Part 2 Bertemu Mantan 2

867 Kata
Part 2 Bertemu Mantan 2 Pemeriksaan berulang kali, tak ada satu pun di antara aku dan Mas Fariq yang dinyatakan mandul oleh dokter kandungan. Kami berdua tidak memiliki masalah apa-apa. Namun mereka tetap tidak sabar untuk menunggu kami tetap berusaha. "Usia Fariq sudah banyak. Waktunya ia punya anak. Mama harap kamu paham, Embun." Aku sendiri sudah tidak sanggup lagi menghadapi tekanan dari mertua. Hingga aku merayu suamiku untuk menyetujui permintaan mereka, daripada aku sendiri dapat tekanan mental. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Mungkin memang sudah saatnya aku mengikhlaskan. "Berjanjilah kalau kamu nggak akan minta cerai setelah aku menikahi Karina. Jika kamu tidak mau berjanji, aku nggak akan menikah lagi." Aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sungguh, siapa yang rela berbagi suami. Aku benar-benar tidak bisa dan aku tak punya pilihan untuk itu. Sebulan setelah Mas Fariq dan Karina menikah, aku mengajukan gugatan perceraian. Aku tak sanggup di madu. Terlebih jika memikirkan apa yang dilakukan suamiku di kamar istri mudanya. Aku ingin mengakhiri semuanya sebelum aku menjadi gila. Lebih baik aku menjauh dan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Mas Fariq membawaku pergi hampir seminggu setelah dia menerima surat panggilan sidang dari pengadilan. Semua orang mencari kami. Orang kantornya, instansi tempatku bekerja juga, terutama kedua orang tua Mas Fariq yang akhirnya jatuh sakit dan membuat Mas Fariq mau pulang. Sidang perceraian kami berlarut-larut dan sangat melelahkan. Jujur saja, Mas Fariq berharap agar ada keajaiban dengan kehamilanku. Namun nihil juga. Dan sampai sekarang pun setelah keguguran, Karina juga belum mengandung lagi. Perempuan itu hamil setelah dua bulan menikah, tapi janin itu gugur ketika baru berusia delapan minggu. Setidaknya Pak Salim dan istrinya bahagia, karena menantu barunya bisa mengandung meski keguguran waktu itu. Aku yang masih terjaga kaget ketika mendengar pintu kamar kos di ketuk pelan dari luar. Pelan aku turun dari pembaringan. Dari gorden jendela kaca, kuintip siapa yang sedang mengetuk pintu. Biasanya kalau teman satu kosan, mereka akan memanggil namaku juga. Tapi kali ini tidak. Dari cahaya lampu teras kamar, aku melihat ada seorang perempuan dan lelaki setengah baya berdiri menatap pintu kamarku. Dia tidak mungkin orang tuaku. Bapak tidak mungkin bisa membujuk ibu tiriku untuk menjenguk di sini. Bahkan ketika aku memutuskan untuk bercerai saja, mereka malah menentang. Memarahiku kenapa aku tidak ingin bertahan saja. Toh masalahnya di aku yang tidak bisa memberikan anak buat suami. Ah, apa semua ibu tiri memang jahat seperti itu? Jelas saja ibu tiriku tidak terima, karena setelah aku bercerai dari Mas Fariq, dia tidak akan mendapatkan jatah uang bulanan lagi dari Mas Fariq. Dia juga akan hilang kebanggaan memiliki menantu dari keluarga berada. Kembali pintu di ketuk. Aku masih bertahan belum membuka pintu. "Mbak," suara wanita itu kembali memanggilku dengan suara lirih. Kulihat kembali dari balik gorden. Saat wanita itu menoleh aku baru ingat kalau dia adalah seorang ART dari rumah megah di ujung jalan sana. Aku sering melihatnya kalau naik motor mau berangkat kerja. Tapi untuk apa dia mencariku. Akhirnya aku membuka pintu setelah memakai bergo. Wanita dan lelaki setengah baya itu tampak lega. "Maaf, Mbak. Kami mengganggu istirahat, Mbak. Bos saya mau minta tolong sama, Mbak." "Minta tolong apa?" tanyaku bingung. "Mbak, bisa ikut dengan kami. Dan Mbak bisa membawa keperluan darurat untuk pertolongan pertama pada pasien." Wanita itu lagi yang bicara. Sedangkan lelaki di sebelahnya hanya diam saja. Aku makin di buat tak mengerti. Aku tidak memiliki apa yang di maksud wanita itu. Tentu untuk pertolongan pertama yang kupunya hanya perlengkapan P3K. Sama seperti yang tersedia di rumah-rumah warga. "Saya nggak punya alat khusus, Bu. Saya hanya perawat rumah sakit, bukan dokter." "Nggak apa-apa, Mbak. Ayolah segera ikut kami. Tahu kan kalau saya bekerja di rumah besar ujung sana. Rumahnya Pak Darmawan." Aku mengangguk. Aku tidak bisa berpikir apapun selain ikut mereka. "Sebentar saya ambil jaket dulu." Mereka membawaku pergi ke rumah itu dengan mengendarai mobil mewah warna putih. Ketika aku pergi, teman kosanku tidak ada yang keluar. Mungkin sebagian dari mereka kerja malam. Sebab kosan itu di huni anak-anak yang bekerja di pabrik. Aku sempat takut kalau di culik. Di culik? Apa istimewanya diriku hingga perlu banget untuk di culik. Aku janda yang tak punya apa-apa. Bahkan untuk hamil saja aku tak bisa. Pintu gerbang besar itu terbuka secara otomatis. Tampak ada seorang satpam yang berjaga di sana. Aku di bawa masuk ke rumah megah dan mewah. Ornamen klasik menjadi desain interiornya. Kedua orang itu terus membawaku naik ke lantai dua, meniti tangga marmer putih yang terasa dingin di telapak kaki. Baru saja menginjak lantai atas, aku di kejutkan oleh suara erangan yang cukup keras dari salah satu kamar. Tubuhku gemetar. Ada apa sebenarnya? Dan rumah sebesar ini hanya di huni para pekerjanya saja. Mana bos yang dimaksud wanita tadi. Seorang laki-laki berperawakan besar membukakan pintu. Aku makin kaget ketika melihat di ranjang besar itu berceceran darah dan ada seorang pria muda mengerang kesakitan sambil memegangi lengan kiri bagian atas. "Namaku Bu Atun, Mbak. Tolonglah Mas Hendri." Wanita itu menuntunku mendekati ranjang majikannya. "Dia kenapa, Bu?" tanyaku ketakutan sambil memandang pria dengan tubuh tegap yang sedang kesakitan. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. "Tolong keluarkan peluru ini dari lenganku." Pria bernama Hendri itu yang bicara sambil menahan sakit. "Apa?" pekikku kaget. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN