Prolog
New York, The House of Mr. and Mrs. Stanwood, 07 Juli 2017, 07.00 AM
Gerbang besar rumah itu kini tampak kian megah dengan beberapa lampu gantung dan juntaian kain tipis, bagai pilar yang menghubungkan bagian luar dengan dalam bangunan istana raja abad ini. Ke bagian dalam, pada kiri dan kanan jalanan lebar itu dihiasi tiang-tiang pendek sebagai pembatas beserta kain menjuntai dalam nuansa serba putih. Halaman dengan luas lebih dari dua ratus ribu meter persegi itu telah dipenuhi bangku-bangku tamu dengan meja-meja bulat bertaplak putih dengan renda keemasan. Di satu sisi, sebuah panggung berukuran besar berdiri dengan dekorasi serba putih, bercampur dengan sedikit warna-warna hijau daun dan rona keemasan. Menjadi latar prosesi pernikahan yang menawan sekaligus hangat. Lampu-lampu gantung berukuran kecil berjuntai dari aluran rumit di atas bagaikan atap. Saling menyilang di antara kabel dan terhubung pada tiang-tiang di sekeliling halaman, hingga ke pohon-pohon di barisan paling belakang. Rumput-rumput yang terbentang bagai karpet tebal kini sudah kering dari embun. Langit seolah ikut melaksanakan tugas bagai atap teduh dengan pancaran cahaya cerah.
Beberapa tamu tampak sudah berdatangan, memenuhi kursi empuk bersarung putih yang tersebar teratur di halaman. Hadir dalam balutan terbaik pakaian mereka. Sebuah grand piano di sebelah panggung mengeluarkan dentingan halus lagu klasik akibat tekanan lembut sang pianis. Berkolaborasi secara dinamis dengan wedding orchestra yang telah mengalunkan irama-irama lembut sejak pagi.
Di dalam rumah, Denaya Haven menggenggam erat seprai kamar tidurnya. Denaya belum terbiasa dengan kamar itu, terlebih dengan sentuhan beberapa dekorasi yang serupa dengan hiasan di depan rumah. Aroma cat dan perkakas baru masih tercium di udara. Namun, bukan itu yang membuat Denaya sesak. Ia berdiri, membuat gaun pengantin putih berbawahan mekar itu meluruh sempurna. Membalut tubuhnya dengan memesona. Sebuah mahkota terpasang indah di kepala, terkait dalam rambutnya yang terjalin sebagian, terurai hingga ke punggung dalam helai cokelat terang bergelombang. Denaya menoleh menghadap cermin. Tidak merasa membaik setelah mematut penampilannya. Ia mungkin terlihat cantik, tapi tubuhnya gemetaran. Alunan samar musik dari halaman seolah tidak bisa merilekskan ototnya yang tegang.
Sebuah ketukan di pintu terdengar menggema di kamar yang kosong, menyisakan ia seorang diri. Sambil berjalan lambat ia bergerak menuju pintu. Baru dua langkah, ponselnya di kasur berdering. Denaya lantas kembali untuk mengambilnya. Keningnya berkerut saat nama Maxleon Stanwood terpampang di layar. Debar jantungnya kian menguat.
“Ya, halo?” sambut Denaya setelah mengangkat panggilan.
Tidak ada balasan. Hanya desahan napas yang terdengar teratur.
“Hei,” sapa suara itu akhirnya. Terdengar berat tapi juga halus.
Denaya tanpa sadar mengembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Gemuruh di dadanya belum mereda, malah kian parah setelah mendengar suara Maxleon Stanwood di seberang sana.
“Maxleon,” ujar Denaya lembut dengan suara gemetar. Seketika ia merasa sangat emosional hingga nyaris menangis.
Maxleon mengembuskan napas pelan di ujung sana. Ia menyandarkan diri ke pintu kamar bagian luar. Menahan diri untuk menyerbu masuk supaya bisa menenangkan Denaya. Ia sudah berjanji, untuk hari ini saja ia akan taat pada aturan orang tuanya—juga orang tua Denaya. Dan peraturan itu bilang mempelai laki-laki tidak boleh menemui mempelai perempuan sebelum pemberkatan. Dia tidak bisa masuk.
“Hmm?” sahut Maxleon perlahan.
Denaya menggigit bibirnya karena kalut. Ia berjalan bolak-balik di sekitar ranjang.
“Aku takut.” Denaya mengaku dengan lambat.
Matanya sudah berkaca-kaca entah karena apa. Ini bukan saat yang tepat untuk terharu, apalagi bersedih, dan ia sama sekali tidak sedih. Hanya saja, semua perasaannya campur aduk hingga hatinya kewalahan. Denaya tak pula berbohong, karena ia memang benar-benar ketakutan. Sebulan belakangan, sejak ia dan Maxleon menyanggupi ide ini, ia tidak berpikir sebegitu keras. Ia tidak menyangka akan seserius ini situasinya. Namun, saat perhelatan itu sudah di depan mata, Denaya sama sekali tidak bisa tenang. Apakah ini keputusan yang tepat? Meskipun mereka bukan sepasang kekasih, meskipun mereka hanya dua orang yang sudah berteman sejak kecil, meskipun mereka sama sekali tidak dimabuk cinta. Apakah sungguh tidak apa-apa?
“Aku juga.” Maxleon membalas pelan.
Tangan Maxleon mencengkeram gagang pintu dengan erat. Berusaha menyembunyikan getaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Kepalanya pusing, seolah dunia sengaja mengombang-ambingkan kehidupannya hari ini. Ia bahkan merasa nyaris muntah karena tegang.
Denaya berhenti melangkah. Alunan suara Maxleon masih mengendap di kepalanya. Ia termangu, seolah baru saja dikejutkan oleh sesuatu. Desah napas Maxleon masih terdengar di telepon. Denaya akhirnya sadar, bukan hanya ia yang ketakutan. Bukan hanya ia yang gugup dan gemetar hebat. Bukan hanya ia yang ngeri dengan masa depan, akan seperti apa dunia setelah ini. Namun, Maxleon juga. Keadaan pria itu tak jauh berbeda dengannya saat ini.
“Denaya,” panggil Maxleon tak berapa lama kemudian.
“Ya?”
“Kau di mana?”
Denaya mengernyit bingung. “Di kamar.”
“Bisakah kau mendekat ke pintu?” pinta Maxleon kemudian.
Tanpa menjawab, Denaya melangkah sembari mengangkat sedikit gaunnya. Denaya berdiri di depan pintu, menatap benda berbahan kayu jati itu dengan sungguh-sungguh.
“Sudah?” tanya Maxleon.
“Ya, aku sudah di depan pintu.”
“Baiklah,” jawab Maxleon lega. “Aku sedang berada di balik pintu sekarang,” lanjutnya.
Mendengar itu, Denaya refleks mendekat. Ia bersandar ke pintu, menyandarkan kepala ke sana, seolah ingin mendengarkan suara Maxleon secara langsung dari balik pintu.
“Kenapa tidak masuk?” tanya Denaya pelan.
“Kata Ibu tidak boleh.”
Denaya sontak tersenyum mendengar alasan itu. Geli karena untuk hari ini Maxleon bersedia patuh, begitu pula dia. Biasanya, jangan ditanya.
“Denaya,” panggil Maxleon sekali lagi.
“Ya?”
Keheningan agak lama sebelum pria itu kembali bicara. “Kau tidak mau menikah denganku?”
Denaya lagi-lagi termangu. Pertanyaan itu terdengar begitu jujur dan disuarakan dengan ragu. “Tidak,” jawab Denaya kemudian. Tidak menyuarakan kebohongan, karena ia memang tidak menolak pernikahan ini. Dia sendiri yang menyanggupinya.
“Kau mau kita membatalkannya saja?” tanya Maxleon lagi. Meskipun semua orang akan berkata bahwa pertanyaan ini begitu terlambat untuk ditanyakan, baginya ini sama sekali belum terlambat. Janji belum terucap, cincin belum tersemat, dan status belum disahkan. Mereka masih bisa mengendalikan jika ini memang akan berakhir di sini. Ia tidak bisa membiarkan Denaya terperangkap dalam keputusan yang tidak ia inginkan. Meskipun itu dengannya. Apalagi dengannya.
“Tidak,” jawab Denaya lagi. Bukan juga kebohongan, karena satu detik pun ia tidak pernah berpikiran untuk membatalkan pernikahan ini. Ia hanya takut. Ia membutuhkan keyakinan. Dorongan kepercayaan.
“Apakah kau pikir akan bisa bahagia hidup denganku?”
Maxleon menyuarakan pikirannya lagi. Tak lagi peduli jika Denaya menganggap pertanyaan itu menggelikan, seolah mereka adalah sepasang kekasih yang terikat romansa dan bukannya sahabat sejak muda.
“Tentu,” jawab Denaya lebih cepat. “Selama ini kita melaluinya dengan sangat baik.”
Denaya refleks tersenyum. Mengenang kembali dua puluh tahun lebih kehidupannya yang ia habiskan bersama Maxleon. Sudah tidak terhitung berapa banyak tawa dan kenangan indah. Tak lagi bisa diingat berapa banyak pertengkaran berujung perdamaian manis yang mereka lewati. Semuanya mengalir begitu halus dan tepat, seolah Denaya tak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya sekarang jika Maxleon tidak ada.
“Benar. Aku juga berpikir begitu,” balas Maxleon sambil tersenyum. Ia kini menyandarkan punggungnya ke pintu. Mulai bisa bernapas dengan normal setelah sebelumnya terasa terimpit.
“Denaya,” panggil Maxleon lagi. Membenarkan posisi ponsel di telinganya karena suara Denaya secara langsung hanya terdengar samar.
“Ya?”
“Aku akan membahagiakanmu. Jikapun belum bisa, setidaknya aku akan berusaha tidak membuatmu menderita.” Maxleon mengutarakan janji itu sungguh-sungguh dengan suara rendah yang kian mendalam. Membuat Denaya di balik pintu seketika merinding. Selaput cairan terbentuk di mata Denaya. Ia mengangguk, memercayai Maxleon seperti yang sudah-sudah. Tangannya terangkat menyentuh pintu, seolah ingin menyentuh Maxleon di balik sana.
“Baiklah. Jangan terlalu stres. Semua akan baik-baik saja. Kita akan melalui ini dengan baik. Ya kan?” tanya Maxleon lagi dengan irama lebih ringan dibandingkan sebelumnya.
“Oke,” sahut Denaya dengan lebih yakin.
Keduanya terdiam sesaat, masih dalam posisi yang sama.
“Sampai jumpa di altar, Denaya.” Maxleon akhirnya bersuara lagi. Merasa jauh lebih lega daripada sebelumnya, dan tentu saja, lebih yakin.
“Sampai jumpa, Maxleon.”
Setelahnya, telepon terputus. Maxleon sudah beranjak dari dekat kamar. Sedangkan Denaya sudah menjauh dari pintu. Melangkah ke tengah kamar, lagi-lagi untuk bercermin. Mematut penampilan terakhirnya sebagai seorang gadis. Setelah keluar dari sini nanti maka ia akan menjadi istri Maxleon, Nyonya Stanwood baginya. Untuk pertama kali, Denaya akhirnya tersenyum.
***
“Denaya Haven, aku mengambilmu menjadi istriku, berjanji untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, sehat maupun sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, untuk saling mengasihi dan menghargai. Aku akan selalu menyayangi dan menjagamu sepanjang hidupku, menjadikanmu yang utama dari segala hal, menjadi tempatmu bergantung, sampai maut memisahkan, sesuai dengan ketentuan Tuhan.”
“Maxleon Stanwood, aku mengambilmu menjadi suamiku, berjanji untuk setia kepadamu, dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, susah maupun senang, menerima segala kekurangan dan kelebihanmu, saling mengasihi dan menjaga, serta menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kita. Aku akan selalu mencintaimu, menjadi tempatmu pulang dan bersandar, hingga maut memisahkan, sesuai dengan ketentuan Tuhan.”
“Sekarang, melalui kebaikan yang dikuasakan padaku sebagai pendeta dan pelayan Tuhan, di hadapan Tuhan dan para saksi, aku mengesahkan dan mengumumkan kalian sebagai suami dan istri, dua menjadi satu, satu dalam perhatian, dalam takdir, dalam kasih, dan dalam hidup, sampai selamanya. Semoga keberkahan surga menyertai kalian sepanjang hidup.”
Para mempelai sudah diberkati. Cincin telah disematkan. Alunan himne pernikahan berganti dengan lagu klasik romantis. Tepuk tangan dan tetesan air mata bahagia menghiasi suasana. Tawa bahagia meledak saat Denaya dan Maxleon saling mendekat. Pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Denaya, sementara Denaya balas melingkarkan tangan ke lengan Maxleon.
“Kau boleh mencium pengantinmu, Tuan Stanwood,” titah pendeta tak lama kemudian.
Keduanya sontak memberi jarak. Sorak-sorai teman-teman kantor mulai memenuhi udara. Maxleon menoleh, menatap Denaya dengan lebih intens dari yang ia maksudkan. Gadis itu tampak gugup sambil sesekali melihat para tamu.
“Hei, sudah kubilang jangan takut,” hibur Maxleon dalam bisikan sambil tersenyum.
“Aku tidak takut,” kilah Denaya, meskipun Maxleon bisa melihat pipinya memerah hingga ke telinga.
Kemudian semuanya berlangsung bagai dalam gerakan lambat bagi Denaya. Maxleon maju. Bisikannya masih terasa hangat di telinga Denaya, “Aku tidak akan mencuri apa pun darimu. Jangan memikirkan apa pun.”
Tangan pria itu merengkuh wajahnya hingga ke leher. Tangan yang lain merangkul pinggangnya dengan hangat. Lalu bibir pria itu menyapa dahinya dengan lembut. Denaya kehilangan konsentrasi hingga hanya bisa memejamkan mata. Mulai yakin bahwa ia akan bisa menghadapi hari esok dengan baik. Tanpa tahu bahwa kehidupannya tidak akan semudah itu. Bahwa pernikahannya tidak semulus khayalan. Tak segampang yang ia kira. Maxleon mencuri bukan hanya posisi suami, tapi juga semuanya. Semua bagian dari Denaya hingga mungkin ia bisa berakhir tanpa sisa jika terlepas. Semuanya terlalu berat, sampai Denaya dan Maxleon harus mempertimbangkan pilihan yang sama sekali tidak pernah dipikirkan; perceraian. Atau situasi akan kian membahayakan hingga salah satunya bisa mati kapan saja.