New York, The House of Mr. and Mrs. Stanwood, 12 November 2018
Suara hairdrier terdengar memenuhi ruangan. Denaya dalam balutan jubah mandi berwarna putih hingga setengah paha tampak sibuk mengeringkan rambut. Ia mengibaskan rambut setelahnya, mematikan alat itu dan bergerak menuju closet room. Menekan sebuah tombol di dinding sebelah lemari yang dilengkapi sensor pendeteksi sidik jari. Setelah bunyi bip kecil, pintu kaca itu bergeser membuka. Gadis itu melangkah masuk, berhadapan dengan entah berapa banyak setelan yang tergantung dengan rapi. Aroma wangi yang disukainya menguar dari ruang pakaian. Setelah memilah-milah, ia akhirnya menjatuhkan pilihan pada sebuah celana hitam ketat dan tanktop hitam.
Denaya melangkah lagi menuju tempat pakaian pria biasanya disimpan, letaknya bersebelahan dengan miliknya, dan tentunya tidak kalah besar. Telunjuknya mengetuk-ngetuk bibir, memikirkan apa yang sebaiknya dikenakan suaminya hari ini. Ia mengambilkan sebuah celana kain berwarna hitam, kemeja putih dan tambahan jas santai yang biasa dikenakan oleh pria itu. Setelah selesai, ia berjalan keluar dari ruang pakaian kerja. Mengabaikan pintu lemari yang mengunci otomatis di belakangnya, lalu melanjutkan langkah menuju ranjang. Meletakkan pakaian itu di sana kemudian mulai menyiapkan penampilannya sendiri.
Denaya Stanwood baru saja selesai mengenakan tanktop saat pintu kamar mandi terbuka. Maxleon Stanwood, atau yang kerap disapa Maxleon, keluar dari sana dengan handuk yang terlilit di pinggang. Tangannya sibuk mengacak-acak rambutnya yang basah. Ia menatap Denaya yang kini sedang menghias diri di depan cermin. Menampilkan cengirannya yang dibalas dengan kedipan mata oleh Denaya. Pria itu lalu berjalan ke arah ranjang, ikut berpakaian.
“Kau ada misi baru?” Denaya bertanya setelah mengoleskan eyeliner. Mematut diri dengan ketelitian meningkat di depan cermin.
“Tidak ada. Kasus penyelundupan narkoba besar-besaran itu sudah hampir selesai. Hanya tinggal menunggu waktu hingga Ketua Richard memerintahkan penyerangan.”
“Ah, benar juga. Penyelundupan narkoba itu ya. Kudengar keuntungan mereka besar sekali. Si berengsek itu benar-benar seorang kriminal.”
Denaya mengepit-ngepitkan bibirnya atas dan bawah saat ia selesai mengolesi lipstick. Sementara Maxleon sudah siap dalam setelannya. Terlihat tampan dan gagah, dan yang pasti, beraroma menggoda karena campuran aroma parfum dan sabun mandi. Denaya berjalan melewatinya sambil sengaja menghirup udara lebih banyak.
“Denaya, sudah kubilang jangan mengumpat. Kau sungguh tidak bisa menurutiku ya?” Maxleon menatap istrinya dengan galak, sementara Denaya hanya terkekeh sambil memakai blazer abu gelap. Ia memberi tanda perdamaian dengan jarinya pada Maxleon yang hanya memutar bola mata.
Denaya mengambil tasnya. Memasukkan beberapa berkas misinya, sedikit kosmetik, dompet, ponsel, iPad hitam yang kecanggihannya sudah menyamai komputer kebesaran Kepolisian Korea, dan sebuah pistol angin yang selalu dibawa ke mana-mana.
Ia lalu berbalik, bersandar pada lemari hiasnya sambil memandangi Maxleon yang juga sedang menyiapkan peralatan. Denaya berjalan mendekat dan menunggu dengan sabar. Tangannya mengambil alih dasi Maxleon, memakaikannya di leher saat pria itu tampak agak kesulitan. Maxleon tidak berniat untuk menyuruhnya bergegas karena mereka masih punya banyak waktu untuk berlama-lama. Pria itu lalu memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel hitam. Yah, suaminya tidak tertarik untuk menggunakan tas kerja yang biasa digunakan orang-orang. Dari banyaknya pilihan, Maxleon malah memilih menggunakan ransel. Dan Denaya sama sekali tidak mencegah karena itu tidak ada gunanya. Tidak berpengaruh pada penampilannya—yang tetap saja terlihat tampan—, tidak pula pada kemampuannya bekerja.
Maxleon menawarkan lengan kirinya, dan Denaya melingkarkan tangannya dengan suka cita. Terkekeh sambil mengimbangi langkah kaki Maxleon yang ringan. Keduanya menapaki tangga dengan bertelanjang kaki. Berjalan menuju meja makan yang telah tersedia sarapan. Rumah itu besar, bahkan dapat dikatakan amat sangat besar. Dengan kecanggihan yang memukau mata, serta keamanan yang tidak perlu diragukan lagi. Beberapa pegawai keamanan akan senantiasa siap siaga di bagian depan, samping kiri dan kanan, serta belakang rumah itu. Berjumlah sekitar delapan belas orang dengan lima orang wanita di antaranya. Dengan kemampuan yang tentu saja dapat diandalkan. Sementara untuk urusan rumah tangga—seperti masak-memasak dan membersihkan rumah—terdapat tujuh orang pekerja yang keseluruhannya adalah wanita. Dikepalai oleh Shim Ah Min, wanita paruh baya yang ramah, cekatan, dan keibuan. Yang menyayangi suami-istri itu sebesar rasa sayang kepada anak sendiri. Terdapat tiga orang lainnya yang bertanggung jawab terhadap keterawatan tanaman-tanaman di pekarangan maupun dalam rumah. Termasuk taman luas dan pohon rimbun yang mengelilingi rumah itu bagai pagar yang menyamar.
“Oh, apakah aku sudah mengatakannya padamu?” Denaya bertanya saat ia dan Maxleon tengah menikmati makanan lezat yang Denaya tidak ketahui apa namanya.
“Tentang apa?”
“Ibu mengajakku ke dokter kandungan.”
Hanya sesingkat itu, lalu cerita Denaya terhenti. Gadis itu mengunyah makanannya dengan pelan. Tangannya terulur, berniat mengambil segelas s**u di meja, tapi tangan Maxleon sudah lebih dulu mencegah. Membuat Denaya menatap penuh tanya pada pria itu.
“Jangan minum yang itu, masih panas. Minum punyaku saja,” ujarnya jelas sambil mengangsurkan gelas miliknya sendiri. “Lanjutkan saja ceritamu tadi. Ibumu mengajakmu ke dokter, lalu?”
“Oh, ya, benar. Dia bilang ingin memeriksakanku. Dia mulai cemas kalau-kalau ada yang tidak beres pada tubuhku.”
Maxleon sejenak berhenti mengunyah. Menoleh pada Denaya yang sedang menampilkan wajah sedih, tapi amat tidak meyakinkan. Ia bahkan tidak berhasil menyembunyikan jejak senyum pada bibir merah muda itu. Sementara Denaya menunggu reaksinya dengan sabar. Detik berikutnya, pasangan itu tergelak. Tertawa atas alasan yang hanya bisa dipahami mereka.
“Ya Tuhan, mereka benar-benar tidak menyerah ya,” tukas Maxleon.
“Kalau kau tanya pendapatku, sepertinya dua orang itu masih terus-terusan berusaha agar berhasil mendapatkan cucu. Bagaimanapun caranya.”
“Dan menurutmu apa yang akan mereka lakukan saat tahu bahwa kita bahkan tidak pernah berusaha?” Maxleon menaikkan alisnya. Melanjutkan sarapan sambil memandang Denaya yang lebih memilih fokus pada piring makan.
“Aku tidak pernah membayangkannya, karena aku tahu itu pasti mengerikan.” Kalimat itu seharusnya menimbulkan kesedihan, tapi gadis itu malah tersenyum geli. Sementara pria di hadapannya hanya terkekeh.
Keduanya bangkit setelah sarapan tandas lalu berjalan beriringan menuju pintu depan. Denaya mengambil boots hitam, tidak merasa kesulitan dengan seberapa tinggi hak sepatu itu. Sementara Maxleon terlihat gaya dengan sepatu pantofel. Keduanya berjalan menuju garasi di bagian kiri rumah bagian depan. Masuk melalui pintu lebar yang menghubungkan ruangan itu dengan rumah utama. Pintu yang juga dibuka dengan sensor pendeteksi lainnya. Menandai tidak sembarangan orang akan bisa masuk ke istana besar ini.
Garasi untuk kendaraan pasangan muda ini besar, sebanding dengan betapa mengagumkannya rumah itu. Atap mengilatnya terletak tinggi, dengan lantai yang kasar dengan batu-batuan kecil yang didesain kuat dan elegan. Sekitar sepuluh mobil terparkir cantik di sana. Keluaran terbaru dengan kecepatan meyakinkan dan model yang tidak mengecewakan. Harganya … biarlah itu menjadi urusan mereka. Dua sepeda motor sport juga terdapat di ujung garasi. Itu belum termasuk dengan jet pribadi yang kini sedang terparkir indah di belakang rumah.
“Kita tidak naik Hannesey?” Denaya bertanya saat melihat Maxleon melangkah menuju mobil Ferrari berwarna merah cemerlang di bagian kanan.
“Tidak. Kita sudah menggunakannya minggu lalu.”
“Sayang sekali, aku suka yang hitam itu.”
Denaya masuk ke dalam saat Maxleon membukakan pintu mobil untuknya. Memasang seatbelt kemudian memuaskan mata dengan pemandangan dalam mobil. Maxleon masuk lalu mulai menyalakan mesin. Deru mobil itu terdengar halus. Mobil kemudian melaju dengan gerakan mulus. Dinding garasi di depan mobil terangkat membuka, menampakkan jalur mobil yang akan mengantarkan mereka ke halaman samping rumah. Jalur itu berkelok halus, dengan panjang sekitar lima ratus meter dan dinding di kedua sisi yang akan memastikan keamanan.
Sinar matahari menyambut mereka saat keduanya keluar dari rumah utama. Meluncur di jalur mobil hingga sampai ke halaman depan, melaju ke gerbang besar. Gerbang tinggi dengan pahatan batu seekor singa di kedua sisi.
“Apakah menurutmu Ayah akan meminta kita menginap di rumahnya?”
“Aku tidak tahu, tapi sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Lagi pula kita kan baik-baik saja.”
“Yah, aku hanya mengantisipasi. Agak mengerikan kalau itu tiba-tiba terjadi.” Denaya merengut kecut, sementara Maxleon hanya tertawa ringan.
Gadis itu melamun, lebih dikarenakan keheningan yang tiba-tiba melanda mereka setelah memasuki lalu lintas umum. Tidak. Sebenarnya tidak ada yang salah. Dia baik. Maxleon pun baik-baik saja. Pernikahan mereka juga baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan hubungan itu. Ia dan Maxleon tidak saling membenci, dan meskipun mereka kerap bertengkar kecil, itu sama sekali tidak merusak hubungan.
Satu-satunya ketidaknormalan itu adalah bahwa mereka tidak saling mencintai. Ia bukannya tidak suka pada Maxleon. Dan ia yakin, Maxleon pun pasti menyayanginya. Pernikahan ini bisa terjadi karena dukungan yang terlalu besar dari orang tua mereka. Maxleon dan Denaya sudah saling kenal sejak sekolah dasar. Mereka tinggal di lingkungan yang sama. Ditambah lagi keduanya sempat mengikuti pelatihan yang sama saat di Washington dulu. Denaya bukan seorang yang mudah bersosialisasi. Hanya pada Maxleonlah ia bisa benar-benar berteman. Sebab keluarga yang saling mengenal itu tidak membuat Maxleon dicurigai akan membahayakan Denaya, karena itulah orang tua Denaya cenderung mempercayakan anaknya itu pada Maxleon.
Semuanya masih baik-baik saja, sebelum ayah dan ibu mereka mulai menyiratkan keinginan terpendam untuk melihat keduanya menikah. Dengan bumbu-bumbu lainnya mengenai usia mereka yang sudah semakin tua. Denaya benar-benar kesal saat itu, ia bahkan baru dua puluh lima tahun!
Maxleon bahkan lebih parah. Sudah tidak terhitung berapa kali pria itu lari tunggang-langgang karena sekian banyak kencan buta yang dibuat oleh ibunya. Ia ingat dengan baik saat Maxleon mengadu pada Denaya, menyelinap ke kamarnya melewati jendela kamar. Mengatakan bahwa ia akan benar-benar kabur dari rumah dan tidak akan pulang lagi jika ibunya melakukan hal itu padanya sekali lagi. Sementara gadis itu hanya tertawa terbahak-bahak tanpa niat membantu. Sebenarnya ia cukup membantu juga dengan membiarkan Maxleon menginap di kamarnya waktu itu. Dan sejak saat itu, bertambahlah penderitaan Maxleon dengan ejekan dari Denaya yang semakin lama kian sadis.
Kesenangan Denaya lenyap seketika saat ibunya mengharapkan pernikahannya juga. Ditambah lagi dengan request baru dari keluarganya yang mengharapkan menantu seperti Maxleon. Yang intinya adalah memintanya untuk menikah dengan Maxleon itu sendiri! Akhirnya, Denaya dan Maxleon berkubang di lubang yang sama, dipaksa menikah!
Semakin hari mereka makin merasa terpojok. Merasa tidak memiliki pilihan lagi, ditambah dengan ingin menghindari segala tekanan itu, akhirnya saat itu mereka memutuskan untuk menuruti kemauan keluarga. Beranggapan bahwa tidak akan ada ruginya kalaupun mereka menikah meskipun tanpa pengakuan cinta. Toh Maxleon dan Denaya tidak saling membenci, juga tidak sedang menyukai seseorang lainnya, alias tidak terikat hubungan pada siapa pun. Lagi pula kebersamaan mereka yang sudah cukup lama juga membuktikan bahwa mereka memang cocok. Akhirnya, diselenggarakanlah pernikahan itu.
Setelah itu keduanya pindah ke rumah baru. Rumah besar dengan fasilitas amat baik yang akan membuat penghuninya nyaman. Dengan keamanan yang juga terjamin, mengingat pekerjaan mereka akan membuat keduanya menjadi orang yang cukup memiliki alasan untuk diburu penjahat. Dengan keadaan kedua pihak keluarga tidak mengetahui bahwa pasangan itu tidak saling mencintai. Tak banyak yang berubah setelah menikah. Denaya memang sudah berbagi kehidupan dengan Maxleon sejak lama. Terlalu terbiasa melakukan rutinitas bersama hingga terasa tidak aneh lagi. Jadi, mereka melewati hari seperti biasa seolah tidak ada yang berubah kecuali status.
***
New York, NIA building, 12 November 2018, 09.00 AM
“Denaya, kau tidak mau turun?”
Denaya tersentak bangun. Terseret keluar dari segala lamunan. Pintu mobil di sampingnya sudah terangkat ke atas, menampilkan sosok Maxleon yang menanti di luar. Denaya turun sambil tersenyum geli. Merasa aneh dengan pemikirannya tadi. Ia lalu melangkah keluar, berjalan bersama Maxleon di sebelahnya.
Maxleon menggaruk pipinya. Tangannya tanpa sadar meraih tangan Denaya. Menautkan jemari mereka lalu berjalan bersama. Kebiasaannya yang selalu dilakukan saat dekat dengan gadis itu. Intuisi yang selalu membuatnya memastikan bahwa Denaya akan baik-baik saja dalam pengawasannya.
Suasana kantor terasa berbeda. Ditambah lagi saat mereka berdua melintasi bagian kantor yang kebanyakan beranggotakan laki-laki lajang yang berkecenderungan melirik dua kali saat ia dan Denaya lewat. Maxleon dan Denaya kadang bingung sendiri, apa yang menyebabkan mereka menjadi tontonan yang menarik seperti itu. Sayangnya, kedua orang itu memang tidak menyadari sama sekali betapa mengagumkannya itu terlihat saat mereka berjalan bersama meskipun hanya bergandengan tangan.
“Wow, ini dia pasangan kita. Tidak ingin pergi dari ranjang hah?”
“Diam kau, Nicholas. Apa sih yang diketahui bocah ingusan sepertimu?”
“Hei, jangan mentang-mentang kau sudah menikah sehingga aku jadi bocah ingusan mendadak begini ya.”
“Lihatlah, lehermu bahkan masih meninggalkan bekasnya.” Kini giliran Haston yang angkat suara. Menatap Maxleon dan Denaya dengan tatapan menyebalkan.
“Kau mau aku membeberkan semua tanda Kimberly-mu di depan orang-orang?”
“Ah, Maxleon, seperti kau bisa saja.”
Denaya memutar bola matanya malas. Percakapan yang selalu dilemparkan orang-orang setiap ia dan Maxleon datang bersama. Entah bagaimana reaksi mereka jika tahu bahwa Maxleon bahkan tidak pernah menyentuhnya. Pasti lucu sekali!
“Simpan semua cerita kalian. Kita ada tugas dari Ketua Richard. Berkumpul di ruang rapat.” Edrick Wedley datang sambil mengepit sebuah map. Mendengar hal itu, semua orang di ruangan bergerak dari tempatnya, melangkah keluar menuju ke ruang rapat.
“Pasti tentang narkoba itu.” Denaya merapat pada Maxleon. Tersisih dari orang-orang yang berjalan bergerombol.
“Sudah pasti. Dan aku yakin hari ini kita akan menyerbunya.”
“Ah, kuharap aku bisa ikut serta.”
“Kau pasti bisa ikut. Ketua Richard tidak mungkin masih marah padamu karena insiden kopi itu kan.”
Maxleon memasukkan tangannya ke dalam kantong celana. Memandang geli pada Denaya yang mendesah napas dengan gusar. Kekehannya keluar saat mengingat kejadian beberapa hari lalu. Saat ia dan Denaya sedang sibuk bercanda, ia menyinggung kebiasaan tidur gadis itu. Membuat Denaya marah besar dan mengejarnya membabi-buta. Berusaha melemparnya dengan segala barang yang bisa dijangkau. Karena tangannya sedang membawa gelas plastik berisi kopi, ia refleks melemparkan benda itu tepat mengarah pada Maxleon. Teberkatilah pria itu karena gerakannya yang gesit, Maxleon menghindar dan lolos dalam sepersekian detik. Membuat gelas plastik itu mendarat bebas di wajah atasannya, Richard Johnson. Sontak laki-laki itu langsung merah padam. Denaya langsung dihadiahi raut murka dan omelan panjang. Ia tidak tahu bagaimana bentuknya saat itu, tapi yang jelas Maxleon tertawa terbahak-bahak di tempatnya. Dasar suami sialan!
Maxleon menarik Denaya duduk di sampingnya. Mereka duduk di dua buah kursi yang tersisa, terletak di ujung meja dan menghadap langsung pada Richard Johnson, sang Ketua NIA, National Intelligence Agency. Tempat Maxleon dan Denaya bekerja.
Lampu di ruangan itu menggelap. Sementara di depan mereka sudah menampakkan layar berisi sebuah gambar bangunan.
“Baiklah. Kita bertemu lagi dalam rapat kali ini. Masih membahas tentang kumpulan para pengedar narkoba, bandar besar yang sudah beroperasi sekitar tujuh tahun. Kalian tentu masih ingat bagaimana kecerdikan orang-orang yang terlibat dalam organisasi ilegal ini. Dibuktikan dari Kesatuan Polisi Amerika yang tidak berhasil meringkus semua anggota dari organisasi ini. Karena itulah NIA yang akan mengambil alih.”
Richard Johnson berdiri. Sebuah pulpen mahal terselip di antara jari-jarinya. Sesekali tangannya menunjuk kepada gambar di layar. Wibawa pria itu menyebar memenuhi ruangan. Menyedot seluruh fokus dari orang-orang di dalamnya. “Sejauh ini, yang berhasil dilakukan pihak kepolisian hanya menangkap pengedar bawahannya, sebanyak enam dari tiga puluh enam orang jumlah keseluruhan. Tiga puluh enam orang yang licik dan cerdik, dengan kaki tangan yang menyebar di New York hingga ke pelosok-pelosok. Semuanya bergerak di bawah perintah John M. Sheldon. Pria berusia 56 tahun. Tidak memiliki anak atau pun istri. Melihat dari pekerjaan kotornya, bisa dipastikan bahwa orang ini pasti sangat kaya.”
Kali ini layar di hadapan mereka berubah. Menampilkan seorang pria yang sudah beruban. Dengan pakaian hitam dan rokok yang terselip di jari telunjuk dan tengah, menempel di bibirnya. Tubuhnya berisi. Ia sedang duduk santai di kursi besar, merasa bagai seorang raja. Sedang bersenang-senang di sebuah ruangan remang-remang yang diketahui sebagai private room di sebuah bar. Sorot mata pria itu tampak tidak berdosa. Seolah-olah ia tidak pernah memaki seekor binatang sekalipun. Yang tentunya topeng belaka karena nyatanya pria itu adalah pengedar barang haram yang tidak akan bisa dimaafkan.
“Apakah itu tidak keterlaluan? Dari tiga puluh enam hanya bisa menangkap enam orang? Keenamnya itu tidak ingin buka mulut?” Nicholas bersuara. Campuran dari heran, dan bingung.
“Tidak. Aku tidak tahu apa yang telah dilakukan John M. Sheldon pada orang-orangnya, tapi mereka benar-benar tidak ingin buka mulut. Mereka bukan orang amatiran. Tidak pernah ada yang tahu di mana kesemua orang itu biasa bertransaksi. Atau menyetor penghasilan mereka pada bos mereka. Semua tabungan bank milik John sudah dilacak. Dan pria itu tidak pernah menerima transfer dari siapa pun. Ia selalu menyetor uangnya sendiri. Dan jumlah tabungannya bukanlah jumlah keseluruhan penghasilan.”
“Jadi, bisa dipastikan bahwa di rumahnya masih tersimpan segudang uang dari penghasilan kotornya ini?” tanya Scarlett Patton, seorang pegawai perempuan lain di kantor ini.
“Benar,” terang Ketua Richard. “Pukul sembilan malam ini kita akan menangkap mereka semua. Se-ka-li-gus.” Pernyataan Ketua Richard membuat semuanya menegang.
Denaya mengamati gambar-gambar di layar. Alisnya mengerut, jarinya sibuk mengelus bibir, kebiasaan saat sedang berpikir keras. Di sebelahnya, Maxleon juga tampak hanyut dengan pikirannya sendiri. Kepala pria itu miring ke satu sisi. Dengan pandangan mata yang menyorot tajam.
“Anda bilang bahwa tidak ada satu orang pun yang mengetahui di mana mereka biasanya bertransaksi, tapi sekarang kita akan menyerbunya. Apakah aku yang tidak memperhatikan atau memang kau belum mengatakan di mana mereka akan berkumpul?” Denaya memberanikan dirinya bertanya. Mengabaikan orang-orang yang kini menahan cengiran ketika melihat raut wajah Ketua Richard yang entah kenapa tampak lebih cemberut dari sebelumnya.
“Aku memang belum menjelaskannya. Nah, anak-anak, inilah markas para pengedar narkoba itu.”
Kali ini, layar di hadapan mereka berganti lagi. Menampilkan sebuah bangunan yang sangat familier tapi juga mencengangkan.