Bab 1 – Skandal Pagi di Balik Tirai
Pagi itu, suasana di Griya Asri Blok E seperti biasa—sejuk, tenang, dan penuh suara cicit burung dari pepohonan. Tapi di rumah nomor 17, suasananya... panas.
Dari sela tirai jendela, terlihat siluet dua tubuh yang bergerak-gerak tak biasa. Langit-langit bergema suara ranjang kayu tua yang berderit pelan, diiringi napas yang tersengal—campuran antara gairah... dan asma.
“Pelan, Mas Doni… anak saya belum berangkat sekolah,” bisik Suci dengan nada terengah, tapi senyumnya penuh kenakalan.
“Loh, katanya udah kuliah di Jogja?” sahut Doni, suami tetangga blok sebelah, sambil menarik napas dalam-dalam. Tentu saja, sambil tetap memijit kaki Suci yang sedang terbaring di sofa empuk ruang tamu.
“Iya, tapi CCTV saya jalan terus. Jangan macam-macam,” jawab Suci, lalu menggeliat manja. “Pijatan kamu bikin badan saya kayak kerupuk kena air. Melempem semua.”
Doni tertawa, geli sekaligus gugup. Tangannya bergerak ke arah bahu, memijit dengan teknik yang entah dipelajarinya dari mana.
“Udah, jangan lama-lama. Nanti Bu Ratna lihat dari balkon, bisa gosip satu RT,” lanjut Suci, melepaskan jepit rambutnya hingga gelombang rambut hitamnya jatuh menutupi mata.
Dan benar saja.
Di rumah seberang, Lestari yang sedang menyiram bunga langsung berhenti. Matanya menyipit. “Hmmm… itu suara Suci ya? Lagi yoga? Atau... masak rendang pakai efek surround sound?”
Di teras sebelahnya, Eva sudah standby dengan kopi dan headset Bluetooth. Tapi bukan untuk dengerin musik—melainkan frekuensi tetangga. Teknologi itu tak pernah bohong.
“Fix. Doni lagi ngurut-ngurut dosa tuh,” gumam Eva sambil mencatat di buku kecil bertuliskan Laporan Operasi Blok E.
Suci berdiri sambil merapikan dasternya yang sedikit kusut. Doni masih duduk di sofa, wajahnya merah seperti tomat direbus. “Udah, Mas. Nanti istrimu curiga. Jangan sampai kejadian dua minggu lalu keulang lagi. Saya udah susah payah ngasih alasan kenapa ada celana dalam laki-laki nyangkut di balkon saya!”
Doni nyengir. “Itu angin kenceng, Su. Aku udah bilang dari awal, angin bisa bawa perasaan—eh, maksudku, pakaian.”
Suci melotot, tapi ekspresinya lembut. “Pulang sana. Kalau istrimu dateng ke komplek ini lagi dan lihat kamu disini, bukan cuma celana dalam yang nyangkut, bisa-bisa kepala kamu yang nyangsang di gerbang.”
Doni cepat-cepat pamit, dan begitu pintu tertutup, Suci menghela napas panjang. Ia berjalan ke cermin dan melihat pantulan dirinya—masih cantik, masih menggoda, tapi ada sisa lelah yang tak bisa disembunyikan dari mata sendiri.
“Yah, pagi ini udah lumayan bakar kalori. Siapa butuh gym kalau bisa… terapi sentuhan?” gumamnya sambil tersenyum nakal.
Tapi tak sampai dua menit, pintu depan diketuk.
Tok tok tok.
Suci membuka pintu dengan gaya setengah bosan. Di depannya berdiri Eva, lengkap dengan daster motif macan tutul, kopi di tangan kanan, dan HP di tangan kiri.
“Ada kabar panas, Ci.”
Suci memiringkan kepala. “Kamu baru saja lewat di depan rumah ini, kan?”
Eva nyengir. “Betul. Dan telinga ini menangkap suara derit-derit penuh semangat dari arah ruang tamu kamu. FYI, aku nggak lagi nonton film horor.”
Suci mengangkat alis. “Kamu kesini mau nggosip, atau mau ikut terapi?”
Eva langsung duduk di sofa. “Nggak dua-duanya. Aku bawa berita yang lebih panas: rumah kosong di ujung blok udah laku. Dibelinya cash. Katanya yang beli duda muda, kerja di startup, wajah kayak aktor Korea. Tinggal sendirian.”
Suci terdiam sesaat. “Duda muda?”
Eva mengangguk serius. “Dan kamu tau artinya apa kan, Ci?”
Suci tersenyum licik. “Artinya... kita perlu bikin tim. Bukan buat rebutan, tapi buat... evaluasi kelayakan.”
Eva mengangguk. “Kita harus tau, ini duda tipe serius, atau hanya sekadar mencari... bumbu dapur.”
Tak butuh waktu lama setelah Eva menyampaikan kabar tentang duda muda, grup w******p Janda Sexy Blok E langsung meledak seperti kompor meledak waktu masak rendang.
[Grup w******p: JANDA SEXY BLOK E
Eva: Duda Korea confirmed. Rumah 31. Gua udah cek plat mobil: mahal.
Nurlita: KEREN. Aku langsung nyalon. Siapa mau ikut bleaching alis?
Lestari: Gua baru beli dress backless. Warna tosca. Efeknya bikin lutut laki-laki goyang.
Suci: Ladies, tenang. Jangan buru-buru. Ingat strategi: slow burn, bukan grill sosis.
Grup itu memang bukan grup sembarangan. Dibuat oleh Suci tiga tahun lalu setelah mereka semua resmi bergabung ke "klub janda", grup ini lebih aktif dari RT setempat.
Ada sesi motivasi, sesi rias daring, bahkan voting untuk menentukan siapa janda dengan outfit paling menggoda setiap hari Minggu.
Dan hari itu... mereka seperti pasukan elit yang baru saja mendapat misi negara.
Eva langsung kirim voice note:
> “Aku usul kita mulai operasi. Kode nama: Proyek Duda Bahagia. Pertama, kita sambut dia dengan kue. Tapi jangan kue sembarang. Harus ada pesan tersembunyi. Misalnya: ‘Selamat datang di lingkungan kami yang... hangat.’”
Nurlita membalas:
> “Aku bisa bikin brownies bentuk hati. Tapi nanti kelihatan niat banget ya? Apa kita kasih kue aja dalam bentuk... donat berlapis madu?”
Suci menjawab cepat:
> “No. Terlalu vulgar. Kita butuh sentuhan klasik. Aku usul kirim tanaman hias. Tulisannya: Semoga betah di lingkungan baru. Jangan kaget kalau tanamannya sering disiram… oleh perhatian kami. ”
Lestari, yang dari tadi hanya membaca sambil maskeran, akhirnya ikut bicara:
> “Skip tanaman. Gua lebih tertarik strategi tatapan mata. Siapa ikut sesi latihan flirty glance sore ini di teras Suci? Bawa kacamata hitam.”
Dalam waktu kurang dari satu jam, para janda itu sudah seperti pasukan khusus yang akan menginterogasi tahanan—hanya saja target mereka adalah seorang duda tampan yang belum tahu betapa dahsyatnya sambutan Blok E.
---
Dan di rumah nomor 31...
Seorang pria muda dengan kaus putih polos dan rambut agak acak-acakan sedang membuka kardus-kardus pindahan. Di luar rumahnya, tanpa ia sadari, ada empat pasang mata yang mengintip dari balik tirai rumah masing-masing.
“Gila... dia senyum aja kayak iklan pasta gigi,” gumam Nurlita sambil ngunyah biskuit.
“Baru jam sepuluh pagi dan aku udah pengen jatuh cinta,” bisik Lestari.
Suci menghela napas. “Ini bukan cuma tentang cinta. Ini tentang kehormatan janda Blok E. Kita harus... menang.”
Eva berdiri tegak. “Mulai hari ini, status kita naik. Dari Janda Sexy... jadi Janda Siaga Satu.”