bc

Pupuk Cinta Orchidaceae

book_age16+
319
IKUTI
1.3K
BACA
boss
student
drama
sweet
campus
city
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Kita tak bisa memilih kepada siapa jatuh cinta dan siapa jodoh yang ditakdirkan oleh-Nya. Adilah Annisa terjebak dalam cinta kepada Rizal. Namun, perkenalannya dengan Gabriel, tanpa diduga Adilah, malah berkembang menjadi hubungan yang sama sekali berbeda. Sayang, Gabriel menyimpan rahasia yang tidak diketahui Adilah.

chap-preview
Pratinjau gratis
Aroma Bunga
Semerbak bunga meninggalkan kesan tak terlupakan, harumnya menyenangkan, baunya menyebalkan. —Elis Sri W *** (Adilah) Tetesan embun yang membasahi dedaunan perlahan lenyap terguyur kucuran air keran. Aroma bunga geranium, mawar, lili, dan begonia mawar menguar di udara. Begitu harum menyegarkan. Kupandangi bunga-bunga yang bermekaran penuh kekaguman. Mahasuci Allah menciptakan segala keindahan di muka bumi ini. Sudah seharusnya manusia merawat ciptaan-Nya. Selain mempercantik lingkungan, tanaman hias mampu mengurangi polusi udara. “Alangkah indahnya taman rumah kita, kalau dihiasi bunga anggrek. Teman satu pengajian Ummi mengoleksi beragam jenis anggrek, loh Neng, di rumahnya. Pesona anggrek sungguh mengagumkan,” ucap wanita paruh baya yang duduk di teras depan, berjarak sekitar lima langkah dari taman. Aku bergeming, meski sadar panggilan ‘Neng’ ditujukan padaku. Dari dulu, aku tidak pernah tergiur mengoleksi bunga anggrek yang terkenal mudah layu. Walau penampakannya mempesona, tetapi menurut keterangan artikel dan para pengoleksinya cara merawatnya susah-susah gampang. Namun, tidak ada salahnya juga aku mencoba. Aku mengempaskan tubuh ke kursi kosong sebelah Teh Aliyah. Kakak perempuanku itu duduk melipatkan kaki, sebelah tangannya meraih teh manis yang masih mengepulkan asap, lalu menyesapnya tanpa memalingkan pandangan dari buku tebal yang dia pegang. Sok sibuk, masih saja membaca buku di akhir pekan. Dasar, dosen muda! Pandanganku beralih ke arah wanita paruh baya yang tampak menantikan jawaban. Jika aku mengamati dari jarak dekat, kerutan di wajah Ummi mulai bermunculan. Meski begitu, Ummi tetap terlihat cantik dengan balutan jilbab panjangnya. “Ya udah, Mi. Nanti selepas sarapan, aku langsung berangkat ke kios langganan. Udah lama juga nggak ke sana.” Senyum Ummi merekah penuh ketulusan, menghangatkan hatiku. “Iya. Ummi serahkan sama kamu aja, Neng. Apalagi putri bungsu Ummi ini mahasiswa pertanian, tentu pandai memilih tanaman berkualitas, seperti sebelumnya.” Aku mengangguk. Aku menikmati pisang goreng hangat buatan Ummi. Teh Aliyah tetap membaca buku. Sementara Abi sejak tadi fokus membaca koran, hingga mengabaikan kopi dan pisang goreng yang Ummi sajikan untuknya. “Yang satu sibuk baca buku. Satunya lagi baca koran, sampai lupa sarapan,” gerutu Ummi seraya menggeleng. Nada bicara Ummi terdengar jengkel, mungkin bosan melihat kebiasaan Abi dan Teh Aliyah yang suka membaca saat pagi hari. Alasannya, suasana otak masih fresh, jadi mudah menyerap materi. Menurutku masuk akal, tetapi tidak perlu meninggalkan sarapan juga. Teh Aliyah menutup buku, seketika menyimpannya di atas meja. “Iya deh, besok-besok, Teteh nggak bakal baca buku lagi pas sarapan.” Abi membenarkan letak kacamata sambil tersenyum, lalu membuka halaman berikutnya seolah sengaja memancing kejengkelan Ummi. “Bilang aja Ummi cemburu sama koran karena Abi lebih sering memperhatikan koran daripada Ummi. Iya, kan?” Ummi menyuapi Abi dengan pisang goreng tanpa menanggapi pertanyaan barusan. Abi melahap secepat kilat. Lantas, Abi menatap Ummi seraya bergumam, “Masyaallah, pisang goreng buatan bidadari Abi enak sekali. Mulai besok, baca korannya selesai sarapan aja, ah. Biar Abi fokus menikmati menu sarapan favorit ala chef Ummi Naila Marwah.” Ummi menyikut lengan Abi. Abi hanya tertawa. Pupil mata Ummi melebar, melirik aku dan Teh Aliyah bergantian. Aku diam-diam tersenyum, menyaksikan pemandangan mengagumkan. Usia mereka terbilang tidak muda lagi, tetapi masih sangat mesra. Perhatian Ummi kepada Abi tidak pernah berubah sejak aku masih kecil. Abi pun tidak segan memuji Ummi di hadapan anak-anaknya. Uhhh... aku berharap suatu saat nanti, memiliki suami seperti Abi, selalu memuliakan istrinya dengan pujian sederhana. Kapan ya, aku menemukan cinta sejati? “Abi sama Ummi sih, menebar kemesraan di depan Adilah. Dia jadi halu, senyum-senyum nggak jelas kayak lagi nonton drama Korea kesukaannya itu,” celetuk Teh Aliyah, membuat kedua orang tuaku tertawa serempak. *** Aku memasuki area ‘Gabriel Agromart’ yang sudah ramai pembeli meski masih pagi. Para pegawai sibuk melayani pelanggan hingga kewalahan, bahkan ada yang melayani dua orang sekaligus. Aku berkeliling melihat-lihat tanaman hias yang tertata rapi sesuai kelompok. Ada tanaman hias tanpa bunga, daunnya menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, ada bunga mawar, bunga matahari, dan masih banyak lagi. Seorang pemuda sipit berkemeja hitam, yang baru selesai melayani, menghampiriku. Wah, ada yang mirip Oppa Kim Soo Hyun—aktor Korea idolaku—di sini. Beberapa kali mengunjungi toko ini, aku tak pernah melihatnya. Jika dibandingkan dengan karyawan lain yang hanya mengenakan seragam hijau muda, penampilannya jauh lebih rapi. “Selamat datang di Gabriel Agromart, ada yang bisa saya bantu?” Kim Soo Hyun KW itu menyapaku tanpa ekspresi, seakan memakai mode otomatis. “Aku mau beli bunga anggrek. Kira-kira ada jenis apa aja ya, Kang?” “Apa Anda bilang, ’kang’?” Dia mengernyitkan kening seolah tak suka panggilan itu. Matanya yang sipit semakin menyipit, menatapku tidak ada ramah-ramahnya. Aku menghela napas berat. Sebenarnya dia mau dipanggil apa coba? “Loh, memang benar, kan? Orang Sunda, memanggil pria yang lebih tua dengan sebutan ‘kang’. Apa mau dipanggil uak, aki, atau buyut aja kali lebih unik?” Dia menatapku tajam, mengetatkan rahang menunjukkan kekesalan. “Jadi, Anda menganggap saya udah tua? Seenaknya memanggil kang. Saya bukan Kang Ojek atau Kang Cilok. Paham?” “Berarti, kang tanaman, dong,” celetukku, saking jengkelnya. Ribet banget. Biasanya juga karyawan di sini tidak ada yang keberatan dipanggil akang, hanya dia yang protes. Dia membuang muka tak acuh. “Kalau begitu, aku panggil Aa aja, ya, biar nggak terlalu tua. Tapi aku yakin sih, Aa penjual tanaman hias jauh lebih tua dariku.“ Aku menyeringai, berharap gurauanku bisa mencairkan suasana. Nyatanya, malah membuat mimik wajah ‘Kim Soo Hyun’ semakin tegang. Dia menggulung lengan kemejanya hampir melewati siku, persis orang yang ingin bertempur melawan musuh. Lantas, dia mendongakkan wajah. “Langsung aja, anggrek jenis apa yang Anda cari?” Aku mencebik, menyesal sudah bergurau seperti tadi. Respons dia sungguh menyebalkan. “Aku mau melihat koleksi bunga anggreknya dulu. Bisa ditunjukkan sekarang?” Dia memperlihatkan beberapa bunga anggrek. Warna dan bentuknya berbeda-beda sesuai jenis, hanya sebagian saja yang aku tahu. Terutama anggrek bulan karena banyak dijumpai dalam rumah budi daya tanaman hias. Aku menunjuk anggrek yang kelopaknya hampir keseluruhan berwarna hitam, sementara bagian tengahnya berwarna ungu dan merah terang. Keunikan warnanya mencuri perhatian. “Ini anggrek apa?” “Itu anggrek hitam.” “Kalau yang ini?” tanyaku lagi seraya menunjuk anggrek berwarna kuning cerah, ada sedikit polesan putih serta merah di bagian tengahnya. Dia mendesah kasar, menunjuk papan nama yang menempel di bagian depan rak tanaman. “Anggrek sendok. Namanya udah tertera jelas di sana.” Aku menepuk kening. Lupa, di bagian depan rak sudah terpampang nama umum beserta nama ilmiahnya. Itu salah satu keunggulan Gabriel Agromart yang paling kusuka dan tidak ditemukan pada kios lain. Kim Soo Hyun KW tersenyum miring sambil melirik sinis. Dia sama sekali tidak mencerminkan seorang karyawan yang seharusnya bersikap ramah pada konsumen. Lihat saja nanti! Aku punya ide untuk menguji kemampuan karyawan sombong itu. “Tolong bacakan nama ilmiahnya dong, A. Sekalian aku mau belajar melafalkan,” pintaku, memasang wajah penuh harap. Sebagai anak pertanian, padahal aku sudah fasih melafalkan nama ilmiah. Dengan bibir berkerut, dia mulai melangkah menuju anggrek yang paling ujung. Aku mengikuti walau tetap menjaga jarak dua langkah di belakangnya karena dia bukan mahram. Dia menatap sengit. “Nggak sekalian aja mundur sepuluh meter biar langsung pulang?” Aku berdecak, sebal. Kalau saja tahu dari awal, Kim Soo Hyun yang ini menyebalkan, aku enggan dilayani olehnya. “Kelihatan, kok, dari sini juga.” “Terserah Anda! Dengarkan baik-baik, jangan sampai saya mengulangi kalimat.” Allahu akbar, aku baru menemukan spesies manusia yang memiliki sikap sedingin es kutub selatan. Aku jadi semakin semangat menguji dia, hitung-hitung memberinya pelajaran tentang arti kesabaran. Dia menunjuk anggrek berkelopak putih yang memiliki semburat garis cokelat tua pada urat bunganya. “Paphiopedim kolopakingii, anggrek kantung kolopaking,” ucap dia sangat fasih, kemudian dia menoleh seakan memastikan aku memperhatikan atau tidak. Barulah dia melanjutkan, menunjuk anggrek berdaun kelopak lanset berwarna ungu muda. “Dendrobium phalaenopsis, anggrek larat.” Satu per satu bunga anggrek sudah disebutkan nama ilmiahnya. Walau menyebalkan, ternyata karyawan baru itu pandai juga melafalkan nama ilmiah. Setidaknya ada nilai plus. “Saya udah memenuhi permintaan Anda. Silakan, pilih anggrek mana yang Anda inginkan!” Aku terdiam sembari memandangi kumpulan bunga anggrek yang memenuhi rak tersebut. Bingung, mau beli yang mana? Semuanya bagus dan menarik. Benar kata Ummi, anggrek memang mengagumkan. “Sebentar, aku butuh berpikir.” “Sebaiknya segera putuskan!” “Bentar, dong! Nggak sabar banget. Dalam mengambil keputusan tuh butuh pertimbangan.” Aku melirik sinis, tidak suka diminta buru-buru ketika memilih sesuatu. Dia menatapku tak suka. Jika saja bukan customer, mungkin dia sudah mengusirku. “Aku mau tahu dulu, bagaimana cara merawat bunga anggrek sesuai jenisnya? Tolong jelaskan!” Dia tersenyum getir, lalu meremas rambutnya. “Mohon maaf, saya nggak punya banyak waktu untuk menjelaskan semua. Anda bisa searching melalui internet, bagaimana cara merawat bunga anggrek. Punya ponsel, kan?” Pertanyaan dia yang menyepelekan telah menyinggungku. Memang aku hidup di zaman purba, tidak punya gawai. “Nggak bisa begitu, dong! Customer juga wajib tahu cara merawat tanaman yang beli di sini. Atau jangan-jangan keberatan karena Aa nggak tahu cara merawat bunga anggrek? Jangan internet sama ponsel dijadikan alasan,” omelku panjang lebar. “Anda ini....” Dia mengepalkan tangan, geram. Menengok sekelilingnya, Kim Soo Hyun KW menyadari beberapa orang tampak memperhatikan kerusuhan kami. Setelah agak lama diam, suara baritonnya kembali terdengar. “Baik, saya jelaskan!” Terlambat! Aku telanjur kesal. Niatku mau menguji kesabaran dia, malah kesabaranku yang diuji. Setengah jam dia menjelaskan sampai mulutnya berbusa. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian bergegas mengambil air mineral di meja kasir lalu meneguknya tanpa jeda sampai tandas. Botol kosong itu langsung dilemparkan ke tempat sampah. Rasa jengkelku terbayarkan. Aku ingin terkekeh menyaksikan pemandangan menyenangkan, tetapi aku berusaha menahannya. “Apa Anda udah puas dengan pelayanan kami?” tanya dia, lirih. “Sebenarnya masih banyak sih, yang mau aku tanyakan. Berhubung waktunya nggak memungkinkan, lain kali aja, deh.” Senyum kemenangan menghiasi bibir dia. Bisa kutebak, dia ingin aku segera pergi dari kios ini. “Jadi mau anggrek yang mana?” Aku menggeleng seraya menempelkan telunjuk pada kening. “Masih bingung.” “Ini toko tanaman, bukan cafe tempat nongkrong sesuka hati! Dari dulu nggak ada sejarahnya, beli tanaman mikirnya setahun. ” Aku mengernyitkan kening. “Kenapa memangnya?” “Saya rasa Anda perlu minum vitamin peningkat daya kerja otak, biar nggak lola—loading lama.” Aku mengelus d**a, mencoba bersabar menghadapi dia. “Astagfirullah, kalau ngomong sama customer yang sopan, dong!” Dia mendesah geram. “Ayo cepat tentukan, mau anggrek yang mana?” “Iya-iya, aku mau anggrek bulan ...” Rasanya masih berat memilih, bukan cuma itu yang aku mau. “Anggrek hitam, anggrek sendok, dan anggrek larat juga.” Baru saja dia melangkah, hendak mempersiapkan anggrek tersebut. Aku seketika menghentikan langkahnya. “Eh, tunggu—” Aku baru ingat uangnya tidak cukup kalau membeli semua, terpaksa mengorbankan beberapa anggrek. Dia mendelik tajam. “Apa lagi?” “Anggrek bulan jangan, deh.” “Masih banyak customer mengantri, saya nggak melayani satu orang doang. Anda jangan labil!” “Aku mau anggrek hitam sama anggrek larat aja,” putusku meski berat hati, tidak enak sama customer lain yang sudah lama mengantre. Lagi pula, malas berdebat lagi. Kim Soo Hyun KW segera menyiapkan pesananku tanpa menjawab. Saat menyerahkan dua bunga anggrek itu, dia berpesan, “Tolong dirawat dengan baik, jangan sampai mati karena anggrek hitam dan anggrek larat termasuk bunga langka yang patut dilestarikan.” Aku mengangguk. Ada kehangatan dan takjub menyeruak di d**a mendengar pesannya. Ternyata dia memperhatikan tanaman di sini dengan baik. “Eh, si Neng, kok, baru kelihatan?” sapa salah satu karyawan kios yang biasa melayaniku. Dia baru selesai melayani customer. Aku menarik pojok bibir, membalas sapaan ramahnya. “Baru ada waktu, Kang. Kebetulan juga lagi libur kuliah.” Pria berwajah dingin menatap karyawan yang menyapaku tadi. “Kang Wawan kenal sama dia?” “Neng Adilah ini langganan saya, Ko, dia sering beli tanaman di sini.” Kim Soo Hyun KW bergeming. “Karyawan barunya kurang baik memperlakukan customer, Kang. Tolong sampaikan sama bos Gabriel Agromart, ya. Jangan sampai pembeli kabur karena nggak tahan dengan sikap ketus dia,” laporku, membuat pria di sebelah Kang Wawan mendengkus. Kang Wawan tersenyum kecil. “Dia Koko Gabriel, pemilik kios ini, Neng. Bukan karyawan. Koko Gabriel jarang keluar ruangan, makanya Neng Adilah baru melihatnya.”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.8K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.4K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
59.8K
bc

My Secret Little Wife

read
132.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook