Terpesona
Bruk!
"Aww! Aduh, bokongku sakit sekali."
“Kamu —”
Karena sedang terburu-buru, akhirnya Hasna menabrak seseorang yang berjalan tergesa-gesa. Tubuhnya terhuyung mundur dan terjatuh.
Orang yang bertabrakan dengan Hasna menatapnya tanpa berkedip. Dan ternyata dia adalah Arga, CEO A Company. Sementara Hasna masih terduduk dan menahan sakit di bagian belakangnya.
“Apakah kamu adiknya Malika yang dulu merupakan adik kelasku?” Arga bertanya seraya menatap Hasna.
“Maaf, Pak. Saya nggak kenal Malika, dan saya anak tunggal.” Hasna menjawab sambil berusaha bangkit.
Arga ternganga mendengar jawaban Hasna. 'Ah... itu artinya aku salah orang. Mungkin gadis ini hanya mirip dengan Marisa adiknya Malika.'
“Maaf, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.” Hasna berlari menuju ruang ganti baju.
Arga memperhatikan Hasna yang pergi sampai dia menghilang dari pandangannya. Setelah itu Arga buru-buru naik ke atas, dia memasuki lift khusus untuk CEO. Ketika Arga memasuki ruang kerjanya, dia duduk sambil melamun, pikirannya tiba-tiba tertuju pada Hasna.
'Aahhh … kenapa aku tiba-tiba teringat gadis itu? Pasti karena wajahnya mengingatkanku pada Marisa.' Arga membatin.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia tersentak kaget, lalu melihat ke arah pintu.
"Permisi, Pak. Saya ingin mengantarkan kopi untuk Anda." Terdengar suara seorang perempuan dari luar seraya mengetuk pintu.
Arga menatap ke arah pintu. Suara perempuan itu terdengar familiar baginya. "Masuk!"
Pintu terbuka dan masuklah seorang perempuan cantik berseragam office girl. Mata Arga membelalak lebar melihatnya.
"Kamu —"
Office girl tersebut tak lain adalah Hasna. Dia selalu menunduk. Namun, tiba-tiba dia mengangkat kepala, sehingga matanya yang teduh bersirobok dengan mata Arga yang tajam seperti mata elang. Hasna kembali menundukkan wajah. Tiba-tiba dia merasa cemas karena tadi ia telah menabrak tubuh Arga yang ternyata merupakan atasannya.
'Ya Tuhan ... ternyata dia adalah bosku. Dia adalah CEO perusahaan ini. Tapi, selama aku bekerja di sini, aku belum pernah ngeliat dia, ini pertama kali aku ngeliat dan ketemu dia. Aduh ... gimana kalau dia memecatku.' Hasna ketakutan.
"Apakah kamu ke sini mengantarkan kopi untukku? Terus, kenapa kamu masih memegang kopinya?!" Arga bertanya dengan tegas.
Hasna tersentak dan tersadar dari lamunannya. Dia meletakkan secangkir kopi tersebut di atas meja. "M-maaf, Pak. Silakan diminum kopinya."
"Apakah kamu yang membuat kopi ini?"
"Iya, Pak. Saya sendiri yang membuatnya."
Arga mengambil cangkir kopi itu, lalu segera menyesapnya. ‘Hmmm … ternyata racikan kopinya enak dan harum sekali. Aku langsung suka dengan kopi buatannya.'
"Apakah kamu selalu membuatkan kopi untuk karyawan di kantor ini?" Arga menatap Hasna.
“Iya, Pak." Hasna menjawab sambil menunduk.
“Hmm, mulai sekarang kamu nggak boleh lagi buatin kopi untuk para karyawan. Kamu khusus membuat kopi untukku aja!”
“Hah …?”
Arga meletakkan cangkir kopinya, kemudian melangkah menuju ke arah Hasna. "Kamu nggak jelas dengan apa yang aku katakan, hmm?"
Hasna menundukkan kepalanya sambil memegang nampan itu erat-erat. Dia semakin merasa ketakutan mendengar nada bicara sang bos.
"Nona, aku sedang berbicara denganmu!"
Hasna tiba-tiba mendongak, hingga matanya yang teduh kembali bersirobok dengan mata elang sang bos. Arga menatap matanya dengan lekat.
“Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar nggak ngerti apa yang Anda katakan.” Hasna kembali menunduk.
Arga menghela napas, kemudian kembali menjelaskan kepada Hasna apa yang dia maksud. "Maksudku adalah … mulai sekarang kamu khusus membuatkan kopi hanya untukku aja. Kamu nggak boleh membuat kopi untuk orang lain lagi, termasuk karyawan perusahaan ini!"
Hasna sangat terkejut mendengarnya. Dia melebarkan mata. "T-tapi, Pak. Kalau bukan saya yang membuatkan kopi untuk karyawan, lalu siapa lagi yang akan membuatkan kopi untuk mereka? Karna selama saya bekerja di sini, saya yang selalu membuatkan kopi untuk mereka.”
"Di perusahaan ini masih banyak office girl lainnya. Jadi, mereka bisa membuatkan kopi untuk karyawan lainnya."
“T-tapi —”
"Kamu gak mentaati perintahku, hmmm?!"
Arga kembali berjalan semakin mendekati Hasna, sementara Hasna semakin bingung dibuatnya.
“S-saya —”
"Iya? Maksudmu kamu nggak menuruti perintahku, hmmm?"
"Mmm … nggak, Pak. S-saya ... aduh ...."
Hasna bingung dengan kata-katanya sendiri, sementara Arga tersenyum melihat tingkahnya.
"Siapa namamu?"
“Nama saya Hasna, Pak.”
“Hasna, nama yang bagus dan cantik, sama seperti orangnya,” gumam Arga.
"Apakah Bapak mengatakan sesuatu?"
"Ah, nggak. Baiklah, Hasna. Apakah kamu udah jelas dengan apa yang aku katakan tadi?"
“Iya, Pak. Saya udah jelas dan paham.”
"Dan satu hal lagi. Aku ingin mulai sekarang kamu membersihkan ruang kerjaku. Aku nggak mengizinkanmu membersihkan ruangan yang lain selain ruanganku!"
"Hah?!"
Hasna kembali terkejut mendengar perkataan Arga. Namun, dia tidak berani menolak karena Arga adalah bosnya. Arga menahan senyum seraya matanya terus menatap Hasna yang terlihat kebingungan.
“Apakah kamu mengerti?”
“I-iya, Pak. Saya mengerti.”
"Hmm."
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Saya akan melanjutkan pekerjaan saya yang lain."
"Apa? Kamu akan mengerjakan pekerjaanmu yang lain?"
"Iya, Pak."
"Mulai sekarang kamu nggak perlu lagi membuatkan mereka kopi! Kamu cukup membuatkan kopi untukku aja, dan hanya membersihkan ruang kerjaku aja." Arga kembali menegaskan.
"Hah …? A-apa maksud Anda, Pak?"
"Hmm... sepertinya kamu pelupa. Baiklah, aku akan mengingatkanmu lagi. Sekali lagi aku katakan, bahwa mulai sekarang kamu hanya membersihkan ruanganku dan juga membuatkan kopi untukku!"
Hasna menundukkan wajah sambil berpikir keras tentang perintah sang bos. “I-iya, Pak. Maaf karna saya lupa.”
"Nggak apa-apa!"
"Kalau begitu, saya permisi, Pak." Hasna bergegas keluar.
Arga tertegun sambil menatap kepergian Hasna yang menghilang dari pandangan. ‘Ada apa denganku? Mengapa aku sangat menginginkan gadis sederhana itu? Apa karena dia mirip dengan Marisa?'
'Aahh … tapi sepertinya mustahil karena wajahnya hanya sekilas mirip Marisa, dan gadis itu lebih cantik dan seksi.' Arga semakin penasaran pada Hasna.
Sementara Hasna sedang melamun di office pantry. ‘Mas Pasha, kamu di mana, Mas? Aku kangen sama kamu. Apa kamu nggak kangen sama aku?’
Praanggg ….
Arga yang saat itu sedang berjalan menuju pantry langsung berlari menghampirinya. Dia melihat Hasna yang sedang mengambil pecahan beling.
"Aduh ...!"
Arga berlari ke arah Hasna. Ia langsung menghisap jarinya yang terluka akibat terkena pecahan beling. Tanpa merasa jijik sama sekali, Arga terus menghisapnya.
Hasna sangat terkejut. “Pak, apa yang Anda lakukan?”
Arga mengabaikan pertanyaan Hasna. Dia terus saja menghisap jarinya, lalu setelah itu dia mengambil kotak P3K yang tersedia di pantry. Arga mengoleskan betadine pada luka Hasna, kemudian menutupinya dengan hansaplast.
“Sebaiknya kamu istirahat aja kalau lagi sakit.” Arga menatap wajah Hasna yang sembab.
“S-saya baik-baik aja, Pak. Saya nggak sakit.” Hasna menunduk. Dia berusaha menutupi kesedihan yang terpancar di wajahnya.
"Apakah benar kamu baik-baik aja? Kamu ceroboh seperti ini saat bekerja, itu artinya kamu gak baik-baik aja!" Arga semakin dalam menatapnya, karena dia tak yakin jika Hasna sedang baik-baik saja.
“S-saya cuma melamun, Pak. Saya beneran gak apa-apa. Sa ... saya memikirkan tentang —”
Hasna menghentikan ucapannya, dia tersadar dan segera berdiri. Hampir saja dia keceplosan bercerita tentang masalah pribadinya.
"Memikirkan tentang apa?" Arga merasa penasaran.
"Maaf, Pak. Nggak ada apa-apa. Saya gak memikirkan apa pun. Tadi saya ceroboh karna lagi ngelamun."
"Oke. Kalau begitu kamu istirahat aja!" Arga berkata dengan tegas.
Karena tak mau berdebat, akhirnya Hasna menuruti perintah sang bos. Dia beristirahat tanpa mengerjakan apa pun. Sementara Arga merasa senang karena akhirnya Hasna patuh pada ucapannya.
Tanpa terasa hari sudah sore. Para karyawan bersiap-siap untuk pulang, begitupula dengan Hasna, dia bergegas menuju gerbang. Terlihat seorang pria sudah menunggunya. Arga yang saat itu berada di parkiran melihatnya dan diam-diam mengikuti Hasna dari belakang.
‘Hasna pulang bersama siapa, ya? Siapa lelaki yang menjemputnya itu? Dan di mana rumahnya? Ah, biar aku ikuti aja.’ Arga terus mengikuti Hasna.
Hingga akhirnya, Hasna sampai di rumah kontrakan yang sangat sederhana. Dia segera mencuci tangan, lalu melakukan rutinitas seperti biasa. Dia membawa seorang bayi ke dalam. Sementara Arga yang semakin penasaran dengan Hasna segera turun dari mobil dan bergegas menuju kontrakan, lalu berlari menuju ke arahnya.
"Hey! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu menyusui bayi orang lain? Kamu kan masih gadis!"