6. Kecelakaan

2886 Kata
"Mia sedang apa hm?" Mia yang tengah asik menatapi buku di tangannya sambil memakan camilannya dengan tenang segera menoleh karena terkejut, ketika dia menatap wanita cantik yang baru saja menyapanya dengan tatapan sedikit takut. Sadar bahwa kemunculannya yang tiba-tiba sudah membuat Mia sedikit takut, Ruby tersenyum tidak berdaya saat wanita itu mencoba duduk di sebelah Mia yang terus menunduk memerhatikan lantai setelah anak itu menyadari kehadirannya. Ruby dengan hati-hati mencoba mempelajari ekspresi Mia, sebelum dia berucap lagi dengan nada selembut yang dia bisa. "Mia mau jalan-jalan? Di luar sana, banyak loh tempat yang bisa Mia nikmati untuk bersenang-senang. Mia bisa ke pantai dan bermain air, atau ke hutan untuk menikmati pemandangan. Sekarang, Mia ingin pergi kemana? Bibi akan menemani Mia kemanapun Mia ingin pergi kali ini." Ruby sudah berusaha bicara seakrab mungkin dengan Mia yang kadang tanpa sadar masih menjaga jarak dengan kehadirannya. Tapi sekali lagi Ruby harus menelan kekecewaan, saat Mia menggeleng pelan untuk membalas ucapannya. "Ti, tidak usah Bibi....... Aku....... Aku baik-baik saja......" Ruby tersenyum sedih saat Mia berusaha menghindar dengan memberi alasan sambil terus menatap ke arah lantai. Dapat Ruby lihat dengan jelas anak itu benar-benar masih tidak nyaman berbicara dengannya. Salahnya juga sih. Karena selama masa rehabilitasi Mia, dia dan suaminya tidak bisa selalu mendampingi Mia karena jadwal pekerjaan mereka yang padat. Belum lagi walaupun tidak terlalu mirip, Ruby memiliki sedikit kesamaan dengan wajah ayah Mia sebagai saudara perempuan pria itu. Ruby takut Mia menganggapnya sama seperti ayah anak itu, sehingga secara naluri Mia akan selalu berusaha menghindarinya. Kekhawatiran itu yang membuat Ruby sampai rela mengosongkan satu hari di tengah pekerjaannya hanya untuk berusaha membangun hubungan yang lebih dalam dengan keponakannya tersebut. Dia bahkan menyeret suaminya untuk ikut meliburkan diri, agar mereka bertiga bisa pergi untuk bersenang-senang di suatu tempat. Jadi ketika Mia berusaha menolak tawarannya, Ruby telah bertekad untuk tidak menyerah begitu saja. "Jangan begitu..... Karena kebetulan Bibi tengah mendapat waktu luang bersama dengan pamanmu, Bibi memang sudah berencana untuk pergi jalan-jalan tapi masih bingung juga harus pergi kemana. Sekarang, apa Mia punya tempat yang ingin dikunjungi? Kita bisa pergi bersama-sama hari ini. Bantu Bibi untuk memilih tempat yang bagus ya?" ujar Ruby antusias. Wanita itu sampai diam-diam mencubit anaknya yang tengah membaca buku di samping Mia agar Enzo ikut membantunya membujuk gadis itu. Psikolog Mia juga menyarankannya untuk sering membawa Mia keluar rumah. Kulitnya sangat pucat karena kekurangan sinar matahari, dan Mia juga butuh bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya agar dia bisa maju ke tahap yang lebih jauh. Melihat kegigihan ibunya, Enzo membuang nafas panjang sebelum menutup buku yang ada di tangannya. Remaja itu menghadap Mia, tangannya mengusap rambut anak itu pelan agar dia mendapatkan perhatian dari Mia. "Ibu dan Ayah ingin menebus kesalahan mereka yang tidak bisa selalu bersamamu dengan jalan-jalan kali ini, Mia. Um, bagaimana jika kalian ke kebun binatang? Mia selalu ingin melihat hewan-hewan yang kau lihat di televisi secara langsung bukan? Di sana tempatnya asik loh, Mia juga bisa bermain dengan kelinci lucu seperti yang kita lihat di film waktu itu." Mendengar kata kebun binatang dan kelinci, mata Mia sedikit berbinar saat dia terus menatap wajah Enzo. Anak itu terus menimang pilihannya, sebelum dengan tangan yang terus menggengam tangan Enzo erat, Mia akhirnya memiliki keputusannya. "Aku ingin........... Ke kebun binatang..... " bisik gadis itu pelan. Dalam hati Ruby langsung berteriak girang, saat dia melebarkan senyumnya saat menatap Mia. "Kebun binatang? Baiklah, Bibi akan meminta Paman untuk bersiap. Kita akan ke kebun binatang oke? Enzo, kamu ikut dengan kami bukan?" Enzo yang sedang asik menatap wajah malu Mia menoleh, menggeleng perlahan sebagai jawabannya sendiri. "Aku ada tes sore nanti. Nanti aku menyusul kalian saja setelah tes. Mia, kamu berangkat dengan Ibu dan Ayah terlebih dahulu saja oke? Aku akan menyusul nanti, lalu kita bisa bersenang-senang setelahnya," ujar Enzo sambil kembali menatap Mia di akhir kalimatnya. Mia sebenarnya ingin berubah pikiran setelah mendengar jawaban Enzo. Namun senyuman lembut Enzo dan bisikan 'tidak apa-apa' dari lelaki itu membuatnya hanya bisa diam dan mempercayai ucapan Enzo begitu saja. Selesai bersiap, Ruby menolak tawaran para bawahannya saat mereka menawarkan diri untuk mengantar acara jalan-jalan Ruby kali ini. Psikolog Mia selalu mengingatkannya bahwa Mia butuh waktu untuk menghilangkan kewaspadaan nya di hadapan orang-orang di sekitarnya. Dengan lebih sedikit orang, kemungkinan Mia bersantai juga akan lebih tinggi. Dia ingin mempererat hubungannya dengan Mia. Jadi tentu saja, dia harus bisa membuat Mia bisa bersikap tenang di dekatnya terlebih dahulu. Ruby tidak bisa membawa banyak orang untuk ikut bersamanya, atau Mia tidak akan pernah bisa santai saat pergi bersama dengannya. Clark, suami Ruby memandang teduh Mia yang duduk di kursi belakang bersama dengan istrinya. Sekali-kali Mia sudah mau merespon obrolan sederhana mereka, setelah Mia merasa aman di dalam mobil yang hanya diisi mereka bertiga. Ruby itu sesekali akan mengusap rambut Mia untuk mengungkapkan betapa senangnya dia saat ini. Suasana di mobil itu terasa begitu nyaman, karena pasangan suami istri itu juga sesekali bisa menikmati lantunan suara indah yang Mia nyanyikan saat Clark memutar lagu kesukaan Mia yang telah Enzo beritahukan pada mereka sebelum berangkat tadi. "Suaramu itu sangat merdu Mia. Apa kamu mau menjadi penyanyi di masa depan? Paman yakin banyak orang yang akan menyukaimu jika mereka mendengar suara merdumu itu," ujar Clark memberitahu. Pipi Mia sedikit bersemu ketika dia mendengar pujian itu. "...... Menyukaiku..... " bisiknya pelan pada dirinya sendiri. Melihat reaksi Mia, Ruby tersenyum lebar. Dia menggeser tubuhnya untuk berhadapan dengan anak itu, sebelum tangannya mengusap pipi Mia dengan sangat lembut. "Bibi juga sangat suka mendengar suara nyanyian Mia. Hanya dengan suaramu saja, Mia sudah bisa membuat orang-orang bahagia loh," ujar Ruby dengan lembut. Mia menatapnya lama setelah itu. Pipinya merona semakin parah, saat dia sepertinya sangat malu mendengar pujian yang diberikan orang-orang di sekitarnya. ".... Terima-" "AWAS!" teriakan Ruby sukses membuat Clark refleks mengembalikan fokusnya dan terkejut saat dia melihat sebuah mobil truk dari arah berlawanan dengan janggal malah melaju kencang kearah mereka. Mereka bahkan tidak sempat menghindar, saat truk besar itu menabrak mobil dengan benturan yang sangat keras. Yang bisa Clark lakukan dalam waktu singkat itu hanyalah tubuhnya yang berusaha melindungi diri, di saat Ruby malah bergerak untuk memeluk Mia dengan pelukannya yang sangat erat. Mobil terlempar jauh akibat tabrakan keras itu, sementara pengemudi truk juga tidak bergerak lagi setelah dia selesai menabrak mobil Mia. Situasi di sekitar tempat kejadian langsung kacau setelah kecelakaan itu terjadi. Darah berceceran di mana-mana, tidak ada yang berpikir seseorang bisa selamat dari kecelakaan maut itu di saat Mia masih sadar di dalam mobil hancur tersebut, melihat semuanya dengan mata terbuka di dalam mobil yang kini tergeletak terbalik di tengah jalan raya yang besar. Bau bensin yang menyapa penciumannya, teriakan ramai orang-orang di sekitarnya ditambah bau darah yang menyengat membuat Mia tidak bisa fokus dengan keadaan di sekelilingnya. Butuh waktu lama sebelum anak itu sadar apa yang baru saja terjadi pada mereka, ketika wajah teduh Ruby yang penuh darah tersenyum dalam posisi yang masih memeluknya erat dengan mata tertutup. Clark yang duduk di depan juga tidak kalah mengenaskan nya. Tubuh kokohnya tidak lagi bergerak, dengan d**a yang tertusuk oleh pecahan besar kaca mobil yang pecah. Nafas Mia tercekat, rasa sakit di tubuhnya seakan tidak lagi terasa begitu dia sadar dalam situasi apa mereka berada saat ini. Tangannya berusaha menggerakan tubuh Ruby yang berhasil melindunginya dari luka parah, ketika suaranya tersendat begitu Mia mencoba memanggil nama wanita itu dengan lirih. Air mata dengan cepat mulai turun dari matanya, ketika dia tidak juga mendapat respon apa-apa dari wanita lembut tersebut. "Bi..........bi........ Pa.......man......hiks, kenapa...... Kalian tidak juga bangun?" ucapnya dengan terbata-bata. Dia tidak bisa melakukan apapun dengan kondisi tubuhnya yang juga terjepit, sementara hujan mulai turun dengan deras di luar sana. Suara petir menggelegar, bertepatan dengan pintu mobil yang dibuka paksa oleh seorang petugas medis. "Ada yang masih hidup! Dia terjepit! Siapa pun tolong bantu aku untuk mengeluarkannya!" teriak petugas itu. Banyak tangan terulur mencoba mengambil Mia setelah itu, yang fokusnya masih pada kedua mayat yang ada di hadapannya. Saat Mia berhasil dibawa keluar, anak itu terus saja merancau mengenai pasangan yang telah dinyatakan meninggal di tempat tersebut. Hujan yang turun semakin deras menghilangkan jejak darah yang berasal dari mobil itu. Tepat di depan mata Mia, yang merekam semua kejadian itu sampai ke detail terkecilnya. Saat itu, di mata Mia, hujan telah menghilangkan orang yang Mia sayangi di dunia ini. ***** Enzo berlari dengan cepat di lobby rumah sakit ketika dia mendapat kabar dari kepala pelayannya yang menerima panggilan dari rumah sakit beberapa jam yang lalu. Keringat membasahi dahinya, bercampur dengan air hujan karena Enzo tidak memiliki waktu untuk menunggu supirnya memayunginya tadi. Enzo terus berlari, sampai dia akhirnya tiba di tempat yang menjadi akhir tujuannya. Enzi dengan cepat masuk ke ruang rawat yang bisingnya sampai ke telinganya. Di dalam ruangan itu, Mia tengah diikat tangan dan kakinya karena terus meronta sambil terus menjerit keras. Tatapannya kosong, saat dia mencoba mencari sosok yang tidak lagi ada di ruangan itu. "BIARKAN AKU MENEMUI BIBI DAN PAMAN! HIKS, MEREKA MEMBAWA BIBI DAN PAMAN! HIKS, BIBI DAN PAMAN KESAKITAN TADI!" Enzo sempat mematung saat dia mendengar Mia terus saja meneriakan kata-kata bernada putus asa seperti itu. Rambutnya lepek oleh keringat dan air hujan, sementara Dokter tampak kesulitan untuk menyuntikan obat penenang pada anak itu karena Mia terus saja bergerak brutal sedari tadi. Mia terus menjerit sampai suaranya serak. Enzo yang segera sadar bahwa sepupunya tidak baik-baik saja langsung berlari mendekati gadis itu. Dia mendorong Dokter yang berusaha menyuntik Mia, sebelum dengan cepat dia melepaskan ikatan yang sudah melukai pergelangan tangan dan kaki sepupu manisnya. Melihat orang yang Mia kenali untuk pertama kalinya, gadis itu langsung memeluk Enzo dengan erat, menangis tersedu di bahu remaja tinggi tersebut. "Kak Enzo......... Hiks, Bibi...... Paman...... Hiks, Mia mau bertemu mereka..." "Tidak apa-apa Mia...... Kamu tidur dulu ya? Semua akan baik-baik saja saat kamu bangun, aku bersamamu sekarang." Mia mulai menghentikan tangisnya saat Enzo mulai bergerak untuk mengusap rambutnya dengan lembut. Mia memeluk tubuh bergetar anak itu dengan hati-hati, mereka terus berpelukan sampai akhirnya Mia tertidur bisa tertidur sendiri karena kelelahan dan syok yang diterimanya. "Aku sarankan kalian untuk keluar sebelum aku marah pada kalian semua. Kalian bisa membicarakan kondisi Mia pada pelayanku yang berjaga di luar. Aku tidak yakin bisa tetap tenang, jika harus berbicara dengan seorang dokter yang berani mengikat pasiennya yang tengah syok setelah kecelakaan seperti apa yang kalian lakukan tadi." Wajah Enzo berubah dingin saat matanya menatap kumpulan dokter dan suster yang masih berdiri di tempatnya masing-masing. Mereka mengangguk kaku sebelum akhirnya keluar. Semua orang tahu, mereka pasti akan mendapat masalah jika berani menyinggung remaja dengan aura menyeramkan tersebut. Hanya ada satu dokter yang berani bicara padanya sebelum dia benar-benar keluar. Dokter tersebut membungkuk. "Baiklah Tuan. Maaf atas tindakan kasar kami sebelumnya," ucapnya sebelum ikut keluar bersama dengan yang lain. Enzo hanya diam saat dokter dan suster tersebut akhirnya keluar dari ruangan Mia. Remaja itu menghela nafas panjang, saat kakinya menaiki ranjang rawat Mia untuk menyesuaikan posisinya agar Mia yang tertidur sambil sesekali mengigau bisa terus memeluknya dengan nyaman. Sambil mengusap rambut anak itu dengan lembut, Enzo memerhatikan hujan yang terlihat dari kaca yang tirainya masih terbuka di ruangan rawat Mia. Tatapannya sempat menyendu, saat dia ingat bahwa orang tuanya sendiri sudah meninggal dalam kecelakaan tersebut. Enzo yang saat itu masih remaja sadar bahwa dia akan dituntut bersikap dewasa setelah kejadian ini. Dia kini harus mempertahankan bisnis keluarganya, sekaligus melindungi Mia yang hanya memilikinya di dunia ini dengan kedua tangannya sendiri. ***** Enzo menghela nafas lelah saat sepulang pendidikannya, dia mendapati beberapa pelayan masih saja berduka ketika mereka menyambutnya di depan pintu begitu dia kembali. Permakaman orang tuanya sudah selesai sejak seminggu yang lalu, namun wajah para bawahannya masih saja suram sampai saat ini. Kepala pelayan yang melayani keluarganya sejak dulu segera maju untuk membantunya melepaskan mantel terluar yang dia pakai begitu dia tahu Enzo telah kembali. Enzo menatap satu per satu wajah yang bisa dia lihat, sebelum berbicara sedikit keras untuk menarik perhatian mereka semua. "Jangan memasang ekspresi suram seperti itu, atau Mia bisa ikut terpengaruh jika kalian memasang ekspresi itu di depannya. Keluarga ini masih memiliki aku sebagai penerusnya. Walaupun aku masih harus melanjutkan kuliah sambil menjaga Mia, itu bukan berarti aku tidak bisa mengembangkan kerja keras orang tuaku lebih baik dari ini bukan?" "Tuan Muda......" Orang-orang yang mendengar ucapan lantang Enzo langsung tersentuh saat Enzo sendiri berusaha menghibur mereka dengan wajah tenangnya. Semua orang tahu bahwa orang dengan beban terberat di sini adalah Enzo. Yang baru saja kehilangan orang tuanya adalah remaja kuat itu. Mereka bisa bersedih karena baru saja kehilangan Tuan yang mereka percayai. Tapi mereka juga tidak ingin, membebani remaja itu dengan sikap suram mereka. Enzo sudah cukup memikul beban yang berat sebagai kepala keluarga yang baru saat ini. Rasanya memang tidak etis bagi mereka, untuk membuat Enzo sampai salah paham dengan wajah muram mereka yang sampai disadari oleh remaja itu sendiri. "Tidak Tuan Mu-, maksudku Bos. Kami percaya bahwa Bos bisa memajukan keluarga ini dengan kemampuan Bos. Tolong maafkan kami, karena telah menunjukan wajah jelek ini di hadapan Bos." Enzo tersenyum kecil saat beberapa bawahan mulai berusaha terlihat kuat di hadapannya secara bergantian. Pandangannya teralih pada pelayan yang berada di sebelahnya kini. Enzo pulang terlambat hari ini, dia takut Mia yang baru saja kembali membaik akan mencemaskannya untuk sekali lagi. "Paman, di mana Mia?" tanya Enzo penasaran. "Nona Mia tengah menonton acara televisi di ruang bersantai, Tuan Enzo. Dia telah selesai melakukan sesi konsultasinya untuk hari ini, dan psikolognya mengatakan bahwa untuk saat ini Nona Mia akan baik-baik saja selama dia tidak melihat hujan dan kendaraan untuk sementara waktu. Trauma kendaraannya mungkin bisa dihilangkan, tapi psikolog itu mengatakan bahwa akan sulit bagi Mia untuk kembali menerima hujan, Tuan Enzo. Karena entah bagaimana, Nona Mia malah melihat hujan sebagai penyebab Tuan Besar dan Nyonya Besar meninggal saat itu. Nona Mia juga tidak bisa mengingat bahwa sebenarnya sebuah truk menabrak mereka pada saat itu. Ingatan yang kacau itu bisa terbentuk karena trauma, atau benturan yang Nona Mia dapatkan dalam kecelakaan itu," jelas pelayan itu panjang. Mereka berbicara sambil terus berjalan masuk, lalu akhirnya sampai di ruang keluarga dimana Mia tengah menonton acara televisi sambil memakan camilannya di bawah pengawasan dari beberapa bawahan Enzo. Senyum Enzo mengembang saat wajah pucat dan ketakutan Mia akhirnya bisa menghilang sepenuhnya dengan usaha keras mereka. Mia bahkan bisa santai walaupun dikelilingi oleh banyak orang sekarang, saat mulutnya tidak berhenti menguyah camilan yang Enzo sediakan khusus untuk anak itu. Enzo akhirnya mendekat, lalu memeluk anak itu dari belakang dengan lembut. "Sudah makan hm?" tanya Enzo perhatian. Mia yang sempat terkejut dengan tindakannya akhirnya mengeleng, sebelum menunjukan senyuman kecilnya yang indah di mata Enzo. "Aku menunggu Kak Enzo," jawabnya pelan. Mendengarnya jawaban itu Enzo tersenyum. Dia mencium mengusak rambut Mia lembut sebelum bergerak untuk duduk di sebelah anak itu. "Lain kali jika kamu sudah lapar, makan saja terlebih dahulu tanpa perlu menungguku Mia. Aku tidak ingin kamu sakit, dan kamu juga perlu banyak makan untuk menambah berat badanmu," ujar Enzo memberitahu. Mia terlihat berpikir setelah mendengar permintaan dari Enzo, sebelum akhirnya tetap mengangguk kecil sebagai jawabannya. "Tapi Kak Enzo juga harus makan jika Mia makan. Jangan sampai Kak Enzo sakit juga...." ujar Mia malu-malu. Enzo tersenyum lembut, sebelum dia menuntun Mia untuk bangun dan mengikutinya pergi ke ruang makan. "Aku mengerti Mia. Kau tidak perlu khawatir, aku kuat dan tidak akan mudah terserang penyakit," ucap Enzo lembut. Ketika mereka masuk ke ruang makan, makan malam telah disajikan oleh para pelayan yang menerima perintah dari kepala pelayan. Mia didudukan di sebelah Enzo, sementara para pelayan mulai membantu keduanya menyiapkan makan malam mereka. "Kak Enzo......." panggil Mia lemah. Enzo langsung memperhatikannya begitu dia mendengar suara Mia. "Ada apa hm?" tanyanya lembut. Mia entah kenapa terlihat sedikit ragu sekarang, sebelum anak itu sepertinya mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk melanjutkan kalimatnya lagi. "Bibi dan Paman bilang......... Aku bisa menjadi penyanyi dengan suaraku...... Mereka senang hanya dengan mendengarkan nyanyianku........ Aku...... Aku ingin menjadi penyanyi seperti yang mereka inginkan Kak Enzo. Aku ingin Paman dan Bibi mendengarkanku. Apa..... Aku bisa menjadi penyanyi?" pinta Mia takut-takut. Enzo terus menatapi Mia yang mulai terlihat tidak enak untuk sementara waktu. Tangan dan kakinya bergerak-gerak, sementara rasa gelisah mulai tumbuh dalam diri Mia ketika dia tidak mendengar jawaban langsung dari sepupu yang biasa memanjakannya itu. Menjadi penyanyi ya? Enzo tahu Mia memang memiliki suara yang sangat merdu setelah dia berkali-kali mendengarkan nyanyian anak itu. Akan bagus jika Mia akhirnya memiliki sesuatu yang ingin dia capai di dunia ini. Namun di lain sisi Enzo juga khawatir. Mia tidak tahu betapa kejamnya dunia entertaiment itu. Dia inginnya menolak untuk kali ini saja. Namun ketika Enzo melihat mata penuh kehidupan itu, Enzo terpaksa menelan kembali pemikirannya sebelum dia berhasil mengeluarkan kata penolakan apa pun. Tidak apalah jika Mia memang menginginkannya. Enzo pikir dia hanya harus menjadi lebih kuat, agar dia bisa tetap melindungi Mia bahkan jika Mia ingin terjun ke dunia entertainment untuk saat ini. Enzo menghela nafas panjang saat dia telah menentukan pilihannya. Enzo tersenyum kecil, ketika dia mengusap rambut Mia dengan lembut untuk menenangkan kegelisahan anak manis tersebut. "Baiklah, apa pun keinginanmu Mia. Kamu ingin menjadi penyanyi? Maka kamu akan menjadi penyanyi. Aku akan mendukung apa pun keputusanmu," final Enzo pada akhirnya. Perasaan khawatirnya sontak hilang saat Mia tersenyum lega mendengar keputusannya. Gadis manis itu tersenyum lebar, saat tangannya terulur untuk memeluk Enzo karena rasa bahagianya. "Terima kasih Kak Enzo....... Terimavkasih...." ulang Mia dengan bahagia. To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN