Biasanya pukul 9 begini Grand Mall yang terletak di pusat kota masih begitu lengang. Akan tetapi, saat ini para karyawan dari cleaning service, pramuniaga, sampai manager pengelola nampak tak bisa tenang. Mereka memeriksa seluruh keadaan agar sesuai dengan protokol yang ditentukan perusahaan pusat. Semua ini karena adanya telepon mendadak dari sekretaris pemilik perusahaan yang berkata bahwa pemilik akan datang inspeksi hari ini. Sebetulnya tidak ada perbaikan mencolok yang harus dilakukan mall ini. Semua sudah teratur dengan rapi dari penampilan sampai pelayanan. Karena itu lah shopping mall ini dikenal sebagai mall favorit masyarakat kota ini.
Sebuah mobil Land Rover Range Rover Velar warna silver berhenti di depan pintu loby mall. Seorang karyawan dengan sigap membukakan pintu belakang mobil itu dan sang manager pengelola juga ikut mendekat untuk menyambut orang yang turun dari sana.
Lalu muncullah seorang wanita paruh baya dari pintu yang dibukakan itu. Dari pintu sebelahnya juga terbuka dan seorang pria muda turun dari sana.
“Selamat datang, Bu Sarah dan Pak Dariel.” Ucap Haris, manager pengelola mall seluas 20 hektar itu.
“Terima kasih, Pak Haris. Semua lancar kan?” tanya Sarah.
“Tentu saja, Bu. Semoga Ibu dan Bapak puas dengan kunjungan hari ini.” jawab Haris santai.
Haris lalu langsung mengantarkan dua tamunya itu masuk ke dalam. Dari belakang, Ryo sang sekretaris yang baru saja turun dari kursi penumpang depan juga mengikuti mereka.
Mereka berjalan cukup cepat. Beberapa pertanyaan seputar keadaan pusat perbelanjaan itu terlontar dari Sarah dan Dariel dan dijawab dengan cukup lancar oleh Haris dan karyawan yang mendampinginya. Hingga di sebuah gerai keperluan olah raga, mata Dariel menangkap seorang perempuan yang dia kenal beberapa hari ini. Berhubung dia masih bekerja, ia merasa tak pantas jika menyapanya sekarang. Akan tetapi, sang Ibu justru menghampiri perempuan itu.
“Acha?” sapa Sarah sambil mencolek bahu gadis itu.
Acha pun membalikkan badannya. Matanya berbinar melihat siapa orang yang menyapanya.
“Tante Sarah? Kok bisa kebetulan di sini?” tanya Acha riang.
“Ini kan mall-nya Tante. Biasa lah liat-liat karyawan. Kamu sendirian di sini?” Sarah menjawab, lalu bertanya balik.
“Nggak, kok. Saya datang sama teman saya. Tapi dia katanya pengin banget beli Es Boba. Jadi, dia beli ke bawah dulu.” Jelas Acha.
“Owalah... Kamu juga kudu beli tuh. Masa diet mulu!” sungut Sarah.
“Saya juga beli kok, Tan. Diet-nya udah selesai soalnya kan cuma buat syuting iklan kemarin aja, Tan.” Acha beralasan.
“Sekarang saya lebih ingin punya badan kuat aja. Makanya saya mau mulai rajin olah raga.” tambahnya.
“Nah, bagus itu! Tapi jangan kayak anak Tante, si Dariel. Kebanyakan fitness, badannya keras semua, ga enak dipeluk.” Oceh perempuan itu.
Melihat keakraban Ibunya dan Acha, Dariel merasa heran. Tidak biasanya sang Ibu akrab dengan perempuan muda. Bahkan pada kekasihnya, Sang Ibu nampak benci dan enggan untuk sekedar bertukar sapa. Sedangkan pada Acha, malah Ibunya yang menyapa lebih dulu. Dia pun mendekat karena penasaran.
“Mama?”
“Nih, si Dariel yang tadi Tante omongin. Udah badannya bongsor, gede, sayangnya ga... apa tuh kata anak sekarang? Pelukable?”
Wajah Dariel langsung terlihat sepet mendengar sang Ibu menjelek-jelekkannya.
“Kenalin nih, Riel. Brand ambassador baru kosmetik kita.” Sarah Memperkenalkan Acha pada Dariel.
“Eh, kamu itu anaknya Tante Sarah toh?” Acha nampak terkejut.
“Lho? Kalian udah saling kenal?” Sarah tak kalah terkejut.
Dariel mendengus, lalu menjawab santai, “Iya. Beberapa hari lalu kami baru kenal.”
“Ih, kok bisa kebetulan gini ya?!” seru Sarah.
Tiba-tiba seorang pria yang bertubuh lebih bongsor dari Dariel menghampiri mereka.
“Maaf jika saya mengganggu, Bu. Tapi, berhubung waktu kita terbatas. Kita perlu ke lokasi selanjutnya.” Katanya.
Sarah melihat ke ponsel di sakunya, lalu menjawab, “Ok, Ryo.”
“Mama lanjut dulu. Kamu di sini aja temenin Acha ya, Dariel.” ujarnya.
“Loh, tapi...” Dariel hendak mengelak, tetapi mamanya sudah berjalan dan tidak menengok ke arahnya sama sekali. Itu berarti perempuan itu tidak mau dibantah.
“Duh, jadi gak enak, nih. Sori ya, Riel. Jadi ngerepotin kamu.” Ucap Acha menyesal.
“Santai aja, Kak. Mamaku emang gitu. Kakak mau beli apa? Saya hapal soal peralatan nge-gym gini loh.” Dariel mengalihkan pembicaraan.
Acha tersenyum lalu menjawab, “Oh ya? Sebenernya saya lagi cari dumbbell. Bingung milihnya, nih. Kebeneran banget.”
“Andalin saya saja, Kak.” Dariel menepuk-nepuk dadanya bangga.
“Makasih, ya.”
Mereka pun mulai memilih-milih dumbbell yang sesuai dengan keinginan Acha. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sepasang dumbell berwarna oranye dengan masing-masing berat tiga kilogram. Acha membayarnya secara online melalui ponsel pintarnya dan ternyata dia mendapatkan diskon yang lumayan.
Saat ini mereka duduk di kursi pengunjung mall yang tersedia di depan toko tadi.
“Makasih, ya.” Kata Acha pada Dariel.
“Sama-sama, Kak.” Jawab pria itu.
Acha mengerutkan dahinya. Kedua tangannya disedekapkan di depan d**a, lalu menatap Dariel yang duduk di sebelahnya.
“Saya kelihatan tua ya?” tanya Acha tiba-tiba.
Dariel ikut mengerutkan dahi, lalu menjawab, “Nggak. Menurutku malah Kak Acha masih cocok pakai baju SMA.”
“Terus kenapa dari tadi manggil saya Kakak?” tanya Acha lagi.
“Ya... karena teman saya juga manggil Kak Acha pake ‘Kakak’. Dan lagian Kak Acha juga lebih tua dari saya.” Jawab Dariel.
“Oh, ya?” Acha terkejut seolah tidak tahu.
“Satu tahun pas malah. Soalnya tanggal lahirnya sama kayak saya.”
Acha nampak semakin terkejut. Tentu saja itu hanya pura-pura karena dia sudah tahu. Ditambah lagi sebenarnya Acha lah yang sudah mengubah tanggal lahirnya sendiri di internet. Seharusnya tanggal lahirnya adalah 25, tapi dia ubah menjadi tanggal 20. Karena dengan begini, kesempatannya mendekati Dariel lebih terbuka.
“Wah... kebetulan banget!” seru Acha.
“Saya sama Mel juga kaget pas liat profile Kakak di internet.”
“Ih, kalian kepo banget soal saya. Jadi malu.” Goda Acha sok imut sambil menyentuh dua pipinya.
Dariel tertawa, “Hahaha... Pede banget.”
“Ya gak papa lah. Kan kenyataannya kalian sampai cari tahu hari ultah saya. Hehehehe...” Acha ikut terkekeh.
“Omong-omong...” Acha menyorongkan duduknya agar sedikit menghadap Dariel, kemudian menyambungkan kalimatnya, “Kita banyak banget kebetulannya ya? Sampai beberapa kali gini.”
Dariel mengingat-ingat dan menghitung jumlah kebetulan di antara mereka.
“Iya ya. Satu kebetulan ketemu pas di studio, dua pas nge-gym, tiga di toko ini, terus ternyata ultah kita samaan.” Ucap Dariel.
“Dulu di sinetronku pernah ada dialog gini, ‘Pertemuan pertama itu tidak sengaja, kedua itu kebetulan, dan yang ketiga itu jodoh.’ Tadinya aku percaya, tapi berhubung kamu kayaknya sudah punya pasangan, kayaknya itu bohongan. Yang bikin naskah sok romantis, deh!” Acha mengatakan itu dengan wajah kecewa.
Hal itu terasa ambigu di mata Dariel. Jika mengikuti kepercayaan dirinya, Dariel akan mengira bahwa Acha menyukainya dan berharap pertemuan ketiga mereka adalah takdir. Tetapi Dariel juga berpikir bahwa mungkin Acha menyukai kalimat itu dan kecewa karena ternyata itu hanya kalimat kosong tak berarti.
“Kak Acha!”
Terdengar suara Lina memanggil dari tempat yang tak jauh dari mereka. Dia nampak membawa dua gelas Es Boba ukuran regular. Gadis itu berlari-lari kecil mendekati Acha.
“Sori lama, Kak. Soalnya antriannya amit-amit banget panjangnya.” Kata Lina sambil memberikan salah satu gelas pada Acha.
“Pantesan. Kirain kamu kecantol cindo (Chinese Indo) ganteng mana gitu kayak biasanya.” Sindir Acha.
Lina hanya melet.
“Eh, iya. Kenalin nih, asisten saya. Namanya Lina.”
Dariel mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Lina.
“Saya Dariel. Kemarin juga ikut nge-gym bareng Kak Acha kan?”
Lalu, Lina pun membalas uluran tangan Dariel dan menjabatnya sebentar karena merasa canggung.
“Ya udah. Kita mau lanjut keliling, nih. Kamu masih harus inspeksi kan? Bilang aja ke Tante Sarah kalau saya udah ada yang nemenin.”
“Okey.” Dariel tidak menolak.
“Hari ini makasih banget ya. Salam buat tante sama Melati.” Tutup Acha sambil melambaikan tangannya.
Setelah Dariel mengangguk meng-iyakan, Acha dan Lina pergi meninggalkannya. Tak lama kemudian, dia juga beranjak dari tempat itu untuk menyusul mamanya inspeksi.