11.10 malam
Aku menyeruput pelan coklat panasku yang sudah dingin. Aku menyenderkan punggung ke kursi, menengadahkan kepala menatap langit-langit kamar hotel. Malam yang cukup panjang tapi terasa singkat untukku. Apa tidak ada hal menarik yang akan terjadi? Walau mengenang kembali masa laluku adalah bagian terpenting dalam hidupku untuk malam ini, sebelum esok aku harus berangkat kembali demi dia.
Nampak beberapa mobil mewah memasuki hotel, beberapa orang keluar dari mobil tersebut dengan membawa kamera. Aku tersenyum tipis, sepertinya pikiranku menjadi kenyataan, mungkin ada hal menarik yang akan terjadi malam ini. Sampai-sampai banyak reporter yang berdatangan ke hotel ini, tapi hal penting apa itu?
***
Aku sudah duduk di bangku kelas 1 SMP, tak ada hal spesial selama 6 tahun ini, selain bermain di rumah bersama Dodi, dan belajar bersama untuk ujian kelulusan.
Tidak ada uang jajan kecuali ongkos untuk ke sekolah, penghasilan ojek ayah begitu-begitu saja, masih banyak pelanggan yang menolak untuk naik ojek ayah, tapi tak jarang juga ada yang mau menerimanya, mungkin karena kasihan pada ayah. Sedangkan ibu masih tetap menjadi buruh cuci, aku pernah menawarkan diri untuk membantu ibu bekerja sebagai buruh cuci, tapi yang aku dapatkan hanya amarah dari ibu dan tolakan dari orang-orang dengan alasan aku masih di bawah umur.
Aku benar-benar menjauh dari sosialisasi, menjauh dari yang namanya masa remaja yang indah. Tak ada perubahan besar selama aku di sekolah, aku tetap ke perpustakaan setiap jam istirahat, tetap meminjam buku pelajaran di perpustakaan sekolah baruku, dan setiap akhir Minggu aku akan meminjam novel untuk bahan bacaan. Sejak membaca novel penuh emosi di SD dulu, entah kenapa aku tertarik pada novel, dan terkadang ingat pada almarhum buk Ayu, dan perkataannya yang masih menjadi misteri selama ini. Dan aku belum menemukan jawaban dari apa yang diucapkan buk Ayu dulu.
Aku sangat-sangat jarang mengobrol dengan teman-teman di kelas, aku tak memiliki alat berbentuk persegi panjang itu yang dimiliki oleh rata-rata semua teman di sekolahku. Dan satu lagi... hubunganku dengan Dodi tidak lah lagi sedekat dulu. Dodi sibuk dengan ekskul basketnya dan teman-teman perempuannya yang berjibun.
Tapi walau bagaimanapun, aku sudah berjanji, aku sudah bertekad bahwa aku tak akan pernah mengecewakan Dodi, apa pun kegiatannya, aku akan tetap memprioritaskan Dodi, selalu mengalah padanya. Bukankah Dodi juga pernah berjanji untuk tidak akan membuat aku terluka? Aku percaya pada Dodi. Karena persahabatan kami abadi, tak akan pernah ada yang berkhianat.
"Hana!" seru Dodi pelan tepat di telingaku.
Aku terperanjat kaget, hampir saja buku yang sedang aku baca saat ini aku lemparkan ke wajahnya.
Melihat ekspresiku Dodi tertawa senang, "Maaf ya... lagi-lagi aku tidak bisa menemanimu ke perpustakaan tadi, dan hari ini juga aku minta maaf, sepertinya tidak bisa pulang bersama lagi." Wajah Dodi tertunduk, raut matanya sayu, dia nampak sangat bersalah.
Aku menghela nafas, "Tidak apa-apa kok, lagian aku tidak butuh ditemani ke perpustakaan, kamu hanya akan membuat fokusku hilang. Dan... semangat ya latihannya! Aku tau tim basket kamu bisa lolos final di turnamen tingkat daerah nanti!" Aku menepuk ringan bahu Dodi, tersenyum lebar agar Dodi bersemangat.
Dodi ikut tersenyum sambil mengelus kasar rambutku. "Hanaku semakin dewasa ya," ucap Dodi.
"Aku bukan Hanamu!" cemberutku pada Dodi dengan wajah yang terasa panas.
"Hei Dodi! Ayo ke lapangan, pelatih udah nungguin tuh, jangan sibuk pacaran mulu lo!" Seru teman satu tim basket Dodi yang tiba-tiba sudah ada di belakang kami.
Dodi langsung pamit padaku dan berlari kecil bersama temannya meninggalkan kelas.
Sejak SMP, Dodi tumbuh menjadi laki-laki yang tampan, dia sekarang juga lumayan pintar, walau tidak sepintar aku, tapi perkembangannya dalam belajar sangat cepat. Dodi juga tidak pernah lagi merengek, dia selalu melindungi aku, selalu menjadi pria sejati di hadapanku. Karena kepopuleran Dodi di sekolah ini, membuat aku yang bukanlah siapa-siapa ini tersudutkan gara-gara fans Dodi.
"Puas sok cantiknya!?"
Aku menghela nafas, baru saja dipikirkan, salah satu fans Dodi yang kebetulan anak di kelasku sudah mulai meneror kembali.
"Orang miskin aja belagu lo! Jangan kecentilan deh sama Dodi! Lo tuh gak pantas tau sama Dodi!" timpalnya.
Aku mendorong kursi belakang, beranjak dari mejaku. Tak ada niat sama sekali untuk meladeni nona kaya yang satu ini, lebih baik diacuhkan saja, jika diladeni dia hanya akan semakin parah. Aku melangkah ke perpustakaan kembali, karena saat ini sedang jam kosong, tak ada larangan untuk ke perpustakaan atau keluar dari kelas tanpa izin, toh di sini ketua kelasnya adalah aku.
Nona kaya ini malah menarik rambutku dengan kasar. "Berhenti lo!"
"Apaan sih!? Bisa biasa aja gak sih!?" Ok fix. Dia membuatku marah.
"Udah gue bilang kan!? Jangan sok cantik, jangan kecentilan lo sama Dodi, jauh-jauh sana! Lo tuh gak pantes sama Dodi tau! Udah miskin sadar diri dong!" bentaknya keras, dia melotot menatapku.
"Maaf ya, gue bukan sok cantik, dan dari mananya gue kecentilan sama Dodi? Asal lo tau gak pernah gue deketin Dodi duluan, lo liat sendiri kan siapa yang ngedeket duluan!? Dan terakhir, jika gue gak pantes sama Dodi, emangnya lo pantes!? Ya, gue emang orang miskin, tapi gak pernah gue minta-minta sama orang tua gue! Gue tau hidup gue gak semewah lo nona kaya, tapi setidaknya semua kekayaan yang keluarga lo punya, bukan milik lo! Tapi milik mereka, jadi jangan belagu jika lo gak pernah ngelakuin apapun selain ngabisin uang orangtua lo!" Aku menepis tangan nona kaya ini yang masih memegangi rambutku.
"Pffftt..." Aku melirik sejenak, melihat siapa yang sedang menertawai kami.
Nona kaya tadi bernama Nadia, dia cucu dari kepala sekolah di SMP ini, jadi tak masalah baginya membuat masalah denganku. Bahkan dengan koneksi yang dia miliki, mungkin aku bisa dikeluarkan dari sekolah jika macam-macam padanya.
Sedangkan yang tertawa tadi adalah Diana, dia bendahara di kelas kami. Terkait perdebatanku dengan Nadia, Diana berada di pihak netral. Di antara semua murid di kelas, mungkin aku lebih dekat dengan Diana, pastinya setelah Dodi yang juga sekelas denganku. Tapi bukan berarti kami dekat sampai bisa disebut teman, tidak. Hanya sebatas pemegang posisi perangkat kelas saja.
Walau Diana sering menertawai perdebatanku dengan Nadia, Nadia sama sekali tidak mempedulikan Diana. Entah apa alasannya, aku tidak tau. Tapi menurut rumor yang aku dengar, Diana dan Nadia dulu satu SD, tapi apa yang terjadi pada mereka dulu, aku tidak tau. Aku pun juga tak ingin tau, peduli amat sama urusan mereka yang bukanlah siapa-siapaku.
Nadia memilih kembali ke kursinya setelah melirik kesal pada Diana tadi. Niatku untuk ke perpustakaan pun jadi pudar, aku tak boleh ke perpustakaan dengan emosi yang masih tidak stabil sekarang ini. Aku memutuskan pergi ke toilet, mencuci tangan dan buang air kecil sebentar.
oOo
"Ya tau, mentang-mentang kakeknya kepala sekolah di sini, dia bisa seenaknya ngehakimi orang. Sok berkuasa pula tuh, jijik banget gue."
"Kalian lihat ekspresinya saat dikatai Hana tadi? Hahaha ngakak banget."
"Gak hanya itu tau, pas Diana ketawa tadi si Nadia langsung terdiam, kayaknya masalah dia dengan Diana di SD dulu masih membuat dia takut sama Diana."
"Yah palingan dayang-dayangnya mau berteman sama dia karena uang."
"Lagian wajah hasil make-up pakai acara berani deketin Dodi segala, bikin ngakak aja."
"Tapi untung Hana mau bicara ngeledek ke dia, sampai bikin tu si Nadia kediam dan nanggung malu besar untuk kedua kalinya. Hahaha, tapi gue juga gak terlalu suka sama si Hana sih, anaknya sombong banget, mentang-mentang pintar."
"Walau gitu mendingan Hana lah dari pada si Nadia ratu make-up, di balik make-upnya ternyata ada wajah babi, wahahaha."
"Walau wajah babi kan bisa oplas, mumpung keluarganya kaya raya hahaha."
"Si Nadia itu baru ditolong Dodi pas dikasih tisu buat membersihkan bajunya yang basah kesiram air pas gak sengaja ditabrak Dodi aja udah langsung ngecap bahwa Dodi miliknya. Emang dia siapa? Bini presiden!? Wahahah. Lagian wajah palsu gitu siapa yang mau."
"HAHAHAHAHAHAH."
"Pakai acara ngatain Hana centil lagi, kan Hana sama Dodi udah temanan dari kecil, ya wajarlah mereka dekat. Gue gak ngelihat Hana centil kok, walau dia emang sombong dan gak mau temenan sama orang lain."
"Ya kita lihat aja, kapan si Nadia muka make-up bakal terjatuh brak-bruk-bruk dan ditinggalin sama dayang-dayangnya."
...
Tak ada dialog ledekan lagi yang terdengar di telingaku. Dari tadi aku sudah menahan telingaku yang panas karena mereka hanya berani membicarakan orang lain dari belakang, di sisi lain aku tak ada niat untuk melerai percakapan mereka yang selalu menghina orang.
Tapi di kepalaku masih ada satu pertanyaan. Ada apa dengan Nadia dan Diana dulu?
Aku menghela nafas, lalu mendorong pelan pintu toilet. Sebenarnya aku sudah mau keluar dari tadi, tapi setelah mendengar ada suara orang entah kenapa aku mengurungkan niatku dan malah mendengar gosip dari mereka yang merupakan teman-teman di kelasku.
Entah kenapa gadis-gadis itu selalu membicarakan orang lain di toilet, apa seenak itukah membicarakan aib dan keburukan orang lain? Apa mereka tidak pernah sadar bahwa membicarakan orang lain di toilet, ada kemungkinan orang yang dibicarakan mendengar dari salah satu bilik toilet?