Nanda sampai di depan rumahnya, ia berjalan dengan diam-diam takut membangunkan seisi rumahnya. Ia membuka pintu dengan perlahan dan mengendap-ngendap di rumahnya sendiri. Dengan berbagai perjuangan yang macam maling, ia akhirnya bisa sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu lalu menutupnya dengan segera, dengan pelan-pelan. Matanya sangat berbinar setelah memandangi ranjang yang ada di depannya. Ia merebahkan diri sebentar, untuk merilekskan punggung dan kakinya yang sudah seharian bekerja keras.
Karena Nanda merasa badannya berkeringat, ia segera menuju kamar mandi dengan tak lupa membawa pakaian ganti yang ia ambil sebelumnya dari lemari. Nanda menghabiskan waktunya di kamar mandi cukup lama, ia mandi dengan air hangat. Untuk merilekskan semua anggota tubuhnya, ia membutuhkan itu. Setelah beberapa menit, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dengan sudah memakai baju ganti. Nanda hanya memakai baju oversized dan hot pants yang tidak mampu menutupi setengah pahanya. Nanda dengan pakaian itu seperti hanya memakai atasan saja, tapi ia tidak peduli toh di kamar ini hanya ada ia seorang diri. Hanya di kamar, Nanda bebas melakukan apa saja.
Dengan Handuk yang menyelimuti rambutnya yang masih basah, guna mengeringkannya perlahan, ia menuju meja belajar. Pandangannya tertuju ke laptop yang masih menutup itu. Nanda menghela napas, bagaimanapun ia harus mencari sumber pundi-pundi rupiahnya dengan menyetorkan beberapa bab. Akhirnya Nanda membuka laptop tersebut dan jarinyapun mulai sibuk mengetik. Ketika merasa pegal dan ingin menggerakan pinggangnya sedikit, Nanda merasa kesakitan. Ia baru ingat, jika pinggangnya sempat terluka tadi. Lalu Nanda bangkit dari kursi, lalu menuju tas yang ia bawa tadi dan membukanya. Tangannya mengeluarkan satu plastik yang berisi perlengkapan obat-obatan yang dibelikan oleh laki-laki yang tidak sengaja ia temui, bisa disebut Regan karena ia sudah mengetahui namanya.
Ia mulai mengambil obat dan salep untuk dioleskan ke pinggangnya yang terasa sakit, lalu setelah selesai ia memandangi perlengkapan obat itu.
‘gue ga ngomong apa-apa tapi dia udah tau apa yang gue butuhin.’ Nanda memuji tindakan Regan. Lalu ia mengeluarkan perlengkapan obat dari plastik itu dan memindahkannya ke suatu box yang tidak ia gunakan dan ia tempatkan di laci lemarinya. Berjaga-jaga jika ia terjadi hal-hal yang tidak terduga lagi. Setelah merapikannya, Nanda kembali ke tempat duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Setelah selesai, ia segera menutup laptop dan merapihkan buku tugas yang berantakan di meja belajar. Lalu menuju ke ranjang tempat tidur, Nanda merebahkan tubuhnya menatap langit langit kamar yang mulai usang dimakan waktu. Kantuk semakin menghinggapinya, tapi Nanda memilih untuk menegecek handphonenya. Terlihat di sana ada notifikasi dari David yang mengabari jika ia baru pulang. Nanda sekarang terkesan sudah tidak peduli lagi. Tidak ada waktu untuk menangis, dia sudah lelah. Lalu ia menaruh handphonenya di samping tempat tidur dan mulai menarik selimutnya sampai ke batas leher, lalu memejamkan kedua matanya. Nanda perlahan sudah memasuki alam bawah sadarnya.
*****
Sementara itu, Regan masih tetap duduk di tempatnya di gedung kosong tadi ia bersama Nanda. Ia masih rebahan di sofa rusak itu, matanya menatap langit malam.
“indah, tapi gatau kenapa sekarang jadi lebih indah.”
Ucapnya bermonolog sendiri sambil tersenyum, badannya yang sedari tadi belum mandi terasa lengket. Lalu ia bangkit dari sofa tersebut dan mengambil kunci motornya, matanya mencari-cari benda yang terasa hilang.
“loh jaket gue mana?” ucapnya sambil mengelilingi atap tersebut, setelah lama mengobrak-abrik ia baru sadar jika jaket favoritnya sudah ia berikan kepada Nanda, Gadis yang baru ia kenal tadi.
“oya, jaket gue kan ada di dia ya. Yaudahlah gapapa, ntar beli lagi.”
Regan mulai melangkah dan menuruni anak tangga lalu keluar dari gedung kosong tersebut. Matanya melirik keadaan sekitar yang sangat sepi, wajar jam sudah menunjukan pukul 12 malam lewat beberapa menit. Regan mengeluarkan kunci dari tasnya, dan mulai menaiki kendaraan besarnya. Ia memakai helm fullfacenya terlebih dahulu sebelum mulai memutar gas motornya.
Regan mengendarai motor dengan kecepatan sedang, karena ia tidak membawa jaket dan angin malam yang kebetulan sekarang sedang sejuk sejuknya. Setelah beberapa menit ia sampai di rumahnya, membuka gerbang rumah besarnya terlebih dahulu lalu memasukan motornya dan menutup pintu gerbang lagi. Regan kembali menaiki motonya untuk menuju garasi. Rumah besarnya ini terasa sepi, ia tinggal sendiri. Jadi seberapa malampun ia pulang tidak akan ada orang yang menunggunya atau mengomelinya. Setelah Regan memasukkan motornya ke garasi, ia mulai menaiki tangga yang terhubung ke rumahnya. Suasana terasa sangat sunyi, ia lalu menaruh kuncinya di laci paling bawah. Regan segera menuju kamar mandi, untuk membersihkan badannya yang sudah terasa sangat lengket. Wangi harum parfum seseorang masih menempel di kaosnya, wangi perempuan itu atau yang sudah bisa Regan sebut Nanda. Wanginya bukan termasuk aroma menyengat, harum yang tidak ketara tapi tetap saja harum. Sudut bibir Regan tertariik sedikit, membuat senyuman tipis yang tidak ketara.
Lalu ia mulai memasukkan pakaiannya ke dalam mesin cuci, walaupun wangi Regan juga masih waras. Ia bukan tipe orang aneh yang menciumi wangi pakaian seseorang. Lagian walaupun kaosnya wangi, tetapi keringat yang menempel disana tentu tidak bisa Regan abaikan. Ia lalu menuju kamar mandi dan mulai membersihkan badannya. Setelah beberapa menit, ia keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan kolor hitam tanpa atasan. Tubuhnya yang sudah berotot, terekspos bebas. Dengan tinggi 175 ketas dan d**a bidang, Regan dengan mudah membentuk ototnya. Regan sudah terbiasa berjalan tanpa atasan di rumahnya, toh dia hanya tinggal sendiri.
Ia melangkah menuju tempat tidurnya yang luas, merebahkan dirinya di kasur empuk tersebut. Matanya menatap langit-langit atas kamarnya, ia tidak memikirkan apapun. Regan hanya memberikan pandangan kosong. Bukankah itu wajar jika menatap langit kamar dengan tatapan kosong dan pikiran kosong? Regan hanya mau melakukan tindakan sederhana itu. Tindakannya akan berlanjut sampai beberapa menit kemudian jika ia tidak menerima notifikasi dari whatsaapnya. Itu Alfan, yang bertanya tentang bagaimana tugas Regan. Ia langsung terlonjak kaget, Regan lupa. Ia harus mengerjakan tugasnya, karena deadline akan dikumpulkan besok pagi atau lebih tepatnya Nanti pagi karena sekarang jam sudah menunjukan pukul setengah 1 dini hari.
Regan dengan cepat membuka laptopnya, mengeluarkan buku-bukunya dan lain-lain yang dapat membantunya mengerjakan tugas. Kalo dipikir-pikir jika mahasiswa tidak ada tugas dalam satu hari itu seperti aneh. Pantas saja, daritadi Regan rebahan perasaaanya ga enak. Untung aja dia membuka notifikasi w******p. Regan harus bersyukur karena Alfan menghubunginya terlebih dahulu.
Regan mengerjakan tugasnya dengan serius dan riweh karena Regan, walaupun slengekan juga kalo tugas gapernah telat ngumpulin, apalagi absen. Maka untuk pertama kalinya, dia sangat riweh. Akhirnya setelah 3 jam mengerjakan, ia dapat menyelesaikan tugasnya.
Regan meregangkan punggungnya dan bunyi ‘kretek’ pun terdengar karena ia daritadi sangat tegang dan pegal. Lalu ia segera merebahkan diri di kasur king sizenya. Badannya sangat pegal, untungnya kelasnya hari ini hanya ada kelas siang. Ia memilih untuk tidur, karena jam sudah menunjukan pukul setengah 4. Regan tidur dengan memeluk guling kesayangan yang berada di sampingnya.
****
Nanda hari ini bangun pagi sekali, ia ingin menghindari orangtuanya dan kakaknya. tidak ingin membuat keributan dan masalah baru. Ia membuat sarapan dan bekal simple untuk dirinya sendiri, lalu meminum s**u yang tadi telah ia siapkan. Setelah selesai, ia mencuci piring dan gelasnya sendiri. Lalu Nanda mengambil tas dan handphone yang berada di kamar, menuruni anak tangga dan berjalan melangkah menuju pintu. Ia sempat berhenti untuk menalikan sepatunya. Ia memastikan tali sepatunya kali ini terikat dengan benar.
Penampilan Nanda hari ini termasuk rapih dan tidak rapih. Rapih karena ia menggunakan seragam yang telahh ia setrika, dan tidak rapih karena rambutnya yang ia ikat asal dan dasi yang belum tertata. Tidak lupa, Plester luka yang menempel di sudut bibirnya menambah kesan tidak rapihnya. Nanda terlihat seperti perempuan pentolan geng sekolah yang hobi tawuran kali ini. Tapi Nanda tidak terlalu memdulikan itu dan memilih melangkah keluar dari rumahnya. Nanda menikmati udara segar dipagi hari ini, dengan earphone yang telah terpasang di kedua telinganya. Ia berjalan dengan perlahan sambil menikmati lagu dari band kesukaannya.
Setelah beberapa saat, ia tiba di pemberhentian bus atau halte. Ia mneunggu beberapa saat, menunggu bus yang akan di tumpangi menuju ke sekolah tiba. Ia menggooyang-goyangkan kakinya, dan memperbaiki ikatan rambutnya yang kurang kencang, akhirnya bus yang ditunggu Nanda telah tiba. Nanda segera menaiki bus itu, dan duduk di dekat jendela tempat favoritnya. Ia melihat jalanan yang terlihat sepi pagi ini, rumah-rumah , orang-orang yang berolahraga pagi ini dengan membawa hewan peliharaannya yang lucu seperti anjing dan kucing. Raut wajah kakek dan nenek yang sudah menemui usia senja juga menarik perhatiannya, mereka berjalan dengan membawa satu anjing berukuran sedang yang lucu dengan bergandengan tangan satu sama lain. Raut wajah bahagia mereka tidak bisa di sembunyikan.
‘andai semua orang mempunyai kisah cinta macam itu’ Nanda membatin dalam diam.
Lalu ia memundurkan punggungnya, bersandar pada kursi yang ia duduki. Nanda menghirup udara segar pelan-pelan. Hari ini ada pelajaran olahraga, nanda sangat malas kali ini. Pinggangnya belum sepenuhnya sembuh, ia malas bergerak.
Setelah beberapa saat bus tiba di pemberhentian dekat sekolahnya, Nanda lalu turun. Ia berjalan perlahan menuju gerbang sekolah, sekolah masih tampak sepi pada jam ini. Dengan sopan ia menyapa pak satpam yang sedang bekerja.
“dekk, ga sprint lagi?” tanya satpam itu ramah, ia saksi perjuangan Nanda agar tidak telat walaupun terjatuh.
“hehe, engga pak. Cape.” Nanda membalas dengan ramah, dengan senyuman yang nampak di wajahnya.
“tak kira kamu suka olahraga pagi.” Balas pak satpam itu dengan logat jawanya.
“kepaksa pak itu.” Nanda agak mengaduh, karena ia dikira suka olahraga. Nanda sangat malas bergerak, jika ia tidak berkerja paruh waktu pun ia akan memilih menghabiskan waktunya sendirian di kamar seharian.
“saya ke kelas duluan ya pakk.” Ucap nanda sopan. Yang dibalas pak satpam dengan ucapan agar ia hati-hati di tangga, karena takut terjatuh lagi.
Nanda menaiki anak tangga dengan perlahan, berhati-hati sesuai apa yang diamanatkan pak satpam tadi dan dia juga mager sih pagi ini. Setelah sampai di kelas, nanda menuju ke bangkunya sendiri. Dan menaruh tas di atas meja dan tidur di atas tas tersebut. Tasnya lumayan empuk karena ada pakaian olahraganya hari ini. Nanda mengambil waktu kosong ini untuk tidur, selagi menunggu teman-temannya memasuki kelas dan bel jam pelajaran dimulai.
Setelah beberapa menit, kelas mulai ramai. Siswa siswi mulai memasuki sekolah karena jam sudah menunjukan pukul 7 kurang, kelasnya pun ikut ramai. Satu persatu teman teman kelasnya mulai masuk, begitupun sahabatnya. Vina dan Jevan mulai memasuki kelas. Mereka berdua bertemu di gerbang sekolah lalu menuju kelas bersamaan. Saat memasuki kelas, mereka sudah disuguhkan pemandangan Nanda yang sudah tertidur, dengan tasnya sebagai bantal. Mereka hanya menggelengkan kepala dan menuju ke bangkunya masing-masing. Vani menuju bangku di samping Nanda, dan Jevan menuju bangku yang berada di belakang Nanda. Mereka tidak membangunkan Nanda sampai bel jam pelajaran berbunyi.
TRINGGG
Bel berbunyi, pertanda jam pelajaran akan dimulai dan para guru akan memasuki kelas masing-masing. Vina mulai membangunkan Nanda, dengan menggoyangkan tubuh Nanda,
“Nan, bangun nan. Udah bel tuh.” Vina mulai menggoyang-nggoyangkan tubuh Nanda. Dan Jevanpun turut serta membangunkan Nanda dengan menusuk punggung perempuan itu dengan bolpen yang memakai sisi tumpulnya.
“Nan, woi. Bangun elah, abis ini mulai. Ntar Pak sub masuk kelas lo dimarahin.”
Karena Nanda tak segera bangun, dan mereka takut jika Nanda akan dimarahi Pak sub guru seni budayanya pada jam pertama ini akhirnya mereka memilih untuk segera menggoyang nggoyangkan tubuh Nanda dengan sangat keras, mereka seperti membuat simulasi penanganan gempa.
Nanda yang mulai merasakan goyangan di badannya dan merasa pusing akhirnya membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
“APA SIHH” Nanda bangun dari tidurnya dan sebal.
“udah bel nan, kalo lo ga dibangunin ntar dimarah- ASTAGA BIBIR LO KENAPA?” vina yang tadinya ingin mengomel balik terkejut dengan plester yang berada di sudut bibir Nanda. Jevan yang mendengar itu, dengan cepat menarik tangan Nanda untuk menghadapnya. Nanda yang baru tidur, dan masih mengumpulkan nyawa ditarik seperti itu sangat gampang, tetapi ia sangat pusing.
“Nan, lo kenapaa?” Jevan bertanya dengan serius, ekperesi wajahnya terlihat khawatir.
“gapapa, jatuh doang kemarin.” Nanda menjawab dengan seadanya.
“mana ada jatuh luka dibibir gini, lo kenapa?” Vina bertanya dengan serius, ia juga khawatir kepada Nanda karena temannya ini sangat susah untuk membuka diri untuk bercerita kepadanya tentang kesulitannnya.
“lo diginiin siapa?” Jevan bertanya serius, Nanda yang melihat ekpresi wajah sahabatnya jengah. Sejujurnya ia sangat tidak enak, dari rumah ia sudah tahu jika akan begini nantinya. Akan ditanyai macam-macam. Maka dari itu, pipinya yang agak lebam ia tutupi dengan bedak agar samar, dan luka yang berada di sudut bibirnya ia tutupi dengan plester luka.
“gausah lebay gitu, gue emang beneran jatuh doang ko. Ga sengaja, nyungsep. Jadinya gini.” Nanda mencari alasan, berharap agar temannya percaya.
“ boong ya lo, lo pasti bo-“ ucapan vina terpotong karena ada salam dari Pak sub, guru seni budayanya telah memasuki kelas. Tangan vina ditarik oleh Jevan, jevan bermaksud untuk menghentikan Vina yang sedang ingin menghujani Nanda dengan pertanyaan- pertanyaannya. Jevan tau jika Nanda sedang berbohong, dan jevan tahu jika Nanda sedang tidak ingin menjawab semua pertanyaan itu.
Maka dari itu, ia menghentikan perbuatan Vina agar tidak menimbulkan masalah nantinya. Dan Nanda bersyukur karena Jevan mau mengerti dan mau menghentikan tindakan Vina karena kekepoannya tersebut.