5

2251 Kata
Nanda sedang melakukan pekerjaan part-timenya. Dengan memakai baju putih yang warnanya hampir seperti putah tulang, ia dengan rajin membersihkan seluruh café. Café tampak sepi akhir-akhir ini. Bahan-bahan masakan yang bisa habis dalam beberapa hari, kini habis dalam waktu satu minggu. Itupun banyak yang keadaanya tidak layak, sehingga atas persetujuan atasannya bahan-bahan tersebut kebanyakan Nanda buang. Saat ia sedang sibuk membersihkan tempat itu, tiba-tiba pemilik café yang menjadi atasan Nanda datang. “Nanda, boleh bicara sebentar?” Anton, pemilik Café itu memanggilnya untuk duduk di meja dekat kasir. Nanda yang dipangggil, segera menemuinya. Ia duduk dengan perasaan yang tidak karuan. Karena ia sudah menebak, apa yang akan dibicarakan atasannya ini. “iya kak? Ada masalah?” Nanda bertanya kepada Anton dengan wajah cemas. “ehmm gini nan, sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu.” Ucapan atasannya ini dari segi pembuka saja, Nanda sudah tahu akan menuju kemana. “kamu tau kan, pelanggan café ini semakin hari semakin berkurang. Jadi rencananya saya mau ngejual café ini. Dan saya minta maaf sama kamu karena gabisa mertahanin kamu. Saya sangat berterima kasih sama kamu yang sudah mau bekerja disini, dan saya tahu kamu sangat rajin. Tapi pemasukan yang berkurang, saya ga sanggup lagi gaji karyawan dan mertahanin tempat ini.” Anton memberikan penjelasan yang singkat dan langsung menuju inti kepada Nanda, agar ia dapat cepat mengerti. “iya kak, saya ngerti. Gapapa, jadi mulai besok saya udah ga kerja disini ya kak?” Nanda menerima keadaan tersebut, dan bertanya kembali. “iya Nan, mulai besok kamu gausah kerja di sini lagi. Dan ini sisa gaji kamu.” Anton sambil menyerahkan amplop yang berisi uang kepada Nanda. “baik kak, saya juga mau ngucapin terima kasih. Karena udah diijinin part-time disini.” “iya Nan, kamu belajar yang rajin dulu ya. Kelas 3 SMA kan? Bentar lagi ujian, terus jadi mahasiswa. Kamu udah tahu mau kemana? Mau masuk jurusan apa?” Anton membuka topik pembicaraan agar tidak terlalu canggung. “iya kak, kelas 3 SMA. Bentar lagi ujian sih, tapi belum tahu mau nerusin kemana. Masih bingung.” “dipikirin yang mateng nan, kuliah ya? Buat bikin kamu ngerti lebih banyak. Jangan kaya saya, udah tua gini baru mau kuliah.” “ih ga gitu kak. Kan kuliah, belajar itu ga mandang umur.” “iyasih, tapi saya kerasanya tua banget di kelas hahaha.” Anton tertawa membayangkan saat ia di kelas, apalagi saat dosen memutuskan untuk kerja kelompok. Teman-temannya yang jauh lebih muda darinya, segan untuk mendekatinya. Dengan obrolan ringan bersama atasannya, ia sedikit terhibur. Diperjalanan pulang dari café, Nanda ikut memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Ia tidak tahu mau jadi apa, ia tidak tahu mau melakukan apa, ia tidak tahu ingin apa di hidupnya. Dengan menghela napas berat, ia tetap melanjutkan langkahnya. Nanda berjalan pulang dengan jalan kaki menuju pemberhentian bus. Semakin dipikirkan ia mau jadi apa, semakin pusing otaknya. Lalu ia memikirkan juga berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi mahasiwa, berapa puluh juta yang harus ia keluarkan. Karena tentu saja, orang tuanya tidak akan mengijinkannya untuk kuliah karena biaya yang begitu mahal. Nanda mengecek sisa tabungan yang ada di rekeningnya lewat bank mobile yang ada di smartphonenya. ‘lebih dari cukup sih, tapi segini gabisa jamin aku bakal tetep hidup kalo ga kerja.’ Batinnya saat melihat rekeningnya yang memiliki jumlah digit lebih dari cukup untuk biaya kuliah, tetapi tidak dengan biaya kost dan makannya. Hasil menabungnya selama ini ternyata tidak sia-sia juga. Ia berhenti di halte, dan menunggu bus berhenti. Sopir bus sudah mengenal Nanda, karena Ia sering menaiki bus di jam ini setiap hari. Nanda menyapa sopir tersebut dengan senyum ramah sebelum duduk dipinggiran jendela, tempat favoritnya. Saat bus berhenti di lampu merah, ia menoleh ke samping dan mendapati sosok yang sepertinya familiar. Ia mengingat ngingat dimana ia pernah bertemu cowok yang mengendarai motor di samping bus ini. “ahh, mas-mas tadi pagi.” “yang tadi ngasih obat.” Nanda berbicara sendiri, seseorang yang diperhatikannya itu hanya fokus menatap lampu merah dengan memegang gasnya erat-erat. ‘mungkin buru-buru’ Benar saja saat lampu berubah menjadi hijau, dia memacu gasnya melaju dengan kecepatan yang diatas rata-rata. Nanda yang memerhatikan itu hanya menggelengkan kepalanya berulang kali, tidak sayang nyawa. Setelah beberapa menit perjalanan di bus, akhirnya Nanda sampai di halte bus dekat rumahnya. Ia turun dari bus dengan langkah gontai, tetapi tidak lupa mengucapkan terima kasih dan senyum ramah kepada sopir bus karena dia adalah penumpang terakhirnya. Dalam perjalanan, Nanda merasa sangat lelah. Ia bingung, harus bekerja dimana lagi untuk memenuhi tabungannya. Nanda ingin meneruskan ke perguruan tinggi, kuliah. Mencapai cita-citanya yang walaupun saat ini dia belum tahu ingin jadi apa. Nanda membuka pintu rumah dengan pelan, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ia harus mandi dan mengerjakan tugas. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika rumah yang tadinya gelap gulita tiba-tiba menjadi terang. Orang tuanya berdiri memerhatikannya. “darimana aja kamu?” suara bariton Edgar, ayah nanda terdengar. Edgar memerhatikan Nanda dengan menghisap rokoknya. Rambutnya yang kacau, dan wajahnya yang lelah menandakan jika ia baru pulang dari pekerjaannya. Tapi entah kenapa, menurut Nanda ayahnya lebihi berbeda hari ini. “belajar yah.” Nanda menjawab dengan masih menundukan kepalanya. Enggan menatap mata kedua ayah ibunya yang sedang memperhatikannya. “belajar dimana jam segini baru pulang?” tanya Sarah, ibu Nanda yang sedang melakukan hal yang sama dengan Ayahnya. Dengan hanya memakai tanktop tipis, ia menghisap rokok, di depannya terdapat beberapa puntung rokok yang berserakan. Yang berarti keduanya sudah dalam keadaan kacau hari ini, dan sudah menghabiskan beberapa batang rokok. “belajar mah, di rumah temen. Tadi ada tugas.” Jawab Nanda berbohong, guna cepat menyelesaikan interogasi ini. Ayahnya dengan perlahan mendekatinya, puntung rokok yang sedari tadi ia hisap dibuang. Tergambar jelas guratan tegas wajahnya, rambutnya yang hampir memutih tidak bisa menghalangi pesonanya. Sementara ibunya, hanya memerhatikan mereka dari jauh dengan tetap menghisap puntung rokok. Ayah dan ibunya adalah sepasang suami istri yang terlihat serasi. Edgar, ayah Nanda yang mempunyai visual rupawan berhasil menikahi gadis pujaan kotanya, Sarah yang sekarang menjadi ibu Nanda. Mereka dulu adalah keluarga yang bahagia, hingga suatu hari ada masalah ekonomi dan lainnya yang membuat mereka saling bertengkar. Ayahnya yang sangat tampan, mrmanfaatkan wajahnya untuk mendapatkan relasi perusahaan besar dengan mendekati wanita kaya raya yang sudah berumur. Sedangkan ibunya, yang hanya bekerja kantoran merasa tidak puas dengan gajinya yang hanya beberapa digit memilih mendekati pria yang umurnya hampir menyentuh 60-70 tahunan untuk diperas hartanya. Dengan kesibukan mereka masing-masing, mereka hanya ingat mempunyai satu anak. Kelahiran Nanda adalah satu hal yang tidak pernah mereka duga. Cinta yang mereka miliki, sudah habis pada saat itu membuat mereka hanya bertemu satu sama lain dengan melampiaskan emosi. Akan tetapi, pada suatu hari mereka mendapatkan masalah masing-masing, memilih untuk minum-minuman dengan kadar alkohol tinggi. Edgar dan Sarah yang dalam keadaan sama sama tidak sadar, melakukan hubungan badan. Karena malam itu, hubungan mereka memburuk. Hingga saat mereka ingin berpisah, Sarah mendapati dirinya telah mengandung anak kedua. Edgar yang tahu jika anak yang dikandung sarah adalah hasil hubungannya beberapa minggu lalu semakin frustasi. Tetapi ia juga tidak tega untuk membunuh anak itu. Akhirnya mereka memilih mempertahankannya dan membesarkanannya, tanpa kasih sayang. Bagi mereka bedua, Nanda adalah penyebab segala hal. Dan bagi Nanda, mereka adalah lukanya. Saat ayahnya berdiri di hadapannya, Nanda semakin bergetar. Trauma akan masa kecilnya kembali menghampiri, getaran tangannya semakin terasa ketika ayahnya sudah berdiri di hadapannya. “kamu darimana?” suara berat itu kembali bertanya sekali lagi, kali ini dengan pandangan mata ayahnya yang semakin menajam. “d-dari kerja kelompok y-yah.” Suara Nanda semakin mengecil. “bawa kesini tas kamu.” Edgar meminta tas Nanda, Nanda yang tadi mendapatkan gaji terakhirnya lupa untuk menyimpannya di bank. Amplop yang berisi gaji terakhirnya itu masih ada di tas. Nanda semakin panik ketika ayahnya sudah mulai mengulurkan tangannya. “a-aku mau belajar lagi yah.” Nanda mencoba mencari alasan, agar tasnya tidak diambil oleh ayahnya. “belajar bisa nanti.” “y-yah, tugasku masih banyak.” Perkataan Nanda tidak didengarkan, dengan paksa Edgar menarik tas Nanda. Nanda yang panik, semakin menarik tasnya untuk kembali kepelukannya. Sarah hanya memperhatikan mereka berdua, dengan mengangkat salah satu alisnya dan menghisap rokoknya. ‘BRAKK’ Nanda tidak sengaja menabrak kursi yang berada di sampingnya, ketika ia mencoba mempertahankan tasnya. Tubuhnya yang membentur ujung kursi yang tajam membuatnya mengaduh. Nanda yang jatuh bukannya membuat ayahnya simpati, tapi membuat ayahnya mengambil kesempatan itu untuk mengambil tas Nanda. Tasnya yang berat telah diambil ayahnya, dan Edgar membuka lalu membalikan tas itu sehingga isi dari tasnya jatuh berantakan. Mulai dari buku tulis, buku paket, pakaian ganti, alat tulis, kotak pensil, dan yang terakhir amplop coklat. Amplop coklat itu menarik perhatian Sarah yang sedari tadi hanya memperhatikan pertengkaran suami dan anaknya itu. Dengan cepat ia mengambil amplop itu dan membukanya. Perlahan matanya membelalak karena melihat isi di dalamnya. Ada puluhan uang merah yang berada di dalamnya. “dapat uang darimana kamu?” Sarah mulai bertanya kepada Nanda. Nanda yang ditanya hanya diam, ia tidak ingin orangtuanya tau tentang pekerjaan part-timenya yang ia lakukan sesudah sekolah. “oi, kalo orang tua tanya tuh dijawab.” Edgar mulai kesal, karena Nanda hanya diam. ‘halahh, masalah duit doang langsung ngaku orang tua.’ Nanda yang sedari tadi diam, kini mulai membatin kesal. “dapat uang segini banyak darimana kamu Nan?” Sarah mulai bertanya, raut wajahnya semakin tegas. ia bahkan menggertakan giginya, karena menahan kesal. “uang temen.” Nanda menjawab asal. “uang temen kamu segini banyak?” Edgar memandang tidak percaya dengan anaknya. Sarah semakin kesal ketika raut muka anaknya yang sedang berbohong semakin jelas. Ia bertanya dengan nada keras. “KALO DITANYA TU JAWAB!” Sarah mulai berteriak. Nanda yang tetap diam semakin menyulut emosinya. “UANG SEGINI BANYAK KAMU DAPET DARIMANA?” Sarah menarik rambut Nanda keras, kullit kepala nanda mati rasa. “PUNYA MULUT TU DIPAKE!” kini ayahnya yang gantian meneriakinya. Nanda tetap diam dan membisu, tidak ada tanda tanda ia akan menjawab pertanyaan dari kedua orang tuanya. “DAPAT SEGINI DARIMANA KAMU? PULANG MALEM DAPET UANG JUTAAN!” Nanda tetap diam sambil menahan rasa sakit yang ada di kepalanya dan pinggangnya yang tadi membentur ujung kursi. Semua tubuhnya kini terasa sakit. “Kamu ga jual diri kan?!” bentak sarah yang masih menarik rambut Nanda, tarikannya semakin kuat. Nanda yang dituduh tetap diam membisu, enggan mengeluarkan satu kata pun. “DIEM BERARTI KAMU NGAKU!” kini suara Edgar yang terdengar. Nanda yang sedari tadi diam, kini mulai emosi. Tarikan rambutnya semakin kuat, badannya sangat sakit, pikirannya sangat lelah, dan ketika pulang ia harus dimaki dan dituduh jual diri oleh orang tuanya sendiri. Yang sekarang ia butuhkan hanyalah ketenangan. “mamah tanya sekali lagi Nanda, kamu dapet uang segini banyak darimana?” Karina, kakak Nanda yang sedari tadi diam di kamar akhirnya keluar setelah cukup muak mendengar keributan. “palingan dia jual diri, ngelayanin om-om berapa lo?” perkataan karina mulai meledakkan emosi Nanda. “GUE NGGA KAYA LO!” teriakan Nanda akhirnya keluar, ia sangat emosi kali ini. Dia merasa sangat dipandang rendah oleh keluarganya sendiri. Sedangkan mereka yang melakukannya, tidak bercermin. Kakaknya selalu menempel kepada om-om kaya yang mendekatinya, dia mendapat berbagai barang mewah dan saldo yang melimpah. PLAKK Suara tamparan terdengar setelah beberapa detik Nanda berteriak. Ayahnya, Edgar menampar pipi Nanda dengan sangat keras. Pipinya mulai memerah, dan mulai muncul bekas tamparan ayahnya. ‘bagus banget hari ini’ Nanda tersenyum miring, rambutnya yang berantakan bercampur keringat, pipinya yang ditampar, dan sekarang sudut bibirnya mengeluarkan darah hasil tamparan keras ayahnya sendiri. “HARGAIN KAKAK KAMU!” Edgar yang merasa tak bersalah, membentak Nanda dengan keras. “hargain? Harusnya aku yang bilang gitu ke kalian semua.” Nanda bergumam. “apa mamah pernah ngajarin kamu buat bentak kakak kamu?” Sarah kembali bertanya. “sekarang aku yang harus tanya, apa mamah pernah ngajarin aku satu hal?” Tanyanya membuat Sarah terdiam. Nanda semakin muak dengan segala hal, ia sangat lelah. Dengan cepat ia membereskan barang-barang yang tercecer di lantai dan dimasukan kembali ke dalam tasnya, dan mengambil uang dari tangan Sarah yang masih terdiam. “MAU KEMANA KAMU?” Edgar bertanya kepada Nanda. “keluar.” Nanda menjawab pertanyaan itu dengan sangat singkat. Sudut bibirnya sangat perih, darah yang masuk ke mulutnya terasa asin. “saya belum selesai ngomong sama kamu!” “Mau nyari g***n ya lo? Jam segini mau keluar lagi.” “gue keluar malem pun gabakal nyari, emang lo? Siang bolong check in hottel ama om-om tua bangka.” Satu kalimat yang panjang keluar dari mulut Nanda. Karin yang tidak diterima, mulai melangkah maju ke arah Nanda. Ia berniat menampar Nanda, Nanda yang tahu segera menepisnya. “APA?” Nanda menatap kakaknya dengan nyalang. “LO!” “fakta kan?” senyum miringnya kembali muncul.                                PLAKK Nanda yang bisa menghentikan tamparan kakaknya, tidak bisa menghentikan tamparan dari Sarah. Nanda menatap tidak percaya apa yang ia alami, tamparan sarah mengenai sudut bibir Nanda yang semakin membuat luka itu melebar. Darah kembali keluar dari sudut bibirnya. Nanda hanya menatap tidak percaya kepada Sarah, dan menghentakkan tangan Karin.  Lalu berlalu meninggalkan rumahnya sendiri di jam yang sudah malam. Nanda melangkah gontai, ia menelusuri trotoar di malam hari seorang diri. Udara dingin kini tampak tidak memengaruhinya. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai, guna menutupi lukanya. Nanda mengeluarkan hpnya, memeriksa beberapa notifikasi yang telah masuk hari ini. Matanya tertuju pada nama ‘David’, ia ingin menemuinya. Setidaknya, ia ingin menemukan tempat istirahatnya. Menemukan tempat dimana ia bisa bercerita segalanya.                                                                                                                                                To David                                                                                                                                Dav, kamu dimana?                                                 Aku boleh minta tolong? Aku pengen ketemu, mau cerita sedikit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN