Bab 11 — Saat Pintu Itu Diketuk

736 Kata
Pagi itu udara terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi cukup membuat Aira merasakan sesuatu yang menggelitik di tengkuknya—pertanda buruk yang sulit dijelaskan. Aksa masih tidur, memeluk boneka kecil yang sudah mulai usang. Setidaknya malam ini ia tertidur tanpa menangis. Tapi lingkar hitam di bawah matanya masih jelas… dan itu cukup membuat hati Aira kembali remuk. Aira masuk ke dapur pelan-pelan, membuatkan sarapan sederhana. Tangannya gemetar tanpa alasan. Atau… mungkin alasannya jelas. Laki-laki itu sudah kembali. Dan ia bukan lagi sekadar bayangan dari masa lalu. Bunyi notifikasi membuat Aira tersentak. Arga: “Aku di depan.” Aira terlonjak. Ia buru-buru ke jendela, mengintip ke luar. Arga berdiri di dekat pagar. Kaus hitam, celana jeans gelap, rambut agak berantakan. Tapi matanya… teduh. Seperti dulu. Aira membuka pintu. “Kamu kenapa datang pagi-pagi?” suaranya pelan, setengah berbisik, takut membangunkan Aksa. Arga memasukkan tangannya ke saku celana. “Karena aku nggak suka kamu hadapi ini sendirian.” Aira ingin menyangkal. Tapi suaranya hilang. Dan ia tahu—Arga benar. “Ayo, kita bicara di luar dulu,” kata Arga. “Biar Aksa nggak dengar apa pun.” --- Mereka duduk di bangku kecil dekat teras. Keduanya diam beberapa detik. Hanya angin yang bicara. Arga membuka percakapan lebih dulu. “Aira… kamu yakin nggak mau cerita dari awal tentang dia?” Aira menatap tangannya sendiri, memain-mainkan ujung bajunya. “Buat apa? Dia sudah pergi. Sudah lama. Dan aku—” Aira menelan ludah. “Aku sudah bangkit tanpa dia.” Arga menatapnya lama. “Aku tahu kamu kuat. Tapi kamu juga manusia. Dan sekarang dia kembali dengan niat buruk. Kita nggak bisa anggap enteng.” Aira mulai gelisah. Ia menggosok lengannya, menahan emosi yang naik. “Aku takut, Arga.” Suaranya pecah. “Aku takut dia benar-benar mau ambil Aksa…” Arga tanpa ragu memegang bahu Aira, menatap langsung ke matanya. “Dengar.” Nadanya berubah tegas. “Aku ada di sini. Aku nggak akan biarkan dia sentuh kamu atau Aksa. Apa pun yang terjadi.” Aira menunduk. Ada sesuatu yang membuat dadanya hangat… tapi juga takut. Kenapa Arga begitu peduli? --- Tiba-tiba… Tok… tok… tok. Suara ketukan di pintu pagar membuat Aira kaku seketika. Seperti ada listrik menyambar tulang belakangnya. Arga langsung berdiri. Refleks. Sikapnya berubah, tegang. “Aira, tetap di sini,” katanya cepat. Tapi Aira ikut berdiri, tubuhnya gemetar. Ia tahu suara itu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu… ketukan itu masih sama. Perlahan, Arga membuka pagar. Dan di sana— Berdiri seorang lelaki tinggi, dengan raut wajah yang familiar tapi berubah menjadi dingin dan tajam. Raut wajah yang dulu pernah Aira panggil “suami”. Lelaki itu tersenyum tipis. Bukan senyum hangat. Senyum orang yang datang bukan untuk berdamai. “Pagi,” katanya santai. Lalu matanya menembus ke arah Aira, yang berdiri di belakang Arga. “Aira. Lama nggak ketemu.” Aira kehilangan kata-kata. Lututnya hampir goyah. Arga langsung berdiri sedikit ke depan, menyembunyikan Aira di belakangnya. “Ada perlu apa kamu datang ke sini?” suara Arga dingin. Lelaki itu mengangkat alis. “Santai, Ga. Aku cuma mau lihat anakku.” Aira menutup mulutnya. Napasnya pecah. “Dia bukan anak yang pernah kamu pedulikan,” Arga balas cepat. Lelaki itu tertawa kecil. Lalu menatap Aira lagi. “Aira… kamu pikir kamu bisa piara Aksa sendirian selamanya?” Dia mendekat. “Dia tetap darah dagingku. Dan aku datang untuk ambil yang seharusnya jadi milikku.” Aira mundur satu langkah. Tangan gemetar. Wajahnya pucat. “Jangan sentuh Aksa,” katanya—hanya sebatas bisikan, tapi penuh ketakutan. Arga langsung berdiri lebih depan lagi, bahunya menegang seperti siap berkelahi. “Dengar baik-baik,” kata Arga. “Kalau kamu sentuh Aira atau Aksa… aku yang akan berurusan sama kamu.” Udara mendadak mencekam. Seperti badai yang ditahan paksa. Lelaki itu mendengus, lalu mundur selangkah. “Tenang. Aku nggak akan ambil dia hari ini.” Ia melirik Aira lama. “Tapi siap atau nggak… Aira, aku bakal balik lagi.” Dan sebelum pergi, ia melempar kalimat yang membuat jantung Aira seperti dicengkeram: “Aku punya hak atas anakku. Dan aku nggak akan pulang tanpa dia.” Aira terjatuh ke lututnya begitu pintu pagar tertutup. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Arga langsung menghampiri, memeluknya tanpa pikir panjang. “Aira… aku di sini. Kamu nggak sendirian. Aku janji.” Dan untuk pertama kalinya… Aira membiarkan dirinya menangis di pelukan seseorang. Karena hari itu, ia sadar: Pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN