bc

Mafia Kejam dan Gadis Pendosa

book_age18+
60
IKUTI
1K
BACA
revenge
dark
family
arrogant
kickass heroine
mafia
heir/heiress
bxg
cheating
like
intro-logo
Uraian

Ellara datang dengan dendam yang membara, ingin menuntut balas atas kematian ayahnya. Namun, takdir mempermainkannya. Pria yang harus ia bunuh justru pria yang membuatnya jatuh cinta, dialah Levon Vercelli sang mafia kejam, berdarah dingin, dan tak mengenal belas kasih. Antara peluru dan ciuman, antara dendam dan cinta, Ellara harus memilih untuk menuntaskan balas dendamnya atau menyerahkan hati sepenuhnya di tangan musuh. Satu hal yang pasti, cinta dengan mafia hanya berakhir dengan darah dan amarah. Ketika rahasia terungkap dan perang pecah, siapa yang lebih dulu hancur?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Lelang
Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu, tetapi tidak ada yang bisa memadamkan api keserakahan yang menyala di dalam gedung tua yang ada di pinggiraan Kota Tua yang telah direnovasi menjadi tempat pertemuan paling terlarang di Indonesia. Levon Vercelli, tengah duduk di kursi VIP lantai dua, mengabaikan pandangan penuh rasa hormat dan ketakutan yang tertuju padanya. Darah Italia mengalir dari ayahnya, sementara ibunya adalah seorang wanita Jawa yang telah lama mati di tangannya sendiri. Malam ini, ia datang ke lelang paling eksklusif yang selalu dibuka setiap tahunnya. Ia datang bukan untuk membeli, tetapi untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. "Lot berikutnya," suara lelang berbahasa Indonesia yang halus tetapi tegas bergema melalui pengeras suara. "Nomor tiga belas. Usia dua puluh tiga tahun. Masih perawan. Bersih dari catatan kriminal." Levon memutar gelas wiski di tangannya dengan malas, tampak jika dirinya sama sekali tidak tertarik. Ia sudah melihat puluhan wanita yang dijual malam ini, dan semuanya sama, hanya bisa menatap dengan penuh ketakutan. Sebuah pemandangan yang sangat membosankan bagi seorang Levon Vercelli. "Sial! Buang-buang waktu!" desis Levon seraya meletakkan gelasnya di atas meja. "Ellara ...." Panggilan itu terdengar menggema melalui mikrofon. Sejurus kemudian tirai merah terbuka, dan seluruh ruangan seakan berhenti bernapas. Seorang gadis muda berdiri di sana dengan postur yang salah. Sangat salah untuk seorang b***k yang akan dilelang. Kepalanya sama sekali tidak tertunduk. Bahunya tidak membungkuk. Ia berdiri dengan dagu terangkat, seolah ia adalah ratu yang sedang berdiri di tengah pesta, bukan tawanan yang akan dijual kepada penawar tertinggi. Rambutnya hitam panjang tergerai menutupi sebagian punggung telanjangnya. Kulit sawo matang yang halus terbungkus kebaya putih transparan yang lebih cocok untuk dikenakan pengantin. Tetapi yang membuat Levon meletakkan gelasnya dengan keras hingga berbunyi nyaring adalah matanya. "Menantang ...," desis Levon dengan tatapan tajam ke arahnya. Matanya itu menatap langsung ke arah Levon. Tidak ke arah kerumunan di bawah, bukan ke lantai, tetapi tepat ke balkon pribadi tempat ia duduk. Seolah gadis itu tahu persis di mana ia harus berada. Sudut bibir gadis itu terangkat, seolah telah menemukan seseorang yang ia cari. "Penawaran dimulai dari seratus juta rupiah," kata juru lelang memulai. Tangan-tangan langsung terangkat. Seratus lima puluh juta. Dua ratus juta. Tiga ratus juta. Para pria di bawah sana seperti anjing yang sedang berebut tulang. Levon seharusnya tidak peduli dengan semua itu. Ia memiliki cukup wanita dalam kekuasaannya. Ia tidak memerlukan satu lagi. Terlebih, instingnya berteriak bahaya saat melihat senyuman yang tersungging di sudut bibir wanita itu. Namun, mata hijau itu masih menatapnya. Menantangnya dan menyiratkan kesan untuk ... membelinya. "Satu miliar," suara Levon memotong semua penawaran lain. Seluruh ruangan terdiam seketika. Bahkan musik latar berhenti. Semua kepala menoleh ke balkon lantai dua. Beberapa orang melihat dengan kagum, beberapa dengan iri, tetapi sebagian besar dengan rasa takut yang begitu kentara. Tidak ada yang berani menantang Levon Vercelli. Tidak jika mereka masih ingin melihat matahari terbit esok hari. "Sa-satu miliar dari Tuan Vercelli," suara sang juru lelang terdengar bergetar. "Satu miliar sekali ... dua kali ...." Levon melihat gadis itu masih terus menatapnya. Namun kali ini, senyumnya melebar. Sebuah senyuman dari seorang wanita pendosa yang baru saja berhasil menjebak mangsanya. "TERJUAL!" Tepuk tangan bergema, tetapi Levon tidak mendengarnya. Ia hanya bisa melihat gadis itu, yang sekarang membungkuk sedikit sebagai tanda hormatnya kepada pemiliknya yang baru. -- Ruang VIP di lantai tiga berbau kulit dan tembakau yang menguar. Hujan masih mengguyur dengan begitu derasnya di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi ruangan yang remang-remang. Levon berdiri di depan jendela besar menghadap jalanan metropolitan yang padat. Daniel, tangan kanannya yang setia sejak lima tahun lalu berdiri di sudut ruangan dengan tangan terlipat di d**a. "Bos, ada yang tidak beres dengan gadis itu," ucap Daniel. "Cara dia menatap Bos tadi ...." "Aku tahu," jawab Levon tanpa berpaling. "Itulah mengapa aku membelinya." "Bos, dengan harga segitu, Boss bisa beli sepuluh gadis perawan yang—" "Aku tidak membayar untuk perawannya, Daniel." Levon akhirnya menoleh, mata hitamnya berkilat tajam. "Aku membayar untuk—" Ketukan di pintu menghentikan percakapan mereka berdua. Dua penjaga berseragam hitam membawa gadis itu masuk. Tangannya diikat dengan rantai perak yang terhubung ke kalung di lehernya. Ia lebih tampak seperti anjing peliharaan yang mahal. "Bos," ucap salah satu pengawal. "Bawa masuk!" titah Levon dingin. Levon melihat cara gadis itu melangkah masuk dengan kepala tegak, matanya langsung mencari Levon dan mengunci pandangan dengannya. "Letakkan dia di situ!" Levon menunjuk kursi di tengah ruangan. "Lalu kalian keluar." "Tetapi Tuan—" "Keluar!" Mereka tidak berani membantah dua kali. "Kau juga, Daniel," ucapanya lagi saat melihat Daniel masih berdiri di tempatnya. "Baik, Bos." Daniel melirik sekilas pada wanita yang tersenyum tipis ke arahnya sebelum pintu tertutup. Levon berjalan perlahan mengelilingi kursi tempat gadis itu duduk. Ia bisa mencium aroma melati dari rambutnya, bisa melihat urat nadi yang berdetak di leher jenjangnya, bisa merasakan panas tubuh yang memancar dari kulit sawo matangnya. "Siapa namamu?" tanyanya. "Ellara." Suaranya tenang, terlalu tenang untuk seseorang dalam posisinya. "Ellara apa?" Jeda sebentar. Gadis itu memiringkan kepalanya sedikit, seperti sedang mempertimbangkan apakah akan menjawab jujur atau tidak. "Moretti. Ellara Moretti." Levon berhenti di depannya. Moretti. Nama itu memicu sesuatu di kepalanya. "Moretti," ulangnya. "Kenapa Anda terkejut, Tuan? Apakah nama begitu penting untukmu?" tanya Ella dengan nada menantang. "Di mana keluargamu?" tanya Levon lagi. "Mereka sudah mati. Lima belas tahun yang lalu." Sesuatu di mata gadis itu berubah, seperti kilatan kebencian yang sangat kentara. Levon meraih dagu Ella dengan kasar, memaksanya mendongak menatapnya. "Jangan main-main denganku, gadis manis. Aku bisa mencium setiap kebohongan. Dan kau ...." ia menarik wajah Ella lebih dekat, hingga bibir mereka hampir bersentuhan, ".... kau sedang menyembunyikan sesuatu." "Semua orang menyembunyikan sesuatu, Tuan Levon," bisik Ella. Napasnya bertiup hangat di bibir Levon. "Bahkan kau." Levon seharusnya marah. Seharusnya ia menampar gadis ini karena keberaniannya. Tetapi yang ia rasakan kali ini sungguh berbeda. Ia melepaskan dagu Ella dengan kasar, berbalik ke meja dan menuangkan wiski. "Kau tahu siapa aku. Kau tahu reputasiku. Tetapi kau tetap menatapku di lelang tadi seolah kau menantangku." Ia meneguk wiski-nya. "Itu bukan tindakan wanita yang ingin bertahan hidup. Itu tindakan wanita yang ingin mati sia-sia." "Mungkin aku hanya ingin dibeli oleh orang yang paling berkuasa," jawab Ella. "Lebih baik menjadi b***k raja daripada b***k pengemis." "Bullshit." Levon melempar gelas ke dinding, pecahan kaca berhamburan. Ella tidak bahkan sama sekali tidak berkedip. "Katakan, apa maumu?" Ella tersenyum dingin melihat kemarahan Levon barusan. "Mungkin ... kau bisa buka rantaiku dulu, Tuan. Dan kita habiskan malam ini. Aku juga ingin menyentuhmu." "Lancang sekali kau, wanita penghibur!" Kesabaran Levon yang tipis menguap begitu saja. Ia melintasi ruangan dalam tiga langkah, menarik rantai di leher Ella hingga gadis itu terpaksa berdiri, tubuh mereka bersentuhan. "Dengarkan baik-baik, Ellara ... Moretti," bisiknya berbahaya. "Aku baru saja membayar satu miliar rupiah untukmu. Itu berarti kau milikku sekarang. Tubuhmu, pikiranmu, nafasmu, bahkan mimpimu ... semuanya milikku. Dan aku tidak berbagi mainanku dengan siapapun." Ia menarik kebaya Ella hingga sobek, memperlihatkan kulit yang halus. "Aku akan membuatmu mengerti posisimu. Aku akan membuatmu menjerit nama tuanmu. Dan setelah aku selesai, tidak akan ada lagi tatapan menantang itu di matamu." Tetapi bukannya ketakutan, mata hijau Ella justru berkilat dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih menantang bagi Levon. "Lakukan apapun yang kau mau, Tuan," bisiknya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
313.8K
bc

Too Late for Regret

read
310.0K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
144.2K
bc

The Lost Pack

read
429.7K
bc

Revenge, served in a black dress

read
151.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook