“Bang Kai, mau makan siang?”
“Enggak, mau nyabu!”
Beberapa Coass yang menyapa Kaisar di buat tertawa oleh jawaban Kaisar yang nyeleneh. Memang pertanyaan basa basi selalu dijawab asal-asalan oleh Kaisar, karena itulah dia semakin di sukai para Coass juga perawat yang baru bekerja di rumah sakit BMC.
Kaisar berjalan menuju tempat mobilnya terparkir, di kejauhan dia melihat bagian belakang mobilnya di corat-coret menggunakan pilox bertuliskan,
Dokter pebinor, penjahat kelamin harus di azab Tuhan!
Kaisar membelalakan matanya dan berlari menuju mobil putih miliknya.
“Brian! Lo kenapa? Siapa yang berani bikin cacat body lo, Bri?” tanyanya pada barang tak bernyawa itu.
“Ini bos cowok yang bikin istri lo gugat cerai? Ah … muka kaya plastik, badan kaya ikan teri gini mah, tinggal sekali sikat, bakalan nangis bombay!”
Kaisar menoleh melihat tiga orang pria bongsor mengerubungi dirinya, penampilan mereka seperti preman, dengan kulit hitam, ada yang berambut keriting, ada juga yang berambut cepak dan ketiganya memakai jaket kulit dengan aroma mantap, sepertinya lebih dari tiga bulan mereka tak mencuci jaket kumal itu.
Lupakan tentang jaket!
Kini Kaisar bersiaga, jangan-jangan mereka akan menghajar Kaisar seperti beberapa preman lain yang pernah menjegal mobil Kaisar dan menghadang Kaisar di tengah jalan. Preman-preman seperti ini pastilah suruhan salah satu suami dari pasiennya yang menggugat cerai. Terpincut karena ketampanan dan prilaku Kaisar yang ramah.
Bukan bermaksud menjadi perebut bini orang atau penghancur rumah tangga. Tapi kharisma Kaisar memang bisa bikin siapa saja yang melihatnya menjadi khilaf!
“Kalian yang melakukan vandalisme ke mobil saya?”
“Halah! Mobil cuma serratus jutaan, sok-sokan rugi! Lagian ini ga seberapa daripada kita rusakin bodynya, iya gak?”
Kaisar aktif mengamati ketiga pria sok keren di hadapannya, ia juga tak lupa melirik cctv aktif di salah satu sudut rumah sakit.
“Saya gak bakal minta ganti rugi, tapi sebaiknya kalian tanggungjawab atas aksi kriminalitas ini!” ujar Kaisar menatap para pria di hadapannya dengan tatapan tajam. Emosinya meradang karena tak terima mobil pertama yang ia beli dari hasil kerja kerasnya di corat-coret full body dengan kalimat tak pantas seperti itu.
“Banyak omong lu! Lu tuh yang harusnya ganti rugi, make pelet apa lu, bini bos gua jadi pengen cerai? Dasar pebinor, bangke lu!”
Detik berikutnya pria itu melayangkan tinjunya pada Kaisar. Kaisar yang menguasai ilmu bela diri taekwondo sabuk hitam tentu dengan mudah menghindar. Hal itu membuat ketiganya geram dan ingin mengeroyoknya. Bagi mereka mungkin tubuh Kaisar seperti teri, karena ketiga pria itu bertubuh gempal. Tapi lain halnya dengan Kaisar yang memiliki otot tubuh sempurna dibalik busananya, dengan mudah ia menumbangkan ketiga pria itu.
Perkelahian di halaman parkir area belakang memicu datangnya petugas keamanan yang membantu Kaisar memisahkan diri dari mereka.
“Kaisar! Kaisar!”
Kaisar membulatkan matanya, jelas dia mendengar suara ibunya. Kaisar harus pasrah jika ibunya melihat ia melawan para preman.
“Kaisar, kamu gak apa-apa?”
Benar saja, sepasang orangtua yang sudah membesarkan pria pujaan bumil pasien BMC itu datang dengan wajah khawatir. Kaisar membenarkan tatanan rambutnya yang sempat berantakan setelah membanting dan menendang ketiga pria lawannya.
“Pak Hendra, tolong amanin ketiga orang ini. Cek cctv juga, kasusnya sama kaya kemarin!” pinta Kaisar pada ketua satpam rumah sakit BMC.
“Kai … kamu ga apa-apa, Nak?” ulang Nyonya Shinta pada putranya.
“Ga kok, ibu sama ayah kenapa kesini?”
“Abis liat menantunya Bu Jelita, kemarin lahiran disini. Katanya kamu yang bantu proses bersalin? Bener plasentanya rapet sama blooding?”
Kaisar mengatur nafasnya, baru saja selesai membereskan ketiga preman kini ibunya datang menodong sejuta pertanyaan. Kaisar harus bersabar.
***
“Makanya ibu bilang apa, cepet-cepet nikah! Pake cincin kawin, suruh istri datang anterin makanan! Biar ga di ganggu pasien yang kegatelan!” ujar Nyonya Shinta, geram mendengar penjelasan Kaisar alasan mengapa dia sering di terror suami pasien-pasiennya.
“Kalau masalah cincin, tinggal beli. Kalau anterin makanan, kan bisa order delivery?” elak Kaisar.
“Terus kamu mau yang nganterinnya cowok bewokan dan dikenalin kalo itu istri kamu? Kan enggak!”
Kaisar memijit pelipisnya, permintaan ibunya untuk segera meminang gadis membuat telinganya berdengung.
“Setelah ayah pikirkan, ibumu bener juga Kai. Kamu anak satu-satunya, usia sudah matang, tahun depan sudah kepala tiga! Hidup juga udah mapan, mau nunggu apalagi sih? Susah cari istri? Kan tiap hari banyak yang antri. Jangan dibiasain nge-ghostinglah Nak, kurang-kurangin itu!”
Kaisar membulatkan matanya, ternyata ayahnya melek juga dengan bahasa gaul anak muda jaman sekarang.
“Kalau kamu bingung, tinggal pilih dokter Via aja. Sama-sama dokter satu bidang, satu tempat kerja juga. Udahlah klop! Cantik pula tuh dokter Via!” usul Nyonya Shinta saat dokter cantik berambut cokelat itu memasuki cafetaria.
Kaisar menggelengkan kepalanya, memang Via itu cantik tapi tidak begitu menarik. Saking seringnya menjumpai berbagai macam wanita, membuat Kaisar kehilangan getaran-getaran cinta dan daya tariknya pada seorang wanita.
“Ibu sama ayah masih lama? Kaisar bentar lagi visit, jadi harus cepet-cepet balik. Gak apa?” ujar Kaisar membual.
“Oh gitu? Ya udah ga apa, nanti bentar lagi Joko jemput kok!”
Kaisar mengangguk mengetahui supir pribadi orangtuanya akan segera menjemput.
“Ya udah, makannya habisin. Udah aku bayar kok. Aku pamit dulu ya Bu, Yah?”
Kedua orangtuanya mengangguk dan Kaisar menyambar tangan ibu dan ayahnya bergantian untuk salim. Setelah itu ia keluar dari cafetaria dengan perasaan lega. Akhirnya ia bisa keluar dari zona tak nyaman yang menekannya selama perbincangan barusan.
“Di sini ternyata?” suara sopran seorang wanita membuat Kaisar menoleh. Di lihatnya Kikan, masih dengan setelan rok hitam kemeja putih dan tas gendong miliknya. Kaisar harus memperdalam rasa sabarnya karena kali ini gadis manis berwajah oriental itu pasti akan mengganggunya persis seperti yang lain. Kikan bergegas menghampiri Kaisar, dengan memasang wajah serius Kikan memelankan suaranya.
“Dokter, dokter harus operasi aku sekarang!” pinta Kikan, jelas saja Kaisar menaikkan sebelah alisnya.
“Operasi apa?”
Kikan menyuruh Kaisar untuk menunduk agar ia bisa membisikkan rahasianya ke telinga Kaisar.
“Aku … melahirkan, bayi cacing!”
***
Ruangan periksa milik Kaisar.
Baru saja kemarin Kaisar pecah gelak tawa oleh Kikan, kali ini Kaisar berdiri melipat tangan di dadanya mengamati gadis itu. Mood-nya sedang tak baik hari ini jadi dia pikir Kikan juga cuma beralasan untuk bisa menghabiskan waktu berdua bersamanya.
“Jangan sembarangan ya, mana ada manusia ngelahirin cacing? Kalau kamu punya keluhan bilang yang jelas, jangan buang-buang waktu saya!” tegas Kaisar.
“Aku serius! Kata mama udah tiga bulan ini aku cacingan, terus aku rutin minum obat cacing tiap bulan! Semalam, pas udah minum obat cacing kan aku mau B-A-B, eh malah keluar bayi cacing masa! Gede banget dok, aku ga kuat bawa dia kemana-mana bikin perih!” rengek Kikan kini di sertai deraian airmata. Sepertinya Kikan benar-benar tersiksa.
Kaisar menaikkan sebelah alisnya, ia jadi penasaran hal apa yang dimaksud Kikan. Kaisar segera mengenakan sarung tangan karet seraya mengamati Kikan dengan seksama.
“Coba kamu naik ke ranjang, buka rok dan celananya terus nungging!” titah Kaisar, sontak saja Kikan berhenti menangis dan tergantikan oleh nada menyolot dari gadis itu.
“Apa-apaan anda? Mau lecehin saya? Jangan harap, ya? Kurang ajar banget jadi dokter!” umpatan Kikan jelas membuat Kaisar tersinggung.
“Saya cuma mau periksa! Lagian kan kamu yang ngeluh ngelahirin anak cacing! Saya mana percaya, kali aja itu penyakit lain kan? Lagian saya gak tertarik, kamu bukan tipe saya!”
Kikan mengepalkan tangannya dengan bibir mengerucut kesal. Sama halnya dengan Kaisar, dadanya naik turun meredam emosi menghadapi Kikan.
“Tapi kan aku gak pernah buka celana di depan cowok lain!”
“Ya udah gak saya periksa, pulang aja sana! Atau cari dokter lain!” geram Kaisar kembali melipat tangan di dadanya.
Kikan seakan tak punya pilihan, jika ia pergi ke dokter lain maka ia akan mengalami hal memalukan lebih banyak lagi. Akhirnya gadis itu mengalah.
“Cuma periksa aja loh, ya? Awas kalo berani macam-macam, aku babat abis aset masa depan kamu!” ancam Kikan membuat Kaisar memutar bola matanya.
Kikan menuruti ucapan Kaisar, naik ke ranjang yang bersebelahan dengan alat USG, ia mengangkat rok dan menurunkan celananya lalu menungging seperti perintah sang dokter. Wajah Kikan merah padam, malu rasanya seorang gadis malah seperti ini di depan pria. Yang bisa Kikan lakukan adalah menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Kaisar menghampiri Kikan, ia mengontrol emosi agar bersikap professional. Sejurus kemudian Kaisar membulatkan matanya, melihat hal yang dimaksud bayi cacing oleh Kikan.
“Ya, ampun! Ini sih WASIR!”
“Wa-wasir …?” Kikan tercekat, ia memberanikan diri melihat ke belakang mendapati Kaisar yang mengamati bagian belakang tubuhnya dengan posisi menungging.
“Hah, kayanya cukup parah entah sudah stadium tiga atau empat. Kalau sudah stadium empat, harus di operasi, nih!”
“O-operasi?!” pekik Kikan dengan kedua mata membulat.
“Be-berapa biayanya?” sambung Kikan hati-hati.
“Sepertinya sekitar 20 juta, bisa kurang atau lebih.”
“Bisa dicicil?”
Plak!
“Au!” pekik Kikan saat Kaisar secara tak sadar menampar p****t pasiennya.
“Maaf, kelepasan! Tapi kamu bisa pakai BPJS untuk harga yang lebih murah!”
Kikan menghembuskan nafas berat, air mata kembali luruh membanjiri ranjang. “Belum bikin … gimana nih? Aku gerak dikit aja perih, hutang-hutang keluarga makin lama makin bengkak sama kaya lobang feses aku! Bisa tuker tambah sama ginjal aku aja ga? Kalau ada kembalian, lumayan buat benerin genteng rumah!” keluh Kikan terdengar ngilu.
Kaisar mematung, dia tak tahu apakah gadis ini benar-benar berekonomi sulit atau hanya pura-pura? Tapi Kaisar tahu betul, memiliki penyakit wasir yang sudah menonjol keluar seperti itu pastilah menyakitkan, dan setiap detiknya bagian anusmu terasa perih terbakar, belum lagi jika kamu mau buang air besar, punya penyakit wasir merupakan dilema paling menyiksa dalam hidup seorang manusia!
“Ya udah, saya beri bantuan tapi gak gratis!” ucapan Kaisar membuat Kika menjeda tangisannya.
“Apa? Katanya mau bantu, tapi kok ga gratis?”
“Begini, saya akan bantu biaya operasi kamu, tapi jika saya butuh bantuan kamu. Kamu harus menyanggupi!”
“Jadi pembantu, gitu? Sopankah anda begitu?”
Kaisar berulang kali menghela nafasnya jika menghadapi Kikan.
“Saya gak akan minta aneh-aneh kok!”
“Permintaannya apa?” serang Kikan.
“Nanti, sekarang belum kepikiran!”
“Terus sekarang gimana?”
“Saya akan coba memasukkan benjolan ini ke dalam, kamu tahan yang kuat, ya?”
Kikan menelan salivanya dengan paksa, ia segera meremas kemeja miliknya dengan kuat. Digigitnya bibir bawah miliknya yang ranum itu untuk mempersiapkan diri, sementara Kaisar bersungguh-sungguh memulai aksinya, menggembalikan si wasir ketempat semula. Kaisar mendorong benjolan itu menggunakan jempolnya, sementara Kikan sudah tak bisa menahan rasa sakit yang menggerogoti bagian bawah tubuhnya.
“HUAAAAHHHH!”
***
“Mudah-mudahan Kai masih ada di ruangannya yah, Yah? Kita kelupaan nyampein sesuatu lagi, dasar udah tua!” keluh Nyonya Shinta pada suaminya, ia bergegas menghampiri ruang periksa milik Kaisar sambil celingak-celinguk karena tak ada perawat yang berjaga.
Detik berikutnya ketiga perawat yang selesai makan siang kembali ke posnya dan menyapa kedua orangtua dokter mereka.
“Bu Shinta, Pak Dirga, selamat sore!”
“Eh, ini perawat Arin, ya? Boleh panggilin Kaisar gak? Kai ada di dalem ga ya?” tanya Nyonya Shinta dengan ramah.
“Sepertinya dokter Kai lagi–”
“Auw dokter, sakit!”
Ucapan perawat Arin terpotong oleh teriakan Kikan yang nyaring dari dalam ruangan. Baik orangtua Kai maupun tiga perawat wanita itu saling bertukar pandang, bertatapan dengan raut wajah keheranan.
“Seharusnya dokter Kai bersiap memulai visit, tapi kenapa ada suara wanita di ruangannya, ya?” lirih perawat Arin, membuat semua orang menaruh rasa curiga.
“Auw dokter, pelan-pelan dong!”
Kelima orang itu semakin mematung dan mempertegas indra pendengaran mereka masing-masing.
“Buka kakinya yang lebar biar saya bisa memasukkannya lagi,” jelas suara baritone Kai terdengar sampai ke balik pintu, Nyonya Shinta segera menutup mulutnya mendengar kalimat ambigu dari anaknya.
“Dokter jangan dipaksa, aku gak kuat!”
“Sabar, pasti bisa. Ini singkat aja kok!”
“Aaahh, dokter sakit! Kok gede banget sih dok?”
“Bisa diem gak? Saya gregetan ini, bentar lagi masuk semua!”
Mendengar rintihan Kikan dan ujaran Kaisar bersahutan seperti itu tentu saja membuat orangtua Kaisar serta para perawat berpikiran yang tidak-tidak. Nyonya Shinta tak bisa tinggal diam, dibukanya pintu ruangan Kaisar, detik berikutnya Nyonya Shinta hampir mendapat serangan jantung saat melihat seorang wanita menungging menanggalkan rok dan celanannya di depan Kaisar.
“Astagfirullahaldzim!”
Braak!
Nyonya Shinta kembali membanting pintu, menutup pintu sebelum orang lain melihat hal yang mengejutkan seperti dirinya.
“Ibu kenapa?” Tuan Dirga menggenggam tangan istrinya yang gemetar dan dingin, mendapati wajah istrinya yang tiba-tiba menjadi pucat, Tuan Dirga tak tinggal diam.
“Kaisar! Bisa Ayah bicara di dalam?”
Tahu bahwa Tuan Dirga mulai meradang, perawat Arin memilih untuk melipir dan menahan bahan gibah bersama teman-temannya di pos. Sementara Kaisar yang berhasil memasukkan kembali wasir milik Kikan bergegas melepas sarung tangannya dan Kikan terburu-buru membenarkan roknya.
“Kaisar! Tolong buka pintunya!”
Kaisar menggeleng mendengar ayahnya mulai tak bisa control emosi. Kaisar membuka pintu dan membuat Nyonya Shinta buru-buru masuk ke dalam diikuti Tuan Dirga. Kikan yang tertangkap basah turun dari ranjang dengan pakaian kusut, membuat Nyonya Shinta mendelik, menatap tajam putranya.
“Kamu ngapain? Katanya kamu visit tapi malah disini?”
“Ehm ….” Kaisar kehilangan kata-kata karena membohongi ibu dan ayahnya. Sementara Kikan dibuat canggung dalam perdebatan ibu dan anak.
“Kaisar! Ibu bilang cepet nikah! Kenapa kamu gitu sih?” geram Nyonya Shinta yang sarat akan kekecewaan.
“Gitu gimana?” Kaisar balik melempar pertanyaan dengan kebingungan.
“Itu, siapa?” tanya Nyonya Shinta pada Kikan di belakang Kaisar.
Kaisar yang lelah dengan tuntutan ibu dan ayahnya yang selalu menyuruhnya menikah memilih untuk menjawab sesuka hati, berharap ibu dan ayahnya cepat pergi tanpa perlu menuntutnya untuk cepat-cepat menikah seperti tadi. Kaisar menarik Kikan dan merangkul tubuh mungil itu dengan erat.
“Ini, calon menantu ibu!”
***