Raka mengantar Eliana menuju butik miliknya, seperti biasa keheningan selalu menyelimuti mereka berdua. Raka hanya berbicara sepatah dua patah kata kepada Eliana selama perjalanan. Mobil Audi milik Raka melaju menuju bilangan Tebet, kemacetan kota Jakarta menyambut mereka berdua pun tak mematahkan keinginan Raka untuk tidak berbicara dengan Eliana. Setelah hampir tiga jam mereka berdua terjebak kemacetan, akhirnya mereka tiba di depan butik milik Eliana.
“Makasih ya, Mas,” ujar Eliana tulus.
“Sama-sama.” balas Raka.
Keheningan menghampiri mereka berdua, walau Eliana sudah tinggal selama empat tahun bersama Raka tetap saja perasa cangung dengan Raka tak pernah bisa ia hilangkan. Eliana memang sangat mencintai Raka, bahkan sejak pertama kali tanpa sengaja mereka bertemu di Semarang karena Eliana ingin berlibur dari Prancis ke Indonesia. Ia sangat merindukan indonesia khusunya Semarang, kampung halaman ibunya. Tapi tanpa ia tahu sebenarnya, mereka berdua sudah di jodohkan sejak kecil oleh ibu mereka.
“Kamu nggak turun, El?” tanya Raka membuyarkan lamunan Eliana.
“O...o...oh iya aku turun dulu ya,” jawab Eliana gelagapan, “Hati-hati!”
Lalu ia menarik tuas pintu mobil ini tak lama kemudian ia membanting pintu mobil. Raka masih terus memperhatikan Eliana yang berjalan menuju butiknya, tiba-tiba seorang wanita pendek dengan rambut hitam yang di ikat ekor kuda berjalan dari arah yang berlawanan. Wanita itu bercipika-cipiki dengan Eliana dan betapa kagetnya saat Raka melihat wanita itu.
“Nadira,” ujarnya tak percaya.
#####
Hampir satu bulan setelah Daru melamarnya, Dira makin merasa cangung dengan Daru. Malam itu, Dira tak sama sekali memberi sebuah kepastian kepada Daru apa ia menerima atau menolak. Kenapa, malam itu seakan-akan lidahnya begitu kelu untuk menolak permintaan Daru itu?
“Nadira!” seru seseorang.
Dira mendongak, sosok Eliana sudah berdiri di depan mejanya. “El?”
“Daritadi aku panggil-panggilin kamu juga kamu nggak denger!” dumal Eliana, “Kamu kenapa si? Sebulan belakangan ini kamu suka ngelamun.”
“Aku nggak apa-apa, El.” Dira tersenyum cangung dengan Eliana.
“Bohong!” tolak Eliana, “Dari sorat kedua mata kamu itu, kamu nggak bisa membohongi aku kalau kamu baik-baik saja, Nad!”
Sial, ternyata Eliana terlalu pintar untuk di bohong, batin Dira. “Aku lagi bingung aja,” ujar Dira.
Eliana menaikan alisnya. “Bingung kenapa? anak kamu sakit lagi?”
Dira mengeleng hebat. “Bukan El, Rana sekarang udah sehat kok. Tapi....”
“Tapi, apa?”
“Aku bingung sama kenyataan yang ada.” Dira mengacak-ngacak rambut hitamnya yang digulung asal.
“Kenyataan?” Eliana nampak bingung dengan penuturan Dira.
“Gimana, kalau ada seorang pria tiba-tiba melamar kamu? Apa yang akan kamu lakukan? Hmm?” cecar Dira.
“Kalau aku cinta sama dia aku akan terima dia,” jawab Eliana singkat.
“Tapi, kalau kamu bingung sama perasaan kamu sendiri?” tanya Dira.
“Ya, kamu harus memahami perasaan kamu, Nad!” ujar Eliana gemas.
“Aku bingung.” Dira menghempaskan tubuh mungilnya di kursi kerjanya itu, “Aku nggak tahu bagaimana perasaan aku sama dia, El.”
“Kamu udah kenal lama dengan pria itu?” tanya Eliana, Dira pun mengangguk.
“Kalau, kamu kenal lama sama dia apa yang kamu bingungkan lagi?”
“Aku...” Dira berhenti sejenak, “Aku rasa aku nggak cocok sama dia. dia itu terlalu sempurna sebagai pria, El. Seharusnya dia bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku, aku ini cuman seorang single parent El!”
“Kenapa si kamu nggak mau mencoba, Nad?”
“Karena aku yang hanya seorang single parent dan wanita yang hina. Sedangkan, dia terlalu sempurna untukku,” jawab Dira lirih.
“Kamu salah!” tegas Eliana, “Kamu itu nggak hina, Nad! Single parent itu bukan status yang hina. Toh, kamu begini juga karena keadaan bukan karena kemauan kamu kan? Kamu itu juga berhak untuk bahagia, Nadira!”
“Tapi, El aku—”
“Apa dia bisa terima keadaan kamu?” sela Eliana sembari menatap lekat-lekat kedua mata Dira.
“Dia bilang, dia nggak perduli dengan statusku ini, dia dan anakku begitu dekat. Bahkan, dia memperlakukan anakku seperti anak kandungnya sendiri.”
“Lalu apa yang kamu tunggu lagi, Nad?”
“Aku merasa nggak pantas sama dia, El.”
#####
November 2010
Hari demi hari berlalu, tahun mulai berganti. Akhirnya sampai juga waktu dimana Dira harus melepaskan seragam putih abu-abu yang selama tiga tahun setia menemaninya, kini Dira dan Raka sama-sama menempu pendidikan di kampus dan jursuan yang sama. Sejak Dira masuk ke kampusnya, Raka begitu bersemangat untuk kuliah. Alasanya sederhana, ia ingin cepat lulus menjadi dokter yang mapan dan bisa membangun keluarga bahagia bersama Dira.
Satu hal yang membuat Raka lagi-lagi tercengang dengan gadis yang ia cintai selama ini. Dira benar-benar mudah untuk meraih banyak perhatian. Banyak teman-teman satu angkatan Raka mengatakan Dira itu cantik seperti bidadari walau tubuhnya tak tinggi tapi paras cantik Dira membuatnya tidak pernah membosankan untuk di pandang, di tambah lagi sikapnya yang mudah bergaul tetapi cuek membuat daya tariknya bertambah. Pria normal mana yang mau menolak Dira? Pasti tidak ada. Dan... keadaan ini semakin membuat Raka ketakutan akan suatu keadaan dimana Dira akan berpaling denganya. Dira terlalu memiliki magnet kuat bagi para pria. Apalagi, Dira sejak kecil terkenal sedikit tomboy karena ia banyak memiliki teman pria.
Raka menanti kepulangan Dira, Mbok Imah sudah tidur sekitar satu jam yang lalu berhubung nenek Dira sedang pergi keluar negri rumah Dira sedikit lebih regang penjanganya karena tak ada nenek yang sibuk menyindirinya untuk pulang jika jam sudah menujukan pukul 10 malam karena itu batas malam waktu berkunjung Raka. Raka melirik jam tangannya, jam sebelas malam dan ini sudah lewat dari jam pulang kuliahnya hampir lima jam yang lalu. Raka mengintip dari sela-sela jendela ruang tamunya suatu pemandangan yang membuat amarah tiba-tiba menguasai dirinya.
Dira berpelukan dengan pria lain. Terlihat mereka begitu akrab satu sama lain, mereka juga tertawa bahagia seolah-olah menandakan keakraban begitu dalam diantara mereka. Raka mengepal kuat kedua tanganya, rasanya buku-buku jari tangan Raka seperti hancur berkeping-keping. Inilah, sebuah ketakutan yang ia rasakan. Tanpa pikir panjang Raka langsung keluar dari ruang tamu dan menghampiri Dira bersama pria itu.
“Aku pulang dulu ya, Nad. Thanks bantuanya! Sumpah, kalau nggak ada kamu tadi mungkin... rencana aku buat nembak Zafrina nggak akan terlaksana, Nad!” seru pria itu sambil menarik tuas pintu mobilnya.
“Hati-hati, Dhil!” balas Dira, “Sip, sama-sama ya! Aku seneng banget akhirnya setelah sekian lama gitu kalian bisa bersatu he-eh. Oh iya, jangan lupa besok traktir aku permen kapas, terus Pizza ya sama Americano sebagai upah cape!”
“Huh!” dengus pria itu, “Yang murah dikit kek traktiranya, nasi warteg kek, atau sate pinggiran gitu?”
“Gak mau!” tolak Dira, “Pokoknya Permen kapas, Pizza sama Americano!”
“Iya... iya dokter urak-urakan!” jawab pria itu cepat. Setelah pecakapan singkat antara pria itu dengan Dira, akhirnya ia memilih untuk masuk kedalam mobil kijangnya. Raka masih memandangi mereka dari kejauhan, setelah mobil kijang milik pria itu pergi Raka mulai menghampir yang masih berdiri di luar pagar rumahnya.
“Dari mana kamu?” tanya Raka membuat Dira tergelonjat kaget.
“Kak Raka?” Dira tak berkedip memandangi Raka yang berdiri di hadapanya ini.
“Siapa dia?” Raka menatap Dira tajam.
“Temanku,” sahut Dira, “Kenapa?”
“Enak banget ya dia peluk-peluk kamu?” sindir Raka ketus, “Serasa kamu masih sendiri aja ya?”
“Lah? Temenan salah ya pelukan? Kita juga sering kan kaya gitu?”
“SALAH!” bentak Raka, “KAMU ITU UDAH MILIK AKU DAN AKU NGGAK MAU DIA PELUK-PELUK KAMU SEENAKNYA!”
Dira terdiam. Milik aku? memangnya selama ini Raka pernah mengatakan ‘Nadira, aku suka kamu aku cinta kamu maukah kamu jadi pacarku?’ jawabnya tidak pernah.
“Milik kamu?” Dira menaikan alisnya, “Sejak kapan? Toh, selama ini kita hanya teman baik kan?”
Mendengar perkataan Dira emosi Raka semakin berkobar, tanpa aba-aba Raka langsung melumat bibir Dira yang masih terbuka itu. desah-desahan mulai keluar dari bibir tipis Dira. Dira berulang kali berusaha melepaskan dirinya dari Raka tetapi karena tubuh Raka lebih besar darinya usahanya gagal.
“Akan aku buktikan kamu itu cuman milik aku!” tuas Raka.
Raka langsung mengendong tubuh mungil Dira ala bridal stlye, Dira berulang kali memberontak tapi Raka terlalu kuat untuk di kalahkan. Raka terus mencium bibir Dira dan sesekali ia mengigit bibir Dira, butiran air mata mulai mengalir dari sudut-sudut mata Dira.
Raka membawa Dira kedalam ruang tamu, keadaan gelap di tambah Mbok Imah yang tidur membuat Raka semakin menggila malam ini. Raka langsung membanting tubuh mungil Dira di atas sofa ruang tamunya, kini ia mulai menuruni ciumanya kearah leher jenjang milik Dira. Desahan Dira benar-benar tak terbendung lagi dan ini membuat Raka semakin tak bisa mengendalikan dirinya.
Ia langsung merobek mini dress milik Dira tanpa aba-aba, ia mulai menyentuh bagian-bagian sensitif Dira. Dira hanya bisa menangis sembari menahan rasa sakit akibat perbuatan Raka ini. Rasanya ia menjadi hina karena memperlihatkan bagian tubuhnya kepada pria yang bukan suaminya. Melihat tubuh polos Dira jiwa pria dewasa Raka semakin menguasainya, cairan hangat meleh dari sudut-sudut mata Dira semakin lama ia semakin menangis sejadi-jadinya saat ia mendapat perlakukan dari Raka.
Setelah puas melakukanya akhirnya Raka menghentikan aktifitasnya itu, ia mengedong tubuh Dira yang sudah terkulai lemas akibat ulahnya ini. Raka membawa tubuh Dira yang tidak di tutupi sehelai benang pun kedalam kamarnya, setelah membaringkan tubuh Dira di selimutinya tubuh gadis mungil ini. lagi-lagi Dira menangis terseduh-seduh membuat Raka semakin ingin memeluknya. Dira langsung mendorong tubuh Raka yang mendekatinya. Mendapat perlakukan kasar dari Dira, Raka memilih untuk kelar dari kamar Dira.
“Maafkan aku, Nadira,” ujarnya lirih.
#####
Daru asik menyantap makan siangnya di sudut kantin rumah sakit, ia masih memandangi ponselya sambil berharap pesan BBM yang ia kirimkan dengan Dira di balas secepatnya. Sejak kegilaan Daru yang nekat melamar Dira sebulan yang lalu, Dira semakin menjaga jarak denganya. Tembok besar kembali terbangun di antara mereka persisi lima tahun yang lalu sebelum Rana lahir ke dunia. Pertemuan Daru dengan Dira terjadi tak terduga, saat itu Livia istri dari sahabatnya Joe membawa Dira yang pingsan. Livia menaru curiga dengan sikap-sikap aneh yang Dira tunjukan dua bulan ini. setiap pagi, Dira sering muntah bahkan Dira beberapa kali di temukan tak sadarkan diri di kamarnya. Gejala-gejala yang di tunjukan persis seperti Livia yang setahun lalu saat hamil.
Saat itu Daru sedang menjadi residen di rumah sakit tempat ia bekerja saat ini, dan saat pertama kali ia melihat Dira yang terbaling lemah sebuah getaran aneh mengujuam tubuhnya tiba-tiba. Dira memang cantik, bahkan saat ia tertidur atau sedang hamil besar sekalipun ia masih terlihat sangat cantik dan membuat Daru semakin lama semakin ingin mendekatinya. Konyol, ia jatuh cinta dengan wanita yang baru pertama kali ia temui. Selain sikap Dira yang kembali berubah, sikap ibu Daru yang menetang habis-habisan saat Daru mengutarakan ia sudah melamar Dira. Ya mau sampai kapan, ibunya akan terus menjodohkannya dengan anak-anak teman bisnisnya itu? Memangnya cinta itu bisa datang karena paksaan?
“Dok?” panggil seseorang membuyarkan lamunan Daru.
“Oh, Dokter Raka mari silahkan duduk,” tawar Daru.
“Boleh saya duduk di sini?” Raka langsung menarik kursi yang kosong di hadapan Daru.
“Duduklah, Dokter Raka.” Daru kembali sibuk dengan handphonnya, kedua mata hitam Raka tak berhenti mengawasi gerak-gerik Daru. Apa... keputusannya berusaha mengajak Daru berbicara tentang Dira hari ini sudah tepat? Rasanya di kepala Raka di penuhi banyak pertanyaan tentang Dira, Rana dan Daru sebenarnya apa hubungan mereka bertiga?
“Apa kabar Ranadiani?” tanya Raka memecahkan keheningan.
“Rana?” kedua alis Daru saling bertautan. “Rana baik kok, kenapa tiba-tiba anda menanyakan kabar anak saya?”
Anak? Dan.... berarti, Daru dan Dira sudah menikah? batin Raka. “Oh...oh... enggak apa-apa kok Dok,” elak Raka, “Ya, saya cuman nanya aja. Habis, anak dokter itu... adalah salah satu pasien yang paling susah saya tangani karena dia terlalu hyeperaktif.”
Daru tersenyum. “Ya, memang anak saya sama seperti Ibunya bawel he-eh.”
“Tapi, anak Dokter itu ngangenin,” ujar Raka spontan.
“Dia benar-benar mirip dengan Ibunya bahkan pertama kali saya melihatnya terlahir di dunia saya langsung jatuh cinta dengannya.” tambah Daru.
“Omong-omong, sampaikan salam saya dengan Ranadiani dan Ibunya ya.” Raka menatap Daru sejenak, “Salam dari Om Dokter.”
Raka langsung bangkit dari tempat duduknya sembar menahan rasa kesalnya dengan Daru. Benar-benar sebuah tamparan hebat kembali membuatnya ingin terjun ke lautan terdalam di muka bumi ini. Dira sudah menikah, dan selamat... sampai kapan pun cintanya terhadap Dira tak akan terbalas, memang takdir terlalu kejam denganya.
*****