bc

Napak Tilas Gus Dur

book_age18+
2
IKUTI
1K
BACA
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Napak Tilas Menulis Gus Dur                                                                                                                   Gus Dur adalah salah satu ulama Indonesia sekaligus mantan Presiden Indonesia yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Sudah tercatat 17 buku yang berhasil beliau buat, belum lagi karya tulis lain yang beliau buat dalam bentuk jurnal dan lain sebagainya.

12 tahun wafatnya Gus Dur menurut perhitungan miladiyah dirindukan oleh banyak orang. 12 Tahun, Gus Dur telah wafat, tepatnya 30 Desember 2009 yang lampau. Sekalipun demikian 12 Tahun telah berselang, beberapa gagasan dan pemikiran Gus Dur tetap dikenang dan senantiasa relevan untuk menjawab persoalan zaman dan senantiasa dikenang sepanjang masa.

Konsistensi perjuangan dan keberanian Presiden ke-4 Indonesia ini dalam menegakkan kebenaran menjadi salah satu faktor pemikirannya selalu menginspirasi seluruh masyarakat.

Kesejukan dalam mengurai berbagai masalah yang ada juga selalu dicontoh sebagai landasan berperilaku masyarakat. Tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan saat Gus Dur harus menyelesaikan masalah yang selalu muncul dari masa ke masa. Penentu kesuksesannya adalah dengan landasan yang bersih dan benar. 

Menapaktilasi jejak Gus Dur bisa dengan membaca karya tulis dan mendengarkan pidatonya. Gus Dur, sosoknya sebagai kiai, tokoh politisi, dan juga akademisi. Hal ini terlihat dari sejumlah karyanya yang memiliki visi dan berbobot.

Selain itu, Gus Dur adalah seorang humanis dan nasionalis yang begitu mencintai rakyatnya tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan latar belakangnya. Gus Dur membuat keislaman menjadi begitu indah dan dicintai, bahkan oleh umat lain. Nilai humanisme (humaniterian Islam) ini tidak lain dalam rangka mewujudkan nasionalisme dan kemanusiaan yang berkeadilan sosial.

Dan di saat situasi kebangsaan Indonesia yang penuh dengan kekisruhan, banyak orang merasa sangat rindu dengan Gus Dur, dengan rangkulan humanismenya dan rasa humornya.

Menelusuri alur pemikiran Gus Dur merupakan kerja ilmiah tersendiri. Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain, dan terlibat langsung dalam pelbagai diskursus, kini ia telah menjadi sebuah diskursus itu sendiri.

Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami kompleksitas tingkah laku politik dan gaya unik aktifitas Gus Dur lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal paling lumrah dan jamak dilakukan peneliti adalah membaca akar epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulis yang tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Mengingat, Gus Dur sendiri terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki ruang media nasional.

Salah satu kecerdasan Gus Dur adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final, ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu dari segelintir orang itu. Hingga kini, lama setelah wafatnya, gagasan dan pemikirannya tetap diperbincangkan dan dipikirkan.

Mengapa Gus Dur menjadi sedemikian kuat pengaruhnya? Jawabannya bisa sangat kompleks dan beragam. Salah satunya adalah karena dia tidak hanya orang yang bicara dan menuangkan gagasan dalam tulisan, namun juga bekerja memperjuangkan apa yang ia pikirkan.

Sejarah atau biografinya dengan terang benderang menerangkan perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelaksanaan kata-kata. Mulai dari mengajar di pesantren, mengurus dan merawat organisasi NU, hingga menjadi politikus dan presiden.

Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Paling tidak, dengan membaca Gus Dur disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan, kita bisa menemukan nilai utama pikiran dan tindakan Gus Dur.

Nilai-nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal. Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya.

Berikut ini adalah daftar buku kaya Gus Dur yang hingg kini dapat dinikmati pembaca:Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979), Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997), Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998), Islam Tanpa Kekerasan (LkiS, Jogjakarta, 1998), Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999), Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, Jakarta, 1999), Islam, Negara, dan Demokrasi (Erlangga, Jakarta, 1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, Jakarta, 1999), Gila Gus Dur (LkiS, Jogjakarta

chap-preview
Pratinjau gratis
Napak Tilas Gus Dur
Napak Tilas Menulis Gus Dur Gus Dur adalah salah satu ulama Indonesia sekaligus mantan Presiden Indonesia yang cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Sudah tercatat 17 buku yang berhasil beliau buat, belum lagi karya tulis lain yang beliau buat dalam bentuk jurnal dan lain sebagainya. 12 tahun wafatnya Gus Dur menurut perhitungan miladiyah dirindukan oleh banyak orang. 12 Tahun, Gus Dur telah wafat, tepatnya 30 Desember 2009 yang lampau. Sekalipun demikian 12 Tahun telah berselang, beberapa gagasan dan pemikiran Gus Dur tetap dikenang dan senantiasa relevan untuk menjawab persoalan zaman dan senantiasa dikenang sepanjang masa. Konsistensi perjuangan dan keberanian Presiden ke-4 Indonesia ini dalam menegakkan kebenaran menjadi salah satu faktor pemikirannya selalu menginspirasi seluruh masyarakat. Kesejukan dalam mengurai berbagai masalah yang ada juga selalu dicontoh sebagai landasan berperilaku masyarakat. Tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan saat Gus Dur harus menyelesaikan masalah yang selalu muncul dari masa ke masa. Penentu kesuksesannya adalah dengan landasan yang bersih dan benar. Menapaktilasi jejak Gus Dur bisa dengan membaca karya tulis dan mendengarkan pidatonya. Gus Dur, sosoknya sebagai kiai, tokoh politisi, dan juga akademisi. Hal ini terlihat dari sejumlah karyanya yang memiliki visi dan berbobot. Selain itu, Gus Dur adalah seorang humanis dan nasionalis yang begitu mencintai rakyatnya tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan latar belakangnya. Gus Dur membuat keislaman menjadi begitu indah dan dicintai, bahkan oleh umat lain. Nilai humanisme (humaniterian Islam) ini tidak lain dalam rangka mewujudkan nasionalisme dan kemanusiaan yang berkeadilan sosial. Dan di saat situasi kebangsaan Indonesia yang penuh dengan kekisruhan, banyak orang merasa sangat rindu dengan Gus Dur, dengan rangkulan humanismenya dan rasa humornya. Menelusuri alur pemikiran Gus Dur merupakan kerja ilmiah tersendiri. Pasalnya, tokoh yang satu ini selain melintas, bermain, dan terlibat langsung dalam pelbagai diskursus, kini ia telah menjadi sebuah diskursus itu sendiri. Banyak jalan yang bisa dipakai untuk memahami kompleksitas tingkah laku politik dan gaya unik aktifitas Gus Dur lainnya. Di samping menengok historisitas perjalanan hidup Gus Dur, hal paling lumrah dan jamak dilakukan peneliti adalah membaca akar epistemologis dan jalan pikirannya melalui uraian-uraian tertulis yang tersebar dalam bermacam bentuk tulisan. Mengingat, Gus Dur sendiri terkenal sebagai penulis produktif bercakupan luas yang turut menyesaki ruang media nasional. Salah satu kecerdasan Gus Dur adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final, ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-jawaban baru yang lebih kreatif. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu dari segelintir orang itu. Hingga kini, lama setelah wafatnya, gagasan dan pemikirannya tetap diperbincangkan dan dipikirkan. Mengapa Gus Dur menjadi sedemikian kuat pengaruhnya? Jawabannya bisa sangat kompleks dan beragam. Salah satunya adalah karena dia tidak hanya orang yang bicara dan menuangkan gagasan dalam tulisan, namun juga bekerja memperjuangkan apa yang ia pikirkan. Sejarah atau biografinya dengan terang benderang menerangkan perjalanan hidupnya yang penuh dengan pelaksanaan kata-kata. Mulai dari mengajar di pesantren, mengurus dan merawat organisasi NU, hingga menjadi politikus dan presiden. Basis pemikiran dan tindakan Gus Dur yang membuatnya menjadi orang besar tentu berpijak pada pondasi nilai tertentu. Paling tidak, dengan membaca Gus Dur disarikan dari berbagai perjumpaan, kesaksian, tindakan, dan tentu saja beragam percikan pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai tempat dan ingatan, kita bisa menemukan nilai utama pikiran dan tindakan Gus Dur. Nilai-nilai itu adalah, ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesantriaan, dan kearifan lokal. Sembilan nilai itulah yang kemudian menjadi panduan bagi para Gusdurian, murid-murid dan pengagum Gus Dur yang bertekad untuk meneruskan garis pemikiran dan perjuangannya. Berikut ini adalah daftar buku kaya Gus Dur yang hingg kini dapat dinikmati pembaca:Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979), Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981), Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997), Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1998), Islam Tanpa Kekerasan (LkiS, Jogjakarta, 1998), Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999), Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, Jakarta, 1999), Islam, Negara, dan Demokrasi (Erlangga, Jakarta, 1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, Jakarta, 1999), Gila Gus Dur (LkiS, Jogjakarta. 2000), Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (LkiS, Jogjakrta, 2001), Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001), Gus Dur Bertutur (2005), Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi (Wahid Institute, 2006), Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (2007). Tidak hanya buku, artikel, dan ulasan di majalah serta pidato dalam bentuk audio visual semua terdokumentasikan dengan baik di Yayasan Bani KH. Abdurrahman Wahid - Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 - Jakarta 10320 - Indonesia. Selain itu, untuk untuk membaca lengkap mengenai pemikiran dan tulisan Gus Dur, sejak 2008 telah dibuat web www.gusdur.net. Menurut Alissa Wahid, situs ini dijadikan sebagai media penyampaian gagasan Gus Dur secara utuh. Berbagai komentarnya, yang dipandang kontroversial, selama ini muncul karena kutipan pers secara sepotong-sepotong, sehingga kurang dipahami masyarakat."Mudah-mudahan, dengan situs ini, tak ada lagi plintiran pers," kata Alissa. Selain itu, target utama adalah supaya masyarakat luas bisa mengakses untuk mendapatkan pemikiran-pemikiran bekas ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini soal berbagai persoalan. "Mulai dari demokrasi, humanisme, agama, dan dunia seni," ujar perempuan yang akrab disapa Lisa ini. Sebenarnya, Alissa menambahkan, homepage untuk menyampaikan gagasan bekas ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini sudah dibangun sejak Gus Dur masih menjabat sebagai kepala negara. Namun karena sibuk, peluncuran situs dengan nama www.gusdur.net terpaksa ditunda. "Bapak dulu masih sibuk mengikuti perkembangan politik di Tanah Air," kata Lisa. Berbagai fitur ditampilkan dalam www.gusdur.net. Di antaranya berita seputar aktivitas dan ide-ide Gus Dur, berbagai tulisan Gus Dur, biografi, anekdot dan joke yang selama ini sering dilontarkan bekas pemimpin kaum nahdliyin ini, kolom artikel para pakar, galeri foto, dan sejumlah artikel berbahasa Inggris. Situs ini juga menyediakan fasilitas interaktif yang dapat digunakan masyarakat untuk berdialog langsung dengan dirinya. Selain buku yang membahas khusus tentang Gus Dur, dan terdokumentasi, diresensi dan didiskusikan dalam laman khusus pembaca buku, www.goodreads.com. Sementara jika kita mencarinya di mesin pencari Google, terdapat lebih dari sejuta ulasan tentang buku berbau Gus Dur. Belum lagi skripsi, tesis, dan disertasi yang ditulis jutaan mahasiswa Indonesia, bahkan dari berbagai negara lain, yang membahas pemikiran Gus Dur. Putri Gus Dur, Alissa Wahid, yang kini aktif mengelola lembaga The Wahid Institut (WI) dan Yayasan BaniAbdurrahman Wahid, mengakui pihaknya kerap menerima sejumlah penulis yang berdiskusi tentang buku mengenai Gus Dur yang telah atau hendak diterbitkan. “Kalau buku yang ditulis Gus Dur, ada sekitar tiga puluhan. Tapi kalau buku yang mengulas tentang beliau, belum terdokumentasikan seluruhnya di perpustakaan Wahid Institute,” kata Alissa. Ia mengaku bersyukur, sang ayah kini menjadi inspirasi banyak orang. Ia juga berharap semangat kebangsaan dan kasih sayang Gus Dur tetap lestari dan diejawantahkan oleh generasi muda Indonesia. Karenanya, keberadaan Wahid Institute dan YayasanAbdurrahman Wahid yang dipimpinnya kini, berupaya untuk tetap melakukan kajian tentang keagamaan dan keindonesiaan. Bersyukurnya lagi, kata Alissa, para pengagum Gus Dur dengan sukarela membentuk lembaga informal bernama Gusdurian. “Diskusi rutin digelar secara terbuka di kantor Wahid Institute. Di daerah-daerah, para Gusdurian juga rajin menggelar diskusi tentang pemikiran Gus Dur,” ujarnya. Oleh: Aji Setiawan, ST, Demisioner Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wachid Hasyim UII Jogjakarta. Laduni.id 30 Desember 2021 Gagasan Gus Dur Tentang Pesantren Sebagai seorang santri dan memiliki kekayaan intelektual yang cemerlang dalam bidang agama, politik, dan kebudayaan, Gus Dur juga mempunyai perhatian akan pembaruan dalam pesantren, khususnya di Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul 'Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren', terdapat banyak aspek yang perlu diperbarui di dalam pesantren itu sendiri. Contohnya saja bagaimana Gus Dur mampu memposisikan kedudukan pesantren dalam kesusastraan Indonesia. Mungkin kita bingung, memang apa hubungannya pesantren dengan sastra? Pasti sangat bertolak belakang dan bisa jadi tidak ada hubungannya sama sekali. Pada awal kalimatnya Gus Dur mengamini pendapat ini bahwa dalam perspektif sastra Indonesia, pesantren masih belum diminati oleh kalangan sastrawan Indonesia pada waktu itu. Menurutnya, hanya ada 2 sastrawan yang bernama Djamil Suherman dan Mohammad Radjab. Itupun mereka hanya mampu menuliskan nostalgia seputar pesantren bukan menggambarkan jiwa pesantren secara utuh. Dalam penutupnya, Gus Dur memberikan sebuah simpulan bahwa salah satu jalan untuk mengatasi kekurangan materi pesantren dalam kesusastraan Indonesia adalah dengan mencari persoalan dramatis yang mengarah pada bentuk satire. Pada pembahasan ini Gus Dur mengkritik kurikulum pembelajaran pesantren di Indonesia pada saat itu. Menurutnya, sistem pendidikan di pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-buku wajib (Kutub Al-Muqararah) yang hampir bersamaan atau di luar materi pelajaran yang berdekatan. Keragaman ini timbul akibat dari ketidaksamaan dalam sistem pendidikannya, di mana ada pesantren dengan sistem pendidikan berupa pengajian tanpa sekolah/madrasah, ada pesantren yang hanya menggunakan sistem pendidikan klasikal, dan ada yang menggabungkan antara sistem pengajian dan sistem madrasah non klasikal. Namun, perlu ditekankan kembali bahwa tidak mungkin ada penyatuan kurikulum selama masih ada perbedaan-perbedaan yang dianut. Dari masalah tersebut, Gus Dur memberikan tawaran kurikulum dengan sebab beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan, sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman. Kedua, penekanan pada latihan. Dan ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan tidak berurutan dalam diktat selama pendidikan berlangsung. Oleh karena itu, Gus Dur memberikan tawaran kurikulum untuk pesantren di Indonesia. 1) memberikan waktu terbanyak pada unsur nahwu-sharaf dan fiqih, karena kedua unsur ini perlu pengulangan, 2) mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa pengulangan, dan 3) pemberian materi hadits Shahih Bukhari dan Muslim serta Ihya’ Ulumuddin pada tahun terakhir. Gus Dur memetakan jangka waktu pembelajaran selama 6 tahun. Pada tahun pertama dan ketiga, santri mempelajari materi Nahwu, Fiqih, Sharaf, dan Tauhid. Tahun keempat mempelajari Fiqih, Balaghah, dan Tafsir. Tahun kelima Mantik, Ushul Fiqih, dan hadits. Dan tahun keenam dicukupkan pada pembelajaran hadits dan tasawuf. Gagasan Gus Dur tentang pesantren lebih pada penyederhanaan kurikulum yang ada di Indonesia pada saat itu. Beliau menekankan bahwa penyederhanaan ini tidak bermaksud untuk mendangkalkan ilmu agama, melainkan dapat dimasukkan ke dalam sistem pengajaran yang lebih luas seperti pengajian agama nonkurikuler. Diharapkan gagasan pembaruan seputar pesantren tidak hanya berhenti di situ saja, perlu ada kajian lebih luas lagi agar pendidikan pesantren tetap eksis sepanjang zaman. Satu istilah yang kemudian sangat terkenal dan menjadi penanda bagi pemikiran Gus Dur, terutama dalam hal keagamaan dan sosial, adalah 'pribumisasi Islam'. Praktik pribumisasi Islam berpijak pada kaidah fiqih seperti al-adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis shalih wal-ahdzu bil jadidil ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Di sini kita bisa melihat satu sisi penting dari pemikiran Gus Dur mengenai Islam. Yakni bahwa orientasi keislaman yang dikembangkan adalah Islam yang berpijak pada tradisi, kelokalan, sekaligus kekinian, bukan Islam yang berorientasi pada pemurnian atau purifikasi. Inilah yang membedakan Gus Dur dengan corak pemikir Islam modernis yang menghendaki pembaharuan Islam dengan jargon kembali kepada Al-Qur'an dan hadits. Dapat dikatakan bahwa gagasan Gus Dur segaris saja dengan tradisi berislam yang telah dijalani masyarakat Islam di Nusantara. Ia tidak menawarkan sesuatu yang sepenuhnya baru, yang ia lakukan adalah apa yang ia sebut dengan 'mendinamisasikan' tradisi. Gus Dur pun tidak segan untuk mendialogkan tradisi Islam dengan tradisi agama atau budaya lain untuk kemudian membangun satu peradaban bersama. Pada titik inilah kemudian bisa dipahami mengapa Gus Dur dengan mulus menemukan jalan penyelesaian dalam soal hubungan antara agama (Islam) dan negara. Menurut Gus Dur, kewajiban setiap muslim adalah mewujudkan negara damai (darul sulh) bukan negara Islam (darul Islam). Sebuah negara republik yang di dalamnya ada kedamaian, keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan adalah negara yang sejalan dengan agama Islam. Karena itu perjuangan menegakkan Islam kemudian perlu diterjemahkan menjadi perjuangan bersama kelompok lain--dalam negara Indonesia yang beragam ini-- untuk mewujudkan demokrasi, kemaslahatan, keadilan, kesetaraan dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Islam, dengan demikian, bukan menjadi satu warna yang mendominasi, namun menjadi salah satu warna saja dalam mozaik besar bernama Indonesia.(*) Aji Setiawan, demisioner Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wachid Hasyim UII Jogjakarta. Selatan MINU 02 Cipawon, Desa Cipawon RT 06/RW 01, Bukateja, Kabupaten Purbalingga 53382 www.jateng.nu.or.id 5 Januari 2022 NU Menyongsong Abad Ke II Waktu berputar demikian cepat. Tak terasa, kini sudah mendekati tahun 2026, yang artinya NU akan berusia satu abad. Sebuah usia yang lebih dari cukup untuk disebut matang. Tetapi bukan satu abad itu yang perlu disongsong. Melainkan bagaimana mewarnai perjalanan abad berikutnya, yakni memasuki abad II NU. Memasuki Abad II NU, harus dijadikan momentum untuk meluruskan cara pandang, dalam meneropong dimensi waktu yang akan datang. Terlebih, gaung menyongsong abad II NU sudah didengungkan pada Muktamar ke-33 NU di Jombang. NU lahir sejak awal sebagai jamiyyah keummatan yang lahir dan selepas itu musnah ditelan bumi. Sebagai jamiyyah yang keberadaan di belakangnya banyak kiai dan santri berkelindan dengan waktu, NU selalu tampil mewarnai sejarah kebangsaan yang patut diperhitungkan. NU, ditahbiskan lahir di Indonesia dan ilaa yaumil qiyamah akan menjadi jamiyyah berpegang teguh dengan ahlus sunnah wal jamaah. Sehingga keberadaan NU senantiasa dibutuhkan ummat sebagai sandaran kekuatan sosial dan keagamaan dalam konteks kebangsaan di Indonesia. Jadi keberadaan NU tidak ditentukan oleh berbagai seremonial miladnya, apalagi tradisi NU hampir meliputi seluruh aspek kegiatan keagamaan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana khidmah NU senantiasa berlanjut, khusunya menatap abad II usianya, di tengah revolusi digital seperti sekarang. Beberapa hal penting yang perlu disampaikan, antara lain terkait upaya pengembangan organisasi dan reorganisasi yang berorientasi tidak lagi pada pendekatan geografis, melainkan pendekatan komunitas. Tentu orang rindu, ketika era 1990-an NU penuh dengan komunitas pemikiran anak muda NU yang progresif. Komunitas imaginer, yang tampil menjadi kekuatan kelas menengah serta melakukan berbagai penguatan (empowering) masyarakat sipil (civic education). Keberadaan komunitas itu hidup di luar struktur NU, namun banyak berisi kalangan muda NU. Keberadaannya kemudian bermetamorfosa masuk ke berbagai lini partai politik, LSM, dunia pendidikan bahkan kursi eksekutif yang di kemudian hari dipuncaki dengan tampilnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI. Gerakan kultural yang di kemudian hari merebut supermasi struktur negara, adalah dialektika sejarah yang tidak perlu disesali, karena NU akan selalu mendapat beban sejarah, mengemban amanat tugas-tugas kebangsaan. Di sinilah, maka penting penyiapan kader ummat dan kader bangsa dari kalangan NU, untuk berbagi tugas dan selalu dinamis mengaklerasi setiap perubahan zaman, tanpa harus NU terjun berpolitik praktis. Model road map, high politik yang dipernalkan KH Sahal Mahfudz bisa menjadi rujukan dalam berpolitik namun secara santun dan sarat muatan politik kebangsaan. Tinjuan Struktural Struktur organisasi NU saat ini secara hierarkis-demorafis, mengikuti pola pemerintahan Negara. Secara pararel dapat dilihat, NU berkantor pusat di Jakarta. Membawahi seluruh wilayah di Indonesia. Pengurus wilayahnya berkantor pusat di ibukota provinsi, dan seterusnya ke bawah. Pertanyaannya, apakah NU akan berkhidmah dalam kerangka sistemik yang sama persis dengan pemerintah? Dengan mengikuti model hierarki pemerintahan yang rentang kendalinya sangat panjang ini, sementara SDM dan pendanaan yang dimiliki relatif terbatas. Dengan pola hierarki ini, efektifkah NU selama ini menjalankan tugas pokok dan fungsinya? Di sinilah reorganisasi NU dibutuhkan. Pengembangan struktur futuristik ini, ke depan perlu mempertimbangkan dinamika stakeholders yang semakin terdiferensiasi seiring perkembangan zaman. Dinamika masyarakat urban yang tumbuh di perkotaan sudah mengalami diferensiasi yang semakin rumit. Ada masyarakat industri perkotaan seperti kalangan perbankan, kalangan industri kreatif dan jasa, yang pertumbuhannya sangat pesat. Perlu langkah antisipasi agar tokoh-tokoh NU tidak tersedot habis di jalur politik praktis (PKB, PPP dan partai lainnya), namun NU harus terus senantiasa memperkuat kaderisasi internal untuk regenerasi kepengurusan di berbagai tingkatan. Ada banyak stok organisasi, dengan menguatkan kader-kader militan NU dari lembaga-lembaga baik pesantren maupun lembaga pendidikan yang bernaung di bawah NU. Ini semua memerlukan pendekatan khusus. Dalam arti pengorganisasian tidak cukup hanya dengan pendekatan geografis, juga mesti mempertimbangkan pengembangan struktur organisasi di komunitas-komunitas baru sesuai dengan perkembangan masyarakat urban yang sangat dinamis, yang tak bisa dijangkau oleh eksistensi struktur organisasi yang terlalu administratif seperti pemerintahan Negara. Ke depan, NU harus berjejaring dan berinteraksi dengan komponen potensial yang lebih luas lagi, baik di tingkat domestik maupun internasional. Selama 15 tahun terakhir tidak dapat dipungkiri terjadi interaksi yang semakin meningkat antarorganisasi dari berbagai jenis dan bidang. Berbagai perkumpulan, yayasan, jaringan kerja, perhimpunan, lembaga bantuan, kelompok hobi, bahkan instansi dan perusahaan swasta telah memperluas jangkauan kegiatan mereka di bidang yang selama ini hanya menjadi trade mark kegiatan klasik organisasi nirlaba. Penguatan ekonomi warga NU berbarengan dengan penguasaan iptek sebagai perangkat memenangkan persaingan era digitalisasi, menjadi penting dipersiapkan dengan hadirnya kader NU milenial yang baru namun jangan lupa untuk tidak tercerabut dari akar dan tradisi NU. Dalam perkembangan situasi ini, akan muncul berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun swasta yang bakal mengincar kompetensi, expertise dan waktu pengurus NU yang sangat berharga. NU tidak mungkin mengelak dan harus berjejaring dan bekerja sama dengan pihak tersebut. Jika tidak, NU akan kesulitan menghadapi ragam persoalan kemasyarakatan secara sendirian di zaman yang semakin multidimensional itu. Maka pilihannya, NU harus aktif masuk di wilayah sistem yang lebih besar, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Ketidaksiapan masuk di wilayah sistem yang lebih besar, akan membawa NU hanya pada saling ketergantungan dalam berbagai dimensi. Kekurangan di daerah dilimpahkan ke pusat, kelemahan di pusat dilemparkan ke daerah, dan seterusnya. Inilah situasi yang amat sangat tidak boleh terjadi. Situasi yang menempatkan NU menjadi bagian dari suatu kesatuan sistem, di mana NU akhirnya hanya menjadi sub-sistem peradaban. Padahal, NU masa depan, NU harus hadir sebagai aktor pengubah dan pembaharu peradaban. Wallahu a’lam. (*) Aji Setiawan, pernah menjabat Litbang pada PMII Cabang Yogjakarta. Penulis tinggal di Cipawon, Bukateja, Purbalingga. www.suaranahhliyin.com 17 Desember 2021 Gus Dur dan Wacana Gender Islam merupakan salah satu agama yang fokus dalam isu-isu tentang perempuan. Hal ini terlihat oleh apa yang dilakukan organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama di Lombok tahun 1997. Munas tersebut membahas tentang kedudukan perempuan dalam Islam yang akhirnya diputuskanlah bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin publik. Di kalangan Ulama terdahulu tentu hal ini menjadi perhatian penting. Di antara tanda kebangkitan masyarakat muslim itu adalah bangkitnya kalangan muslim pesantren yang pada 1919, ditandai dengan diterimanya santri putri di lingkungan Pesantren Denanyar, Jombang, di bawah asuhan KH. Bisri Syansuri (1887-1980) dan Bu Nyai Nur Khodijah (w. 1958). Selain itu KH. Wahid Hasyim juga merupakan pelopor sekolah hakim perempuan pertama pada tahun 1950-an, saat ia menjabat sebagai Menteri Agama. Sebagai tokoh kemanusiaan, KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur itu tentunya memiliki pandangan tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Gus Dur memandang bahwa hak asasi perempuan sudah terdapat dalam al-Kulliyat al-Khams (lima hak-hak dasar dalam Islam). Ia mulai membangun relasi kesetaraan gender di wilayah yang paling awal, yaitu keluarga. Perjuangan tersebut terus meluas sampai Gus Dur menjadi Presiden, dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG/Gender Mainstreaming). Menurut Gus Dur, dalam pengertian hak asasi antara perempuan dan laki-laki memiliki derajat dan status yang sama. Keduanya memiliki persamaan hak, kewajiban, dan kedudukan yang setara. Gus Dur menafsirkan terminologi ayat arrijalu qawwamuna ala an-nisa secara antropologis. Ia berpendapat bahwa laki-laki memang qawwam dengan arti lebih tegar, lebih bertanggung jawab atas keselamatan wanita daripada sebaliknya. Gus Dur mengatakan bahwa pengertian antropologis bisa juga berlaku dalam terminologi psikologis, bahwa laki-laki melindungi perempuan sebagai mahluk yang dianggap lebih lemah. Tetapi dalam kelemahannya itu, wanita memiliki kedudukan yang lebih kuat (Abdurrahman Wahid, 2017). Wacana Gender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, gerakan-gerakan penentangan terhadap sistem feodalisme menuju pencerahan (aufkllarung)-pun tidak terlepas dari kondisi ini. Sehingga, dari waktu ke waktu dalam rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan, hampir tidak terdengar kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas Aquinas, tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada hal itu tidak menjadi masalah yang cukup krusial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke-13 dalam filsafatnya menyatakan bahwa tatanan sosial merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah. Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakatpun diciptakan sebagai suatu hierarki yang teratur sesuai dengan derajar rasionalitas. Secara umum, kaum laki-laki dianggap lebih rasional dari pada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki harus memimpin kaum perempuan, demikian pula orang tua lebih rasional dari pada anaknya, dan seterusnya. (Hans Fink, 2003: 25-26) Di masa-masa berikutnya, perjuangan memperoleh kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa “PR” (pekerjaan rumah) kerangka berpikir yang paternalistik itu, hingga muncul kemudian gerakan-gerakan perlawanan yang menentangnya. Sejarah penyebaran Islam juga bergulat dengan relaitas yang serupa. Setting masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah Islam adalah komunitas yang tidak “memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas. Anak laki-laki lebih dibanggakan dari pada anak perempuan, hingga menyebabkan beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda yang bisa diwariskan secara turun temurun. Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran (baca: Islam) merupakan peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dan keagamaan yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam sejarah sejarah Arab, antara “pemikiran primitif” (savage thinking), dalam pengertian yang diberikan kepada istilah itu oleh Claudé Lavi-Strauss, dan “pemikiran berbudaya” (civilited thinking). (Arkoun, 1996: 1) Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu dalam kronologi linear. Zaman sebelum Al-Quran (Islam) dikaitkan dengan tradisi Jahiliah, yaitu suatu kondisi masyarakat yang secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara kultural tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah Islam dikaitkan dengan pencerahan agama dan budaya, yang biasanya mengambil fakta “negara Islam” di Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 M, sebagai sampel kebenarannya (Zamzami, 2000: 62). Akibat dari mapannya kultur yang demikian itu, masyarakat dunia secara umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan keluarga, sedangkan peran publik dipegang oleh kaum lak-laki. Masalah gender memang demikian rumit, karena tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi harus diperjelas apa batas-batas yang bisa dipersoalkan dalam “pembedaan” terhadap kedua jenis makhluk ini. Kalau melihat lima prinsip hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas, agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan, perlindungan, dan jaminan keselamatan. Akan tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam pemahaman yang salah kaprah. Bagaimana Islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa secara doktrinal ajaran Islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian. Al-Quran menyatakan bahwa, اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (QS. An-Nisa; 34) Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 36). Menurut KH. Abdurrahman Wahid, walaupun diputar-balik, memang laki-laki itu tetap qawwam, lebih tegar, lebih bertanggungjawab atas keselamatan perempuan, ketimbang sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya. Bisa juga dalam pengertian psikologis, lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi ada kekuatan pada diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan yang amat kuat. Memang sudah kodratnya lelaki mengejar perempuan (Lily Zakiyah Munir (ed.): 36-37). Namun demikian, penafsiran yang keliru terhadap ayat itu akan menyebabkan Islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Penafsiran semacam itu tidak akan pernah terjadi seandainya umat Islam mau melakukan kajian yang serius terhadap asbab an-nuzul ayat itu, dengan memperhatikan konteks sosial yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ahli ilmu Al-Quran seperti As-Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya. Di tempat lain, ada hadis yang menyatakan, “Jangan serahkan urusan penting kepada perempuan.” Hadis ini sering dijadikan legitimasi ideologis oleh sebagian kelompok umat Islam, untuk melakukan proraganda dalam menghalang-halangi akses politik dalam berpolitik, dan menghalang-halangi mereka untuk berperan dalam ruang publik. Sesungguhnya akan berbeda pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan setting sosial masyarakat yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Untuk ini para ulama terdahulu sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbab al-wurud yang berbicara tentang latar belakang munculnya hadis. Ahli sejarah manapun akan mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad bangsa Arab dan sekitarnya, terutama yang belum menganut Islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan keluarga, dan semacamnya. Bahkan tampilnya dinasti-dinasti Islam pasca al-khulafa ar-rasyidun, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya, sering dianggap sebagai menguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah perekat spiritual di antara umat Islam semakin memudar – dengan tidak menutup mata atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut. Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang diisyaratkan dalam hadis tersebut, semestinya disadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala macam urusan. Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak, dan keamanan. Bisa dibayangkan, bagaimana jika perempuan yang dalam masa itu masih disubordinasikan dalam tingkat yang demikian rendah, harus tampil sebagai pemimpin. Menurut KH. Abdurrahman Wahid, jika kita melihat Islam hanya secara normatif, yaitu dari apa yang ada di fikih, akhlak, mungkin juga tasawuf, atau pada i’tikad kita, bisa saja itu berbeda dengan HAM. Akan tetapi yang terpenting adalah apakah dalam masyarakat kaum Muslim, kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum, secara konstitusional, maupun legal (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999, 37). Fikih yang ditulis oleh para ulama kalau dipahami secara lebih mendalam sarat dengan perubahan-perubahan sesuai dengan konteks geografis, kultur, dan sosio-politik di mana pengambilan suatu hukum dilakukan. Sebagai ilustrasi, persyaratan menjadi hakim (qadhi) yang menurut Al-Mawardi (w. 450H) dalam karya monumentalnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah’, harus laki-laki. Akan tetapi, seorang kiai NU dari pesantren (KH. Muhammad Ilyas- pen.), yang dulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, justru membolehkan perempuan untuk memasuki Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri. Dan kemudian mereka bisa melajutkan ke Fakultas Syari’ah Jurusan Qadha. Ini artinya, ia akan mendapatkan ijazah dan bisa menjadi guru hakim agama, dan lama-lama bisa menjadi hakim agama (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 39). Peran penting dipegang oleh kaum perempuan banyak kita lihat contohnya dalam sejarah. Aisyah, istri Rasulullah adalah perempuan yang amat popular, pandangannya dalam soal-soal agama maupun pemerintahan dijadikan rujukan bagi para sahabat, bahkan menjadi pemimpin dalam perang Jamal. Syajarah ad-Dur, menjadi ratu pada masa dinasti Mamalik. Benazir Butho, tidak menemukan masalah untuk tampil sebagai perdana menteri di Republik Islam Pakistan yang hampir semua penduduknya notabene Muslim. Di lingkungan NU, pemberdayaan terhadap kaum perempuan menjadi concern utama bagi pembangunan masyarakat. Cita-cita ini mendasari lahirnya organisasi-organisasi perempuan seperti IPPNU, Muslimat NU, dan Fatayat NU. NU menentang pandangan tradisional di masa sebelum dan menjelang kemerdekaan, di mana perempuan dianggap sebagai "konco winking" (temang di belakang). Secara konseptual, NU pada dasarnya mengembangkan pandangan kesetaraan derajat perempuan dengan laki-laki (dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kodrat). Beberapa keputusan di lingkungan ulama NU mencerminkan pandangan ini, seperti: (1) Keputusan Konbes Syuriah NU tanggal 17 Sya’ban 1376 H/19 Maret 1957 M di Surabaya, yang membolehkan kaum wanita menjadi anggota DPR/DPRD; (2) Keputusan Muktamar NU tahun 1961 di Salatiga yang membolehkan seorang wanita menjadi kepada desa; dan (3) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, memberikan lampu hijau atas peran publik, hingga menjadi presiden dan wakil presiden. Oleh sebab itu, tidak cukup beralasan jika Islam (baca: Ahlussunnah Waljama’ah) secara ideologis menolak kepemimpinan perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan. Oleh: Aji Setiawan HAUL KE-12 GUS DUR: MENGHIDUPKAN GUS DUR Laduni.id 28 Desember 2021 Tak terasa sudah 12 tahun, Gus Dur meninggalkan kita.Rabu, 30 Desember 2009 merupakan hari berkabung nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) meminta seluruh masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan. Ini pertanda negara sedang berduka. Salah satu putra terbaik bangsa meninggal dunia. KH Abdurrahman Wahid dinyatakan wafat oleh Ketua Tim Dokter Kepresidenan, dr Yusuf Misbah, sebab penyakit komplikasi, ginjal, diabetes, stroke dan jantung. Gus Dur meninggal pada usia 69 tahun di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pukul 18.45 WIB. Ini akhir dan awal kehidupan Gus Dur di dunia lain. 12 Tahun, hitungan miladiyah Gus Dur telah berpulang. Namun ide dan gagasan Gus Dur tak pernah lekang oleh zaman. Menghidupkan gagasan dan ide Gus Dur adalah upaya menghidupkan kembali perjuangan akan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, kebenaran universal. Sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf berkali kali mengutarakan keinginannya untuk menghidupkan Gus Dur. Menghidupkan Gus Dur, bisa dimaknai sebagai ikhtiar beliau untuk mengembalikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan yang diusung Gus Dur. Pertama, visi tersebut akan menarik garis tegas mengenai peran NU dalam konteks politik kebangsaan dan politik praktis sebagaimana ajaran Gus Dur. Garis tegas itu telah dicontohkan Gus Dur ketika memutuskan mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PBNU setelah ia mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal masa reformasi lalu. Oleh karena itu, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya dinilai perlu lebih bijak menjaga relasinya dengan kekuasaan tanpa harus kehilangan nalar kritisnya sebagai penyambung aspirasi. Kedua, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya harus terus memberikan perhatian kepada kelompok yang tertindas (Mustad’afin) dan mendampingi mereka untuk mendapatkan keadilan. Nilai kemanusiaan juga dapat diperjuangkan dengan peningkatan kualitas pendidikan Islam berbasis pesantren dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang berorientasi pada kemandirian umat. Ketiga, Gus Dur mengajarkan pentingnya pengarusutamaan nilai-nilai kemanusiaan dalam diskursus keislaman dan keindonesiaan. Sebagai jam’iyyah yang menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah, NU tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang demikian pesatnya. Di sini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban-jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Masalah hak asasi manusia, gender, demokrasi, dan pluralisme seperti ditulis oleh Gus Dur merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi interaksi sosial, sesungguhnya pada saat itulah masalah-masalah tersebut mulai ada. Perjuangan terus menerus untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai puncak ciptaan Ilahi, juga merupakan bagian inti dari tugas para nabi dan rasul. Itulah sebabnya, mengapa kisah-kisah perjuangan para rasul mempunyai porsi terbanyak dalam ayat-ayat Al-Quran yang bertujuan agar umat Islam mampu menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dirisalahkan melalui para nabi dan rasul. (Zamzami, 2000: 48). Dari masa ke masa, kita bisa menyaksikan adanya pertentangan abadi antara upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan penindasan terhadapnya; atau dalam bahasa agama, antara haqq dan bathil, yang baik dan yang benar. Ini merupakan cermin bagi keberadaan setiap individu manusia yang oleh Tuhan diberikan potensi fujûr dan taqwa. فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ Artinya: “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 8) Terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya, harus diakui bahwa manusia merupakan ciptaan terbaik Allah, yang mempunyai fitrah dan naluri kesucian untuk selalu condong kepada kebenaran (hanif), di samping potensi fujur-nya. Fungsi Islam dalam hal ini adalah penyempurna untuk memberikan bimbingan kepada manusia agar bisa mengaktualisasikan potensi positifnya dan meminimalisir potensi negatifnya. Itulah sebabnya mengapa paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak ingin melakukan perombakan total terhadap apa yang telah berkembang dalam kehidupan manusia, tetapi lebih mengarah pada proses penyempurnaan terhadap pola hidup manusia. Pandangan Gus Dur yang lain mengenai HAM demokrasi di pandang dari sudut nilai kemanusiaan (Islam humaniterian). Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras, maupun ideologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia. Paham moderat dan inklusif “al-muhafazhah ’ala al-qadîm ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah Waljama’ah menemukan relevansinya. Namun, semuanya itu tentu saja harus didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang. Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama (baca: Ahlussunnah Waljama’ah). Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideologi, maupun agama manapun di seluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir. اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِحَقٍّۖ وَّيَقْتُلُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih.” (QS. Ali Imaran: 21) Pondok Pesantren Sebagai Penyebaran Islam Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7). Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku. Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25) Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22). Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22) Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan. Dari pesantren, mantan Menag mengaku memahami peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya. Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib. Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20). Penulis : Aji Setiawan 12 Tahun Gus Dur Berpulang Bulan Desember ini, layak kita kenang sebagai bulan pluralisme, HAM, anti korupsi, hari ibu. Di bulan Desember ini juga dikenang, tepat 30 Desember, 12 Tahun yang lalu, Gus Dur wafat. Di Indonesia ini, siapa yang tidak kenal dengan Gus Dur? Tokoh bangsa yang digadang-gadang sebagai Bapak Pluralisme dan “Pejuang Kemanusiaan” ini menyabet banyak sekali penghargaan atas kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian yang ia perjuangkan. Gus Dur selalu berada di garis depan membela kemanusiaan dan keberagaman. Bagi Gus Dur, tak ada artinya beragama jika seseorang kehilangan kemanusiaannya. Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi kemanusiaan. Pembelaan Gus Dur terhadap manusia bukan berarti melupakan Tuhan. Pemahaman Gus Dur yang sangat mendalam tentang agama Islam itulah yang membuat dirinya, juga akan selalu berada di garis terdepan membela kemanusiaan. Gus Dur sebagai sosok pemimpin yang mampu menyampaikan pesan dengan asyik, menggunakan bahasa yang membumi, tidak menggurui, mudah dipahami dan suka humor. Buku biografi Gus Dur yang paling lengkap dan internasional best seller adalah yang ditulis oleh Greg Barton, The Authorized Biography ofAbdurrahman Wahid. Sementara untuk melacak jejak pemikirannya, dengan sangat mudah kita bisa menemui para sahabat dan muridnya secara langsung, serta membaca berbagai literatur yang ditulis oleh Gus Dur sendiri. Seperti buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Prisma Pemikiran Gus Dur, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, hingga Tuhan Tidak Perlu Dibela. Buku-buku tersebut adalah hasil buah pemikiran Gus Dur yang bertebaran di media dan makalah-makalah di seminar. Gus Dur kecil memiliki nama lengkap Abdurrahman Ad-Dakhil, lahir 4 Agustus 1940, walaupun versi lain menyatakan tanggal 7 September. Nama Ad-Dakhil belakangan diganti dengan Wahid (mengikuti nama depan ayahnya, KH. Wahid Hasyim), karena lebih populer. Dari jalur ibu, Nyai Solichah, Gus Dur memiliki kakek yang bernama KH. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengasuh pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Sementara kakek dari jalur ayah, yakni KH. Hasyim Asy’ari adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini. Ketika usia 12 tahun, Gus Dur sudah ditinggal wafat ayahnya karena kecelakaan menuju kota Bandung. Seketika itu, pendidikannya diambil alih oleh ibunya. Pada tahun 1954 Gus Dur masuk ke Sekolah Menengah Pertama, lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak sambil sekolah SMEP. Lulus dari SMEP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Seusai dari Tegalrejo, pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Karena kecerdasan dan daya tangkapnya yang kuat, pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Selama dua tahun di Mesir waktunya lebih banyak dihabiskan dengan jalan-jalan, menonton film, dan membaca di perpustakaan. Tidak puas mengembara ilmu di Mesir, pada tahun 1964, Gus Dur lalu berpindah ke Baghdad. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur kemudian melanjutkan petualangan ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971. Mulai sejak kecil, Gus Dur sudah terbiasa dengan lingkungan yang beragam. Ketika di Yogyakarta, Gus Dur dititipkan oleh ibunya kepada tokoh Muhammadiyah, Kiai Junaidi. Di SMEP, Gus Dur juga sangat akrab dengan gurunya yang beragama Katolik. Darinya, ia dikenalkan dengan banyak buku, mulai dari karya Lenin What is To Be Done, Das Kapital-nya Karl Marx, karya-karya penulis terkenal seperti Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Gus Dur remaja adalah sosok yang gemar membaca dan haus akan ilmu pengetahuan. Ketika menginjak usianya dewasa, ia mengembara ke Timur Tengah bahkan sampai ke Eropa. Ilmu yang dipelajarinya pun beragam, mulai dari klasik, modern, hingga post-modern. Hal ihwal inilah yang membentuk cakrawala pemikiran Gus Dur begitu kaya, sehingga dalam melihat segala persoalan ia tidak mudah menghakimi dan menyesat-nyesatkan. Pulang ke Indonesia Setelah kembalinya dari Eropa, Gus Dur diajak bergabung oleh Dawam Rahardjo di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bersama dua sahabat lainnya, Aswab Mahasin dan Adi Sasono. Dari sini, ia meneruskan kariernya sebagai seorang penulis untuk majalah dan surat kabar. Namanya pun banyak dikenal sebagai seorang intelektual karena pemikiran dan daya kritisnya dalam melihat persoalan. Mulai dari kebangsaan, politik, pesantren, keislaman, hingga sepak bola. Tidak hanya sebagai seorang intelektual, Gus Dur juga bergerak sebagai aktivis. Bersama Arief Rahman, Rahman Tolleng, Marsilam Simanjuntak, dan Bondan Gunawan, ia bergabung di Forum Demokrasi (Fordem) sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Bersama Romo Mangunwijaya, Gus Dur juga melakukan pendampingan terhadap korban pembangunan di waduk Kedung Ombo. Dalam pandangan Antonio Gramsci (1891-1937), Gus Dur masuk kategori intelektual organik. Seorang cendekiawan yang tidak hanya duduk di menara gading, namun juga bergerak melakukan perubahan sosial. Semasa hidupnya, Gus Dur mewakafkan dirinya untuk kepentingan dalam tiga skala besar; Islam, Indonesia, dan NU. Sebagai orang Islam, Gus Dur menyebarkan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Pembelaannya kepada kaum yang termarjinalkan, seperti Syiah, Ahmadiyah, Tionghoa, Inul, Dorce, bahkan sampai mengadvokasi kasus Kedung Ombo, adalah manifestasi Islam yang dipandang oleh Gus Dur. Membebaskan dan merahmati semua. Dalam bingkai Indonesia, Gus Dur memperjuangkan demokratisasi dan kemanusiaan. Pada Mei 2008 Gus Dur dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Center di Amerika Serikat karena kegigihannya memperjuangkan pluralisme dan perdamaian. Kiprahnya sebagai tokoh Indonesia sangat menentukan pada saat-saat bangsa Indonesia menghadapi situasi-situasi yang sulit. Diakui, hal yang paling ditakutkan oleh Gus Dur adalah perpecahan. Dalam prinsip perjuangannya selalu menggunakan cara-cara yang damai dan menolak kekerasan. Baca juga: Meneladani Kezuhudan Gus Dur Sementara di wilayah Ke-NU-an, Gus Dur meneruskan perjuangan kakeknya, KH. Hasyim Asy’ari dengan memperjuangkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan UUD 1945. Semuanya itu yang kemudian mencerminkan sikap tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal (bersikap adil), dan tawazun (berimbang). Sebuah kaidah yang selalu menjadi pijakan oleh Gus Dur sebagaimana juga pendiri NU yang lain, almuhafadhah ala qadim al-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah. Dalam hal ini, pendapat Quraish Shihab menyatakan, Gus Dur adalah seseorang yang berpijak di bumi Indonesia, melihat ke depan tetapi di saat yang sama tidak pernah tidak menoleh ke belakang. Setelah Soeharto lengser, Gus Dur terlibat di politik dengan mendirikan PKB, dan pada 20 Oktober 1999, ia terpilih sebagai Presiden RI. Sayang, masa kepresidenannya hanya berlangsung 18 bulan akibat pertentangan politik dengan DPR dan MPR. Namun masa yang sebentar itu telah meletakkan pondasi yang kuat bagi demokrasi di Indonesia. Gus Dur mampu menancapkan supremasi sipil terhadap militer. Selain itu, Gus Dur lah peletak pertama visi ekonomi kelautan dan kemaritiman. Setelah keluar dari istana, Gus Dur tetap melakukan aktivitas seperti biasanya sebelum menjadi presiden. Aktif menulis, seminar, mengajar pesantrennya di Ciganjur, memberikan ceramah pengajian di masyarakat bawah. Banyak orang menemui hanya untuk meminta nasihat dan dukungan dan doa layaknya seorang kyai. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri, Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Dan keempat putrinya inilah yang sampai sekarang mewarisi pemikiran serta melanjutkan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid. Seorang kiai pesantren, pemimpin yang dikenal mempunyai keistimewaan ialah KHAbdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan, Gus Dur tak hanya dikenang lewat tulisan-tulisannya, tetapi juga kuburannya yang diziarahi ribuan orang setiap hari. Nilai-nilai kemanusiaan yang dikembangkan oleh Gus Dur membuatnya tak hanya diziarahi umat Islam, tetapi juga masyarakat dari berbagai kalangan dan agama. Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di RSCM dan dimakamkan di Tebuireng, Jombang. Oleh: Aji Setiawan, ST, Mantan Sekum PMII Komisariat KH Wachid Hasyim UII Jogjakarta NU Menyongsong Abad Kedua NU adalah ormas terbesar. Dengan jumlah pengikut 116 juta, sesuai survei LSI Denny JA pada Pebruari 2019. Organisasi para kiai ini menjadi kekuatan raksasa dunia. Sejarah mencatat demikian besar peran NU dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu aspek terpenting, bagaimana NU secara elegan menuntaskan hubungan antara paham keagamaan dan paham kebangsaan sebagai landasan kenegaraan, justru dengan jawaban agama, haruslah diakui bukan pekerjaan ringan. Bagaimanapun, jargon “Pancasila final dan NKRI harga mati” juga bukan sekadar slogan atas dasar kepentingan pragmatis belaka. Inilah perwujudan dari komitmen kebangsaan tertinggi. Hubbul wathan minal iman, demikian Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari merumuskan, menjadi bagian mendasar. Dengan prinsip keimanan inilah komitmen kebangsaan disandarkan. Sekali lagi, itu bukan pekerjaan ringan. Kalau boleh ditegaskan, itulah prestasi terbesar NU dalam satu abad pertama masa khidmahnya. Yakni, tuntasnya hubungan antara agama dan negara. Peran kesejarahan ini harus terus dikawal dan diteladankan. Kepeloporan yang semestinya ditebarkan untuk menjadi inspirasi dunia di saat banyak negara sampai kini masih selalu saja ribut dengan konflik “ideologis” atas nama agama. NU Mendunia Kita tidak memungkiri, NU juga telah menorehkan capaian yang membanggakan. Setidaknya, pada satu abad pertama ini, NU telah mendunia. Secara struktural, sampai akhir 2020 saja, jejaring kepengurusannya sudah ada di 137 negara. Tidak hanya di Timur Tengah atau negara muslim di Benua Afrika, bahkan juga di Amerika dan negara-negara besar di Eropa. Rintisan yang dimulai sejak awal 2000 an itu, tentu semakin membuktikan bahwa “gerakan” para kiai memang diterima dengan sangat baik. Bukan karena modal “kekuasaan” NU bisa diterima di banyak negara, tetapi karena nilai-nilai ajaran yang ditawarkan. Adalah Gus Dur yang sejatinya telah cukup lama mengkampanyekan itu ke berbagai belahan dunia. Ke depan, melalui jaringan struktural itulah nilai-nilai ajaran NU dipromosikan, tentu harus lebih massif dan sistematis, dengan kreasi dan inovasi sesuai perkembangan zaman. Ke depan NU tentu harus memiliki blue print pengembangan sumber daya manusia untuk kemajuan NU dan bangsa Indonesia ke depan. NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia memiliki kontribusi besar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan membangun dan meningkatkan kesejahteraan warga NU, maka hal itu sekaligus membangun dan mensejahterakan warga Indonesia. Karena itu, NU harus terus berperan aktif dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan warga NU. Pengembangan sumber daya manusia sangat erat kaitannya dengan menuju Indonesia maju. Indonesia yang maju harus tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, professional dan terdidik. PBNU di bawah kepemimpinan Prof KH Said Aqil Siroj mampu melahirkan puluhan perguruan tinggi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di Indonesia. Selain itu, juga pengiriman kader-kader NU belajar ke luar negeri. Hal ini menunjukkan perhatian besar NU terhadap pengembangan sumber daya manusia. NU mampu menjadi lokomotif pengembangan sumber daya manusia di Indonesia karena memiliki perguruan tinggi sebagai lembaga pencetak sumber daya manusia, akademisi yang tersebar di berbagai perguruan tinggi dan lembaga lainnya.. Tentu abad yang akan datang tidak sama dengan abad sebelumnya. Masyarakat semakin cerdas. NU yang akan datang harus bisa menjawab kebutuhan dan tantangan itu melalui tampilan pemimpinnya. Pasca penyelenggaran Muktamar ke 34 di Lampung telah melahirkan duet KH Yahyq Cholil Staquf dan KH Miftakhul Ahyar sebagai Nahkoda baru NU ke depan. Menatap NU memasuki abad Kedua adalah sebuah tekad bersama dalam memasuki hari-hari ke depan.Agenda regenerasi dan estafet kepemimpinan telah di mulai dengan cara berwenang.Pola pengkaderan NU secara berjenjang.Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan, Pendidikan Kaderisasi Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU) akan mulai dilaksanakan pada Dzulqa’dah 1443 H. Pengumuman itu disampaikan Gus Yahya sesaat setelah Sidang Pleno II tentang Pengesahan Hasil Sidang-Sidang Komisi rampung, dalam gelaran Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Yuan Garden Jakarta Pusat, pada Sabtu (21/5/2022). “Kita sudah bisa memulai kembali pelaksanaan pendidikan kaderisasi. Saya mendapatkan laporan, sudah ada sembilan titik yang siap melaksanakan pelatihan kader. Tentu dengan acuan, kurikulum, dan ketentuan-ketentuan yang sudah kita tetapkan pada Konbes ini. Dengan demikian, moratorium pelatihan kader dicabut,” ungkap Gus Yahya. Selain itu, PBNU akan mengupayakan agar Pendidikan Kader Menengah Nahdlatul Ulama (PKM-NU) dan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN-NU) untuk segera diselenggarakan. Waktu berputar sedemikian cepat, pendora tahun tak terasa mendekati tepat pada 2026, Nahdlatul Ulama akan berusia satu abad. Sebuah usia yang lebih dari cukup untuk disebut matang. Tetapi bukan satu abad itu yang perlu disongsong. Yang perlu disiapkan adalah bagaimana mewarnai perjalanan abad berikutnya yakni menyongsong NU memasuki abad kedua. Menyongsong NU memasuki Abad kedua adalah sebuah upaya untuk meluruskan cara pandang dalam meneropong dimensi waktu yang akan datang(future). Dalam dua-tiga tahun terakhir, bahkan sejak Muktamar ke-33 NU di Jombang, semangat menyongsong satu abad NU telah didengungkan. NU lahir sejak awal sebagai jami’yah keumatan yang lahir dan selepas itu musnah ditelan bumi.Sebagai jami’iyyah yang keberadaan dibelakangnya banyak kyai dan santri berkelidan dengan waktu, NU selalu tampil mewarnai sejarah kebangsaan yang patut diperhitungkan. NU, ditahbiskan lahir di Indonesia dan illa yaumil qiyamah akan menjadi jami’iyah berpegang teguh dengan ahlus sunnah wal jama’ah.Sehingga keberadaan NU senantiasa dibutuhkan ummat sebagai sandaran kekuatan sosial dan keagamaan dalam konteks kebangsaan di Indonesia. Jadi keberadaan NU tidak ditentukan oleh berbagai ceremonial miladnya, apalagi tradisi NU hampir meliputi seluruh aspek kegiatan keagamaan. Yang lebih penting adalah bagaimana perkhidmatan NU di abad kedua nanti, yang ditandai dengan revolusi digital, namun keberadaan NU tetap terorganisasi dan SDM tetap tertata serta terintegrasi lebih sistemik lagi. Beberapa gagasan dan elaborasi penting disajikan antara lain; terkait upaya pengembangan organisasi dan reorganisasi yang berorientasi tidak lagi pada pendekatan geografi melainkan pendekatan komunitas. Tentu orang rindu, ketika era 90-an NU penuh dengan komunitas pemikiran anak muda NU yang progresif.Komunitas imaginer, yang tampil menjadi kekuatan kelas menengah serta melakukan berbagai penguatan (empowering) masyarakat sipil (civic education). Dan keberadaan komunitas NU itu hidup di luar struktur NU namun banyak berisi kalangan muda NU.Keberadaannya kemudian bermetamorfosa masuk ke berbagai lini partai politik, LSM, dunia pendidikan bahkan kursi eksekutif yang dikemudian hari dipuncaki dengan tampilnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Gerakan kultural yang di kemudian hari merebut supermasi struktur negara adalah dialektika sejarah yang tidak perlu disesali, karena NU akan selalu mendapat beban sejarah, mengemban amanat tugas-tugas kebangsaan. Di sinilah letak, penyiapan kader ummat dan kader bangsa dari kalangan NU untuk berbagi tugas dan selalu dinamis mengaklerasi setiap perubahan jaman, tanpa harus NU terjun berpolitik praktis. Model road map, high politik yang diperkenalkan KH Sahal Mahfudz bisa menjadi rujukan dalam berpolitik namun secara santun dan sarat muatan politik kebangsaan. Tinjauan Struktural Struktur organisasi NU saat ini secara hierarkis-demorafis mengikuti pola pemerintahan negara. Secara pararel dapat dilihat, NU berkantor pusat di Jakarta. Membawahi seluruh wilayah di Indonesia. Pengurus wilayahnya berkantor pusat di ibukota provinsi, dan seterusnya ke bawah. Pertanyaannya, apakah NU akan berkhidmat dalam kerangka sistemik yang sama persis dengan pemerintah? Dengan mengikuti model hierarki pemerintahan yang rentang kendalinya sangat panjang ini, sementara SDM dan pendanaan yang dimiliki relatif terbatas. Dengan pola hierarki ini, efektifkah NU selama ini menjalankan tugas pokok dan fungsinya? Di sinilah reorganisasi NU dibutuhkan. Pengembangan struktur futuristik ini, ke depan perlu mempertimbangkan dinamika stakeholders yang semakin terdiferensiasi seiring perkembangan zaman. Contoh, dinamika masyarakat urban yang tumbuh di perkotaan sudah mengalami diferensiasi yang semakin rumit. Ada masyarakat industri perkotaan seperti kalangan perbankan, kalangan industri kreatif dan jasa, yang pertumbuhannya sangat pesat. Perlu langkah antisipasi agar tokoh-tokoh NU tidak tersedot habis di jalur politik praktis (PKB,PPP dan berbagai parpol), namun NU harus terus senantiasa memperkuat kaderisasi internal untuk regenerasi kepengurusan di berbagai tingkatan. Ada banyak stok organisasi, dengan melibatkan kader-kader militan NU dari lembaga pesantren, lembaga pendidikan yang bernaung di bawah NU.Ini semua sangat memerlukan pendekatan khusus. Dalam arti pengorganisasian tidak cukup hanya dengan pendekatan geografi. Tetapi perlu juga mempertimbangkan pengembangan struktur organisasi di komunitas-komunitas baru sesuai dengan perkembangan masyarakat urban, yang sangat dinamis, yang tak bisa dijangkau oleh eksistensi struktur organisasi yang terlalu administratif seperti pemerintahan negara. Menatap NU ke depan, NU harus berjejaring dan berinteraksi dengan komponen potensial yang lebih luas lagi, baik di tingkat domestik maupun internasional. Selama lima belas tahun terakhir tidak dapat dipungkiri terjadi interaksi yang semakin meningkat antarorganisasi dari berbagai jenis dan bidang. Berbagai perkumpulan, yayasan, jaringan kerja, perhimpunan, lembaga bantuan, kelompok hobi, bahkan instansi dan perusahaan swasta telah memperluas jangkauan kegiatan mereka ke bidang yang selama ini hanya menjadi trade mark kegiatan klasik organisasi nirlaba. Penguatan ekonomi warga NU berbarengan dengan penguasaan iptek sebagai perangkat memenangkan persaingan era digitalisasi menjadi penting dipersiapkan dengan hadirnya kader NU milenial yang baru namun jangan lupa untuk tidak tercerabut dari akar dan tradisi NU. Dalam perkembangan situasi ini, akan muncul berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun swasta yang bakal mengincar kompetensi, expertise dan waktu pengurus NU yang sangat berharga. NU tidak mungkin mengelak dan harus berjejaring dan bekerjasama dengan pihak tersebut. Sebab jika tidak, NU akan merasakan kesulitan menghadapi ragam persoalan kemasyarakatan secara sendirian di zaman yang semakin multidimensional itu.Jadi pilihannya, NU harus aktif masuk ke wilayah sistem yang lebih besar, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Ketidaksiapan masuk ke wilayah sistem yang lebih besar ini akan membawa NU hanya pada saling ketergantungan dalam berbagai dimensi. Kekurangan di daerah dilimpahkan ke pusat, kelemahan di pusat dilemparkan ke daerah, dan seterusnya. Inilah situasi yang amat sangat tidak boleh terjadi. Situasi yang menempatkan NU menjadi bagian dari suatu kesatuan sistem, dimana NU akhirnya hanya menjadi sub-sistem peradaban. Untuk menjawab tantangan pengisian kaderisasi NU, setidaknya ada lima jenis pengkaderan. Ketua Tim Konsolidasi Organisasi Menuju Satu Abad NU, Robikin Emhas, menjelaskan, upaya penguatan sistem kaderisasi, secara khusus dituangkan dalam amanat Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015. Amanat ini memuat lima jenis dan model pendidikan kader. Jakarta, NU Online Sebagai gerakan dan gerbong besar Islam moderat yang bertekad meneguhkan Islam Nusantara dan menginspirasi dunia, Nahdlatul Ulama (NU) terus memperkuat sistem kaderisasinya. Penguatan terutama menyangkut penyamaan visi dan persepsi tentang NU dan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) di semua tingkatan kepengurusan. “Kalau memimpin itu menanam, maka kaderisasi itu pembibitannya. NU serius dengan kaderisasi. Tujuannya antara lain adalah bagaimana menyamakan visi dan persepsi tentang NU dan Aswaja,” jelas Ketua PBNU Robikin Emhas di Jakarta, Kamis (29/8). Ketua Tim Konsolidasi Organisasi Menuju Satu Abad NU ini menjelaskan, upaya penguatan sistem kaderisasi, secara khusus dituangkan dalam amanat Muktamar ke-33 NU di Jombang 2015. Amanat ini memuat lima jenis dan model pendidikan kader. “Ada kaderisasi struktural, kaderisasi keulamaan, kaderisasi penggerak NU, kaderisasi fungsional, dan kaderisasi profesional,” urainya. Mengutip poin amanat Muktamar, kaderisasi struktural menjadi keharusan bagi pengurus NU di semua tingkatan, dari pengurus besar hingga pengurus ranting, pengurus lembaga, hingga pengurus banom. Kaderisasi struktural bertujuan meningkatkan kapasitas pengurus dalam memimpin, menggerakkan warga,dan mengelola organisasi. Kaderisasi keulamaan bertujuan menyiapkan calon jajaran syuriah NU di semua tingkatan kepengurusan. Diharapkan dari padanya lahir ulama-ulama muda yang siap menjadi Syuriah NU. Kaderisasi penggerak NU bertujuan menyiapkan kader yang memiliki tugas khusus memperkuat, mengamankan, mempertahankan dan mentransformasikan nilai-nilai perjuangan NU dalam menggerakkan warga dalam menjalanka kehidupan keagamaan , sosial, berbangsa, dan bernegara untuk tegaknya Islam Aswaja. Sementara kaderisasi fungsional bertujuan menyiapkan kader yang memiliki fungsi, tugas dan tanggungjawab di lima fungsi pokok, antara lain; sebagai pelatih, fasilitator, instruktur, dalam berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, dan kaderisasi; sebagai peneliti yang mampu melakukan riset-riset penting di lingkungan NU; sebagai tim leader untuk kegiatan rukyatul hilal; dan sebagai pendamping, penyuluh masyarakat, atau community organizer di berbagai sektor. Kaderisasi profesional bertujuan menyiapkan kader NU agar memiliki kapasitas dan kredibilitas dalam posisi-posisi tertentu baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, perguruan tinggi, maupun di perusahaan-perusahaan negara, baik di tingkat nasional maupun daerah. Kaderisasi struktural kemudian dinamakan Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) dan kaderisasi keulamaan dinamakan Pendidikan dan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK). Kaderisasi penggerak NU dinamakan Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU), dan kaderisasi fungsional dan profesional berdasarkan kaderisasi di tingkat lembaga dan badan otonom. Lima jenis dan model kaderisasi ini bersifat saling menopang satu sama lain. Karenanya, terhadap beberapa jenis dan model kaderisasi yang sudah berjalan, perlu dilakukan sinkronisasi. Karena NU masa depan, NU harus hadir sebagai aktor pengubah dan pembaharu peradaban. Wakil Ketua Umum PBNU, H Nusron Wahid mengungkapkan bahwa PBNU sudah merampungkan konsep pengaderan NU secara integratif, berjenjang, dan berkelanjutan, sebagaimana dikutip dari nu online. Ia menjelaskan bahwa dalam sistem kaderisasi NU yang baru, pengaderan akan dilakukan secara berjenjang, yakni tingkat dasar (basic training), menengah (intermediate training), dan lanjutan (advance training). Namun, semua proses pengaderan di lingkungan NU dan badan otonom tetap akan diakui. “Soal nama dan istilah ditentukan kemudian. Bisa jadi yang tingkat dasar namanya tetap PKPNU. Yang menengah namanya; Madrasah Kepemimpinan NU. Yang advance training modelnya seperti akademi kepemimpinan kebangsaan NU. Model dan kurikulumnya nanti sekelas kayak Lemhanas di NU,” ujar Nusron Wahid, Jumat (18/3/2022). Alumni tingkat dasar, kata dia, diarahkan untuk mempersiapkan kader yang layak menjadi pengurus tingkat MWCNU dan Ranting di Kluster A (Jawa, Lampung, dan NTB), serta Pengurus Cabang di Kluster B (PW dan PC yang muslimnya di atas 30 persen dari jumlah penduduk) dan Kluster C (PW dan PC yang muslimnya kurang dari 30 persen dari jumlah penduduk). Nusron juga menerangkan, alumni intermediate training akan diarahkan untuk menjadi pengurus PC untuk kluster A dan PW untuk kluster B dan C. Sementara alumni advance training disiapkan menjadi pengurus PW kluster A, PBNU dan pemimpin bangsa. Jadi orang yang menjadi pengurus PBNU dan PWNU kluster A, harus siap menjadi pemimpin bangsa. "Semua alumni PKPNU dan MKNU bahkan pengaderan badan otonom pun semua akan diakui. Bisa jadi alumni PKPNU dan MKNU akan dianggap sebagai pelatihan tingkat dasar NU. Khusus alumni pengaderan Banom akan diturunkan satu derajat dengan pengaderan di NU. Kecuali untuk Ketua Umum Banom mungkin dianggap setara,” jelas dia. Moratorium PKPNU dan MKNU, lanjut Nusron, semata-mata dilakukan secara temporary (sementara) dan dalam rangka penyesuaian kurikulum saja. Sebab memang perkembangan zaman dan kebutuhan selalu dinamis. Nusron juga menegaskan, para instruktur dan pelatih yang terlibat dalam PKPNU dan MKNU juga akan direkrut dan diajak bergabung semua dalam sistem pengaderan NU yang baru ini. “Insyaallah mulai kwartal tiga, awal Juli semua sudah berjalan normal kembali. Karena itu akan segera melakukan sosialisasi dan uji publik ke PW dan PC tentang sistem pengaderan integrasi di NU dan kurikulum baru. Setelah Rakernas kita langsung tancap gas,” tandas Nusron. *) Aji Setiawan Seorang Mantan Litbang Pengurus Cabang PMII Yogjakarta.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
639.9K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
52.2K
bc

Marriage Aggreement

read
86.9K
bc

Setelah Tujuh Belas Tahun Dibuang CEO

read
1.2K
bc

Scandal Para Ipar

read
707.8K
bc

Patah Hati Terindah

read
82.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook