What World Is This?
Asap yang mengepul berlalu menuju suatu ruangan dengan satu ranjang kecil di dalam sana. Seekor burung kecil mematuk-matuk kaca jendela, diiringi nyaring bunyi alarm yang belum juga dimatikan sejak tadi pagi oleh si pemiliknya. Seorang gadis dalam tempat tidur yang acak-acakan mengendus-endus kala penciumannya menangkap aroma ayam goreng yang sedap. Getaran alarm masih belum juga berhenti, hingga merubah posisi menjadi di ujung nakas, sedikit lagi pasti jam wekernya terjatuh. Dan tepat! suara bisingnya mampu membuat gadis tersebut terbangun.
Matanya mengerjap beberapa kali, yang ia temukan tidak lebih dari langit-langit dengan sarang laba-laba dan debu yang menempel disana. Ia menengok ke kanan dan kirinya, pintu tak jauh dari ranjang yang ia tiduri, dan tembok di samping kiri yang ia punggungi. Satu meja belajar dengan buku-buku berjajar di samping pintu, dan nakas kecil dengan jam weker yang terjatuh. Ia mengerjap lagi, ia sudah mengira ini adalah mimpi yang buruk. Berusaha tak acuh ia tarik selimutnya untuk kembali membalut tubuh yang kedinginan, namun ia mulai merasa ada yang salah di sini.
Ia mengerjap sekali lagi, mencubit pipi, lalu terkesiap dengan cepat membangkitkan diri dari tempat tidurnya yang sempit. Ia menjerit ketika menyadari dirinya hanya menggenakan kaus tipis dengan celana pendek se-paha di balik selimutnya yang sekumal milik gelandangan. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya dengan sepatula terlihat panik memasuki kamarnya. "Ada apa? Ohh ya tuhan, kau masih tidur jam segini? cepat mandi dan tolong ibu di depan, sudah banyak pembeli sekarang. Kau tidak pergi ke kampus hari ini kan?"
"Ibu?"
"Kampus?"
***
Orang-orang berputar balik, entah kenapa kedai ayam goreng bibi Pawn sudah tutup pukul dua belas siang. Padahal kedai Chicken Pawn adalah kedai makanan cepat saji ter-lezat yang selalu ramai. Kedainya memang kecil, bibi Pawn bahkan menyatukan tempat tinggal dengan kedai tersebut. Namun tak jarang orang-orang dari luar kota sengaja datang kesana untuk memesan ayam goreng racikan luar biasa kedua tangan bibi Pawn. Kedai tersebut juga sering dijadikan tempat nongkrong santai, hingga berkencan. Tidak jarang bibi Pawn berteriak-teriak pada mereka yang senang berdiam diri di kedainya hingga berjam-jam tanpa tahu banyak pengunjung lain yang berdatangan.
Tidak perlu diragukan lagi seberapa populer dan seberapa lezatnya Chicken Pawn. Namun kali ini para pengunjung harus rela kecewa dan berputar mencari kedai makanan cepat saji lainnya untuk makan siang. Pasalnya bukan tanpa alasan bibi Pawn menutupnya, menurut beberapa tetangga anak perempuan bibi Pawn kerasukan, menjerit-jerit tidak jelas bahkan tidak mengenali ibunya sendiri. Sudah beberapa kali orang pintar keluar masuk untuk menyembuhkan puteri cantik bibi Pawn, namun tidak ada reaksi sedikitpun. Itu sebabnya mau tidak mau bibi Pawn menutup kedainya. Ia menarik paksa anak gadisnya keluar untuk membawanya ke psikiater.
"Namaku Nathaline Owen."
Plakk
Sang ibu memukul belakang kepala anak gadisnya, "kau benar-benar sudah gila?!" tanyanya pada si anak.
"Tidak dok, dia puteriku Peony Powell!" lanjut Mrs.Pawn.
"Mohon tenangkan dirimu Mrs.Pawn. Sebenarnya sejak kapan anakmu tidak mengingat apapun?" tanya seorang Dokter pria di hadapan mereka.
"Aku tidak hilang ingatan, APA LAGI GILA.! jadi, lepaskan aku.!" Gadis itu berontak dalam cengkraman tangan sang ibu. Sang ibu menatap penuh emosi pada puteri semata wayangnya yang ia kira sudah stress sekarang ini. "Apa dia salah makan? depresi? meminum obat-obatan? atau kenapa? aku mohon bantu puteriku ini, dok," sang ibu memohon. Dokter muda itu tersenyum tipis, meraih sebuah bolpoint lantas membenarkan posisi kaca matanya dan menegapkan tubuh sebelum mulai bertanya pada pasiennya ini. "Aku akan membantumu. Kau bisa percaya padaku?"
Mendengar ucapan Dokter tersebut gadis itu mulai tenang. Setidaknya ia tidak berusaha melepaskan tangan sang ibu pada lengannya untuk kabur dari tempat aneh tersebut. "Bisa ku tahu siapa Nathaline?" gadis itu melirik sinis pada Dokter di hadapannya. "Ya aku Nathaline." Dokter tersebut mengangguk sekali. "Kalau begitu siapa dirimu?"
"Duchess of Rutland, Nathaline Owen."
"Anak ini benar-benar. Kau taruh di mana otakmu, huh?" sang ibu memukul-mukuli anak gadisnya.
"JANGAN MENYENTUHKU! ATAU KU PENGGAL KEPALAMU?!" kali ini sang ibu berdecak, kesal bercampul miris. Ia bersumpah akan mengutuk anaknya menjadi ayam sebelum ia mati duluan.
"Jika ku biarkan ibu ini untuk keluar. Kau mau bercerita dengan tenang padaku? aku akan membantumu kembali."
Gadis itu terdiam, ia tidak mengenali orang-orang ini, ia tidak mengenali tempat dan aroma dunia ini. Ketika membuka mata pertama kali yang ia lihat adalah sebuah gubuk dengan ranjang kecil, beberapa barang aneh, dan ia nyaris telanjang. Lantas seorang wanita paruh baya tiba dengan celemek membalut tubuhnya dan sepatula di tangan kanannya yang mengaku-ngaku sebagai seorang Ibu. Kurang kaget apa lagi gadis ini? semuanya tampak asing. Wanita paruh baya itu menariknya pergi ketempat menyebalkan ini. Tidak sekali, dua kali ia membentak ketika wanita itu menariknya dengan pakaian minim ke tengah-tengah orang banyak.
Menelusuri jalanan ramai dengan asap, lalu naik sebuah kereta beroda besar yang sempat ia herankan kenapa bisa berjalan tanpa kuda. Mesinnya bising, baunya tak sedap, tapi mampu membuatnya takjup karena lebih fleksibel dari kereta kuda. Tidak hanya itu, ia melihat sepeda menggunakan mesin. Yang membuatnya bergidik ialah wanita-wanita yang memamerkan paha di jalanan ramai, bahkan tidak sedikit ia melihat pakaian yang hanya menutupi d**a dan bagian bawahnya saja. Apa mereka tidak malu? ia serasa melihat gambar panas yang pernah ia temui di buku-buku perpustakaannya. Sampai tidak sadar wanita paruh baya itu menariknya ketempat ini. Ke hadapan seorang pria berjubah putih yang di panggil-panggilnya sebagai Dokter.
Gadis itu menatap tidak minat pada Dokter yang beberapa kali melontarkan pertanyaan-pertanyaan aneh padanya sejak awal menginjakan kaki kemari. Wanita paruh baya yang kasar itu menunggunya di luar, sesuai permintaan Dokter ini. "Kau terlalu banyak bicara, Sir. Bisa kau katakan saja aku ini ada dimana, dan bagaimana caraku untuk pulang." Gadis itu kesal, jika tidak memberi pertanyaan pasti yang diberikan Dokter ini adalah seulas senyuman. Apa ia kira dengan senyuman itu mampu membuat gadis ini terpesona? dasar orang gila.
Gadis itu mengumpat berulang kali dalam hati, kendati ia benci sekalipun tak berhak ia memaki secara langsung, sebab itu akan menurunkan derajatnya sebagai seorang bangsawan. "Kau bisa pulang setelah pertanyaanku selesai nona. Rumah Mrs.Pawn adalah tempat tinggalmu, dan dia ibumu. Caramu pulang hanya mengikuti langkah kakinya." Gadis itu pusing setengah mati, siapa Peony Powell? kenapa orang-orang mengira dirinya Peony Powell? anak pemilik kedai ayam goreng yang sama sekali tidak kaya.
"Boleh ku tahu tempat dan tanggal lahirmu.?" Dokter itu kembali bertanya, kedua tangannya siap dengan buku catatan untuk mencatat seberapa ingat dan tidaknya gadis ini akan pribadi dirinya sendiri. "Rutland 28 Mei, tahun 1851." Beralih dari buku catatan, dokter itu mengangkat wajahnya menilik anak gadis di hadapan, ia sering menangani khasus seperti ini tapi entah kenapa ia ragu dalam beberapa hal kali ini. "Banyak sekali umurmu nak, lihat lah ini tahun 2020." Dokter itu menunjuk kalender di sisi pintu masuk yang tergantung.
Dapat sang Dokter lihat air muka gadis tersebut yang mendadak menunjukan ketegangan, lalu tubuhnya bergetar dengan kedua tangan yang saling mencengkram. Seolah dengan itu ia mampu meredakan gerataran di tubuhnya, namun nihil, alih-alih terhenti tubuhnya semakin terguncang kala rebak air mata tak mampu lagi untuk ditahan. Ia ketakutan, itu yang mampu sang Dokter tangkap. Bahkan gadis itu beringsut mundur ketika satu tangan sang Dokter terulur ingin menepuk pundaknya agar ia bisa tenang. "Aku--ingin pulang." Suaranya bergetar, tetesan air mata tidak henti mengaliri kedua pipi mulusnya.
"Kemana?" tanya sang Dokter. "Rutland, tahun 1871. Bawa aku pulang--ku mohon." Sang Dokter tersenyum, ia beranjak menghampiri seorang gadis yang kini menyudut di sisi pintu. "Namaku Jimmy, kau bisa memanggilku Dr.Jimm atau Dr.Jimmy. Yang jelas aku di sini untuk membantu orang-orang yang kehilangan arah untuk pulang ke jiwanya sendiri, atau khasus-khasus lain yang menyangkut psikologi. Apa kita bisa duduk lagi? ceritakanlah dengan perlahan bagaimana kronologisnya."
Gadis itu beranjak dengan perlahan, duduk di sebuah sofa yang ditunjuk Dr.Jimmy agar mereka sedikit lebih nyaman. "Nona, sekali lagi aku tanya siapa dirimu. Nathaline Owen, ataukah Peony Powell?" gadis itu mendongak, hendak menatap Dr.Jimmy namun ia melihat sebuah cermin tergantung yang memperlihatkan pantulan wajahnya dari sana. "Aku Nathaline. Wajah itu adalah wajah Nathaline, bukan orang lain!!" ia menjerit seraya menunjuk-nunjuk cermin di belakang Dr.Jimmy. "Baiklah, nona Nathaline tolong tenangkan dirimu. Sekarang ceritakanlah sesuatu tentangmu padaku."
"A-aku tidak gila. Aku puteri dari James Owen yang telah diperisteri Lord Morris, Duke of Rutland demi mempertahankan wilayah kekuasaan ayahku," ungkap Nathaline terang-terangan.
"Jadi kau telah bersuami? sedangkan Peony Powell masih seorang pelajar." Dr.Jimmy memandang Nathaline lekat, barang kali ia temukan kebohongan atau apapun dari bahasa tubuhnya.
"Aku tidak mengenali Peony Powell," tukas Nathaline.
"Baiklah, lanjutkan ceritamu."
"A-aku.." Nathaline berusaha mengingat.
***
Malam yang dingin itu menyeretnya ke sebuah ruangan gelap, pria bertopeng menyeringai menyudutkan Nathaline pada tembok. Nathaline berontak dalam kungkungannya, hingga pria itu melepas topengnya dan Nathaline meludahi wajahnya. Pria itu mengumpat, ia cengkram rahang Nathaline kuat-kuat. Sumpah serapah ia layangkan, berjanji akan melempengkan wilayah Norwich kekuasaan sang ayah dan membunuh Lord Morris, suami dari Nathaline jika saja wanita ini tidak mau datang padanya. Sayangnya Nathaline tak akan pernah mau menjadi Duchess Burlington untuknya, Lord Morris jauh lebih baik dari pria k*****t berhati iblis yang kehilangan akal sehat saking cintanya ia pada Nathaline.
"Aku tahu kau tidak mencintai Lord Morris."
"Tapi tinggal dengannya jauh lebih baik daripada hidup sebagai marionetmu, wahai Lord Davis yang terhormat." Mendengar itu pria yang dipanggil Lord Davis ini kembali menyeringai, aura hitam berkumpul di sekelilingnya, senyuman iblis itu keluar dengan manik yang menyala-nyala. "Ku beri kau waktu tiga hari. Jika masih tak mau datang padaku, perang akan dimulai." Lord Davis melepas cengkramannya, ia dorong Nathaline untuk pergi dari hadapan sementara ia berlalu memanjat dinding.
"Your Grace.!!" Seorang pelayan wanita berlari menghampiri Nathaline, dijatuhkannya obor yang sedari tadi menemainya untuk meraih tubuh nyonya sekaligus sahabatnya ini dalam pelukan. "Kau tidak apa-apa? kau berkeringat, tubuhmu juga bergetar," ucapnya khawatir. "T-tidak Anna, a-aku hanya takut," gumam Nathaline, Anna menariknya dengan perlahan untuk kembali ke kamar. "A-apa suamiku ada di ruangannya?" tanya Nathaline, namun Anna menggeleng. Ia katakan bahwa Lord Morris pergi ke Norwich untuk mengecek kondisi disana. Terror mulai berdatangan, tak jarang dalam sehari selalu ada yang mati tanpa sebab. Ketika mayatnya ditemukan selalu ada sepucuk surat dengan ancaman pada James Owen, Earl of Norwich, ayah Nathaline yang kini terancam melepaskan Norwich dan mati ditangan Lord Davis akibat pengkhianatan.
"Ruangan tadi, ruangan gelap tadi. Bisakah kita menutupnya?" tanya Nathaline tiba-tiba. Tubuhnya masih bergetar, takut-takut Lord Davis kembali dan membawanya keruangan itu. Ia bisa mati, bisa diculik, atau dilecehkan pria k*****t itu disana, dan Nathaline tak mau hal itu terjadi. "His Grace sangat mencintaimu. Ia pasti melakukan apapun yang kau inginkan." Anna menarik kembali tubuh bergetar Nathaline ke dalam dekapannya.
Dua hari setelah malam yang mengerikan itu, Nathaline semakin gelisah. Lord Morris belum juga kembali, sedangkan ia tidak memiliki waktu lagi, keputusan harus sudah diambil sebelum esok hari tiba. Nathaline sudah mengutus orang kepercayaan Lord Morris untuk menyusul sang suami, namun belum ada tanda-tanda satu atau keduanya sampai kembali. "Your Grace, sebenarnya apa yang terjadi malam itu? kau gelisah sekali akhir-akhir ini," tanya Anna yang sedari tadi melihat Her Grace nya ini mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar.
"Dia memberi waktu tiga hari, atau perang antara Burlington, Norwich, dan Rutland akan terjadi." Anna membelalak kaget mendengarnya, sekarang ia pun tak kalah panik. "Ya tuhan, Burlington memiliki banyak koneksi. Ia akan dengan mudah meminta bantuan sana-sini untuk memperkuat penyerangan." Nathaline mengangguk membenarkan. "Sudah dua hari, kan? itu berarti besok semuanya akan mati." Ucapan Anna malah semakin membuat Nathaline ketakutan. "Kalau begitu apa yang harus aku lakukan, Anna.?"
Anna berpikir sesaat, "pergilah, ketempat dimana tidak akan ada seorang pun yang tahu. Biarkan kami saja yang mati. Kau berhak untuk kehidupan yang bahagia Your Grace, aku tidak ingin kau tinggal disisi orang jahat macam Lord Davis." Anna menggenggam tangan Nathaline kuat-kuat, berusaha meyakinkan Nathaline untuk melakukannya demi kebaikan dirinya sendiri. "Tidak Anna. Itu gila, aku penyebab dari semua ini. Aku tidak ingin berusaha bertahan hidup sedangkan ku korbankan nyawa banyak orang." Anna melemas, ia tahu pada akhirnya keputusan seperti apa yang akan diambil wanita ini. "Lantas kau akan datang padanya? menjadi wanitanya?" Nathaline menggeleng yakin sebelum mengatakan, "lebih baik aku mati di hadapannya."
Hingga mentari tiba Nathaline tetap dalam kegelisahannya, ia tidak tidur semalaman dengan Anna yang tidak pernah meninggalkannya. Tidak ada percakapan antara dirinya dengan Anna, ia bahkan tidak keluar kamar hingga petang menjelang. Suara orang-orang berlarian di luar sana mulai terdengar oleh Nathaline. Nathaline berlari menuju balkon, melihat beberapa penjaga yang tewas dan orang-orang suruhan Lord Davis masuk menerobos. Pintu kamar Nathaline didobrak, ia dan Anna kaget bukan kepalang. Namun sepersekian detik mereka kembali tenang, sebab ternyata yang datang adalah orang kepercayaan Lord Morris. Jonathan Mason, pria itu menautkan tangannya pada tangan Nathaline. Mereka tinggalkan Anna sendirian di sana, dan pergi ke tempat persembunyian.
Nathaline terbelalak, ia kaget ketika orang kepercayaan Lord Morris ini membawanya ke ruangan gelap yang tempo hari mempertemukannya dengan Lord Davis yang bengis. "Tidak, jangan di sini. Dia tahu tempat ini," ujar Nathaline, namun Jonathan masih saja membawanya ke tempat itu. "Aku tidak mau di sini!!" jerit Nathaline yang langsung membuat Jonathan mencengkram kedua bahunya erat-erat, terengah ia tatap manik Nathaline lekat-lekat. "Percaya padaku. Pergilah ke ujung sana, aku akan menjagamu disini," ucapannya membuat Nathaline mematung seketika. "K-kenapa kau yang menolongku?" Jonathan melepaskan cengkramannyan, ia usap kasar wajah tampannya yang dipenuhi kekhawatiran. "Terjadi p*********n pula di Norwich, Lord Morris tidak bisa pulang. Aku kemari untuk menolongmu atas perintahnya. Jadi, cepatlah sembunyi."
"Tidak, incarannya adalah aku. Aku tidak mungkin sembunyi dan membiarkan orang-orang mati karenaku." Nathaline memandang kosong ke arah lain, air matanya telah berjatuhan sebab kekhawatiran akan keselamatan semua orang. "Tolong jangan membantah. Suami dan ayahmu mati-matian mempertahankanmu. Jika kau ikut mati, maka pengorbanan mereka akan sia-sia. Pergilah, sekarang!!" suara Jonathan meninggi, Nathaline dengan terpaksa harus memenuhi keinginannya untuk sembunyi.
Ia berjalan tidak tahu arah di ruangan gelap yang dipenuhi rumput liar, entah untuk apa ruangan kosong tidak terawat seluas ini dibuat Lord Morris di mansionnya, namun Nathaline tetap berjalan sejauh mungkin hingga ia temukan satu titik yang paling gelap, ada sebuah lorong kecil di sana. Mungkin jika ia bersembunyi di sana maka ia tidak akan ketahuan. Nathaline menoleh sesaat, ia masih bisa melihat tubuh tegap Jonathan yang mengawasinya di ujung sana. Tanpa ragu Nathaline memasuki lorong itu, ia berjongkok seraya memeluk kedua lututnya erat-erat. Lorongnya sangat pengap, mau tidak mau Nathaline harus tahan. Mati-matian ia berusaha terjaga dalam situasi ini, namun kantuk membuainya menuju alam bawah sadar...
Sayangnya, ketika ia membuka mata kembali, ia malah berada jauh dari Rutland. Tepatnya di tahun 2020, dan semuanya tampak begitu asing...