Karena sepertinya mereka membutuhkan piring tambahan, Lina pergi mengambil beberapa piring di rak dapur. Tak lupa dia mengambil tisu makan sebelum kembali lagi ke sofa tengah. Ketika Lina datang, dilihatnya Acha dan Ryo duduk di atas karpet duduk berhadapan dengan dipisahkan meja. Acha sudah mengambil dan memakan salah satu potongan ayam dengan saus lada hitam pedas, sementara Ryo hanya diam memandangi Acha.
“Kak Acha nih kebiasaan!” Lina memecahkan keheningan mereka.
“Kan disediain sarung tangan di bawah box-nya. Kalo ga dipake ntar tangannya kebakar, loh.” Lanjutnya.
Acha yang baru tersadar terperanjat, “Lah iya! Pantes kayak ada yang kelupaan gimana gitu. Thanks, Lin.” Ujarnya seraya berdiri dan pergi ke dapur untuk mencuci tangannya.
Lina pun menaruh piring yang ia bawa di atas meja beserta tisu. Saat melihat potongan ayam yang tergeletak begitu saja di atas meja, lidahnya berdecak kesal. Kebiasaan buruk perempuan yang bisa disebut atasannya ini susah sekali dihilangkan. Diamitnya potongan ayam itu dengan dilapisi tisu dan dia pindahkan ke salah satu piring yang dia bawa.
Kemudian, dia membagikan dua piring yang lain untuk dirinya sendiri dan Ryo. Pada saat itulah Lina tersadar, bahwa lagi-lagi Ryo memperhatikannya dengan tatapan intens yang menurutnya menyeramkan.
Karena merasa tidak nyaman, Lina pun bertanya, “Ada apa Pak? Kok lihatin saya begitu?”
Ryo mendengus dan memalingkan pandangannya dari Lina. Tak ada jawaban sama sekali atas pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Tingkah laku Ryo yang seperti itu membuat Lina berpikir bahwa pria itu memendam rasa tidak suka padanya.
“Saya dosa apa coba sama Anda, Pak?” gerutunya lirih, tapi masih didengar Ryo.
Dia hanya bisa pasrah diperlakukan begitu. Toh Lina juga tidak berniat untuk membuat pria itu menyukainya. Tetapi dari lubuk hati terdalam setidaknya dia ingin tahu alasan Ryo memperlakukannya seperti itu. Karena Lina sama sekali tidak tahu apa yang telah diperbuatnya sampai Ryo bersikap demikian. Setidaknya hari ini Lina merasa berterima kasih karena Ryo juga sempat memikirkan perutnya yang kelaparan karena lelah bekerja.
Dilihatnya isi box itu. Terdapat ayam dengan empat jenis bumbu yang dipisah dengan sekat. Ada ayam lada hitam pedas yang tadi dimakan Acha, ayam saus telur asin, ayam sambal balado, dan ayam sambal matah. Setahu Lina, empat rasa itu adalah pilihan rasa yang biasanya dibeli oleh Acha di restoran yang memiliki menu ayam dengan dua puluh sembilan macam saus itu.
“Kok Pak Ryo tahu sih kalau Kak Acha suka empat rasa ini? Apa Anda peramal?” tanya Lina yang pastinya hanya diacuhkan oleh Ryo.
Lima menit telah berlalu dan Acha pun kembali dengan tangan yang bersih. Untung baru sedikit saus pedas yang menempel di tangannya. Kalau lebih dari itu, dijamin dia akan merendam tangannya sepanjang malam dan dia tidak mau itu terjadi. Diterimanya sarung tangan plastik dari Lina, lalu duduk di tempatnya semula tadi.
“Oh iya, Pak. Bapak pasti gak cuma datang buat bawain kita ayam kan?” tanya Acha.
Pria yang saat ini sedang memasang sarung tangan plastik itu menghentikan aktivitasnya dan terlihat seperti sedang berpikir.
“Hmm... mungkin sekalian cek perkembangan misi kita?” jawab Ryo yang justru terdengar seperti pertanyaan. Lalu, dia pun kembali memasang sebelah sarung tangannya yang tadi tertunda.
“Kok ‘mungkin’?” tanya Acha lagi.
“Hmm... karena saya tidak tahu alasan apa yang pas untuk mendatangi dua perempuan cantik petang-petang begini.” Jawab Ryo jujur.
“Kedengarannya m***m tahu, Pak.” Seloroh Acha.
“Hahahaha!” pria itu tergelak.
Melihat itu Lina 100% yakin bahwa Ryo membencinya. Dia bisa tertawa seperti itu pada Acha. Tapi kalau padanya jangankan tersenyum, bicara saja sepertinya tidak mau.
“Tapi saya boleh dong, tanya perkembangan hari ini?”
Ryo mengambil sepotong sayap Ayam dengan saus salted egg atau telur asin dan menaruhnya di atas piring.
“Lancar kok, Pak. Saya tadi sudah kenalan sama target. Ternyata tidak sesulit bayangan. Karena gak disangka Melati yang secara gak langsung membantu saya.” Jawab Acha.
“Lalu, menurut Mbak Acha mereka berdua gimana?”
Senyum sinis merekah di bibir penuh Acha, lalu dia menjawab, “Mereka sangat serasi. Dan pastinya bakal membuat orang lain berkata kalau mereka berjodoh karena wajah mereka sangat mirip.”
“Eh, iya! Tadi sekilas saya juga sempet mikir gitu.” Tambah Lina.
“Kira-kira kenapa sih mereka harus dipisahkan? Kan serasi begitu?” lanjutnya penasaran.
Ryo memperhatikan Lina yang sedang menyeruput isi tulang paha. Dan akhirnya Lina mendapatkan seutas senyum dari pria itu, akan tetapi itu adalah senyum meremehkan.
“A... aku belum cerita ke kamu, Lin?” Acha serius bertanya dan dijawab Lina dengan gelengan kepala. Lina benar-benar tidak tahu. Dia hanya berencana akan setuju dan mengikuti arahan dari Acha nantinya, karena dia percaya kalau Acha memiliki alasan yang kuat melakukan semua ini.
Melihat ekspresi bingung asistennya, Acha menepuk kepalanya dengan pergelangan tangannya yang tidak terkena saus.
“Lupa aku tuh! Gini, Lin. Logikanya kalau ada dua atau lebih orang yang mirip artinya apa?” Acha memberi klu.
Lina memiringkan kepalanya dan menjawab, “Bisa jadi kayak kata orang jaman dulu bahwa karena mereka jodoh... tapi wajar dan lumrahnya sih........ HAH!?”
Gadis berambut pendek itu menyadari sesuatu dan menutup mulut dengan tangannya tak percaya. Ada rasa harap juga kalau tebakannya salah.
“Mereka bersaudara?” tebak Lina.
“Yup.” Acha menaik-turunkan alisnya dan sedikit bertepuk tangan.
“Tante Sarah, klien-ku yang juga bosnya Pak Ryo ini minta supaya mereka dipisahkan tanpa Dariel tahu kalau mereka bersaudara. Ini kalau diceritain alasannya juga panjang banget, sih. Pokoknya karena ini beliau bayar aku. Gitu, deh.” Jelas Acha sambil mengambil potongan ayam ke-duanya.
Tangan Lina tak kunjung dia turunkan dari mulutnya sendiri. Tadinya dia masih akan sedikit protes pada Acha kalau alasan Dariel dan Melati harus berpisah adalah hal lain yang lebih sepele. Kalau memang mereka bersaudara sih, sudah jelas harus dipisahkan. Bagaimana jadinya kalau mereka menikah nanti? Tentu ini adalah hal yang tidak boleh terjadi.
“Mereka satu ayah, tapi beda ibu. Dariel lahir dari istri pertama mendiang Mark Hardiansyah yaitu Tante Sarah, sedangkan Melati lahir dari istri kedua yang belasan tahun lalu ditinggalkan karena satu dan lain hal. Menurut Tante Sarah, ada kemungkinan Melati tahu tentang hal itu. Dan kalau itu benar, bisa jadi dia menyimpan niat lain.” Acha menambahkan penjelasannya.
Lina mengangguk-angguk paham.
“Pantes aja waktu di ruang ganti sikap Kak Acha ke Melati kayak gitu ya?”
“Ih, kamu emang paling perhatian sama aku deh, Lin. Muach!” ucap Acha sambil memberikan tanda hati dengan jarinya. Dan Lina pun membalas Acha dengan tanda hati yang sama.
“Pokoknya aku mah ngikut Kak Acha aja.” Tanggap Lina sambil mengambil ayam sambel matah yang membuatnya ngiler dari tadi. Acha juga mengambil ayam yang sama. Aroma bawang dari sambal itu terus-terusan menggodanya dari tadi.
“Pedes! Pedes tapi enak!” komentar Acha sambil terus menggigit potongan ayamnya.
“Iya. Untung banget dibeliin sama Pak Ryo. Biarin serem, yang penting gak pelit.” Kali ini Lina tak sembunyi-sembunyi lagi mengomentari pria itu.
Ryo yang belum menghabiskan potongan ayam saus telur asinnya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat dua orang perempuan itu. Pemandangan mereka memakan potongan daging yang bersaus serba merah itu terlihat begitu sadis di matanya.