Dariel memperhatikan punggung Acha yang semakin menjauh darinya dan Melati. Seolah ada sebuah magnet yang menariknya untuk terus melihat ke sana. Dia berpikir pundak Acha terlihat ringkih, berbeda dengan kekasihnya, Melati. Akan tetapi dari sorot mata perempuan itu, entah kenapa Dariel tak merasa bahwa Acha adalah orang yang lemah. Terbukti dari kesan pertama Dariel kepada perempuan itu. Entah bagaimana caranya Acha bisa mengikatkan rambutnya dengan mudah dan bergaya sambil membawa box make up seukuran bantal tidur. Dia pikir perempuan yang berjalan sambil memperhatikannya saat itu bermaksud minta tolong untuk dibawakan barang. Tetapi, begitu dia berniat menolongnya, tiba-tiba dia bergaya begitu. Otomatis Dariel memalingkan pandangannya untuk tertawa. Dan saat ingin melihat Acha lagi, ternyata dia malah hilang entah ke mana.
“Sayang! Kok bengong sambil senyum-senyum gitu?” pertanyaan Melati menyadarkan lamunan Dariel.
Pria itu menggelengkan kepalanya.
“Nggak. Aku inget aja pas ketemu senior kamu itu kemarin. Pffft....” Dariel menahan tawa.
“Ih, gak sopan lah! Dia tuh lebih tua dari kamu loh. Jangan gitu ah!” Melati menasihati.
“Oh ya? Beda berapa tahun?” tanya Dariel penasaran. Dia tak menyangka karena dikiranya Acha lebih muda darinya.
“Lupa, sih. Bentar ku lihat Wiki dulu.”
Melati membuka ponselnya dan menulis nama Acha Juniatha di mesin pencarian. Setelah terlihat profile seniornya itu, Melati kembali berkata, “Wow! Pas banget beda setahun sama kamu, Sayang. Tanggal lahirnya juga sama, loh!”
Dariel ikut melihat ke layar ponsel pintar Melati. Ternyata benar ucapan Melati. Tanggal lahirnya dan Acha sama 20 September, hanya tahunnya yang berbeda. Dan benar juga bahwa Acha setahun lebih tua dari Dariel. Perempuan memang luar biasa dalam menyembunyikan umur.
“Tapi namanya kok ada ‘Juni’ –nya ya? Kirain dikasih nama Juniatha karena lahirnya Juni.” Sangka Dariel yang hanya ditanggapi Melati dengan menaik-turunkan pundaknya.
Melati pun menyimpan kembali ponsel pintarnya ke dalam tas begitu rasa penasaran mereka terobati.
“Kamu gak naksir kan?” tanya Melati yang menatap Dariel curiga.
Dariel memutar bola matanya. Dia lupa kalau pacarnya ini cukup cemburuan.
“Mana ada? Kan aku udah punya kamu, cuyuuung!” jawab Dariel sambil mencubit pipi Melati gemas.
*
Selesai berganti baju, Acha dan Lina langsung pulang. Tadinya mereka pikir akan bertemu lagi dengan Dariel dan Melati sebelum keluar, tetapi ternyata tidak. Entah ke mana mereka berdua.
Acha yang tadinya ingin berbelanja lebih dulu sebelum pulang juga akhirnya memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Telinganya bisa sakit kalau mendengar Lina yang terus mengomel. Karena nyatanya lokasi selanjutnya cukup jauh dan waktunya hampir mepet. Takutnya nanti di jalan kena macet juga.
Baru sekitar pukul enam sore mereka bisa pulang ke apartmen. Itu pun dengan tubuh yang seolah babak belur. Mereka terpaksa menyewa sopir karena terlalu lelah. Sayangnya masih perlu beberapa langkah lagi dari parkiran menuju apartmen Acha. Tapi mereka harus bertahan, apalagi Acha yang harus jaga image.
“Gila. Harusnya tadi pulangnya pake sepatu kets aja, nih. Iri aku sama kamu, Lin.” Keluh Acha begitu masuk ke dalam elevator.
Dia melepas sepatu high heels 10cm warna merahnya di sana. Acha merasa jika sudah masuk Elevator, berarti dia tak perlu lagi menjaga image.
“Aku sih gak iri sama Kak Acha. Apalagi tadi buat syuting vidio klip doank kudu pake wedges yang tingginya satu kilan. Hiiii ngeri...” Lina bergidik.
“Emang sialan itu yang bikin konsep. Delapan kali jatoh ada nih aku.” Rutuk Acha.
“Santuy, Kak. Nanti kita spa. Dan besok Kak Acha kan juga libur.” Hibur Lina.
Selama menaiki elevator, tidak ada penghuni apartmen lain yang ikut masuk, sehingga mereka bisa cepat sampai di lantai tujuan. Dan kini pintu pun terbuka. Tinggal lima meter lagi menuju pintu apartmennya.
Begitu pintu terbuka sepenuhnya, nampak seorang pria yang tidak asing bagi mereka, Ryo. Ia berdiri bertumpu tembok sambil menjinjing satu kantung kresek besar di tangan kanannya. Saat melihat Acha dan Lina keluar dari pintu, senyumnya seketika mengembang.
“Pak Ryo.”
Jujur saja Acha masih kesal gara-gara pria ini salah memberikan informasi padanya tadi pagi. Tetapi dia terlalu lelah untuk segera mencecarnya saat ini juga.
“Jangan terlalu masam begitu.” Ucap Ryo yang menyadari ekspresi kesal Acha.
Diangkatnya plastik kresek di tangannya untuk diperlihatkan pada Acha.
“Tanda maaf?” lanjut Ryo.
Terlihat logo ChicKING’s Chicken, restoran ayam favorit Acha di kantung kresek itu. Melihat logo itu saja sudah cukup membuat air liurnya hampir menetes.
“Wah... saya lagi diet padahal. Tapi... gak bagus nolak niat baik orang lain ‘kan?” goda Acha sambil mengamit kantung itu dari tangan Ryo.
“Ckckck.” Decak Ryo lirih sambil menggelengkan kepala tak percaya.
Mereka bertiga pun berjalan beriringan hingga masuk ke dalam apartmen.
“Silakan duduk di sofa dulu, Pak. Maaf saya tinggal dulu. Saya mau ke kamar sebentar.” Kata Acha.
“Gapapa. Saya yang harusnya minta maaf. Toh saya juga datangnya mendadak dan kalian kelihatan lelah. Rasanya saya salah waktu terus.” Jawab Ryo penuh penyesalan.
Sementara Lina menggerutu, "sudah tahu salah waktu, masih aja dateng!". Tentunya itu hanya diucapkannya dalam hati.
Acha dan Lina meninggalkan Ryo begitu saja di sofa tengah. Sementara menunggu mereka berdua, dia memperhatikan interior yang ada di apartmen ini.
“Dari tembok, sofa, sampai karpet nuansanya oranye dan kuning. Apa dia suka warna bergradasi kuning?” gumam Ryo.
Ryo yang akhirnya bosan hanya duduk pun berdiri. Dia mendekat ke sebuah lemari kaca yang menjadi sekat bagian depan dan tengah apartmen ini. Di dalam lemari itu terdapat banyak merchandise dari serie Pokemon mulai dari boneka, action figure, dan beberapa kartu yang mungkin memiliki nilai lebih daripada yang Ryo bayangkan.
“Wow! Bahkan dia punya berbagai macam Pokeball?” kagumnya.
Dia memang sudah pernah ke apartmen ini kemarin. Tetapi karena waktunya saat itu tak begitu banyak, dia tak sempat memperhatikan isi apartmen ini dengan jelas. Ternyata di sini seperti Pokemon center. Bahkan dia baru sadar bahwa bantal sofa yang dia sandari tadi berbentuk kepala Pikachu dan di sebelahnya ada Raichu.
Puas melihat-lihat isi lemari, Ryo kini pindah ke nakas sebelah televisi. Di sana tertata bingkai-bingkai foto dari kayu. Di sana foto-foto Acha dan keluarganya terpajang dengan rapi. Ada juga foto-foto Acha dengan seorang perempuan yang sepertinya cukup akrab dengan Acha.
“Maaf menunggu lama, Pak.”
Dari lantai atas, Acha turun dengan mengenakan pakaian yang lebih santai tetapi tetap sopan. Dia langsung menuju dapur untuk mengambil tiga mug dan sebotol besar Teh Oolong. Yah... mau bagaimana lagi. Hanya air putih dan teh Oolong yang ada di lemari pendinginnya.
“Saya bantu ya, Mbak.” Ryo lalu menghampiri Acha dan mengambil tiga mug dari atas meja pantry dengan tangan besarnya.
“Makasih.” Ucap Acha.
Mereka kembali ke sofa tengah dan menaruh gelas dan botol itu di atas meja. Tak lama kemudian, Lina juga turun dari lantai atas dan bergabung dengan Ryo dan Acha.
“Kalian pasti lapar, kan? Saya khusus bawain ini buat kalian.” Kata Ryo sambil mengambil isi kantung kresek.
Ternyata dia bukan membawa box ukuran medium, tetapi ukuran jumbo.
‘Ya ampun, pantesan tadi berat.’ Batin Acha.
Acha membuka box itu dengan perasaan senang tentunya. Dia sangat senang dibawakan makanan dari restoran yang sudah menjadi favoritnya sejak SMA itu.
“Bapak ikut makan aja, Pak. Ini banyak banget, loh.” Ajak Acha dengan semangat.
“Gapapa?” tanya Ryo.
“Ya ampun, Pak. Mulai sekarang kita santai aja lah! Gak usah ngerasa gak enak. Apalagi ini Bapak juga yang beli.” Sahut Acha.
Lina hanya terdiam tanpa komentar. Dia juga tak masalah kalau berbagi makanan dengan Ryo. Tetapi di antara mereka bertiga, mungkin dirinya lah yang paling merasa canggung dengan keakraban yang tiba-tiba ini.