[Pak Ryo, di sini sudah selesai.] Seusai membaca pesan itu, Ryo menutup ponsel pintarnya tanpa membalas pesan itu. Pria itu menghampiri atasannya dan berbisik di dekat telinganya. Sarah mengerti, lalu mengangguk paham.
“Pak Haris, sepertinya kita sampai di sini saja. Karena setelah ini Bu Sarah harus menghadiri rapat bersama dewan direksi.” Ucap Ryo pada Haris.
Pria itu nampak lega, karena merasa tidak berbuat kesalahan hari ini. Inspeksi hari ini cukup mendadak, karena biasanya Sarah maupun yang mewakilinya akan datang sesuai jadwal. Dan jikalau ada perubahan jadwal, maka akan diberitahu sebelumnya. Karena itu, biasanya Haris dan seluruh karyawan mall lainnya akan bersiap-siap dan menunjukkan performa terbaik mereka lebih dari kebiasaan mereka sehari-hari.
“Kalau begitu, mari kami antar ke office.” Ajak Haris.
Sarah lalu sedikit tersenyum dan mengikuti Haris dari belakang bersama Ryo. Mereka turun melalui elevator khusus petinggi, lalu berjalan menuju ruang meeting. Seperti yang biasa mereka lakukan, akan ada evaluasi setelah pemeriksaan.
Mereka pun satu persatu masuk ke dalam ruang meeting yang dapat memuat lebih dari tiga puluh orang itu. Sementara di atas meja, sudah tertata rapi minuman dan makanan ringan. Tak lupa layar proyektor yang sudah menyala dan tersambung ke laptop.
“Kamu sudah panggil Dariel, Yo?” tanya Sarah pada asisten pribadinya.
“Sudah. Tadi katanya Mas Dariel sedang berjalan ke sini.” jawabnya.
“Kita tunggu Pak Dariel datang sebelum kita mulai evaluasi. Silakan bagi yang ingin minum terlebih dahulu.” Kata Sarah pada seluruh jajaran yang terlibat pagi itu.
Tak lama kemudian Dariel datang. Dia nampak tergesa-gesa karena pesan dari Ryo yang berkata bahwa mereka sudah sampai di ruang meeting.
“Maaf saya terlambat.” Ucap Dariel pada Sarah.
“Santai aja. Kita belum mulai.” Sahut Sarah santai.
Sarah nampak tak marah padanya. Justru terlihat kepuasan dari wajahnya.
Setelah itu, evaluasi pun dimulai. Berdasarkan apa yang mereka bertiga lihat, tidak terlalu banyak hal yang perlu diperbaiki. Pusat perbelanjaan ini berjalan cukup baik dan memuaskan. Hanya perlu ditambah sedikit hal agar semakin menyempurnakan pusat perbelanjaan yang sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun ini.
Rapat berlangsung cukup cepat. Kurang dari lima belas menit, mereka sudah keluar dari ruang meeting dan bersiap untuk beranjak dari mall. Semua karyawan kini dapat melanjutkan pekerjaannya dengan lebih tenang tanpa tekanan dari perempuan yang terkenal dingin saat bekerja itu.
*
Esok paginya, kejutan hadir di kediaman Hardiansyah. Beberapa reporter majalah gosip dan infotainment nampak berdiri di dekat gerbang masuk dan keluar rumah mewah itu. Mereka nampak tidak sabar menanti pemilik rumah itu untuk keluar.
“Ada apa ini??” Sarah terdengar panik. Matanya yang melirik ke luar rumah melalui jendela nampak khawatir.
Dariel baru saja keluar dari kamarnya ketika sekretarisnya mengirim sebuah tautan halaman di aplikasi messenger-nya. Dibukanya link itu dan betapa terkejutnya ia melihat isi artikel di tautan itu.
Pria itu menghampiri sang Ibu dengan tergesa-gesa. Melihat ibunya yang panik sambil sesekali melirik keluar jendela, dia memegang pundak untung menenangkan sang Ibu.
“Kok di depan rumah kita ramai begitu ya?” Sarah mengerutkan dahinya.
Pundaknya yang gemetaran memperlihatkan dengan jelas rasa takutnya. Dariel ingat terakhir melihat mamanya gemetar seperti ini adalah saat para wartawan mengerubungi rumahnya untuk mencari tahu perihal kematian sang papa.
Saat itu berita terbunuhnya kepala keluarga Hardiansyah, yang merupakan salah satu pengusaha terbesar di negeri ini menjadi sorotan utama berbagai media masa dan sosial. Setiap hari tak henti-hentinya televisi memberitakan hal tersebut. Baik Dariel maupun Sarah yang berkabung juga tak lepas dari sasaran pemburu berita. Akibatnya, Sarah mengalami trauma dan hingga saat ini dia hampir selalu menolak wawancara kecuali itu secara ekslusif.
“Mama duduk dulu, ya. Aku bawain air putih.” Ucap Dariel mencoba membuat mamanya tenang.
Sarah menurut, lalu dengan dituntun Dariel, dia pun duduk di sofa. Kemudian, Dariel segera mengambilkan air di lemari pendingin yang ada di kamar tidurnya.
Setelah meminumkan air untuk mamanya, Dariel mengelur-elus pundak perempuan berperawakan kecil itu.
“Ma, yang tenang, ya. Gak ada apa-apa, kok. Percaya sama aku.”
Sarah menatap putera satu-satunya itu dengan mata berkaca-kaca.
“Mama takut, Riel. Mama ingat sama mendiang papa kamu kalau lihat mereka.” Sarah memelas.
Dariel membuang napasnya pelan, lalu berkata, “Kayaknya ini salah Dariel, Ma.”
“Maksud kamu apa, Riel?” Sarah nampak semakin khawatir.
Dariel menyerahkan ponsel pintar miliknya dan memperlihatkan tautan yang tadi dikirimkan sekretarisnya.
“Ini bakal Dariel urus secepatnya, Ma. Jadi, Mama gak perlu khawatir.”
Tangan besarnya masih mengelus pundak Sarah dengan lembut. Dariel berharap dengan begitu, Sarah menjadi sedikit lebih tenang.
Sarah membaca artikel di tautan itu kata per kata dengan seksama. Foto yang terpampang di sana juga tak luput dari pandangannya. Sementara itu, Dariel was-was dengan reaksi mamanya. Ada rasa penyesalan juga, karena seharusnya dia tidak memperlihatkan artikel itu pada Sarah.
Sarah mengambil napas dalam-dalam, lalu melepaskannya pelan-pelan. Tangan kanannya memegang dadanya sendiri dan sedikit menepuknya.
“Mama kira apaan. Haaaa.....” ujarnya lega.
Dariel mengangkat alisnya heran. Dia tak menyangka akan mendapat reaksi seperti ini dari Sarah. Dia pikir Sarah akan marah padanya.
“Ini foto pas kamu sama Acha kemarin kan? Mama gak tahu kalau kalian sedekat itu.” Sarah menanggapi artikel itu. Beberapa kali dia menaik-turunkan layar ponsel pintar itu.
Dalam tautan itu, nampak foto Dariel dan Acha yang sedang berbelanja di gerai alat olah raga kemarin. Terlihat pula foto saat mereka duduk berdua berdampingan sambil berceloteh. Entah kenapa, penulis berita menyebutkan bahwa mereka sangat mesra dan menyimpulkan bahwa mereka berpacaran diam-diam.
Acha yang merupakan seorang model berkelas internasional dan aktris dikenal sebagai seseorang yang sulit dikorek kehidupan asmaranya. Meskipun banyak gosip yang mengatakan bahwa dia seorang sugar baby, semua itu hanya menjadi gosip belaka tanpa ada seorang pun yang memiliki bukti. Dia juga jarang terlihat berduaan dengan pria. Karena itu, berita seperti ini cukup membuat pers infotainment gempar.
“Mama gak papa?” tanya Dariel memastikan.
“Emangnya Mama harus kenapa?” Sarah balik bertanya.
“Yang Dariel maksud, Mama gak papa liat Dariel masuk infotainment begini? Kan dulu Dariel juga masuk infotainment juga, mama... “ Dariel menghentikan kalimatnya karena tak ingin membuat mamanya marah.
“Ih, kalau ceweknya Acha sih ga masalah. Dia tuh anak temennya Mama dan anaknya lucu banget. Gemesin! Mana dia tuh model berbakat. Makanya Mama jadiin dia brand ambassador.” Jelas Sarah dengan semangat.
Dariel hanya terheran-heran melihat Ibunya. Dia ingat dulu saat diberitakan pacaran dengan Melati, Mamanya langsung bertindak dan membuat seluruh media masa menghentikan pemberitaannya. Sarah marah besar padanya dan berkata bahwa tidak akan merestui hubungannya dengan Melati sampai kapanpun. Akan tetapi, kini saat dia diberitakan dengan Acha, justru Sarah terlihat santai saja dan sepertinya cukup senang.
Namun dari pada itu, Dariel merasa lega karena yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Dariel pikir, setelah ini dia hanya tinggal menenangkan para wartawan di depan rumahnya dan menghubungi semua kantor media masa untuk menghentikan pemberitaan mengenai dirinya dan Acha. Dia merasa harus melakukan itu karena merasa gosip ini akan merusak citra Acha sebagai model.