1.
Gemuruh blower menguntai tegas pada mesin besar di sudut ruangan, bercampur bising dari suara orang yang berlalu lalang.
Setiap orang fokus pada pekerjaan masing-masing. Ada yang berdiri di depan mesin, ada yang menyusun produk-produk ke dalam wadah. Ada pula yang berlalu lalang mengangkat kardus-kardus berisi produk yang telah disusun.
Di tempat berbeda, terlihat beberapa pekerja menatap layar dengan serius. Sunyi. Hanya terdengar bunyi halus dari jemari yang bertemu dengan keyboard.
Seorang perempuan beranjak menuju toilet. Hembusan udara dingin dari AC membuat kandung kemihnya cepat penuh. Sekar Ala Pratiwi. Begitu nama yang tertulis pada lanyard putihnya.
Begitu pintu toilet terbuka, aroma zat besi menguar cukup pekat. Penciuman perempuan itu sangat pekat, salah satu kelebihannya saat melamar posisinya saat ini, quality control di industri makanan.
"Deres banget, siapa yang mens sampe segininya?" gumam Ala pelan.
Dia membuka salah satu bilik kosong paling pojok, pilihan favoritnya karena menggunakan kloset jongkok.
"Sshh, tolong" suara lirih entah dari mana.
Ala memelotot kaget. Sejak kapan genre hidupnya berubah horor?
Begitu menyelesaikan urusannya, Ala bergegas keluar. Tapi, rintihan itu semakin jelas terdengar. Dari salah satu bilik yang tertutup.
Ala menatap ragu, apakah pemilik suara itu memerlukan pertolongan atau dia yang akan butuh pertolongan jika merespon.
Perlahan, Ala mendekat. Bau zat besi semakin tajam menyapa inderanya.
Ala menyalakan rekaman kamera, sebagai bukti jika ada hal yang tidak wajar.
"Astaga, Mbak Gita" pekik Ala kaget, wajahnya mendadak pucat melihat kondisi di hadapannya saat ini.
Di samping kloset duduk, Gita terbujur lemah, dengan dar4h meluber di tempat duduknya.
Ala segera menghubungi rekan yang lain.
Kamera ponselnya kembali diaktifkan dalam mode rekam. Ala tidak berani menyentuh sembarangan, dia hanya berusaha menjalin obrolan, memastikan kesadaran Gita tetap terjaga.
Dari belakang, suara langkah kaki yang tergesa terasa kian mendekat. Beberapa rekannya berkumpul.
Tak berselang lama, beberapa petugas medis perusahaan datang membawa tandu. Gita dibawa ke rumah sakit dengan mobil salah satu pekerja.
"Kamu harus ikut La, buat jelasin ke dokter" ucap Bastian, salah satu rekan yang lebih senior.
Ala masih gemetar ketakutan. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak sadar sudah diseret masuk ke dalam mobil.
"Astaga Bang, aku nggak berani" protesnya begitu sadar sudah duduk di samping kemudi.
"Abang sama yang lain nyusul dari belakang" ucap Bastian menenangkan.
Mobil melaju pesat, mencari celah, mendahuluhi hampir semua kendaraan di depannya.
Setibanya di rumah sakit, Ala semakin takut. Aroma khas rumah sakit menyeruak masuk ke indera penciumannya, tidak nyaman.
Perawat menanyakan identitas pasien itu pada Ala, lalu beberapa menit kemudian seorang dokter perempuan muda menghampiri mereka.
Suasana IGD terasa hectic, banyak pasien darurat dan sepertinya tenaga medis cukup terbatas.
"Bu Gita, apakah sedang hamil?" tanya dokter Dwi, sesuai name tag di dadanya.
Ala teringat pembicaraan di grup kantornya beberapa hari lalu, sempat ada curhatan Gita yang takut memberi tahu suaminya tentang kehamilannya.
"Iya dok" jawab Ala cepat. Respon verbal Gita sangat minim, Ala bertindak cepat agar penanganan segera dilakukan.
"Kita hentikan pendar4han dulu, nanti kondisi janinnya akan tetap dipantau ya bu" ucap dokter Dwi, menyingkap pakaian bawah Gita setelah tirai ditutup oleh perawat.
"Em, Mbak Sekar?" tanya dokter itu, memastikan identitas wali pasien dari lanyard yang ternyata masih dikalungkan.
"Iya dok, kenapa?" tanya Ala balik, tidak berniat mengklarifikasi nama panggilannya.
"Hubungan apa dengan pasien? Apakah ada hubungan keluarga?" tanya dokter itu lagi, tangannya cekatan memasukkan kasa steril ke dalam sana.
"Bukan dok, cuma rekan kerja" jawab Ala, sesekali meringis saat melihat bagaimana area pribadi itu ditangani.
"Apakah bisa menghubungi keluarga? Kalau pasien harus kuret, perlu persetujuan dari wali resmi, mbak" ucap dokter Dwi lagi.
Ala bergegas keluar, mencari keberadaan rekan kantornya yang tadi katanya akan menyusul.
"Bang, diminta hubungi keluarga" ucap Ala begitu melihat Bastian di kursi tunggu teras IGD.
Cukup lama mencari-cari kontak keluarga Gita karena harus menghubungi HR perusahaan. Sekitar satu jam kemudian, barulah seorang pria muda muncul.
Pendarahan sudah berhasil dihentikan sejak tadi, Gita juga sudah dipindah ke ruang rawat. Kondisinya masih lemas dan perlu pemantauan intens. Dokter obgyn juga memberikan instruksi pengisian formulir kuret pada Ala.
Saat Ala memberikan formulir tersebut, dia merasa familiar dengan pria itu. Seperti kenal, tapi tak begitu ingat.
"Suaminya Mbak Gita ya?" tanya Ala membuka obrolan. Sejak tadi mereka hanya duduk dalam diam.
"Bukan, Mbak" jawab pria itu singkat, masih mengisi data-data di formulir.
Begitu formulir disetor ke administrasi, mereka kembali duduk di depan ruang rawat Gita.
"Saudaranya?" tebak Ala lagi, sangat kikuk jika mereka harus menunggui pasien dalam hening. Rekan kerjanya sudah kembali ke kantor semua, hanya Ala yang ditinggal sebagai wali sementara tadi.
"Iya" jawab pria itu lagi. Minim keramahan.
Ala memilih diam. Berkomunikasi satu arah itu sangat menyebalkan.
Cukup lama tidak ada pembicaraan, akhirnya Ala pamit kembali ke kantor.
Saat berpamitan dengan Gita, Ala mengatakan akan membawakan barang-barang Gita setelah pulang kantor.
**
Di kantor, ternyata Ala tidak bisa segera melanjutkan pekerjaannya. Dia malah diboyong untuk dimintai keterangan.
"Nggak tau Bu, tadi saya cuma dengar suara merintih, waktu dicek ternyata udah kayak di video" papar Ala pada Bu Ranti, petugas HR yang menangani cuti dan klaim asuransi.
Video itu memang sudah ia kirimkan tadi saat meminta kontak keluarga Gita.
"Oh iya Bu, tadi Mbak Gita minta dibantu urus izinnya, saya juga diminta back up kerjaannya dulu, gimana Bu?" tanya Ala lagi.
"Bilangin aja izin udah beres, suruh Gita fokus pemulihan dulu" jawab Bu Ranti.
Kalau urusan yang betul-betul serius, dia memang cekatan membantu. Tapi kalau karyawan meminta cuti tanpa izin yang jelas, Bu Ranti sering sewot.
Padahal, cuti itu hak karyawan dan tidak ada kewajiban menjelaskan alasan pribadi.
"Nanti sore saya mau anter barang Mbak Gita, Ibu mau ikut?" tawar Ala.
"Besok aja lah saya jenguk, sekarang pasti masih mewek. Dulu saya juga pernah kegugurann waktu hamil muda, masih dua bulanan" ucap Bu Ranti, mulai curhat, selayaknya ibu-ibu.
Ala menjadi pendengar yang baik, sebagai sesama perempuan, dia juga sedih melihat tangisan Gita saat tadi diberitahu akan dikuret.
"Saya balik kerja dulu bu, tadi masih ada laporan yang mau dikirim hari ini" pamit Ala, mencari celah untuk keluar dari sesi curhat yang tak berujung.
*
Ala mengumpulkan barang-barang Gita sesuai janjinya. Tak lupa, Ala juga sempat menyelesaikan pekerjaan Gita yang harus diupload hari ini ke situs web perusahaan.
Sementara itu, di sisi lain, Gita mengamuk tak karuan. Suaminya baru tiba dan menyalahkan Gita karena tidak menjaga kehamilannya dengan baik.
"Gimana bisa kebobolan sih? Selina masih ASI, kamu kok teledor banget?" ucap Rian, suami Gita.
"Ini juga, udah dua bulan nggak ngomong, ibu macam apa kamu ini" sewotnya lagi.
Gita tidak terima disalahkan sendiri.
"Kamu nggak sadar diri, mas? Kamu yang selalu nuntut jatah, sampe maksa-maksa kalau nggak dikasih, harusnya kamu yang KB, jangan cuma mau enaknya aja, egois"
"Dua minggu ini aku ketakutan sendirian, nggak tau gimana cara kasih tau kamu, tapi kamu nggak sadar kan, mas? Yang kamu pikirin cuma dirimu, kesenanganmu sendiri" teriak Gita putus asa.
Di saat dirinya butuh dikuatkan, dia malah disalahkan dan direndahkan.
Bukannya mengalah, Rian malah melontarkan kata-kata pedas lainnya, merasa dirinya benar dan tidak bersalah.
"Pergi! Nggak guna kamu disini, mas!" usir Gita pada akhirnya.
**
Saat Ala masuk ke kamar Gita, banyak barang berceceran, sprei ranjang Gita juga berantakan.
"Loh, kenapa Mbak?" tanya Ala panik. Dia bergegas menahan pergerakan Gita yang ingin turun dari ranjang.
Ala memeluk Gita, membiarkan ibu muda itu menangis sepuasnya. Sambil menangis, Gita menceritakan keributan yang baru terjadi dengan suaminya.
Pintu ruangan terbuka, pria muda tadi siang masuk dengan ekspresi heran di wajahnya. Di tangannya ada kantong plastik berisi makanan.
"Kenapa lagi, mbak?" tanya pria itu, sambil memunguti benda-benda yang berceceran di lantai.
"Bang Rian datang?" tebaknya karena tak kunjung ada jawaban.
Pria itu melirik sebentar, mencari jawaban dari ekspresi kakaknya.
Pria itu meninggalkan ruangan tanpa kata.
Ala merasa suasana menjadi canggung, tapi Gita masih sibuk mengeluarkan tangisannya.
Tak lama kemudian, perawat datang bersama pria tadi. Ah, ternyata pria itu memanggil perawat untuk memperbaiki infus Gita yang sudah terlepas.