| 18
Hari ini kebahagiaan masih menyelimuti Lala. Rasanya ingin setiap hari seperti ini, hanya fokus pada sekolah dan karir. Bukan malah sebaliknya, justru hidupnya selama ini penuh dengan problem kehidupan. Siapa sanggup anak remaja berusia sembilan belas tahun yang kini ia harus memikirkan hidupnya sendirian.
Kondisi fisiknya kembali drop, mengingat adanya beban administrasi sekolah yang harus ia tuntaskan dalam kurun waktu yang singkat. Di usia remaja yang masih memiliki tingkat emosional tinggi membuat fikirannya kacau, ia merasa kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya. Ditambah dengan kurangnya dukungan dan arahan dari orang tua yang sedikit menumbuhkan sikap yang semakin tidak terkontrol. Sempat sesekali ia berfikir bahwa ia ingin mengakhiri hidupnya saja dari pada harus hidup segan mati tak hendak. (Hidup segan mati tak hendak = hidup yang merana karena sakit terus-menerus, sengsara, dan sebagainya).
“Ya Allah, hamba sudah tidak kuat lagi dengan ujian-Mu...” Lala menangis seorang diri di bawah cendela kamar.
Menangis dan terus menangis, mungkinkah ia dapat menuntaskan biaya administrasi sendirian? Ditambah lagi dengan insiden handphonenya yang harus rusak akibat ulah Susi waktu itu. Kini ia menjadi kuwalahan dalam mengakses ilmu pendidikan sekolah. Untung saja ia mendapat pinjaman telepon genggam dari William. Meskipun hanya telepon genggam biasa bukan telepon android, tepatnya telepon dengan merek Nokia dua ribu tujuh ratus, Lala bersyukur setidaknya masih bisa ia gunakan untuk komunikasi melalui pesan singkat saja. Ia mencukup-cukupkan uang pribadinya untuk keperluan yang lebih penting, sehingga ia harus berhemat dalam penggunaan telepon genggam.
Sore itu pada pukul 17.00 WIB, Lala sudah memutuskan untuk membereskan beberapa pakaian dan beberapa kebutuhan pribadinya seperti sabun mandi sikat gigi dan pasta gigi. Ia mengeluarkan pakaian yang tersusun rapi di dalam lemari untuk mengeluarkannya dan ia masukkan ke dalam tas ransel yang usai ia jahit waktu itu. tak lupa juga dengan bingkai foto almarhum kedua orang tuanya yang terletak di atas nakas juga ia pindahkan ke dalam tas ransel tersebut dan Lala memutuskan untuk kabur dari rumah.
Lala menangis tersisak sambil memasukkan sebagian barang yang belum masuk ke dalam tas ranselnya.
“Mungkin ini jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini. Pah, Mah, maafin Lala ya. Lala gagal menjadi putri terbaik kalian berdua, hari ini juga Lala akan pergi meninggalkan rumah ini.” Ucap Lala pelan.
Usai memasukkan semua barang-barang yang dirasa penting baginya, Lala akan menjatuhkan tas ransel tersebut melalui cendela kamarnya untuk mengelabuhi Susi. Karena Susi pasti akan menambah deritanya sebelum meninggalkan rumah. Lala berdoa sejenak sebelum menjatuhkan ranselnya agar Tuhan berada dipihaknya. Ia fikir ini adalah keputusan yang terbaik.
~Bruk~
Tas tersebut jatuh pada sasaran yang tepat, yaitu diatas semak-semak yang tebal. Sehingga dapat meminimalisir suara yang timbul.
“Alhamdulillah, semoga Tante Susi nggak kedengeran sama suaranya.” Batin Lala.
Kemudian Lala berjalan dengan pelan menuruni tangga untuk segera melakukan aksi selanjutnya. Ia berhenti sejenak dari jalannya saat melihat Susi memasuki kamarnya. Berharap Susi tidak mengetahui keberadaannya. Setelah dapat dipastikan bahwa Susi benar-benar memasuki kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Lala melanjutkan aksinya lagi dengan sangat berhati-hati. Sesampai depan pintu, ia membuka pintu tersebut dengan sangat pelan agar tidak sampai menimbulkan suara walapun sedikit.
Akhirnya ia berhasil keluar dari kediaman Susi, kemudian ia berjalan menuju samping rumah untuk mengambil tas ransel yang ia jatuhkan tadi dan bergegas kabur.
“Yess berhasil.” Lala segera melarikan diri tanpa menggunakan kendaraan apapun, ia hanya bermodal dengkul dan membawa tas ransel saja.
Kini ia merasa sedikit bebas. Saat ia merasa bahwa jejaknya cudah cukup jauh dari kediaman Susi. Lala menyempatkan diri untuk beristirahat pada salah satu mushola yang belum ia kunjungi di daerah kompleknya. Karena seruan adzan magrib sudah mulai dikumandangkan, Lala menaruh tas ranselnya di dekat tempat wudhu. Ia segera mensucikan diri dan melaksanakan ibadah sholat magrib bersama jamaah lain.
“Ya Allah, mudahkanlah semua urusan yang engkau berikan kepada hamba. Beri hamba kekuatan lahir dan bathin. Engkau sudah mengambil kedua orang tua hamba, apakah engkau tega terus-terusan memberi hamba cobaan yang berat lainnya? Ya Allah, engkau Maha Esa dan Maha Segalanya. Hamba memohon dan meminta kepada-Mu untuk tidak memberikan cobaan dan ujian di luar batas kemampuan hamba. Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar. Amiinnn.” Lala berdoa usai menjalankan sholat dengan khusyuk.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, ternyata pengunjung musholanya sudah mulai berkurang. Hanya tinggal beberapa orang saja termasuk dirinya. Kemudian ia melepas mukena yang ia kenakan sholat dan melipatnya dengan rapi, lalu ia kembalikan pada tempat semula.
Lala kembali melanjutkan perjalananya yang tak tau lagi ia harus kemana. Sempat sesekali ia di goda oleh lelaki berandalan di pinggir jalan. Selain memiliki paras yang cantik dan imut, ternyata Lala juga memiliki ilmu bela diri yang sangat handal, ia dapat menyelamatkan dirinya dari berandalan yang menggodanya. Lala menghajar lelaki tersebut tanpa ampun hingga beberapa bagian pada wajahnya mengeluarkan darah.
“Siapa suruh godain cewek sendirian, ha? Rasain tuh pukulannya!” Lala mengancam lelaki berandalan tersebut dengan lantang.
“A..ampun, Mbak. Mmaafin saya.” Ucap lelaki tersebut dengan gelagapan.
“Pergi sana!” Lala mengusir berandalan tersebut.
Kini berandalan itu tak memiliki keberaian untuk melawan Lala. Ia sontak pergi meninggalkan tempat tersebut dengan rasa trauma akibat pukulan dan tendangan Lala. Lala merasa senang bisa melindungi dirinya sendiri, setidaknya ilmu bela diri yang pernah ia geluti menjadi bermanfaat bagi dirinya sendiri dan akan bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkannya.
~Dinnn..dinnnn~
Suara klakson mobil yang dirasa tepat berada di belakangnya. Lala berhenti dari langkah kakinya dan membalikkan badan untuk melihatnya. Dalam bathinnya berkata semoga bukan Tanse Susi. Saat mesin mobil merah tersebut dimatikan, keluarlah sosok wanita yang tak asing baginya, yaitu Belin. Lalu ia segera menghampiri Lala.
“Kamu mau kemana, La? Kok bawa tas besar gini malam-malam?” tanya Belin dengan penasaran.
“A...aku...” Lala bingung menjawab pertanyaan Belin .
“Mau kemana? Jangan bilang kalau kamu mau kabur!” tanya Belin dengan nada sedikit tinggi untuk memancing Lala.
Lala terdiam sejenak dan memalingkan wajahnya dari tatapan Belin. Ia tak sanggup harus berkata apa, ia malu untuk menceritakan permasalahan yang ia hadapi saat ini. Dengan pandangan yang kosong serta mata yang nampak berkaca-kaca terlihat oleh Belin. Kemudian ia menyentuh lengan kanan Lala untuk menyadarkannya dari suatu lamunannya.
“La, kamu baik-baik saja kan? Sini tatap mata aku.” Ucap Belin sambil menarik tangan Lala.
Lala tak kuat membendung air matanya, ia menangis dan langsung memeluk Belin dengan sangat erat. Sambil mengakui kejujurannya bahwa ia akan kabur dari rumah. Mendengar pernyataan tersebut langsung dari mulut Lala. Belin mengelus pundak Lala untuk menenangkannya.
“Kamu perempuan yang kuat, jangan menangis, ayo ikut aku pulang.” Belin melepaskan pelukan Lala dan mengajaknya menaiki mobil yang ia kendarai bersama sopir pribadinya.
“Jalan, Pak!” perintah Belin kepada supirnya.
Mendengar perintah Belin, selaku bos kecilnya, sopir tersebut langsung menuruti dan menjalankan tugasnya. Supir itu mengendarai mobil dengan santai dan berhati-hati karena jalanan licin usai tersiram hujan.