bc

Mencintaimu Tanpa Syarat (Season 1 & 2)

book_age16+
43.8K
IKUTI
290.8K
BACA
love-triangle
HE
stepfather
drama
addiction
like
intro-logo
Uraian

Meski sepuluh tahun telah bersama, tidak menjamin sebuah hubungan akan kekal berkelanjutan. Seperti hubungan Embun dan Fariq yang tidak dikaruniai anak dalam pernikahan mereka. Mereka saling mencintai dan berlapang d**a menerima takdir tanpa adanya buah hati.

Namun siapa menduga cobaan datang dari orang tua yang mengharapkan cucu dari putra tunggalnya. Embun akhirnya berdamai dengan pernikahan kedua Fariq yang di rencanakan orang tuanya.

Tidak semua perempuan sanggup berpoligami. Embun menyerah. Fariq yang sangat mencintainya dituntut untuk melepaskannya.

Dan suatu ketika Embun bertemu Andrean dan Hendriko. Kakak adik yang terlibat perang dingin karena perselingkuhan orang tua mereka di masa lalu.

Dua pria itu sama-sama menginginkannya. Termasuk sang mantan yang masih sangat mencintainya. Tiga pria yang berebut cinta Embun, meski mereka tahu kalau Embun belum tentu bisa memberikan kebahagiaan dengan memberikan kehadiran seorang anak. Tiga pria mencintai tanpa syarat.

Siapakah yang akan menjadi pelabuhan terakhir Embun? Dan ada rahasia besar apa antara mamanya Andrean, mamanya Hendriko, dan papa mereka berdua. (Ini kisah cinta segitiga yang rumit. Hingga menjadi perang dingin dan kesalahpahaman antara dua pria bersaudara.)

chap-preview
Pratinjau gratis
Part 1 Bertemu Mantan 1
Part 1 Bertemu Mantan 1 "Embun, ada mantan kamu sama istrinya," bisik Yani padaku. Sontak aku memandang ke pintu masuk kafe. Benar saja. Beberapa langkah di hadapanku, seorang pria tegap yang lengan kirinya digelayuti manja seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku masuk kafe dan mencari tempat duduk. Jiwaku bergejolak, ada cemburu yang membuncah dan sakit yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Sepuluh tahun kami hidup bersama, sepuluh tahun juga kami berjuang untuk mendapatkan putra. Tapi hingga kesabaran mertuaku habis, aku tak kunjung mengandung. Hingga aku harus merelakan pria yang sangat kucintai menikahi perempuan pilihan keluarganya. "Kita menghindar saja," ajak Yani. Dia ingin menyelamatkanku dari situasi yang tentu tidak nyaman bagi siapa saja yang mengalami peristiwa sepertiku. Lagian kami juga sudah selesai makan. Belum juga kami beranjak, dari pintu muncul mantan mertuaku. Dua orang yang tampak selalu kompak dan harmonis di usia senjanya bergabung duduk dengan putra dan menantu barunya. Dua bulan yang lalu, aku masih menjadi menantunya. Sebelum putusan pengadilan agama mengesahkan perpisahan kami. Ramainya pengunjung kafe, membuat mereka tidak menyadari kehadiranku bersama Yani. Justru aku bingung, apakah aku harus menyapa mereka duluan atau diam saja? "Yan, kamu tahu apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus nyapa duluan?" tanyaku bingung. "Nggak usah, biarin aja. Pura-pura aja nggak ngeliat mereka." Yani menjawab dengan kesal dan tidak peduli. Dia ikut sakit hati juga ketika orang tuanya Mas Fariq ingin agar aku mengizinkan putranya menikah lagi. Demi mendapatkan keturunan untuk melanjutkan generasi mereka selanjutnya. Sebab Mas Fariq adalah anak satu-satunya. Kuraih gagang gelas dan kuhabiskan teh hangat yang tadi kupesan. d**a makin terasa debarannya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat kalau Mas Fariq tidak seceria istri dan kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih sibuk dengan ponselnya. Bahkan ia terkesan tak peduli pada perempuan di sebelahnya. Dia hanya bicara ketika seorang pramusaji datang menanyakan pesanan. "Kalau nggak nyapa aku nggak enak, Yan." "Ah, kamu ini terlalu baik. Mereka aja nggak peduli bagaimana perasaanmu. Bertahun-tahun mendampingi anaknya meniti karir, eh seenaknya saja ngasih madu buat kamu." "Mereka ingin cucu dan aku nggak bisa memberikannya." Sebenarnya hatiku tak seikhlas ini. Aku merasakan sakit yang masih terasa hingga kini. Tapi aku tidak boleh terlalu mengikutkan emosi. Inilah caraku untuk mengobati diri sendiri. Akhirnya aku berdiri dan meraih sling bag di atas meja. "Yan, ayo kita pulang. Kamu tunggu di luar biar aku samperin mereka sebentar." Yani berdecak lirih. Kemudian dengan jengkelnya meninggalkan aku yang berdiri mematung. Pada saat yang bersamaan, Mas Fariq menatap ke arahku. Binar bahagia di netra itu jelas terlihat olehku. Pria itu hendak berdiri, tapi aku segera menghampiri. Daripada istrinya nanti salah paham jika suaminya mendekati mantan istrinya. "Assalamu'alaikum," sapaku ramah dan menguatkan hati pada mantan mertua yang tengah berbincang. Pak Salim dan istrinya, juga perempuan muda bernama Karina memandang ke arahku. Bu Salim tampak terkejut dan langsung berdiri memelukku. "Embun, Ya Allah, Nak. Apa kabar?" Beliau memelukku. Dua bulan ini kami tidak pernah bertemu. Aku berusaha untuk menahan air mata yang sudah mengaburkan pandangan. Ternyata aku tidak sekuat itu. Aku tak bisa bersikap biasa setelah sepuluh tahun kebersamaan kami. "Alhamdulillah, kabar saya baik, Tante." Wanita yang telah melepaskan pelukan kaget ketika aku memanggilnya dengan sebutan Tante. Tapi beliau diam saja. Mungkin untuk menjaga perasaan menantu barunya. Lantas kusalami mantan papa mertua, kemudian menyalami Karina, dan aku menangkupkan kedua tangan pada Mas Fariq dan membiarkan tangannya yang hendak menyalami mengambang di udara. "Duduklah sini. Ayo, bergabung makan malam bersama dengan kami," ajak Bu Salim dengan ramah. Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan ke d**a. "Terima kasih, Tante. Maaf, saya sudah makan. Saya permisi dulu, saya ditunggu Yani di luar. Assalamu'alaikum." Aku pergi setelah salamku di jawab. Tidak kulihat bagaimana ekspresi wajah Mas Fariq, aku belum sanggup bertatapan muka terlalu lama dalam jarak yang dekat. Namun aku bisa melihat kalau Karina tidak suka melihat kehadiranku di antara mereka. Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya bertemu sang mantan. Masa iddahku tinggal tiga puluh hari lagi. Sebenarnya mamanya Mas Fariq memintaku menjalani masa Iddah di rumahnya jika tidak mau tinggal seatap dengan istri muda putranya. Apa yang mau ditunggu juga. Sudah pasti aku tidak akan hamil. Lagipula aku juga ingin menenangkan diri setelah sidang panjang perceraian kami. Mas Fariq keukeuh tidak ingin bercerai, bahkan berulang kali mengajakku rujuk. Tapi aku tidak sanggup jika hidup di madu. Tidak sanggup juga menyuruhnya menceraikan Karina. Itu juga tidak diperbolehkan dalam agama. Makanya aku lebih baik pergi untuk mengobati luka hati. "Yan, ayo pulang," ajakku pada sahabat sekaligus temanku bekerja sebagai perawat. Kami pergi menaiki taksi online yang sudah di pesan oleh Yani. Sepanjang perjalanan pulang, Yani tidak mengajakku bicara. Mungkin dia jengkel karena aku masih mau saja bersikap baik pada mereka. Keluarga yang menjadikan aku janda di usia tiga puluh tiga tahun. Ah, akulah yang sebenarnya menjandakan diri, karena tidak sanggup hidup berbagi suami. Taksi berhenti tepat di depan kosan. Sejak sidang pengadilan di putuskan, aku pergi dari rumah Mas Fariq dan tinggal di kosan. Aku tak dapat pembagian rumah, karena rumah yang selama ini kami tempati adalah rumah yang dibeli oleh Papa mertua. Tapi aku dapat sejumlah uang dari Mas Fariq. Dan uang itu sampai sekarang masih beku di bank. Aku tidak menggunakan sepeserpun. Setelah aku turun, taksi pergi untuk mengantarkan Yani pulang. Aku membersihkan diri di kamar mandi, kemudian Salat Isya. Setelah itu berbaring di ranjang. Dalam remang cahaya lampu kamar, kenangan itu kembali membayang. Masih segar dalam ingatan bagaimana Papa dan Mamanya Mas Fariq memanggil kami untuk makan malam di rumahnya, beberapa bulan yang lalu. Di musim kemarau itu aku seperti di sambar petir di malam hari. Saat dengan penuh rasa bersalah, Papanya Mas Fariq mengutarakan pendapat yang sudah disepakati bersama istrinya. Berulang kali mereka mengucapkan kata maaf dan maaf. Kala itu Mas Fariq menentang keras dan langsung mengajakku pulang tanpa pamitan. Seminggu kemudian ibu mertuaku datang ke rumah, kebetulan aku baru saja pulang dari shif malam sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di kota kecil kami. Beliau memohon padaku agar Mas Fariq mau menyetujui saran mereka. Mama mertua sampai menangis dan memohon dengan amat sangat agar aku menyetujui Mas Fariq menikah lagi. Dan beliau juga berharap agar aku tidak meminta cerai, karena sudah teramat sayang padaku. Bagaimana mungkin seorang ibu bicara begitu padaku yang katanya sudah dianggap sebagai anak perempuannya? Seorang ibu tidak akan menyakiti anaknya. Ah, menantu tetaplah menantu. Mas Fariq mengamuk ketika aku membicarakan kedatangan dan permintaan mamanya. Namun sekuat tenaga aku menahannya agar dia tidak pergi ke rumah orang tuanya untuk marah pada mereka. "Aku nggak masalah nggak punya anak. Kenapa mereka mempermasalahkannya?" teriaknya malam itu. Mungkin tetangga yang mendengar, menganggap kami sedang bertengkar. "Aku mencintaimu dan aku nggak akan menduakanmu. Titik. Jangan rayu aku untuk hal konyol begini," tambahnya berapi-api. Membuatku tertunduk berderai air mata.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook