Dan di sinilah Kikan sekarang, terjebak di sebuah mobil kecil yang mampu menampung empat orang. Tak masalah dengan ukuran mobilnya, yang jadi masalah adalah kenapa Kikan harus terjebak bersama orangtua Kaisar yang terkukung emosi seperti saat ini?
Kaisar duduk di kursi pengemudi, di sebelahnya Tuan Dirga memasang wajah datar, tak seperti Nyonya Shinta yang berwajah masam, melipat tangan dengan angkuh tak ingin bersentuhan sejengkal pun dengan Kikan yang duduk di bangku belakang bersebelahan dengan dirinya.
Kaisar segera membawa kedua orangtuanya pulang sebelum amarah kedua orangtuanya meledak di tempat yang tidak tepat, tapi kenapa Kikan harus ikut terlibat? Tentu saja karena Kaisar seenak hati mengakui bahwa Kikan adalah calon istrinya.
Mobil yang dikemudikan Kaisar berjalan grasak-grusuk sesuai dengan suasana hati Kaisar yang serba salah dan hal itu memicu wasir milik Kikan berdenyut nyeri. Kedua matanya bersikeras menampung airmata agar tidak tumpah sementara tubuh bagian bawahnya berdenyut hebat seolah sedang terbakar.
“Kai, bisa kamu jelasin sekarang aja gak siapa gadis ini, darimana asal usulnya dan kalian itu tadi lagi ngapain?” pertanyaan Nyonya Shinta yang selama ini dipendam, bagaikan air bah yang tak mampu dibendung lagi. Pertanyaannya yang bertubi-tubi membuat Kaisar kebingungan, tak terkecuali Kikan yang lebih fokus pada rasa sakitnya.
“Di-dia calon istri aku, Bu! Tadi itu aku lagi periksa dia karena dia–”
“Hoy!” pekik Kikan menyela, baik Kikan maupun Kaisar keduanya berkomunikasi lewat mata dengan bantuan spion tengah. Kikan memberi tahu bahwa ia tidak ingin penyakit wasirnya diketahui orang lain selain Kaisar.
“Hah … dia tadi mau Pap Smear … Bu, tapi ga jadi karena belum apa-apa Ibu sama Ayah udah salah paham!” jelas Kaisar lagi-lagi membual.
Nyonya Shinta menoleh pada Kikan yang dirundung rasa sakit, perlahan raut wajahnya berubah menjadi hangat dan memancarkan kepedulian.
“Nak kamu gak apa-apa? Maaf, tadi Ibu ga tahu, abis teriakan-teriakan kamu …,” Nyonya Shinta menggantungkan kalimatnya, berbeda halnya dengan Kikan yang hanya mampu menautkan kedua alisnya. Sejujurnya ia tak paham dengan istilah medis yang diucapkan Kaisar barusan. Ia tak tahu menahu tentang Pap Smear yang dimaksud.
“Tapi gimana kondisinya? Gak apa-apa?” kini Tuan Dirga angkat suara.
“Aku belum cek keseluruhan, aku ngelakuin ini supaya bisa memberikan menantu yang cocok untuk Ibu sama Ayah, selain itu aku juga memastikan bahwa istriku nanti bisa segera memberi keturunan seperti yang Ibu dan Ayah inginkan,” ungkap Kaisar.
Kikan menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya Kaisar menjual janji manis dan berbohong dengan mulus seperti itu. Sedangkan Nyonya Shinta dan Tuan Dirga seolah tersentuh dengan ucapan Kaisar barusan. Padam sudah emosi yang sedari tadi tersulut ketika mendengar anaknya mempersiapkan calon istri dan keluarga masa depan sebaik mungkin.
“Oh, ya Tuhan … kamu baik banget Kai, ternyata selama ini kamu diam-diam mau beri kami kejutan?”
Kaisar melempar senyum pada ibunya sedangkan Kikan memasang wajah muak.
“Oya, Nak, nama kamu siapa?”
Hampir saja Kaisar menyahut menjawab bahwa nama gadis yang duduk persis di belakangnya bernama Ikan goreng asam manis, tapi tentu saja Kaisar salah bukan? Jadi dia tak mau melewatkan kesempatan ini. Kaisar berkonsentrasi, mempertegas pendengarannya agar bisa mendengar jawaban Kikan.
“Saya Mawar, anaknya Pak Atang, Tante!” jawab Kikan singkat. Sebenarnya dia sudah jengah berada di sini, dan tak ingin lebih lama terlibat dalam keluarga aneh ini, maka dia menjawab sesuka hati dengan nama adiknya.
“Oh, Mawar! Umur kamu berapa? Kamu kerja dimana?”
“Saya kerja di Wingstar property, developer perumahan elit di Bogor! Itu di depan gang rumah saya, saya turun di depan aja ya? Saya udah terlambat mau ikut pengajian ini. Bang berhenti di depan, ya!”
Baik Nyonya Shinta maupun Tuan Dirga, keduanya melongo melihat interaksi Kikan dan Kaisar yang jauh dari deskripsi pasangan, mereka lebih cocok terlihat seperti penumpang dan abang taksi online.
Kaisar menuruti perintah Kikan, dia menurunkan Kikan, membiarkan Kikan keluar dari mobil brio putih yang seluruh bodynya ternodai tulisan tak senonoh oleh preman-preman tadi pagi. Setelah Kaisar kembali mengemudikan mobil kesayangannya, Nyonya Shinta kembali angkat suara.
“Kai, dia beneran pacar kamu bukan sih? Kalian kok kaya masih canggung gitu?”
“Iya Kai, kok ga ada mesra-mesranya?” timpal Tuan Dirga.
“Ya memang Ibu sama Ayah pengen ngeliat aku sama Mawar gimana? Cipokan di depan kalian, gitu?” sungut Kaisar yang mendatangkan jeweran telinga dari ibunya.
“Aduh, Ibu! Sakit!” rengek Kaisar, Nyonya Shinta melepaskan kuping putranya yang memerah dibagian cuping telinga.
“Makanya jangan bicara gak senonoh di depan orangtua! Pokoknya Kai, kalau kamu memang udah klop sama Mawar, akhir minggu ini kita kerumahnya, kita lamar dia!” tegas Nyonya Shinta, berhasil membuat kedua mata Kaisar membulat sempurna.
“Minggu ini? Memangnya Ibu ga pergi arisan?”
“Apa sih? Jangan coba mengelak! Jangan coba menunda-nunda, ibu takutnya kamu khilaf! Kalo barusan ga ibu pergokin, mungkin kamu beneran bisa khilaf tuh sama Mawar! Ibu lihat bumpernya oke pula tuh!”
Kaisan mengulum mulutnya, berusaha agar tidak tertawa. Anda saja ibunya tahu kalau di tengah bumper mulus milik Kikan itu ada sesuatu yang menggantung, pastilah ibunya bergidik ngeri.
“Pokoknya akhir pekan deal ya, kita lamar anak orang!” ulang Nyonya Shinta bersemangat, berbeda halnya dengan Kaisar yang wajahnya menjadi pucat.
Sial, sekarang gue harus gimana?
***
Keesokan hari, Kaisar pulang lebih cepat. Dari kemarin sampai detik ini kepalanya mumat memikirkan cara untuk memenuhi keinginan orangtuanya melamar gadis pemilik wasir yang ia ketahui bernama Mawar putri pak Atang, tak ada informasi lebih yang Kaisar punya selain nama, jadi Kaisar memutuskan untuk mencari keberadaan gadis itu dimana pun ia bersembunyi.
Mau tak mau dengan motor vespa electric blue miliknya ia kembali menuju sebuah gang tempat dimana kemarin dia menurunkan Kikan. Kaisar menyusuri gang yang cukup untuk jalur satu mobil saja. Pertama yang dia lakukan adalah menuju rumah Pak RT disana, pak RT pasti tahu rumah pak Atang yang Kaisar maksud bukan? Tapi mengapa jawaban Pak RT malah seperti ini?
“Di sini mah ada tiga rumah yang namanya pak Atang, nah saya juga bingung Atang mana yang ujang maksud? Ada Atang Sodikin, Atang Jalaludin, sama Atang Semplak. Nah kalau rumah Atang Sodikin rumahnya nomor 4, rumah Atang Jalaludin mah nomor 9, kalau rumah Atang Semplak nomor 11, cari aja sendiri yah? Saya mau anterin Ibu Negara beli pecel!”
Kaisar tersenyum kaku mendapat jawaban seperti itu dari pak RT bertubuh cungkring yang sebagian rambutnya telah beruban. Dengan menyusuri satu-persatu rumah pak Atang, Kaisar membulatkan tekadnya untuk meluluhkan hati Kikan supaya bisa ia ajak kerjasama.
Kaisar tiba di rumah nomor 4, dia merapikan diri sambil mengetuk pintu.
“Permisi!” sapa Kaisar, detik berikutnya seorang ibu yang tengah mengomel menyahut dari dalam. Begitu pintu terbuka, ibu paruh baya dengan daster yang warnanya memudar, terperangah, matanya terbelalak dengan mulut terbuka.
“Allahu Akbar!!! Pipih! Pipih sini, pih! Rumah kita kedatangan artis! Bentar lagi masuk tipi, ini!” reaksi berlebihan sang ibu muda membuat Kaisar salah tingkah, ia mencoba meluruskan maksud kedatangannya.
“Bu, sa-saya bukan artis!”
“Eh, terus kamu siapa? Meuni ganteng pisan, gusti!” puji Ibu muda tersebut, persis seperti pujian yang sering Kaisar dengar setiap hari.
“Ada apa, A?” kini seorang pria paruh baya yang hanya menggunakan sarung serta singlet datang dari dalam, dia pasti suaminya ibu ini. Tak mau bapak itu salah paham, Kaisar segera mengutarakan maksudnya.
“Saya Kaisar, saya mau melamar putri bapak!” tegas Kaisar, sepasang pasutri itu melongo dan saling berpandangan.
“Melamar? Aa bukan pedopil kan ya? Anak saya yang paling gede baru juga masuk TPA, masa iya mau dilamar?” ungkapan sang empunya rumah sontak membuat Kaisar dihujani rasa malu yang luar biasa, dengan kikuk dia menjelaskan.
“Oh, ma-maaf pak, kayanya saya salah rumah, bukan Atang ini yang saya maksud! Permisi ya Pak, Bu!”
Sepasang suami istri itu melongo dengan mata yang mengekor tubuh Kaisar menaiki motornya, meski begitu Kaisar masih bisa mendengar permintaan istri pemilik rumah agar suaminya skincare-an atau jika perlu oplas ke Korea supaya memiliki wajah seperti Kaisar.
Kaisar tak mau ambil pusing dia pergi ke rumah pak Atang selanjutnya dan mengutarakan maksudnya secara baik-baik, tapi apa yang dia dapat? Ya, sebuah tamparan keras meluncur dari tangan Atang Jalaludin mantan pegulat kelas bulu. Dia marah karena mengira Kaisar adalah pebinor yang merusak rumah tangga anaknya.
“Kalau mau ngelamar anak orang, pastiin dulu kalau status anaknya janda! Awas lo berani kesini lagi, gue bikin lo jadi cogan geprek!” teriak Atang Jalaludin mengantarkan Kaisar pergi dari rumahnya dengan hadiah tontonan bagi tetangga sekitar.
“Sial, sial, sial! Bisa-bisanya gue apes begini! Hah!” keluh Kaisar saat pipi kanannya masih terasa panas akibat tamparan barusan, meskipun begitu dia tetap mengamati nomor setiap rumah.
“Kali ini pasti bener, ga ada Atang lain selain Atang yang ini, pasti dia punya anak bernama Mawar! Gue ga boleh buang-buang waktu!” gumam Kaisar, ia turun dari vespanya sambil membawa amplop cokelat berukuran A4.
Kaisar berdiri di depan pintu rumah bercat hijau bolu pandan, rumah kecil yang mencolok dari rumah lainnya. Berulang kali ia mengetuk dan mengucap salam tapi tak ada satu orang pun yang menyahuti.
“Permisi!”
“A, Aa cari siapa?”
Kaisar menoleh pada seorang pria berperut buncit yang dibungkus kemeja telur asin yang nampaknya kekecilan untuk badan selebar itu, terlihat sekali penderitaan para kancing yang berjejer ditengah baju, seolah mereka berusaha dengan kuat untuk menyambungkan bagian kanan dan kiri kemeja.
“Saya nyari Pak Atang Sempak, bapak siapa? Sales panci? Atau bank ke?” tanya Kaisar menebak-nebak pada pria yang banjir berkeringat, menempuh perjalanan cukup jauh ke tempat itu. Pria gempal itu membulatkan matanya, tak percaya dirinya di kira bangke oleh anak muda tampan, tapi ucapannya busuk.
“Maksud saya bank keliling Pak …,” imbuh Kaisar yang menyadari ekspresi kaget sang bapak lawan bicaranya.
“Mau apa ketemu Pak Atang?” tanya pria itu dengan nada menyelidik.
“Saya … mau lamar–”
“Saya ga buka lowongan kerja!” potong pria itu saat menyadari Kaisar memegang amplop cokelat yang ia kira isinya surat lamaran kerja. Sementara Kaisar dibuat terkejut atas tanggapan pria dihadapannya.
“Ba-bapak Pak Atang Sempak?”
“Hush! Saya Atang Sanjaya, saya di juluki Atang Semplak karena nama saya persis nama jalan di Semplak! Dan satu hal lagi, Semplak bukan Semppak! Paham? Memangnya muka saya kaya daleman apa!” gerutu pak Atang membuat wajah Kaisar merah padam.
Bisa-bisanya dia mengira calon mertuanya adalah sales dan tukang bank keliling, lebih-lebih dia menyebut nama yang salah!
Hah … kacau!
“Udah sana pergi, saya gak buka lowongan kerja!” usir Pak Atang dengan sinis, tapi Kaisar harus memberanikan diri mengutarakan maksud tujuannya kemari.
“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah salah mengira dan salah sebut nama bapak. Sebenarnya saya kesini bukan untuk melamar kerja, melainkan melamar putri bapak!” tegas Kaisar, tentu saja hal itu membuat Pak Atang tercengang.
“Hah? Siapa? Mecca udah nikah, kalau–”
“Mawar! Saya mau menikahi Mawar!” sahut Kaisar sungguh-sungguh. Mendengar hal itu kedua mata Pak Atang membulat sempurna, hampir saja ia kena serangan jantung, dan untunglah sebelum ia hilang kesadaran, Pak Atang sempat bertakbir.
“Allahu Akbar!”
Pria berusia lebih dari setengah abad itu ambruk di hadapan Kaisar, sementara Kaisar hanya mampu berusaha mengembalikan kesadaran Pak Atang, Kaisar sama sekali tidak tahu alasan mengapa Pak Atang bisa sampai pingsan? Apakah Kaisar berlebihan?
***