bc

Awas Disini Ada Paijo!!

book_age16+
0
IKUTI
1K
BACA
comedy
like
intro-logo
Uraian

Menceritakan seorang asisten rumah tangga (Art) bernama Paijo yang bekerja di rumah keluarga pak Afgan dan hampir setiap hari membuat kesal keluarga pak Afgan, Paijo sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga pak Afgan seperti abdi dalem yang lainnya.

Serta pak Afgan yang takut pada mertuanya dan juga istri. Pak Afgan sendiri bekerja sebagai dokter. Pak Afgan mempunyai istri yang bernama Titah, dan juga mempunyai anak pak Afgan tiga orang anak dan salah satunya kembar, yang bernama Kamil, Citra, dan Afgan Junior.

chap-preview
Pratinjau gratis
Demo Cerai
Pagi itu, seperti biasa, aku, Paijo, menyiapkan sarapan untuk keluarga Pak Afgan. Pak Afgan, seorang dokter, istrinya Bu Titah, dan dua anak kembar mereka, Citra dan Kamil, adalah keluarga yang kuberikan pelayanan sebagai asisten rumah tangga. Sambil menggoreng telur untuk melengkapi nasi goreng, kudengar suara ribut-ribut dari ruang TV. Aku penasaran. "Tinggal telur ini yang digoreng, dan taraa... nasi goreng telur mata sapi siap!" gumamku, menyelesaikan pekerjaanku. "Sarapan sudah siap. Penampilan baru, rambut baru, cerita baru dengan tokoh-tokoh baru dan lama. Sekarang tinggal memanggil Pak Afgan, Bu Titah, Citra, dan Kamil." Dari ruang TV, suara Bu Titah terdengar nyaring. "Tidak!" Pak Afgan terdengar memohon, "Sayang, bolehlah..." "Tidak, sudah kubilang tidak! Papi ini susah sekali diajak bicara!" Titah terdengar kesal. "Sayang, izinkan aku menikah lagi. Kalau tidak, kau dicoret dari daftar warisan, bagaimana?" Pak Afgan mengancam, suaranya terdengar sedikit panik. "Biar saja! Aku tidak peduli dengan warisanmu! Pokoknya aku tidak mengizinkan!" Titah tetap menolak dengan tegas. "Sayang, kumohon... izinkan aku..." Pak Afgan masih memohon. "Tidak!!!" Titah membentak. "Ada apa ini? Ribut sekali. Aku nggak ngerti, dan jujur, aku juga nggak hafal dialognya," gumam Paijo, penasaran dengan suara ribut-ribut dari ruang TV. Ia melangkah mendekat, mengintip dari balik pintu. "Sayang..." Pak Afgan memanggil lirih, suaranya terdengar sedikit putus asa. "Papi! Sudah kubilang tidak, ya berarti tidak! Kenapa masih ngotot sih?" Bu Titah membentak, suaranya tajam. Paijo memberanikan diri masuk, "Pak, Bu... sarapan sudah siap." Pak Afgan menghela napas, "Jo, nanti saja. Aku dan istriku ada urusan dulu. Tolong panggil Citra dan Kamil ke ruang makan, ya." "Baik, Pak," jawab Paijo, sedikit ragu. Ia mundur perlahan, meninggalkan pasangan yang sedang bertengkar. "Sayang, tunggu! Aku belum selesai bicara!" Pak Afgan mencegah istrinya yang hendak pergi. ---- "Aku tidak peduli padamu!" Titah membentak, suaranya penuh amarah. Paijo menghela napas panjang. "Nggak nyangka, keluarga yang dulu harmonis, damai, dan bahagia... hancur begitu saja. Semua gara-gara Pak Afgan minta izin untuk menikah lagi. Berat, ya... berat sekali." Titah menatap Afgan tajam. "Aku tidak akan pernah mengizinkanmu menikah lagi! Apalagi dengan perempuan yang lebih muda dariku! Titik!" Afgan mencoba merayu, "Sayang, ini bukan soal umur, ini soal cintaku..." Tiba-tiba ponsel Titah berdering. Titah mengerutkan dahi. "Ini siapa sih? Aduh... Kanjeng Romo! Haduh, Pak!" Afgan menyambar ponsel tersebut. "Biar aku saja yang angkat." Titah menggeleng. "Nggak, biar aku. Kalau kamu yang angkat, terus dia nanya aku, kamu mau jawab apa?" Titah menyeringai. "Gampang, bilang saja aku sudah pergi dari rumah karena kamu mau menikah lagi. Masalah kecil, kok repot-repot." Afgan mengangguk pasrah. "Iya juga ya..." Titah melemparkan ponselnya pada Afgan. "Nih, ambil!" Afgan menerimanya. "Iya, Sayang." ** [Afgan: Assalamu'alaikum, Kanjeng Romo.] [Kanjeng Romo: Wa'alaikumussalam... Eh, Afgan? Kok kamu yang angkat teleponnya? Titah, anakku yang cantik, mana?] [Afgan: terbata-bata Begini, Romo... Istri saya, Titah, dia... katanya dia pergi. Ngambek katanya, gara-gara mendengar kabar Romo mau menikah lagi.] [Kanjeng Romo: Haiyaaa... Jangan bohong! Siapa yang ada di sebelahmu itu? Itu Titah, kan? Anakku, Titah Kesumawardani?] [Afgan: gugup I... iya, Romo...] [Kanjeng Romo: Afgan, jujurlah padaku! Apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan semuanya!] [Afgan: Begini, Romo... sebenarnya... (Afgan menceritakan semuanya kepada Kanjeng Romo, mulai dari pertengkaran dengan Titah hingga rencana pernikahannya yang membuat Titah marah besar dan pergi dari rumah)] [Kanjeng Romo: (Setelah mendengarkan penjelasan Afgan) Ooo... begitu ceritanya. Baiklah, Afgan. Aku akan mencoba menghubungi Titah. Tapi, kau harus jujur dan terbuka dengannya. Jangan sampai masalah ini semakin membesar.] [Afgan: Terima kasih, Romo. Saya akan berusaha.] [Kanjeng Romo: Semoga masalah ini cepat selesai. Sampaikan salamku pada Titah, ya.] [Afgan: Insya Allah, Romo. Terima kasih atas nasihatnya.] ** "Sayang," Afgan memanggil lirih. "Apa?" Titah menjawab ketus. "Kanjeng Romo sudah tahu kamu di sini. Dia mau bicara sama kamu." Titah mengambil ponselnya. "Beri aku ponselku. Aku akan bicara dengannya." Afgan memberikan ponsel tersebut. ** [Titah: Assalamu'alaikum, Kanjeng Romo.] [Kanjeng Romo: Wa'alaikumussalam, anakku Titah Kesumawardani. Aku sudah tahu kau di sini.] [Titah: (suara tegas) Saya tetap tidak akan mengizinkan Romo menikah lagi! Apalagi dengan perempuan yang lebih muda dari saya!] [Kanjeng Romo: (suara keras dan sedikit memaksa) Aku tidak peduli! Aku tetap akan menikah dan akan datang ke Jakarta untuk meminta restu kalian!] [Titah: (nada tinggi, hampir berteriak) Romo! Romo sudah punya lima cucu! Bagaimana bisa Romo masih mau menikah lagi? Tidak malu, ya?] [Kanjeng Romo: (suara menantang) Justru karena sudah punya lima cucu, aku boleh menikah lagi! Satpam komplek di Pacitan saja punya tiga istri! Kenapa aku tidak boleh punya istri yang lebih muda dan cantik? Pokoknya besok aku ke Jakarta, suka atau tidak suka!] [Titah: Tapi, Romo... (Titah mencoba menjelaskan, tetapi Romo memotong pembicaraannya)] [Kanjeng Romo: Assalamu'alaikum!] (Kanjeng Romo langsung menutup telepon) [Titah: (mengeluarkan napas panjang) Wa'alaikumussalam... (Titah meletakkan ponselnya dengan kasar)] "Romo... halo... halo..." Titah memanggil-manggil, tetapi sudah terlambat. "Kenapa, Sayang?" Afgan bertanya dengan lembut. "Teleponnya dimatikan, Pak," jawab Titah, suaranya terdengar lelah dan putus asa. "Sudahlah, Sayang. Mari kita sarapan," Afgan memeluk Titah. "Kita hadapi ini bersama." "Iya, Pak," Titah mengangguk, masih terlihat sedih. ---- "Mas, Papi sama Mami mana, ya? Biasanya sudah ada di meja makan sebelum kita," tanya Citra, melihat meja makan yang masih kosong. "Nggak tahu. Sabar aja, daripada ganggu, mending baca komik," jawab Kamil, asyik dengan komiknya. Afgan dan Titah masuk, "Assalamu'alaikum..." "Wa'alaikumussalam..." jawab Citra dan Kamil serempak. Titah menatap Afgan tajam, "Ingat, jangan paksa-paksa aku lagi, ya!" Afgan mengangguk, "Iya, Sayang. Yuk, sarapan. Kamil, komiknya simpan dulu. Nanti setelah sarapan, terserah mau baca komik lagi atau main PS di kamar." "Iya, Pi," jawab Kamil. Citra penasaran, "Pi, Mami kenapa, sih?" Titah menyela, "Biar Mami yang jawab." "Jadi gini, Citra, Kamil," Titah memulai penjelasannya, "Besok, Eyang Romo akan datang ke Jakarta." Kamil mengerutkan dahi, "Eyang Romo mau ke sini? Kok Mami kayaknya nggak senang, sih?" "Bukan begitu, Mil," Titah menjelaskan dengan sabar. Citra malah berseru gembira, "Eyang Romo mau ke rumah? Yes!" Titah menghela napas, "Citra, kamu nggak tahu, ya? Eyang Romo datang ke sini bukan untuk hal yang menyenangkan. Dia membawa kabar buruk." Kamil langsung tegang, "Kabar buruk apa, Mi?" Titah menatap anak-anaknya dengan serius, "Eyang Romo mau menikah lagi. Dia mau minta restu sama Mami." Kamil tercengang, "Apa? Eyang Romo mau menikah lagi?!" Citra, yang masih belum mengerti sepenuhnya, malah berseru, "Yes! Kita punya Eyang Putri lagi!" Sambil menyiapkan sarapan, aku berbisik pada Gampang, "Gampang, Pak Afgan mau nikah lagi! Tolong sindir-sindir dia, ya!" Titah menatap Citra tajam, "Citra, kok kamu malah senang Eyang Romo mau nikah lagi? Nggak malu, ya, punya Eyang Putri baru yang lebih muda dari Mami?" Citra berbicara pada bonekanya, "Widih... Eyang Romo hebat, ya, cari Eyang Putri yang lebih muda dari Mami, Ki." Afgan ikut nimbrung, "Loh, Cit, kok kamu malah seneng Eyang Romo nikah lagi? Punya istri baru? Apa kamu juga seneng kalo Papi nikah lagi?" Kamil tiba-tiba tersedak, "Uhuk... uhuk..." Titah langsung berteriak, "Afgan!!! Dasar! Nyembur-nyembur, tapi nggak usah sampai kena muka Mami, dong!" Citra menahan tawa, "Ki, lihat, Mami disemprot Papi!" Afgan buru-buru meminta maaf, "Ya udah, ya udah... Lanjut sarapan, ya, Mi. Maaf, ya." Titah menjawab dengan nada masih kesal, "Sarapan Mami sama Kamil sudah habis. Tinggal kalian berdua yang belum, Papi sama Citra." Afgan pura-pura sedih, "Yah, Papi nggak jadi makan sarapan, deh, Mi." Kamil bertanya heran, "Loh, kenapa, Pi?" Afgan menjawab dengan candaan, "Telurnya belum mateng, Mil." "Oke, Gampang," Paijo berbisik, "Sekian dulu. Jangan lupa sindir-sindir Pak Afgan soal pernikahannya itu." "Siap, Jo!" Gampang mengangguk. "Aku masuk dulu, ya. Takutnya Pak Afgan keluar, terus tahu kita lagi ngomongin dia," bisik Paijo lagi. "Sip, Jo!" Citra memanggil, "Pi, tunggu!" Afgan menoleh, "Iya, Citra? Kenapa?" "Laptopku ketinggalan! Tunggu sebentar, ya, Pi. Aku ambil dulu. Kamu, Ki, kok nggak ngingetin aku, sih? Mas Gampang..." Citra meminta bantuan Gampang. Gampang menjawab patuh, "Iya, Mbak Citra." Citra menitipkan bonekanya, "Aku titip Kiki, ya, Mas. Timang-timang." Gampang menerima Kiki, "Iya, Mbak. Eh, Pak Afgan..." Afgan mengangguk, "Iya, Gampang." Gampang iseng bertanya, "Ngomong-ngomong, telurnya sudah matang belum?" Afgan menjawab, "Belum, masih setengah matang." Gampang menyarankan, "Kalau masih setengah matang, mending jangan dimakan, bahaya." Afgan setuju, "Iya, benar juga. Takut sakit perut." Kamil pamit, "Pi, aku ke mobil dulu, ya." "Iya, Mil," jawab Afgan. Gampang kembali bertanya, "Eh, kita ngomongin apa, ya, Pak?" Afgan menjawab, "Telur bikinan Joya, kan?" Citra mengambil laptopnya, "Lama banget, Ki! Kamu kemarin habis main, lupa ditaruh lagi. Ya udah, Pi, aku ke mobil dulu, ya." "Iya, Cit," Afgan menjawab. Gampang menyindir, "Pak Afgan, lihat, Mbak Citra sudah mulai dewasa. Ini bisa mengganggu kesehatan jiwanya." Afgan langsung mengerti, "Makanya, kita harus buru-buru." Gampang menggoda, "Buru-buru kawin?" Afgan menjelaskan, "Bukan! Maksudku, buru-buru pisahkan Citra dari bonekanya itu." Gampang masih menggoda, "Tapi ini urusan kawin, Pak." Afgan serius, "Gampang, Citra masih kecil. Belum boleh mikirin yang begituan, maksudnya menikah. Pacarnya aja masih boneka." Di dalam mobil Pak Afgan... Kamil mendesak, "Pi, suruh Papi buruan, dong!" Citra menambahkan, "Iya, Pi, ayo berangkat!" Afgan menghela napas, "Tuh, dengar kan? Ayo berangkat, kasihan Kamil sama Citra nanti ditinggal teman-temannya kalau kelamaan. Mereka kan ada tugas kelompok." Gampang langsung menjalankan mobil, "Siap, Pak!" ---- Di ruang tengah, kulihat Bu Titah sedang menelepon seseorang. Setelah selesai, aku menghampirinya dan memberikan dukungan diam-diam. Bu Titah menghela napas panjang, "Rumah jadi sepi, ya. Biasanya ada Citra sama Kamil. Sekarang mereka pergi ngerjain tugas kelompok di rumah temannya. Mumpung lagi santai, aku telepon Eyang Romo aja, deh. Lanjutin pembicaraan tadi." ** [Titah: Assalamu'alaikum, Eyang Romo.] [Kanjeng Romo: Wa'alaikumussalam, anakku.] [Titah: (suara tegas) Langsung saja, ya, Romo. Saya tetap tidak setuju kalau Romo menikah lagi! Titik!] [Kanjeng Romo: (suara keras dan sedikit menantang) Terserah kamu! Aku tetap akan menikah!] [Titah: (nada tinggi, hampir berteriak) Apa?! Awas saja kalau berani menikah lagi! (Titah mengancam dengan nada yang membuat orang lain takut)] ** Paijo menghampiri Bu Titah, "Bu..." Bu Titah menoleh, "Ada apa, Jo?" Paijo menyatakan dukungannya, "Saya juga nggak setuju, Bu." Bu Titah bertanya, "Nggak setuju apa?" Paijo menjelaskan, "Nggak setuju kalau Pak Afgan menikah lagi." Bu Titah mengangguk, "Oh, kamu sudah tahu, ya? Aku sudah bilang, aku nggak setuju. Nanti aku bilang lagi ke dia, kalau dia masih ngotot mau nikah lagi, aku akan pergi dari rumah ini." Paijo khawatir, "Tapi kasihan, Bu, Mas Kamil sama Mbak Citra kalau Bu Titah pergi." Bu Titah terlihat tegar, "Biar saja. Mereka bisa milih mau ikut aku atau ikut Papinya. Ya sudah, Jo, aku ke kamar dulu." Paijo menghela napas, "Ya Allah... Kenapa keluarga ini jadi berantakan gini? Cuma gara-gara Pak Afgan mau nikah lagi... Berat, ya... berat sekali..." Aku menceritakan semuanya pada Asep, tukang roti. Asep lalu menyebarkannya ke ibu-ibu komplek dan Bu RT. Mereka berencana demo Pak Afgan agar membatalkan pernikahannya! Saat itu, Mas Kamil dan Mbak Citra baru pulang sekolah. Aku meninggalkan Asep dan menghampiri mereka, menceritakan rencana pernikahan Pak Afgan. Mas Kamil dan Mbak Citra ikut berencana demo. Betapa terkejutnya aku saat tahu yang mau menikah lagi bukan Pak Afgan, melainkan Eyang Romo, ayah Bu Titah! Semua orang mengejarku karena informasi yang salah. Bu Titah pun menghukumku. Bu Titah baru saja menutup telepon dari ayahnya, suaranya terdengar geram, "Halo, Eyang Romo... Sudah kubilang, aku nggak setuju! Besok nggak ada penjemputan, nggak ada penyambutan! Ancamanku tetap sama: Kalau nekat nikah lagi, aku pergi dari rumah ini! Titik! Hhh... Aku juga ikutan marah!" Pak Afgan mencoba membujuk, "Sayang, izinkan saja, dong." Bu Titah tetap teguh, "Tidak! Aku sudah bilang nggak, ya nggak!" Citra muncul, "Papi, Mami..." Ia melihat raut wajah mereka yang tegang, mengira mereka bertengkar karena Pak Afgan ingin menikah lagi. Pak Afgan menyuruh Citra pergi, "Citra, ngapain kamu di sini? Ini urusan orang dewasa. Pergi sana!" Citra menangis, "Citra sudah tahu semuanya, Pi! Papi jahat!" Bu Titah bertanya khawatir, "Loh, Pi, Citra kenapa?" Pak Afgan tampak menyesal, "Nggak tahu, Mi. Kamu yakin mau menghindar dari Eyang Romo dan pergi dari rumah ini?" Bu Titah mantap, "Iya, Pi. Aku yakin. Ini cuma sementara, kok." Pak Afgan memeluk Bu Titah, "Iya, Mi..." Keesokan harinya... Citra menunjukkan selembar kertas pada Paijo, "Lik Jo, lihat! Ini tulisan untuk demo nanti!" Paijo memeriksa tulisan tersebut, "Bagus, Cit!" Tiba-tiba Bu Titah memanggil, "Jo! Joya!" Paijo panik, "Haduh... gajah makan kawat!" (maksudnya: gawat!) Citra bingung, "Haaa? Maksudnya, Lik?" Paijo menjelaskan, "Gawat, Cit! Bu Titah datang!" Ia buru-buru menyembunyikan Citra. "Sembunyi dulu, ya, di situ!" Bu Titah datang, "Jo! Kamu dipanggil, kok nggak jawab?" Paijo tersentak, "Iya, Bu..." Bu Titah terlihat kesal, "Telat, Jo!" Ia lalu bertanya, "Gampang mana, ya?" Paijo menjawab gugup, "Maaf, Bu. Saya dari tadi di sini, tapi nggak lihat Mas Gampang." Bu Titah menghela napas, "Ya sudah. Aku pergi naik taksi online saja, deh. Oh ya, Jo, jaga Bapak dan anak-anak selama aku nggak ada di rumah, ya." Paijo mengangguk, "Iya, Bu." Asep, yang kebetulan lewat, menambahkan, "Oke." ---- Para warga berdemo di depan rumah Afgan, meneriakkan, "Tolak Afgan menikah lagi!" Afgan mencoba mencegah Titah yang hendak pergi, "Mi, tunggu, Mi!" Titah tetap ngotot, "Sudah, Pi! Jangan ganggu!" Afgan bingung, "Ada apa, sih?" Paijo maju ke depan, "Pak Afgan, kami warga komplek nggak setuju kalau Bapak nikah lagi! Betul, Bu-ibu? Adik-adik?" Para warga serempak menjawab, "Betul!" Afgan menjelaskan dengan tenang, "Tunggu dulu, semuanya! Ada kesalahpahaman. Saya mencintai istri saya dan nggak berniat nikah lagi! Yang mau nikah lagi itu Eyang Romo, ayah istri saya. Dan, Titah sayang, Eyang Romo sudah membatalkan rencana ke Jakarta dan nggak jadi nikah lagi!" Titah tercengang, "Oh, jadi gitu, Pi?" Afgan bertanya, "Siapa yang bilang aku mau nikah lagi?" Asep maju, "Joya, Pak..." Titah langsung marah, "Oh, jadi kamu, Joya, biang keroknya?!" Paijo menghela napas, "Haduh... salah lagi... berat, berat, berat..." Titah berteriak, "Kejar!!!" Semua mengejar Paijo. Beberapa saat kemudian... Afgan menghukum Paijo, "Akhirnya ketangkep juga! Hukumanmu: Mulai besok, kamu ngepel seluruh ruangan di rumah ini pakai pipi, selama sebulan!" Paijo merintih, "Haduh... salah lagi... dihukum lagi... berat, berat, berat..."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.1K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Rise from the Darkness

read
8.5K
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
35.9K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook