“Ah, sialan itu dokter kemana sih? Udah gue bela-belain pulang cepet, tahunya dia ga ada di RS! Mana gue ga diijinin minta nomor hp-nya lagi! Argh!” keluh Kikan.
Gadis itu sepanjang perjalanan dari ujung gang sampai depan rumahnya hanya menggerutu dan memaki dokter tampan yang kemarin seenak jidat mengakui dirinya adalah calon suami Kikan, meski dari lubuk hatinya Kikan mengaminkan jika suatu hari nanti Kikan benar-benar memiliki suami yang tampan seperti Kaisar.
Adzan magrib yang selesai berkumandang seolah mengantarkan Kikan ke rumahnya, dengan gontai Kikan membuka pintu pagar. Terdengar suara gelak tawa ayah ibunya dari dalam rumah, tidak biasanya mereka tertawa seperti ini, apalagi magrib baru saja tiba. Kikan bergegas memasuki rumah tanpa membuka alas kaki, dia terkejut mendapati kedua orang tuanya tertawa sampai terpingkal-pingkal.
Ga salah lagi, pasti kesurupan, nih!
Logika Kikan menyetujui batinnya, sejurus kemudian Kikan menyentuh kening ibunya dan segera komat kamit membaca potongan ayat-ayat Al Qur’an.
“Saha ieu? Kaluar sia, dedemit!” (Siapa ini? Keluar kamu, dedemit!) pekik Kikan sembari menarik ubun-ubun ibunya.
“Astagfirullah, kurang asem ini anak! Ini mamah, Kikan!” ujar Bu Suryani meyakinkan anaknya yang kini mengucap syukur karena merasa berhasil mengusir makhluk goib yang sempat bersemayam di tubuh ibunya.
Sedangkan ayahnya, Pak Atang semakin terpingkal melihat ulah putrinya yang salah paham. “Pah! Udah jangan ketawa mulu, anaknya jadi salah paham, sholat-sholat!” titah Bu Suryani seraya menarik sarung suaminya supaya cepat-cepat bangkit.
“Mama sama papah kenapa? Beneran gak kesurupan?” Kikan bertanya dengan nada datar, otaknya seolah nge-bug berusaha memahami kondisi kedua orangtuanya sekarang.
“Papah mau sholat dulu, biar si mama aja yang cerita. Certain, Mah!” Pak Atang berlalu dan membuat Kikan mengisi tempat duduknya. Sementara Bu Suryani mencoba menahan tawa yang masih ingin terus keluar.
“Kenapa sih, Ma?” tanya Kikan sekali lagi, ia gregetan karena Mamanya masih saja cengengesan.
“Tadi sore, pas Mama balik dari warung, si papah pingsan di teras, kirain si papah mau dicabut nyawa soalnya ada malaikat ganteng banget di sebelahnya lagi bangunin si papah!” jelas Bu Suryani sambil senyum-senyum sendiri mengingat kejadian sore tadi.
Lain halnya dengan Kikan yang jelas-jelas melongo, bisa-bisanya mamanya kepincut sama orang lain saat suaminya sendiri tak sadar di depan mata.
“Si Mama parah ih! Emang kenapa papah bisa pingsan? Terus orang itu siapa?”
“Mama juga ga tau orang itu siapa, Mama pikir dia artis atau gimana soalnya cakep banget! Dia kesini katanya mau ngelamar si Mawar, ya gimana papa ga pingsan coba? Bisa-bisanya cowok seganteng dan maskulin gitu belok dan suka sama si Mawar yang penampilannya ala-ala jamet?”
“Terus-terus?” tanya Kikan antusias, dia punya feeling bahwa yang dibicarakan Mamanya pasti dokter Kai.
“Pas papah berhasil bangun, si cowok ganteng itu jelasin maksud dan tujuannya ke sini adalah buat ngelamar kamu. Katanya kamu sama dia kenalan via sosmed tapi nama akun kamu itu Mawar? Dia mau buktiin kalau dia serius sama kamu, Ki. Tapi sayangnya dia masih belum tahu nama asli kamu, makanya dia tetep manggil kamu Mawar, hahahaha!”
Bu Suryani kembali tertawa, sementara Kikan tertegun. Apakah dokter Kai sungguh-sungguh dengan permintaannya itu? Dia sampai rela datang ke rumah Kikan untuk melamarnya, lebih lagi dia mengarang cerita tentang hubungan Kikan dan Kaisar.
Itu cowok pandai banget bohong, gue jadi takut!
Kikan bergidik ngeri, tapi Bu Suryani kembali menyodorkan amplop cokelat persis seperti surat lamaran pekerjaan ke pangkuan Kikan.
“Apa ini, Ma?”
“Buka aja!” titah Bu Suryani. Detik berikutnya Kikan mengeluarkan isi dari amplop tersebut. Sebuah CV, data diri lengkap persis seperti mau melamar pekerjaan ke HRD.
“Belom pengalaman lamar anak orang kayanya, bisa-bisanya dia lamar anak orang kaya mau ngelamar kerja, pake CV hihihi~” lagi, Bu Suryani mengikik diikuti Kikan yang tertawa renyah.
Iris hitam gadis itu menelisik informasi yang tercantum di samping foto sang mempelai pria. Sebuah senyuman tipis hadir di wajah manis Kikan.
“Namanya Dewangga Kaisar Bakrie, dia anaknya pemilik roti bukan, Ki?”
“Bakery atuh Ma, tukang roti Bahasa Inggrisnya Bakery! Dan setahu aku dia itu dokter, ga tahu orangtuanya kerja apaan!” jelas Kikan masih sibuk membaca data diri Kaisar.
“Oh, kalau Bakrie itu keluarga sultan itu ya? Siapa ya yang artis nikah sama konglomerat itu? Nah, dia juga keluarga konglomerat bukan, Ki? Mamah bisa jadi sultonah, dong?” lagi, Bu Suryani antusias dengan tebakannya sendiri.
Kikan menghela nafas seraya mengamati mamanya yang menatap Kikan dengan mata berbinar. “Bukannya aku mau ancurin ekspektasi Mama, tapi gak semua nama Bakrie itu konglomerat atau sodaraan, Ma!”
“Ah masa?”
“Ck, memang Mama pikir tetangga kita pak Guswanto si Rajagukguk itu sodaraan sama gukguk juga? Kan enggak! Mama jangan SARA gitu Ma, ga boleh itu!” tegas Kikan yang sukses membuat Bu Suryani mengerucutkan mulutnya.
“Papa bilang, kalau dia beneran mau lamar kamu, dia harus datang sama orangtuanya. Kalau cara ngelamar dia kaya gini ya gak Papa kasih. Nanti kalau seandainya keluarga kita kena prank kaya yang di tv-tv itu kan, siapa yang malu? Kitalah …!”
Kikan mengangguk saat papanya datang dari bilik kamarnya, membenarkan sarung kotak-kotak yang melilit di pinggangnya lalu mencolek bahu Kikan, memberi tanda agar anaknya mengembalikan tempat duduk favoritnya.
“Udah, mending kamu mandi sama sholat sebelum magrib berakhir!” titah Bu Suryani. Lagi, Kikan mengangguk dan bergegas ke lantai dua, menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, Kikan masih asyik mengamati data diri dokter Obgyn andalan rumah sakit BMC itu, sampai dia terkejut ketika ponsel miliknya berdering dan membuat berkas-berkas di tangannya berserakan.
“Hallo?” sapa Kikan.
“Kikan, bilang sama orangtua kamu kalau akhir pekan ini saya dan orangtua saya akan datang melamar, mungkin sekalian bawa beberapa saudara juga!” suara baritone di ujung sana membuat otot kaki Kikan lemas, suara yang memang mengajak berumah tangga itu sukses membuat Kikan tergeletak di lantai.
“Ki? Benerkan ini nomor kamu?” suara baritone itu kembali menyadarkan.
“I-iya iya dok!” sahut Kikan gelapan, wajahnya bersemu merah mendengar suara yang lebih indah dan lebih nyaman di banding suara actor si Dilan yang membuat candu para betina.
“Ya sudah, saya tutup teleponnya.”
“Tu-tunggu dulu, dok!” cegah Kikan.
“Apaan?”
“Ehm, dokter … beneran mau nikahin aku, serius?” kedua pipi Kikan semakin memanas saat ia berani bertanya seperti itu.
“Kamu mau di operasi wasir gak? Kalau enggak, kita batal nikah. Biar saya cari wanita lain–”
“Yang punya penyakit wasir juga?” potong Kikan dengan mata membulat.
“Ck! Pokoknya akhir pekan saat lamaran nanti, apapun jawaban kamu semoga itu yang terbaik untuk wasirmu!”
Kikan terhenyak saat Kaisar menutup telepon dengan kasar. Kikan merebahkan dirinya di kasur sambil menatap langit-langit kamar, mengingat pertemuannya dengan Kaisar membuat Kikan salah tingkah. Bagi Kikan dia seperti mendapat rejeki nomplok dan wasir miliknya adalah berkah baginya, karena tanpa wasir, Kikan mungkin tak akan pernah bertemu dengan Kaisar.
Seluruh perlakuan dan perkataan kasar Kaisar seolah luruh oleh ketampanan yang dia miliki. Dalam ingatan Kikan, pria itu berubah menjadi ramah dan memperlakukan dia dengan lembut. Kikan bahkan sampai lupa bahwa sosok Kaisar adalah orang yang pandai berkilah. Mungkin kini Kikan pun sudah terhipnotis ketampanan dokter pujaan para bumil.
***
Hari yang dinanti tiba, akhir pekan minggu kedua bulan Juli. Setelah tiga hari yang lalu Kikan menegaskan bahwa Kaisar akan datang dengan keluarga besar, maka seluruh keluarga Pak Atang Sanjaya dibuat sibuk dari pagi.
Pak Atang selaku kepala keluarga sibuk mengatur dekorasi rumah dibantu anaknya Mawardi. Sementara Bu Suryani sibuk mengurus bagian konsumsi, ada pula Mecca, putri sulung Pak Atang yang menyempatkan diri datang ke rumah orangtuanya. Sambil mengendong cucu pertama ayahnya, Mecca menuju kamar Kikan di lantai dua.
“Ki, udah siap?” tanya Mecca, wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu mendorong pintu dan ia menemukan Kikan dengan balutan baju batik yang cantik. Mecca tersenyum seraya mengampiri adiknya, dia mencoba membenarkan tatanan rambut Kikan yang hendak di acak anaknya yang masih berumur satu tahun.
“Kamu tuh, ya, kalau di dandanin cantik! Sayangnya aja males dandan! Nanti kalau udah punya suami, tiap hari harus dandan kaya gini loh!”
“Apaan, dandanan gini heboh banget!” elak Kikan, meski dalam hatinya ia berbunga-bunga karena di puji atas kecantikannya.
“Pacar kamu tuh orang mana sih? Kok kakak ga pernah denger, kamu mau main rahasiaan?”
Kikan menggeleng cepat, sementara Mecca sudah berhasil menemukan foto Kaisar yang tertempel di samping cermin tepat di hadapan Kikan.
“Oh ini yayangnya? Wiiihh pake ajian apa nih? Kok dia mau sama kamu?” pertanyaan Mecca yang dilontarkan tanpa merasa tak berdosa seolah menjatuhkan Kikan setelah tadi dia di puji dan melayang tinggi. Kikan bermuka masam dan merasa insecure karena Mecca rasa Kaisar dan adiknya beda level.
“Ga apa-apa Ki, mungkin memang rejeki kamu bagus! Cuman nanti kalau udah nikah, harus banyak-banyakin sabar aja, punya laki ganteng kalau dia ga bandel pasti wanita lain yang usil!” ujar Mecca sambil menimbang anaknya.
“Jadi maksud kakak aku harusnya nyari calon suami yang mukanya standar gitu? Kaya suami kakak?” ejek Kikan memasang senyum seringai.
“Enak aja! Segitu juga A Gunawan cakep tahu! Ga usah nyama-nyamain standarlah, kan setiap orang punya standarnya masing-masing!”
“Nah itu tahu!” sahut Kikan membuat Mecca tertohok dan kalah telak, tak bisa membalas ucapan adiknya lagi.
“Ki, di suruh turun sama papa!” ujar Mawardi setelah berhasil menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar Kikan.
Kikan dan Mecca turun, mereka melihat ibu dan ayahnya sudah berdiri rapi menghadap pintu, beberapa tetangga pun ada yang memakai baju batik dan berdiri di gerbang menyambut kedatangan keluarga Kaisar.
“Ki, Bang Kai mau datang jam berapa?” tanya Bu Suryani berbisik pada Kikan.
Mampus! Mana gue belom tanya lagi dia mau datang jam berapa! Duh, dasar o’on!
Kikan membulatkan matanya, dia menyadari kebodohannya. “Ma, biasanya acara kaya gini mulai jam berapa?”
Bu Suryani menautkan alisnya saat Kikan balik bertanya. “Jam sepuluhan, ini udah mau jam setengah sebelas. Tapi kok ga datang-datang?” balas Bu Suryani.
“Coba kamu telepon, pastiin sekarang dia ada dimana, Ki!” titah Mecca diikuti anggukan Bu Suryani.
Kikan melipir, masuk ke kamar orangtuanya dan mulai menggulir layar ponsel mencari nomor Kaisar. Satu kali, dua kali panggilan dari Kikan tak kunjung di jawab, tiga kali, empat kali, Kikan mulai resah. Dia memilih mengirim chat pada Kaisar yang online tiga jam yang lalu.
Kikan kembali menghubungi Kaisar, tapi kali ini malah operator yang menjawab. Hati Kikan semakin kacau ketika orangtuanya memanggil dan menanyai kabar terbaru mengenai Kaisar. Belum lagi keluhan para tetangga yang mulai menyinyir keluarga Pak Atang, bagi mereka Kikan yang tomboy, ceroboh dan blak-blakan tidak akan mendapat jodoh, apalagi jodohnya adalah lelaki yang sempat menggemparkan komplek Bangbarung Indah karena berparas rupawan seperti artis yang sering mereka jumpai di televisi.
“Ki …!” panggilan Mamanya yang sarat akan nada kesal dan penuh harap yang bercampur aduk membuat Kikan berat untuk menjawab, mengatakan bahwa Kaisar tak bisa dihubungi. Pria itu benar-benar sudah mempermalukan keluarga Atang Sanjaya.
Kikan menatap layar ponsel ditangannya dengan kedua mata yang mulai memerah menahan bulir air mata agar tidak jatuh dari sana.
“Bang Kai … lo dimana sih? Jangan sampai acara lamaran ini berubah jadi acara santet berjamaah gara-gara lo ga datang! Awas aja!”
***