Sudah setengah jam lamanya waktu berlalu sejak syuting iklan yang dibintangi oleh Acha usai. Semua staf yang terlibat sudah selesai berberes dan sudah beranjak dari sana. Hanya Acha dan Lina yang masih betah karena sedang menunggu target mereka datang. Akan tetapi Dariel belum juga tiba. Padahal jika ditotal dari waktu gladi resik dimulai sampai saat ini ada sekitar kurang lebih dua jam. Mustahil rasanya kalau Dariel tak kunjung datang karena macet di jalanan. Mengingat tempat ini dekat sekali dengan tempat tinggal keluarga Hardiansyah yang berada di kawasan elit.
“Kayaknya seumur-umur lewat sini hampir gak pernah macet, deh. Kok lama banget tuh orang datengnya ya?” Keluh Acha sambil menggerak-gerakkan kakinya karena tak sabar.
“Sabar, Kak. Ini kan di mall. Mungkin dia belanja dulu gitu.” Ujar Lina yang justru dengan santainya sedang mencoba tread mill. Jarang-jarang dia bisa mencoba alat-alat seperti ini. Dia juga sudah jarang sekali olah raga, jadi tentu Lina tak ingin melepaskan kesempatan ini.
Acha sudah ingin menyerah dan pulang saja. Namun belasan menit kemudian, pintu masuk gym terbuka. Dari sana, akhirnya muncul juga orang yang mereka tunggu. Sayangnya tak hanya Dariel di sana. Melati muncul dari belakang Dariel. Mereka masing-masing menjinjing tas berlogo tanda centang dengan warna serasi.
“Ternyata jemput princess-nya dulu. Pantesan lama. Ryo gak bisa diandelin soal estimasi waktu nih. Apanya yang 30 menit?” gumam Acha dongkol.
Lina yang juga melihat kedatangan mereka pun turun dari tread mill. Dia mendekati Acha dan berbicara di samping telinga Acha dengan lirih.
“Saya mesti ngapain, Kak?” tanya Lina pada Acha.
Acha menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku cuma minta kamu observasi dulu. Aku yang bakal main duluan.” Kata Acha seraya melangkahkan kakinya ke arah Dariel dan Melati.
Melati yang melihat seniornya berjalan mendekati mereka buru-buru menyapa, “Lho, Kak Acha?”
“Hay, ketemu lagi kita.” Balas Acha.
“Iya, Kak. Kakak juga anggota gym ini? atau...” tanya Melati.
“Baru daftar sih, tapi Aku habis syuting iklan tadi. Jadi, sekalian aja.”
Melati mengangguk paham. Sekilas dia menangkap pandangan penasaran Acha pada Dariel. Akan tetapi seniornya itu segera kembali melihat ke arahnya.
“Oh, iya. Ini Dariel, teman saya. Kenalin, Ini Acha Juniatha, senior aku. Kamu pasti pernah lihat dia, deh.” Melati yang berusaha membaca situasi akhirnya memperkenalkan mereka berdua.
Inilah tujuan Acha. Dia sama sekali tak menyangka Melati juga akan datang. Tetapi bukannya sebagai hambatan, justru dia memanfaatkan Melati untuk memperkenalkan Dariel padanya.
“Hay, aku Acha.” Ucap Acha sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.
Dariel mengerutkan dahinya. Dia nampak sedang mengingat sesuatu saat melihat Acha. Akan tetapi tangannya tak lupa untuk membalas jabat tangan Acha.
“Dariel.” Dariel juga memperkenalkan dirinya.
Beberapa detik kemudian, Pria yang saat ini mengenakan kaos biru itu teringat sesuatu.
“Kamu kan yang make karet rambutnya aneh banget itu kan?!” seru Dariel sambil menjotos ringan telapak tangan kirinya.
‘prick!’
Seolah ada yang memantik korek api, rasa-rasanya amarah Acha mulai tersulut. Untungnya Acha masih sadar diri bahwa ini bukan saatnya untuk mengamuk. Apalagi hanya karena kalimat seperti itu. Untuk saat ini kesabaran adalah salah satu hal yang penting. Dan malah seharusnya Acha senang karena ternyata kemarin dia berhasil membuat kesan pada Dariel. Padahal dia pikir Dariel sama sekali tidak tertarik.
“E... Kita emang pernah ketemu ya?” Acha pura-pura lupa. Digaruk-garuk lehernya yang tidak gatal.
“Kita ketemu loh kemarin. Mungkin kamu gak inget karena kita cuma papasan.” Jelas Dariel.
“Kok aku gak tahu kalau kamu ketemu Kak Acha?” tanya Melati yang penasaran.
Dariel menengok ke arah kekasihnya itu, lalu menjelaskan, “Kamu inget kan ceritaku kemarin pas jemput kamu dari studio? Yang ku bilang ada cewe aneh banget? Yang kayak lagi parodiin iklan shampoo itu!”
“Oh!” akhirnya Melati ingat.
Dia ingin ikut menanggapi cerita Dariel, akan tetapi tidak jadi dilakukannya. Saat sesekali melihat ke arah Acha, nampak aura gegelapan sudah menyelimuti seniornya itu. Walaupun seniornya saat ini sedang tersenyum, entah kenapa Melati merasa senyumnya terlihat seram.
“Wah, kayaknya orang kayak Anda itu memang tidak perlu diingat sih, ya?” sindir Acha saking sebalnya. Dia tidak terima dibilang aneh oleh Dariel.
“Duh... mulut kamu dijaga sih, Dariel!” Melati memperingatkan Dariel yang akhirnya sadar akan amarah Acha dan menutup mulutnya.
“Maaf nih, Kak. Mulut ini bekantan emang gak bisa dijaga. Duh... gak enak, nih. Kamu sih, Riel! Baru juga kenal tadi, udah main mrupus aja itu mulut!” lanjut Melati masih memarahi Dariel.
Tangan Melati dengan cekatan mencubit perut Dariel dengan cukup keras. Dan entah sungguhan atau tidak, karenanya Dariel nampak kesakitan dibuatnya.
“I... i-iya, Maaf. Maafin a.. aku, ya.” Ucap Dariel.
“Minta maafnya ke Kak Acha lah! Masa ke aku!” hardik Melati.
“Iya iya. Mohon maafkan saya karena sudah kelewatan. Hmm... Saya harap tidak dimasukkan ke hati.” Ujar Dariel memenuhi perintah Melati. Sementara itu, di luar dugaan sepasang kekasih itu, Acha malah tertawa melihat mereka.
“Santai aja. Aku gak masalah, kok. Pfftt... Kalian lucu banget. Serasi. Ahahaha...” Acha tergelak.
Ditatapnya mata Dariel lekat-lekat sambil tersenyum simpul. Kemudian Acha kembali berkata, “Oh iya, berhubung aku udah gabung keanggotaan klub gym ini, mungkin kita bakal sering ketemu.”
“Mohon dibantu, ya. Bye! Aku pulang dulu.” Lanjutnya sambil mengedipkan mata pada Melati dan pergi begitu saja.
Dengan ini rencana pertama sudah benar-benar dimulai. Tidak disangka akan semudah ini Acha masuk ke dalam circle mereka. Selanjutnya Acha cukup meneruskan misi berikutnya, yaitu menjadi ‘teman dekat’.
Lina yang melihat Acha sudah kembali dengan senyum puas akhirnya lega. Dia sempat khawatir kalau kalau Acha tidak berhasil dan tujuan mereka langsung ketahuan. Kini Lina sadar kecemasannya merupakan sesuatu yang tak berguna.
“Kita mandi dulu, yuk! Banjir keringet, nih.” Ajak Acha.
Lina memperhatikan seluruh tubuh Acha mencari-cari bagian mana dari dirinya yang ‘banjir keringat’. Karena, nyatanya tak ada setetespun keringat yang nampak jelas. Apalagi sedari tadi hanya Lina yang sungguh-sungguh menggunakan fasilitas gym setelah mereka selesai syuting. Sementara keringat Acha seingat dia sudah dilap oleh dirinya sendiri begitu sutradara mengatakan ‘Cut!’
“Udah, hayuuuuk! Mandi, terus kita ke mall. Ok!” kali ini Acha menarik lengan Lina dan membawanya ke arah kamar mandi perempuan yang ada di gym itu.
“Duh, Kak Acha! Habis ini kita masih ada jadwal! Masa nge-mall!” tolak Lina.
“Iya iyaaa... pokoknya mandi dulu!” seru Acha yang masih menarik lengan Lina.
Lina hanya bisa pasrah. Toh tidak ada salahnya juga mandi sekarang. Dia sudah cukup lelah bekerja mendampingi Acha dari pagi dan dilanjutkan olah raga. Keringatnya juga cukup banjir. Kemudian dia sadar, mungkin yang dimaksud ‘banjir keringat’ oleh Acha itu adalah dirinya, bukan Acha. Kalau memang begitu ya... mau bagaimana lagi? Toh jadwal selanjutnya juga sudah menanti. Hari-harinya yang sibuk akan terus berlanjut selama dia bekerja dengan Acha, sang model populer yang ternyata juga memiliki pekerjaan sampingan. Selama dia dibayar dengan upah yang memuaskan, Lina tidak akan berhenti dari pekerjaan ini. Semoga saja dia bisa bertahan lama seperti pendahulunya. Semoga saja...