Butuh Kehangatan

607 Kata
"Pak, badan bapak makin panas..." seruku melihat komandan suamiku semakin menggigil. "Pak, di mobil ini ada obat? Saya izin periksa ya pak?" Ucapku perlahan dan langsung periksa. Sayangnya aku harus putus asa, karena obat yang aku cari tidak ada, Dan beruntungnya ada celana olahraga pendek. Aku melangkah ke belakang, merebahkan kursi belakang sehingga lebih lapang dan bisa untuk tidur. "Pak. Bapak lepas pakaian dulu deh, soalnya kalau dipaksa pakai nanti masuk angin. Bapak bisa istirahat di belkang biar lebih lapang." Tegasku menatapnya. Tapi dia menggeleng. "Aman buk. Ini belum seberapa di banding kami masa pendidikan dulu, tidak ada yang perlu di kawatirkan..." tegasnya sombong. Aku yang melihat dia semakin kencang mengigil langsung menariknya ke belakang. "Tapi, Pak. Kayaknya bapak makin parah deh menggigilnya..." aku menatapnya nyaris kehilangan akal. "Tidak masalah, Bu. Santai saja, ini hanya masalah kecil. Ibu istirahat saja..." balasnya dengan suara bergetar dan nyaris tidak jelas di telingaku. "Pak, maaf sebelumnya. Ini darurat, daripada terjadi sesuatu dengan bapak. Saya buat pertolongan pertama dulu deh..." tegasku sambil menarik tangannya ke belakang. Dengan berat hati dan setelah menolak sekian lama, dia akhirnya ngalah dan bersedia duduk di belakang. "Maaf pak kalau saya sudah bersikap tidak sopan..." aku membuka kemeja lengan panjang yang dia kenakan, dan celana panjangnya, aku meraba kaos dalamnya yang ternyata juga basah. Aku membukanya, sedangkan pria itu tampak sudah pasrah karena tak ada tenaga, dia sudah mulai mengigau. "Anggap saja saya sedang menghadapi pasien..." imbuhku lagi. "Aduh!" Dia memegangi kepalanya dengan tubuh gemetar hebat. Yang ada di pikiranku saat itu, aku harus menyelamatkan dia, karena dia adalah komandan suamiku. Aku tidak ingin di anggap sebagai pembunuh. "Pak, maaf saya lancang..." bisikku membuka seluruh pakaiannya dan menutupnya dengan selimut. Aku menggosok telapak tangannya agar tetap panas. Tapi tidak begitu berpengaruh, dia masih terus menggigil. "Pak, kenapa masih belum reda?" Gumamku tak percaya. Aku semakin bingung harus bagaimana menolong komandan suamiku. "Akhh! Dinginn....se-pertinya saya tidak kuat...." Rintihnya dengan suara yang membuatku semakin panik. Sampai akhirnya aku tak memiliki jalan lain. Aku membuka pakaianku dan merebahkan di belakang, memeluknya erat. "Pak, maaf, saya lancang ya?" Ucapku membuatnya menggeleng. "Saya yang minta maaf membuat kamu begini..." racaunya dan memelukku erat. "Dingiin...saya gak kuat.." erangnya, aku kehabisan akal. Harus bagaimana aku membautnya. "Pak, apalagi yang bisa saya bantu untuk membuat bapak hangat?" Tanyaku dan beliau menggeleng. "Tidak ada obat, Bu...saya-saya...mungkin sudah sampai di sini...saya gak kuat....dinginn..." bisiknya lagi sambil menggigil memelukku yang sudah tak lagi mengenakan pakaian. "Pak...apakah..." ucapku terjeda, sambil menelan ludah perlahan. Aku masih memikirkan kalimat lanjutan apakah ini pantas. "Lakukan apa yang bisa ibu lakukan. Silahkan..." ucapnya pasrah. Dia memelukku erat sambil terus meracau. "Hhhh....dinginnn...gak kuat..." desisnya lagi membuatku membulatkan tekad tentang jalan satu-satunya yang ada saat ini. Sedangkan mobil tidak ada satupun yang melintas. Hanya bunyi suara hujan deras yang membasahi bumi, menjadi teman kami satu-satunya. "Pak, haruskah kita melewati batas norma?" Bisikku putus asa. Dia meraih jemari tanganku dan meraih wajahku mendekatkan bibirku padanya. Bibir kami saling beradu dan berpagut, hangat dan dalam. Suasana hening seketika, hanya rintik hujan yang menjadi instrument tenang membawa dua jiwa yang saling menyatu dengan suara desah nafas yang kian memburu. "Ahhh!" Desis nafasnya semakin menggelitik di telingaku membuat degub jantungku kian tak beraturan. Jemari tangannya mulai melepaskan penutup tubuhku dengan pelan tapi pasti. Hujan yang semakin deras seolah menyatakan bahwa alam telah memberi restu tentang permainan terlarang ini. "Pak, apakah ini jalan satu-satunya?" Bisikku membuat komandan suamiku menggeleng. "Biarlah hujan yang menjawab semuanya...." Bisiknya membuat jantungku berdegub kian kencang. Aku mulai merasakan ada yang bereaksi di bawah sana. Sebuah senjata yang berdiri kokoh siang untuk melakukan pertempuran sengit. Di antara nyanyian hujan, ada jiwa yang bertarung dengan nurani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN