi yang ada di dalam buku ini, hanya untuk jaga-jaga saja makanya aku keluarkan. Kami membagi tugas untuk mengerjakan soal masing-masing, dari sepuluh soal aku mendapatkan 3 soal di bagianku, 3 lagi untuk Diana, dan masing-masing yang lainnya dapat 2 soal. Lengkap 10 soal. Tak ada kendala sama sekali untuk menyelesaikan soal nomor 1 dan 2, tapi di soal nomor 3 aku terhenti sejenak, aku tak membaca materi ini di buku, apa memang tidak ada? Sepertinya Diana menyadari kebingunganku. Dia langsung menyodorkan alat berbentuk persegi panjang yang bisa melakukan banyak hal itu padaku. Yap, itu ponsel yang sungguh pintar, apa yang mau dicari akan ditemukan di sana. "Mau pakai ini?" tanya Diana sambil tersenyum tipis. Aku menggeleng, mungkin aku lewat membaca buku ini atau kelupaan, aku terus membalik halaman buku dengan jeli. "Tidak akan ada jawaban soal nomor 3 di buku itu, pakai google saja." Diana meraih tanganku, menutup bukuku, dan menyerahkan ponselnya ke tanganku. "Pakai saja, tidak usah ragu." Aku kembali menghela nafas, walau keberatan tapi akhirnya aku tetap memakai ponsel Diana. Aku juga cukup lega, berkat Dodi pernah meminjamkan ponselnya padaku, aku jadi bisa memakai ponsel ini. Mataku terbelalak melihat hasil pencarian yang tadi aku ketikkan, banyak sekali sumber-sumber penjelasan tentang soal ini, tapi karena tidak ingin memakai barang orang ini lama-lama, akhirnya aku mengurungkan niatku untuk membaca semuanya, aku hanya meng-klik hasil pencarian teratas dan menyalin ringkasan penjelasannya ke dalam buku. "Ini," ucapku sambil menyodorkan ponsel ini kembali pada Diana. Diana tersenyum tipis, "Cepat sekali, apa kamu yakin sudah mengisi jawabannya dengan benar?" tanya Diana menyelidik. "Tentu," jawabku cuek, "dan terima kasih." Pupil mata Diana nampak melebar sejenak, kemudian dia tertawa riang sehingga menjadi pusat perhatian seluruh kelas. Diana kembali diam, setelah perhatian tidak lagi mengarah ke arahnya, dia beranjak mendekat padaku, "Sama-sama, jadi kalau kamu butuh sesuatu tinggal bilang saja padaku. Kita teman bukan?" bisik Diana bertanya. Aku kembali menghela nafas, tapi kali ini aku tersenyum pada Diana, "Baiklah, asal kamu jangan menganggu hidup tenangku," ucapku pelan. "Hahaha, mana mungkin aku melakukan itu," jawab Diana dan kembali duduk kebangkunya. Setelah kami selesai mengerjakan bagian masing-masing, kami mulai menyalin bersama jawaban kami sekelompok masing-masing dengan cepat, dan memahaminya. Tidak ada diskusi sama sekali, lagian aku juga tidak mau berdiskusi, mungkin bisa dibilang kelompok kami lebih tenang dari pada kelompok lain yang sibuk berdiskusi, tak mustahil jika ada yang sibuk berbicara dengan rekan sekelompoknya tanpa mengerjakan tugas kelompok yang tadi diberikan guru, dan itu adalah rekan sekelompok Nadia bersama dayang-dayangnya. Lagian aku juga tidak peduli pada pengganggu satu itu. Mau dia bikin tugas atau tidak, sama sekali bukan urusanku. Aku menghela nafas, salah besar jika aku tidak mempedulikannya. Karena apa? Aku ketua kelas, bisa-bisa aku dimarahi guru karena tidak bisa mengatur murid-murid di kelasku. Aku langsung melangkah ke pojok kiri belakang tempat Nadia dan teman sekelompoknya bergabung. "Hei kalian, kenapa tidak bikin tugas?" tanyaku pelan, walau ingin menggunakan nada keras, aku mengurungkan niatku. Hanya akan menghabiskan tenaga. Nadia berserta dayang-dayangnya dan satu orang anak laki-laki yang nampak tertarik pada Nadia, mereka semua melotot padaku. Aku menelan ludah, apa ini ajakan berperang? Jika iya aku siap. Ah! Bukan saatnya mencari masalah, aku tidak ingin pertengkaran yang terjadi nantinya akan sampai ke telinga ayah dan ibuku, bisa-bisa aku berhenti dari sekolah. "Tolong kalian buat tugasnya sekarang juga, masih ada waktu," jelasku. "Suka-suka kita dong, emang nya lo siapa berani memerintah kita!?" seru salah seorang dayang-dayangnya Nadia. "Gue ketua kelas, kenapa!? Masalah?" aku kembali bertanya dengan nada yang sedikit tinggi. "Haaah? Ketua kelas? Yang milih lo jadi ketua kelas siapa!? Gue gak merasa milih lo tuh," jawab dayang-dayang Nadia tadi. "Ka--" "Cukup Hana!" teriak Diana, untung saja Diana menahanku agar tidak mencaci dalam dayang si Nadia ini. "Heh, baru tadi datang lacur, sekarang malah datang senior dari para senior-seniornya lacur." Perkataan dayangnya Nadia ini benar-benar bikin naik pitam, aku menggepalkan erat tanganku, ingin melayangkan sebuah pukulan ke wajah merendahkannya itu. Tapi aku terlambat, Diana mengambil alih hal yang ingin aku lakukan tadi, tangan Diana sudah lebih dulu melayang ke pipinya dayang Nadia, benar-benar meninggalkan jejak merah, dan pastinya tamparan tadi terdengar sangat keras. Untung saja kepala dayang Nadia ini tidak terlepas dari lehernya. Aku menelan ludah, antara ngeri dan kagum melihat tindakan yang dilakukan Diana tadi. Aku melirik Nadia, dia sama sekali tidak mengacuhkan dayangnya yang sudah ditampar keras oleh Diana, mungkin karena gadis dengan mulut kotor itu hanya dianggap budaknya saja, bukan teman. Nadia hanya acuh tak acuh, menganggap apa yang terjadi di hadapannya ini tidak ada. "Hei, kau masih bisa bersantai?" tanya Diana melotot pada Nadia. Nadia melirik Diana sejenak, "Jadi, lo mau gue melakukan apa? Owh, apa lo ingin gue terlibat dengan urusan gak penting ini? Asal lo tau aja, hal yang sudah lo lakukan sampai membuat pipi pelayan gue ini bengkak dan memerah akan segera diketahui oleh guru, lo tau hukumannya bukan?" Nadia tersenyum sinis, lalu mulai beranjak dari bangkunya. Aku langsung menarik tangan Nadia. "Kau-- oh ternyata ketua kelas, ada apa ketua kelas?" tanya Nadia meremehkan. "Mana tugas lo?" Aku menekan pembicaraan, berusaha menahan emosi. "Hmm... Li bisa lihat sendiri di atas meja, gue udah menyelesaikannya dari tadi." Nadia melirik ke arah meja lalu menepis tanganku dan beranjak dari kelas, "owh iya ketua kelas-- gue hanya ingin mengingatkan satu hal pada lo, sebagai rival yang baik dan wakil ketua kelas yang disiplin, lebih baik lo berhati-hati dengan perempuan yang ada di sebelah lo, JANGAN MENILAI BUKU DARI COVERNYA, pegang saja kata tadi sebagai pedoman. Bye!" Nadia melambaikan tangannya dan melanjutkan langkah meninggalkan kelas. Entah kenapa saat mendengar perkataan Nadia tadi, aku merinding. Dan sekilas aku berpikir, Nadia bukanlah orang yang buruk, haaah tapi itu hanya dugaanku saja, dia benar-benar orang yang buruk, bahkan tidak mempedulikan keadaan dayangnya yang sudah terluka ini. "Kalian! Pergilah ke UKS, aku tidak ingin melihat muka kalian di sini," ucap Diana pada kedua dayang-dayang Nadia itu. Kedua dayang Nadia langsung lari terbirit-b***t, sedangkan anak laki-laki yang nampak tertarik pada Nadia tadi hanya memalingkan wajahnya. Terbesit di pikiranku, ada apa dengan Diana dan Nadia dulu? Tapi aku tetap memakai prinsipku, bahwa aku tidak peduli sedikit pun pada mereka berdua. Mungkin. Aku kembali duduk ke bangku, diikuti oleh Diana yang hawanya saat ini terasa aneh, aku berpikir dia bukanlah Diana yang selama ini aku tau. Tapi mungkin ini hanya perasaanku saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN