Part 3 Situasi yang Rumit 1

1097 Kata
Part 3 Situasi yang Rumit 1 "Please!" "Maaf, saya nggak bisa. Saya bukan dokter. Sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja. Ini bisa berbahaya jika dibiarkan dengan penanganan yang salah." Aku bicara dengan suara bergetar. Bertahun-tahun menangani pasien dengan luka berbagai macam, tapi aku tidak segemetar ini. Seorang laki-laki bertubuh kekar menghampiriku. "Tolong, bos kami, Nona. Kami tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Apa yang Anda butuhkan, akan kami carikan." Tidak bisa membawanya ke rumah sakit? Kenapa? Nyawanya terancam tapi orang-orang itu keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan di rumah sakit. "Ini lukanya sangat parah. Harus mendapatkan penanganan segera." Aku berdebat di kamar mewah bernuansa maskulin. Mereka tetap tidak ingin membawa lelaki yang sudah kehilangan banyak darah itu ke rumah sakit. Para lelaki berpakaian serba hitam itu menatapku tajam. Tampaknya mereka membenciku karena terlalu banyak bicara dan penolakan. Mereka benar-benar memaksaku untuk melakukan hal sebesar ini. Yang seharusnya dilakukan oleh dokter bedah. Tapi ... kenapa pria itu bisa tertembak? Siapa yang melakukannya dan sekarang kesannya seperti di rahasiakan. Rumah dari lantai satu hingga lantai dua juga rapi, tidak ada bekas keributan di sini. Apa pria itu seorang residivis? Aku kembali di kejutkan oleh pintu yang dibuka dari luar. Seorang laki-laki usia enam puluhan yang memakai jas warna abu-abu masuk dan langsung mendekati pria muda yang masih kesakitan. "Tolong putraku, aku akan membayarmu berapa pun itu," pintanya sambil menatapku. Aku makin gemetar dan keringat dingin membasahi pelipisku. Kenapa aku dihadapkan pada situasi yang sulit ini? Pria yang bersandar pada kepala ranjang masih menahan sakit, tapi tidak banyak bergerak. Rupanya mereka juga tahu kalau posisi luka tidak boleh lebih rendah dari posisi jantung. Siapakah mereka ini? Dan pria bernama Hendri itu tidak sepanik orang-orang yang terkena luka berbahaya dan mengancam nyawa. Meski kesakitan, dia hanya diam dan sesekali meringis menahan sakit. Aku tidak boleh diam mematung, aku tidak boleh diam jika ada pasien yang membutuhkan pertolongan. Terlebih mereka semua memaksaku untuk melakukannya. Setidaknya aku bisa melakukan pertolongan pertama. "Ambilkan saya kain kasa. Kalau nggak ada, ambilkan handuk saja," kataku sambil naik ke atas tempat tidur. Dan duduk bersimpuh di samping pria itu. Wajahnya terlihat biasa saja, seperti sudah terbiasa dengan luka seperti ini. Bu Atun memberikan beberapa handuk padaku. Segera kubalut luka itu dengan menekan pembuluh darah yang lebih dekat dari jantung agar bisa menghentikan pendarahan. Yang terpenting aku harus bisa menghentikan pendarahannya lebih dulu, sambil berpikir keras bagaimana aku membujuk mereka agar pergi ke rumah sakit saja. Melihat luka dan peluru yang bersarang di lengan itu, penembakan di lakukan dari jarak dekat. Sebab semakin besar kecepatan peluru, maka makin parah luka dan kerusakan jaringan. Aku tidak tahu ini peluru jenis apa. Pendarahannya mulai berhenti. "Peralatan apa yang kamu butuhkan? Biar kami persiapkan." Lelaki setengah baya bicara dan menatapku penuh pengharapan. "Maaf, pasien butuh di evakuasi segera. Ini butuh dokter bedah untuk mengeluarkan proyektil pelurunya. Saya hanya bisa melakukan perawatan tapi tidak bisa mengeluarkan timah panas ini. Segera ambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena korban bisa saja keracunan timah." Semoga mereka paham dengan penjelasanku. "Kamu perawat, tentu kenal dengan banyak dokter. Suruh dokter bedah datang ke sini. Aku akan membayar berapa pun yang dia minta." Lelaki bernama Hendri bicara padaku. Kami berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. "Akan saya antarkan Anda ke dokter bedah." "Aku tidak ingin ke rumah sakit." "Ini bukan ke rumah sakit, tapi ke rumah pribadinya." Aku tak punya pilihan selain mengatakan hal itu. Walaupun mungkin aku akan di marahi oleh Pak Nanda karena melibatkan beliau dengan urusan yang tidak jelas begini. "Di mana rumahnya?" "Di pinggiran kota." "Antarkan kami." Lelaki setengah baya itu bicara padaku kemudian menyuruh para anak buahnya untuk segera membawa putranya keluar. Aku tidak bisa berkutik lagi selain mengikuti mereka. Jelas saja Pak Nanda akan marah padaku. Ya Allah, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi. Tergesa-gesa aku mengikuti mereka yang memapah lelaki muda menuruni tangga. Meski terluka parah, dia memilih berjalan kaki saja untuk keluar rumah. Mobil melaju kencang membelah pekat malam. Aku duduk di samping pria berbadan besar yang sedang mengemudi. Sesekali aku mengarahkan sebagai petunjuk jalan. Malam ini aku pasrah. Aku mempertaruhkan tentang hidupku. Hidup yang tak lagi berarti sejak perpisahan dengan laki-laki yang telah membersamaiku selama sepuluh tahun ini. Kami telah sampai di depan sebuah rumah bercat warna putih. Aku segera turun dan menghampiri seorang satpam yang sedang memperhatikan kami. Sebenarnya laki-laki muda itu tidak mengizinkan aku untuk masuk dan bertemu dengan dokter Nanda. Karena dokter bedah itu sedang istirahat. Tapi aku memaksa dan lelaki berpakaian warna putih biru itu masuk ke dalam. Tidak lama kemudian seorang pria berperawakan tinggi keluar menemuiku. Aku mengajak dokter Nanda duduk dan menceritakan maksud kedatanganku. Dokter berkacamata itu terbelalak kaget. Namun dengan tenang dokter berusia empat puluh lima tahun itu menyarankan agar aku mengajak mereka langsung ke rumah sakit. "Selamat malam, Dokter." Tiba-tiba saja Ayah dari pria yang tertembak itu berada di antara kami. Pria yang bernama Darmawan. "Tolong putra saya. Tolong keluarkan saja peluru itu dari lengannya. Saya akan membayar berapa pun itu." "Ini bukan soal bayarannya. Tapi saya tidak bisa melakukannya di rumah. Mari kita ke rumah sakit." Lelaki itu menolak. Bahkan dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa anaknya turun. "Tolong keluarkan pelurunya saja, biar perawatannya nanti akan dilakukan oleh Mbak ini." Pak Darmawan memandang ke arahku. Sekali lagi aku hanya bisa menatapnya saja. Lelaki itu sungguh pemaksa. Dokter Nanda tidak bisa mengelak sepertiku. Beliau menjelaskan kemungkinan terburuk ketika dia akan melakukan tindakan mengeluarkan peluru itu. Bisa jadi akan terjadi pendarahan, infeksi, kerusakan jaringan. Untuk meminimalisir butuh persiapan yang tepat. "Lakukan saja, Dokter. Saya percaya dengan, Anda!" Pada akhirnya aku membantu dokter Nanda dengan perlengkapan seadanya. Beliau melakukan prosedur kilat. Tanpa adanya ronsen. Padahal untuk mengeluarkan sebuah peluru harus menjalani banyak prosedur. Terutama juga butuh alat ultrasonografi untuk mempermudah mencari tahu letak peluru. Namun karena semua alat itu tidak tersedia di rumahnya. Maka Dokter Nanda memeriksa fisik pasien dengan perlengkapan seadanya. Beliau bisa menilai jenis senjata api apa yang melukai pria itu. Beliau juga bisa membaca kecepatan peluru dan jarak tembakan yang di duganya tidak dari jarak yang jauh. Aku tahu kalau dokter ahli bedah ini juga menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran. Namun baginya sekarang, cepat melakukan pekerjaannya dan orang-orang itu pergi dari rumahnya. Satu jam yang melelahkan. Akhirnya peluru itu bisa keluar dari bahu pria bernama Hendri. Daya tahan tubuhnya cukup kuat sehingga tak membuat Hendri pingsan. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan peristiwa menakutkan seperti ini. Dokter Nanda memperlihatkan peluru yang di letakkan di atas tisu padaku. "Ini peluru apa, Dok?" tanyaku lirih. "Entahlah, ada tulisan di situ kalau kamu melihatnya dengan jeli."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN