Ada Yang Salah

1768 Kata
Baik Kaisar atau pun perawat Arin, mereka berusaha menyeret tubuh mungil Kikan ke ruangan Kaisar untuk memeriksa pasien. Butuh perjuangan ekstra saat melewati banyaknya ibu-ibu hamil yang mengantri di depan ruangan Kaisar. Beberapa bumil memanggil-manggil nama Kaisar, ada yang mengeluh manja ada juga yang menyempatkan diri memberikan Kaisar hadiah. “Dokter ganteng, kok lama sih? Aku pegel doktelll, dede bayinya nendang-nendang teyus pengen di usapin doktel~” “Dokter Kai aku bawain makanan kesukaan dokter, nanti abisin ya balado jengkolnya!” “Aduduh dokter! Aku ngidam pengen di usapin perutnya sambil dinyanyiin Nina Bobo sama Kak dokter!” Kegaduhan demi kegaduhan para betina yang menyuarakan isi hatinya membuat Kai hanya tersenyum sekilas, dia harus segera memasukkan Kikan ke dalam ruangannya sebelum gossip buruk tentangnya mengudara ke seluruh penjuru rumah sakit. “Kamu keluar aja Arin, tutup pintunya!” titah Kaisar dan ditanggapi anggukan ringan dari perawat Arin. Sejurus kemudian Kaisar duduk di kursinya, berhadapan dengan Kikan yang duduk di kursi seberang mejanya. Mata Kikan membulat melihat beberapa kotak hadiah berbagai macam ukuran bertumpuk setinggi satu meter di belakang punggung Kaisar. Sepertinya Kaisar benar-benar dokter idola para ibu-ibu. “Ibu namanya siapa?” “Ibu aku?” Kaisar mengangguk sambil mencoba tersenyum ramah. “Suryani,” jawab Kikan ketus. “Baik, Bu Suryani jadi–” “Ih kok panggil Bu Suryani? Suryani kan nama ibu aku!” potong Kikan sewot sendiri. Kaisar mencoba mempertahannya mode ramahnya sembari mencengkram pena di tangannya. “Ya sudah nama kamu siapa?” “Aku Kikan Rengganis!” “Ikan goreng asam manis?” ulang Kaisar, ia mencoba memastikan bahwa ia tak salah dengar. Pasalnya suara Kikan sangat lirih seperti orang berbisik, sementara di balik pintu ruangannya keluhan ibu-ibu muda dan mertua idaman terdengar riuh memanggil nama Kaisar. Kikan menghempaskan nafasnya dengan berat, ia sudah tak mau menyebut namanya lagi. “Kenapa dokter bawa aku kesini? Aku kan udah bilang ga mau di periksa, aku ga mau tahu kondisi janin aku!” “Tapi saya peduli! Melihat ibu muda pingsan di jalanan tanpa ada yang mau membantunya, rasa empati saya menggerakkan hati untuk membantu kamu. Jadi tolong ikuti permintaan saya untuk memeriksa kondisi janin.” Kikan merasa tersentuh, tapi dia tak mau menerima kenyataan bahwa ia sedang hamil. “Aku gak mau, aku mau di aborsi aja!” rengek Kikan, menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Melihat Kikan yang masih sangat muda, Kaisar menyimpulkan bahwa sepertinya Kikan adalah anak milenial korban perasaan. Bisa jadi dia dan pacarnya ‘telat ngangkat’ sampai akhirnya mengandung buah cinta. Kondisi Kikan yang seperti ini sama seperti ABG lain yang Kaisar temui, rata-rata di antara mereka menolak memiliki anak tapi tak ada yang berani terus terang minta aborsi seperti Kikan. “Pacar kamu orang mana? Kenapa kamu di jalan sendirian? Kamu abis ribut sama pacar ya, jadi kepikiran, stress, dan pingsan dijalan?” Kikan mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan beruntun dari Kaisar, seolah Kaisar sudah hafal betul dengan probelmatika anak muda yang hamil diluar nikah. “Aku ga punya pacar, aku bahkan belum pernah ngelakuin itu! Tapi kok aneh, aku kok bisa hamil?” ujar Kikan. Kini giliran Kaisar yang mengernyitkan keningnya, “Terakhir kali haid kapan?” “Ish, gak sopan!” pekik Kikan kembali menguji kesabaran Kaisar. “Tolong pahami ya, saya di sini menjalankan profesi sebagai dokter. Jadi ada baiknya selama konsultasi ini kamu bersifat kooperatif!” Kikan tersentak, ia merasa tertohok atas ketegasan Kaisar. Menurut Kikan ucapan dan prilaku Kaisar tak semanis wajahnya, herannya masih banyak pasien yang betah dengan dokter ini, malah semakin lama semakin membludak. Apakah mereka tidak tahu sisi dingin Kaisar? Atau Kaisar hanya bersikap seperti itu pada Kikan? “Aku udah telat dua bulan, aku juga mual-mual setiap waktu. Perutku kadang kembung sama melilit gitu, makanya aku coba tes.” Kikan mengeluarkan alat tes penguji kehamilan, menyodorkannya ke meja Kaisar. “Tiga kali, hasilnya sama,” sambung Kikan, menunduk menyembunyikan wajahnya. “Belum pernah berhubungan sama sekali?” selidik Kaisar sekali lagi. Kikan menggeleng cepat terlihat ia bersungguh-sungguh atas jawabannya. “Dua bulan yang lalu aku pernah berenang sama anak-anak kantor, terus aku baca di gugel katanya kalo ada cowok yang penetrasi maka sperm-nya bisa keluar nyatu sama air kolam renang. Kalo tertelan sama cewek, bisa jadi ceweknya hamil! Atau sperm-nya masuk lewat pori-pori! Terus aku inget kalo aku pernah gak sengaja nelen air kolam renang! Jangan-jangan karena itu sekarang aku hamil, iya kan? Tapi anak ini bapaknya siapaaa??” jelas Kikan kepanikan sendiri seraya menunjuk perutnya yang masih ramping. Berbeda dengan Kaisar, hidungnya sudah kembang kempis menahan tawa, wajahnya bersemu merah, dan detik berikutnya Kaisar menunduk, tawanya pecah. Ia terbahak tak mampu lagi membendung opini bodoh yang dilontarkan Kikan dengan wajah polosnya. Beberapa kali Kaisar menghentakkan kakinya agar berhenti tertawa. Sedangkan Kikan? Gadis itu mengamati Kaisar dengan seksama, memeluk tasnya dengan erat, takut kalau-kalau Kaisar kesurupan. Kaisar berhasil menghentikan tawanya, ia bahkan mengambil tissue untuk menghapus jejak airmata di sudut matanya karena puas tertawa. “Gini deh, sekarang kita cek lagi aja!” ujar Kaisar, ia mengeluarkan sebuah alat tes penguji kehamilan sekali pakai dari dalam lacinya. “Sekali lagi? Aku bahkan udah tes tiga kali!” “Udah jangan ngeyel, tes lagi aja coba!” Kikan mendengus kesal, ia mengambil alat tes itu lengkap dengan cup kecil dari Kaisar dan menuju pintu bertuliskan toilet di dalam ruangan Kaisar. Tak butuh waktu lama, Kikan kembali membawa hasil dari alat itu. “Gimana?” tanya Kaisar kembali menahan tawa. “Negatif!” jawab Kikan menyerahkan alat tes itu. “Ya udah, harusnya kamu senang dong?” “Tapi hasil tes punya aku–” “Eror itu,” potong Kaisar segera. “Apa?” “Alat tes punya kamu eror! Lagian mana bisa kamu hamil kalau ga berhubungan badan! Orang pasutri yang program aja butuh beberapa kali jadwal hubungan biar mereka bisa mendapatkan anak, lah kamu malah percaya mitos? Artikel bodong dari gugel? Pfftt!” Kikan merasa bodoh di hadapan Kaisar, dokter muda yang kini mengoloknya. “Terus kenapa aku ga dapet haid juga sampai sekarang? Dan kenapa aku mual?” “Mungkin karena pengaruh hormone, apa kamu selama ini hidup sehat?” Kikan kembali membisu saat Kaisar melayangkan pertanyaan yang tak bisa dibantah olehnya, karena jujur saja selama satu tahun terakhir pola hidup Kikan sangat kacau, begitu pun dengan pola makannya. Dia hanya tidur tiga sampai lima jam sehari dan makan makanan pedas dan asam setiap harinya. Tok,tok! Ketukan pintu menyita perhatian Kaisar dan Kikan. Keduanya menoleh bersamaan saat pintu terbuka. “Dokter Kai, sudah bisa dimulai sesi konsulnya? Para bumil udah mulai bringas, dok!” perawat Arin melapor dengan wajah cemas. Kaisar hanya mengangguk menanggapi membuat perawat Arin menutup pintunya. “Makan makanan sehat, tidur cukup dan jangan stress. Jangan sampai masuk angin, kalau ada apa-apa kemari lagi, ya? Jangan nyari info dari artikel bodong!” goda Kaisar membuat Kikan ingin menamparnya dengan tas punggung milik Kikan. Namun keinginannya tak dapat di penuhi karena pintu kembali terbuka dan kepala perawat Arin menyembul dari luar. “Dok? Masih lama?” Suara ricuh para bumil menggema, situasi di luar sudah tak kondusif membuat Kaisar berjalan ke pintu di ikuti Kikan. “Selamat siang ibu-ibu cantik dan penyayang! Terimakasih ya sudah sabar menunggu saya, sekarang kita mulai sesi check up dan konsulnya di mulai dari nomor satu, ya? Perawat Arin akan panggil nama ibu satu persatu!” Seperti bertemu dengan artis, para ibu hamil serta pendamping mereka histeris memanggil-manggil nama dokter Kaisar, keluhan manja, pujian sampai guyonan genit dari wanita berbagai macam usia itu memenuhi ruang tunggu. Hal itu membuat Kikan keheranan, jarang-jarang dia menemukan dokter kandungan idola ibu-ibu. Perlahan tapi pasti, Kikan menyelinap keluar dan menjauhi kerumunan bumil ganas di depan ruangan Kaisar. Kikan lebih memilih pulang dengan perasaan lega, karena nyatanya dia tidak hamil, melainkan tes kehamilan miliknya error semata. *** Malam hari, di salah satu rumah minimalis daerah perkampungan pinggiran kota. Kikan melahap makanan kesukaannya. Ya, seblak ceker dengan ekstra bubuk cabe serta segelas kopi dari brand galau-galauan ria. Dia duduk di teras rumah, menyantap seblak sebagai makan malam sambil menonton seminar digital marketing. Dia harus memiliki ilmu lebih banyak agar bisa lebih mudah menjual rumah proyek perusahaan property di tempat ia bekerja. “Woy! Nyeblak mulu, makan yang bener!” Kikan melayangkan tatapan sinis pada adiknya yang baru pulang kuliah. Nampaknya perjalanan yang ditempuh cukup melelahkan, terbukti dari basahnya ketiak pria jangkis itu. “Nih minum!” Kikan menangkap dengan sigap sebuah obat yang di lemparkan adiknya. “Thank you, War!” pekik Kikan saat adiknya melenggang masuk ke rumah. Kikan menunda makannya dan memilih meminum obat yang di beli oleh adiknya. Ya, ini adalah obat cacing yang rutin Kikan minum. Pasalnya tiga bulan kebelakang Kikan mudah lelah, dia makan banyak tapi tak kunjung gemuk juga. Mamanya menyarankan untuk minum obat cacing, karena gejala Kikan seperti orang cacingan. Kali ini Kikan meneguk obat itu sesuai dosis dan melanjutkan makan seblak yang sempat tertunda. Belum sampai lima menit, perutnya kembali merasa terlilit. “Hah … kacau!” keluh Kikan. Ia bergegas menuju kamar mandi, satu-satunya tempat membuang air di rumah berlahan minimalis layaknya perumahan subsidi. “Ini di dalem siapa?” tanya Kikan mulai emosi karena isi perutnya bergejolak minta di keluarkan. “Mawar!” sahut adik lelakinya dari dalam, terdengar nada santai seolah menikmati guyuran air segar dari bak. Sementara itu sakit perut Kikan tak tertahankan, ia tak bisa menunggu adiknya selesai mandi karena Kikan sudah tak mampu menahannya lagi. Bahkan, kuku-kuku kaki Kikan saja sudah bewarna pucat semua. “Cepetan dong!” bentak Kikan seraya menggedor pintu. “Sabar Ki, Mawar baru juga masuk,” sahut sang ibu, muncul dari dapur membawa semangkuk mie rebus yang aromanya menggugah selera. Preeet “Astagfirullahaladzim! Ki! Kentut sembarangan, ini mie si Papah jadi bau belerang, ah!” “Maaf Ma, kelepasan!” sungut Kikan yang hanya mampu meremas perutnya kuat-kuat. “War, gue dulu napa!” teriak Kikan kembali memancing keributan. “Sabar!” sahut anak bontot itu. “MAWARDI! Kalau gue kelepasan lu yang siram loh, ya?” ancam Kikan. “Apaan sih?” Mawardi keluar dengan handuk melilit di pinggang sementara tubuh kerempengnya masih basah, belum di lap sempurna. Kikan tak punya banyak waktu lagi, dia segera masuk ke dalam kamar mandi dan mendorong tubuh adiknya agar segera keluar. Pintu di tutup dan dia segera berjongkok, siap melepaskan rasa sakit yang melilit peutnya. Anehnya tak ada satu pun yang keluar, hanya angin kosong dengan aroma bangkai yang membuatnya hampir muntah. Baru saja Kikan akan membersihkan diri, dia melihat sesuatu yang aneh keluar dari tubuhnya, sontak saja hal itu membuat Kikan bergidik ngeri. “Iiihh! Apaan nih?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN