5. Fighting Alone

1177 Kata
Alasan terbesar Raphael malas sekali pulang karena adalah betapa sepinya rumah ini. Setelah semua adik-adiknya telah pindah meninggalkannya. Sekarang Bernardo baru saja memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Raphael sejak sepuluh menit yang lalu. Sedangkan pria itu hanya memandangi rumah dua tingkat dengan desain dinding batako merah itu sambil sesekali menarik napas. “Jika Anda mau saya akan memasakkan Anda sarapan, Senor.” Bernardo berkata akhirnya, memecahkan lamunan Raphael meliriknya dari spion tengah “Si, dan temani aku makan. Aku tidak mau makan sendirian.” Ia kemudian membuka pintu mobil. Turun dengan bantuan tongkat berkepala beruangnya. Dengan cepat Bernardo menyusul di belakangnya, menawarkan bantuan. Namun Raphael memberinya isyarat agar tidak mendekat. Jadi pria berkepala plontos itu hanya berjalan cukup dekat, tidak mengatakan apapun. Ketika mereka telah menaiki undakan terbuat dari besi itu Raphael tidak merasakan kunci rumah di sakunya, namun Bernardo sudah maju dengan kunci entah muncul dari mana ketika keduanya sudah bediri di depan pintu. Raphael memberinya pandangan menyipit penuh curiga, namun Bernardo tidak terpengaruh. Ia mempersilahkan Raphael masuk lebih dulu dengan enyum tipisyang masih membuat mata Raphel. Tentu saja rumah itu sepi, dingin, dan tidak menimbulkan suara sama sekali. Keuali pada saat ini ketika ujung tongkat Raphael bergeletuk di atas lantai kayu berpelitur dan suara napas terengah. Raphael dengan sangat berat membawa dirinya berbelok menuju kamarnya. Sejak kecelakaan yang menimpanya hari itu. Ia meminta kamarnya dipindahkan ke lantai bawah. Di kamar yang telah ditinggalkan mendiang Uriel Suarez. Ia membiarkan tetap seperti ketika ditinggalkan. Satu-satunya perubahan yang ia di dalam kamar bernuansa cokelat kayu dan putih tulang itu hanyalah lemari berisi buku-buku dan beberapa album foto. Raphael merasakan Bernardo masih mengekorinya. Walau berhenti selangkah lagi dari depan pintu, membiarkannya masuk sendiri. Ia langsung menghempaskan diri ke atas ranjang tanpa susah-susah melepas sepatunya. Kamar minim penerangan karena tirainya masih belum dibuka. Raphel menutup matanya dengan lengan. Kapan terakhir kali ia tertidur lebih dari empat jam? Ia tidak ingat lagi. Tapi yang terpenting insomnianya menjadi lebih parah begitu ia mendengar apa yang Andrew lakukan di belakangnya. Raphael merasa ia sudah dikhianati sedemikian rupa. Ketika Andrew kecil muncul di depan undakan rumahnya di malam Natal. Setelah semuanya sibuk membuka kado mereka, Raphael berkilah ia ingin keluar untuk membeli sesuatu untuk Andrew yang datang di detik-detik terakhir. Padahal sebenanya diam-diam ia telah membelikan anak laki-laki itu hadiah bersamaan dengan ia membelikan Gabriella dan Juan hadiah mereka. “Hermano, kau tahu tidak ada toko yang buka di Malam Natal.” Gabriella kecil yang tidak sengaja melihatnya memakai mantelnya dan sepatu booth di depan pintu. “Aku harus keluar sebentar,” Raphael melempar senyum sebelum ia membuka pintu dan merasakan seseorang menangkap lengannya dari belakang. Itu Bernardo dengan raut khawatir, “Senor, apa yang akan kau lakukan?” Butir salju terbang dibawa angin dan jatuh di atas keset kaki di bawah Raphael. Tubuh Raphael menegang sebelum ia menyentakkan lengannya terlepas dari Bernardo. “Saya punya informasi tentang orangtua asuh Andrew yang akan menguntungkan kita. Saya yakin Anda tidak perlu datang ke sana malam ini juga. Begitu juga dengan kado Natal milik Andrew yang ada di dalam kamar Anda sekarang.” Raphel menarik napas panjang. Menatap langit hitam yang mengantrakan butiran salju sebelum dengan bahu merosot kembali ke dalam rumah dan menutup pintu di belakangnya. Raphael yang lebih tua beberapa tahun itu sekarang tersentak bangun begitu ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Sarapan sudah siap.” “Oke, jangan mulai tanpa aku!” Raphel mengerang, memegang kepalanya dengan kedua tangan. Dengan sangat lambat ia melepas sepatunya dan berganti dengan selop rumah berbulu cokelat dengan wajah Grizz dari We Bare Bears dengan beberapa erangan. Setelah itu Raphael masuk ke kamar mandi mencuci wajahnya dengan air dingin dari wastafel. Ia benci melihat dirinya bergantung pada tongkat sialan itu. Walaupun ada di masa ia tampak keren dengannya. Jadi kenapa kecantikan harus selalu sejalan dengan penderitaan? *** Sedangkan bus yang ditumpangi Andrew dengan Naya makin sesak. Sehingga Andrew berdiri sangat dekat dengan Naya. Ia bisa merasakan pundak Naya menyentuh perutnya, membuat gadis itu mendongak memberinya tatapan tidak setuju. “Apa? Aku sama sekali tidak sengaja.” Andrew membela diri sambil mengedikkan bahu. Tinggal dua pemberhentian lagi untuk Naya turun lebih dulu darinya. Namun tiba-tiba sebuah teriakan terdengar membuat bus tiba-tiba berhenti. Semua orang berbalik ke arah asal suara. Seseorang dengan kepala ditutup dengan tudung hoodie membelah para penumpang bus yang lain dan ia malah dibiarkan begitu saja memencet tombol berhenti mendadak… “Dompetku!” Kaki Andrew sudah membawanya berlari mengeja sang pencopet di trotoar yang penuh dengan pejalan kaki. Seperti warga New York pada umumnya, semua orang tidak peduli dan hanya menyingkir ketika Andrew mengejar sang pencopet di tengah-tengah mereka. Napas Andrew mulai habis dan mungkin mereka sudah melewati dua blok sebelum akhirnya merebut payung dari tangan seorang pejalan kaki yang berjalanan berilanan arah dengannya dan melemparkannya ke ara kaki sang pencopet. Pria dengan hoodie itu jatuh tersungkur dengan kaki tersangkut payung dengan wajah lebih dulu. Andrew langsung melompat ke atas tubuhnya. Andrew menarik kedua lengan pria itu ke punggung. Makin menekannya ke trotoar. Satu tangannya meraih dompet wanita yang terjatuh tidak jauh sebelum tertendang oleh para pejalan kaki yang masih tidak peduli itu. “Ouch, itu sakit!” Pria itu terlihat sangat muda dari wajahnya terjepit itu “Kalau begitu berpikir ulanglah sebelum melakukan ini!” geram Andrew sebelum mengedarkan pandangan. Ia beruntung di seberang jalan ada dua polisi yang sedang bersandar santai di sedan dinas mereka dengan gelas kopi di tangan. Andrew bersiul sangat keras dua kali sebelum mendapatkan perhatian mereka. Lalu menunjuk pria yang terjepit di bawahnya lalu memberi isyarat dengan tangan untuk mendekat Dua polisi itu mengerjap, menaruh kopinya di atas kap mobil dinas mereka dan berlari menghampiri Andrew dengan menyeberang jalan dan mendapatkan klakson panjang dari truk es krim. Polisi bertubuh kurus mengambil-alih dalam mengamankan si pencopet. Sedangkan polis yang bertubuh tambun membantu Andrew berdiri. Andrew kemudian menjelaskan kejadian yang menimpanya dari mulai dalam bus hingga ke blok ini. Sang polisi tambun mengangguk, menyampaikan penangkapannya pada radio yang ada di dadanya. Lalu ia kembali pada Andrew yang memberi polisi tambun dompet yang ia selamatkan. “Kau adalah warga negara yang baik, Sir. Terimkasih” Polisi tambun melambaikan dompet itu sebelum ia selipkan dalam sakunya. Si pencopet sudah diborgol dan di bawa menyeberang ke mobil dinas di seberang jalan. “Well, sebenarnya ini hari pertamaku bekerja sebagai polisi di 10th Precinct…” Andrew menggaruk belakang kepalanya. “Oh, ya? Astaga! Bagus sekali kalau begitu!” Si polisi tambun bersemangat. Binar matanya tampak tulus. “Tunggu, aku bisa menelepon rekanku yang lain untuk mengantarmu ke sana!” Ia lalu menghdupkan radionya. “Ternyata pahlawan kita hari ini adalah anggota kita di 10th Precinct! Adakah yang bersedia mengantarnya ke markasnya sekarang? Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, soalnya.” Ia mengerling ke arah Andrew selama menunggu jawaban. Hanya butuh dua detik sebelum seseorang menjawab permintaannya. “Segera datang untuk mengantar sang pahlawan.” Andrew mendapatkan tepukan di pundak yang sangat keras sebelum si polisi tambun melambai padanya dan berjalan mundur, “Selamat menjalani hari pertama, sobat. Sampai bertemu lagi!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN